Dua Puluh Tujuh 🌫️Bantu Aku

Aku kembali ke sekolah dengan penampilan yang berbeda dari tahun lalu. Minggu kedua bulan Januari menyambutku dengan hangat senyum mentari. Tidak seperti halaman pertama jurnal ini, belakangan hujan tidak mampir sesering dulu.

Kini, potongan rambutku lebih mencolok. Dengan bagian belakang under cut, seperti laki-laki, dan bagian depannya dibiarkan panjang se-bahu sebagai penanda aku masih perempuan. Segalanya terasa jauh lebih dingin di tengkukku. Padahal, peraturan sekolah jelas memaparkan, bahwa siswi dilarang memotong rambut hingga tengkuknya terekspos, tetapi mungkin sekolah memberi pengecualian untukku setelah kejadian itu.

Tidak ada yang berani menyapaku seperti dulu-walaupun memang jarang, setidaknya dulu ada satu dua guru yang memanggil namaku jika berjalan melewati koridor ruang guru. Sorot mata anak kelas sebelas dan dua belas yang mengenal siapa aku dan desas-desus yang terjadi langsung berubah. Mereka seolah refleks membuka jalan untukku, tanpa berani bertukar kontak mata. Baru kali ini, aku merasa lebih dikucilkan dari sebelumnya. Tatapan mereka berubah arti. Dari yang semula menaruh dendam kusumat pada anak akselarasi, kini entah bertambah rasa prihatin atau kesal lantaran mengira aku hanya mencari perhatian.

Kelas nyaris kosong, kecuali tiga manusia yang sudah menungguku datang. Taufan akhirnya benar-benar tersenyum tulus ketika melihatku berjalan dan meletakkan tas pada salah satu di antara tujuh belas bangku kosong lainnya.

"Kau nggak tau seberapa kesepiannya aku piket sendirian waktu dua tuyul ini ngacir ke rumah sakit, bolos piket dengan alasan menemanimu," keluh Taufan, melirik tajam pada dua anak yang memasang raut tak bersalah.

Kubalas senyumnya, dan duduk seperti biasa. Hal pertama yang kupikirkan setelahnya adalah Candala. Anak itu benar-benar tidak masuk sekolah, tak tampak sepagian ini, dan absennya juga kosong sejak awal tahun.

Setelah pembicaraan terakhir dengan Candala, aku tak lagi ingat. Begitu terbangun, kudapati diriku sendiri bersimbah air mata dan keringat dingin di dipan. Jamal tepat di sisiku, menundukkan kepalanya di atas telapak tangan kiriku.

Apa yang terjadi semalam terasa seperti mimpi. Tolong katakan padaku bahwa itu tidaklah nyata dan Dala masih ada di sini, atau minimal di rumahnya pun tak masalah.

Kusingsing pagi itu dengan menangis bersama hujan. Tangan kananku yang bebas terangkat, rebah menyilang di atas kedua mata, menutupi rinai yang kian deras dari mataku. Bahuku sesenggukan, masih ingin menyangkal kalau Candala sungguhan hilang dan enggan bertemu lagi.

Isakku mampu membangunkan Jamal hingga anaknya mendongak dan mengusap keningku singkat. "Kau kenapa, Bung?"

"Mana Candala?" tanyaku langsung tanpa basa-basi. "Kau di sini dari semalam?" Kutepikan tangannya dan beranjak duduk. Pening di kepala langsung terasa seketika. Tubuhku limbung sejenak, sebelum mampu menahan diri dengan tangan kanan.

Jamal cepat menangkap tubuhku, membantuku duduk dengan benar, kemudian menonyor keningku kesal. "Kau kenapa, sih? Perasaan dari kemarin-kemarin Dala mulu." Raut wajahnya tampak tak senang, menatapku sinis. "Aku di sini sejak kau pingsan sendirian di taman belakang. Sekarang jelasin kenapa kau ke sana sendirian, tengah malem pula. Sinting!"

Jadi itu bukan bunga tidur belaka. "Makanya aku nanya, Dala di mana. Semalem aku inget bareng dia." Kemudian aku menyadari sesuatu. "Katanya kau pulang, kok masih di sini? Kau memata-mataiku?!"

"Emang itu pekerjaanku, bodoh." Sekali lagi, jari tengahnya menonyor keningku. "Masih mending kuangkut ke dalem dari pada tak biarin ujan-ujanan di luar-jadi putri duyung baru tau. Untung ayahmu nggak tau."

"Kalau sejak awal kau melihatku keluar, kenapa kau masih bilang aku sendirian?!" Kupukul cepat tangannya yang hendak menonyorku lagi. Mataku membalas tatapan tajamnya.

Dahinya mengernyit, tatapannya berganti heran. "Nad, dari awal kau keluar, aku sama sekali nggak liat orang di mana-mana. Kalau memang ada, sejak awal pasti aku udah sadar," katanya menunjuk pelipis sendiri dengan makna, aku ini pengintai, tidak ada yang lolos dari pengawasanku.

Mana mungkin Jamal tidak melihat Candala yang segede gaban. Jelas-jelas aku memeluknya, duduk bersisian dengan Dala. Atau jangan-jangan mereka bersekongkol menyembunyikan Candala? Sebenarnya anak itu mau kemana? Kok pamitnya rasa perpisahan seumur hidup?

Baru saja aku hendak menambah argumen, pintu didorong dari luar. Ayah muncul dengan baju lembap dan dua nasi kuning di tangannya. "Ribut, kayak korban KDRT," komentarnya, melemparkan satu bungkus pada Jamal.

"Ayah liat Candala, nggak-eh, mana batagor Nadir?" tanyaku, kemudian basa-basi. Biar cepat selesai masalahku dengan anak itu, setidaknya didiskusikan bersama.

Ditunjuknya kantong plastik hitam di nakas, tepat di sebelah sarapanku dari rumah sakit. "Candala siapa-oh, yang pernah berangkat bareng ke sekolah sama Abidine waktu Nadir ambil buku, ya? Udah lama ayah nggak lihat. Anaknya ke mana?"

Bahkan Ayah tidak tahu? Padahal waktu itu dia ikut menjengukku dengan yang lain di hari pertama masuk rumah sakit. "Nggak tau, makanya nanya Ayah."

Kamar rumah sakitku hening beberapa saat, semuanya sibuk dengan apa yang ada di tangan masing-masing. Saat itu, barulah aku terpikir hal yang harusnya kupikirkan sejak tadi.

Bagaimana bisa aku pingsan? Padahal waktu kehilangan banyak darah, kesadaranku hanya pergi sesaat. Apa yang terjadi kemarin malam, kalau memang benar-benar terjadi, kenapa Jamal berusaha mengelak bahwa dia melihat Dala? Apa karena ... JANGAN BILANG DIA LIHAT DALA MENGECUPKU SINGKAT?! Tidak, tidak. Kalau memang dia melihatnya, seorang Jamal akan terus menggodaku dengan peristiwa itu.

Perasaanku saja atau belakangan dunia menjadi lebih aneh? Maksudku, di antara tujuh miliar orang, tidakkah salah satu dari mereka mengetahui keberadaan Candala sekarang? Apa, sih, susahnya bilang padaku anak itu lagi di mana sekarang? Tinggal bilang, "Candala udah jadi ubi." atau "Dala di pelaminan sama istrinya." sesusah itukah?!

"Sebenarnya Ayah juga lagi nyari anak-"

"Mau adopsi anak?" serobot Jamal tak sopan, dan dia berakhir kena lempar sambal goreng tempe. "Ampun-tapi makasih, Pak."

Aku menatap mereka berdua bergantian sambil mengunyah batagor campur ingus. "Ayah juga nyari Candala? Ada perlu apa?"

"Ada sesuatu. Berkaitan dengan pekerjaan kami." Ayah menyuap lagi sesendok nasi kuningku, sebelum menatap heran Jamal yang memasang wajah tak percaya.

"Bapak belum tahu?" bisiknya yang mampu kudengar.

"Apa ini bisik-bisik?"

Melirikku menyadari percakapan mereka, Jamal mengurungkan kata-katanya dan memilih segera menghabiskan sarapan. Wajahnya jadi berubah lagi, kini disertai dengan semburat rasa bersalah.

Setelah itu, tidak ada lagi percakapan tentang Candala. Aku benar-benar buta arah harus mencarinya ke mana lagi. Seperti pagi ini, saat Pak Faruq mengisi jam istirahatnya di kelas kami, aku benar-benar menahan diri untuk tidak bertanya.

Karena aku tahu, seberapa seringnya aku bertanya, pada siapapun itu, jawabannya akan tetap sama. Tidak ada yang mau membuka mulut di mana Candala sekarang berada.

Meski, sebenarnya masih ada satu cara lagi untuk memastikan di mana Candala sebenernya berada. Ini menjadi pilihan terakhirku dalam mencarinya. Kalau memang tidak ada, aku akan menyerah dan membiarkan dirinya tenggelam dalam pikiranku saja.

:.:.:

Kutendang tidak jelas kerikil sepanjang jalan menuju rumah Ibu. Semuanya gagal, rencana yang sudah kususun rapi hari ini untuk mencari Dala, semuanya berantakan. Hanya karena Abidine tiba-tiba menceletuk sesuatu saat bel pulang sekolah menjerit.

"Kau sudah diberitahu ayahmu?" tanya sepupuku tiba-tiba, menghampiri mejaku dengan langkah ceria.

Dengan kelas berisi empat orang, tingkahnya mampu membuat semua mata menoleh pada kami. Jamal dan Taufan jadi ikut merapat setelah semua barang-barang di meja dan lacinya masuk ke dalam tas. Mejaku mungkin resmi menjadi tempat perkumpulan kelas akselerasi angkatan ini.

Memangnya ayah memberitahuku apa? Aku mengangkat alis sebagai tanda tak tahu. "Tolong, Mas. Ini buku, bukan alas pantat," desisku pada Jamal yang seenak jidat menduduki buku paket kimiaku.

Anak itu mengangkat pantatnya sedikit, membiarkanku menarik buku paket dari sana. "Oh, buku, toh. Kirain bantal, tebel amat, Mbak." Jamal bersedekap, tersenyum miring. "Nah, mending kau lanjutin ceritanya, Bi." Tangannya melambai-lambai ke arah Abidine.

"Itu, lho. Soal rumah ibumu." Senyumnya semringah. Dilihat begitu saja semua orang akan tahu kalau anak ini membawa kabar bahagia. "Semua saudara ibumu setuju ngasih rumah itu buat dirimu, lho!"

Dari sebaris kalimat bernada gembira itu, di sinilah kami sekarang. Satu orang perempuan dan empat orang bodyguardnya, jalan kaki pulang sekolah ke rumah warisan mendiang ibuku. Giam dengan senang hati ikut serta-tugasnya sudah pasti selesai lebih dulu. Meski keluar dari kelas akselerasi karena nilainya kurang satu angka, tidak menutupi fakta bahwa anak itu hanya "malas", bukan "bodoh". Mata pelajaran kelas sebelas baginya hanya upil di ujung lubang hidung yang bisa jatuh kapan saja saat dia bernapas.

Awalnya aku menolak permintaan mereka untuk ikut dengan alibi belajar bersama menjelang SBMPTN. Namun, saat Ayah menelponku, bahwa ada satu dua urusan mendesak, anak gadisnya ini terpaksa dititipkan pada Jamal dan Abidine, sementara kunci rumahnya pria itu bawa ke kantor-markas rahasia. Kalau dua anak itu ikut, sebagai rasa balas dendam karena tidak bisa menemaniku lama-lama di rumah sakit, Taufan dan Giam memaksa ikut juga.

Kami berakhir di ruang makan, membentuk lingkaran kecil di tempat meja dan kursi seharusnya berada. Rumahnya memang milikku, tetapi keluarga ibu ternyata mengambil beberapa perabotan dan alat elektronik kecuali kulkas-aku tidak masalah dengan hal itu, asalkan mereka tidak menyentuh kamar ibu.

Buku-buku tebal berserakan di lantai. Materi, kisi-kisi SBMPTN tahun lalu, dan buku catatan tak bisa dibedakan lagi tebalnya.

Setengah jam berlalu setelah kami berlima mengemper, Giam berseru padaku, "Babu Satu! Bawakan aku segelas anggur!" suruhnya tanpa mengalihkan pandangan dari kisi-kisi.

"Matamu anggur," decakku kesal, tetapi tetap beranjak untuk mengambilkan empat alien penghuni mars itu minum. Sebuah ide jahil terlintas di kepalaku. "Ini anggurnya, Yang Mulia!" Kusodorkan gelas padanya.

Giam menerima tanpa curiga, sambil nyengir-nyengir pula. "Terima kasih, Babu Satu!" kekehnya, kemudian menyesap apa yang kuberi dengan sepenuh hati.

Kukulum bibirku dalam-dalam, menahan gelak tawa sambil menunggu reaksinya kuberi air hangat bercampur bubuk cabai. Tubuhku melesat cepat ke belakang kitchen set, berpura-pura mengambil gelas-gelas lainnya.

"Kurang asem kau!" Giam menyemburkan airnya ke samping, mengelap bibir dengan punggung tangan. "Babu kurang ajar!" Anak itu berusaha berdiri dengan wajah memerah kepedasan.

Tak kusangka, Taufan yang lebih dulu meledak dari pada aku. "Kau yang kurang ajar sama tuan rumah!" tawanya menular pada dua orang di sebelahnya.

"Mampus! Mamam tuh anggur!" Abidine menimpali, jempalitan di lantai sembari memegangi perutnya.

Tangan Giam mengepal, seringai jahatnya muncul sambil menunduk. "Sempat aku dapat dirimu, Nad!" Dicampakkannya gelas tadi, melompat melewati buku-buku dan punggung Jamal, langsung ke arah kitchen set. Sebagai pemain basket, aku takkan heran lagi dia bisa melakukannya dengan mudah.

Aku menjerit, berusaha berlindung di belakang kulkas sambil cekikikan tidak jelas. "Ampun, Yang Mulia! Hamba cuma budak korporat!"

Langkahnya terlalu panjang mendarat setelah melompat. Telapak kaki Giam terpeleset di lantai dengan miu nol (ini cara anak akselarasi mengatakan lantai licin tanpa hambatan dalam fisika. Kau akan menemukan μ di pelajaran itu saat kelas sepuluh semester dua kalau masih terjebak di kurikulum 2013). Salah satu dek kitchen set tergeser berkatnya, sementara anak itu tetap bersikukuh menangkap telingaku.

"Sujud kau!" ancamnya sambil cengengesan. Giam mendapatkan daun telingaku dengan mudah saat rambutku pendek.

Tawaku enggan berhenti saat melihat wajah merahnya. Ini pemandangan yang luar biasa. Jarang sekali bisa melihat ekspresi Giam yang seperti ini. "Oke, oke. Ampun, Gi!" akuku menyerah sambil mengangkat kedua tangan di sebelah telinga.

Yang lain terkekeh geli melihat Giam terengah-engah. "Parah, Giam. Benerin rak bawahnya, tuh!" tunjuk Abidine.

Berkatnya, netraku berhasil menangkap sebuah benda hitam mengkilap di sana. Aku melotot tak percaya, astaga itu benda yang puluhan kali membuatku ingin berkata kasar. Black card milik David!

Melihat wajahku berubah serius, Giam akhirnya melepaskan jeweranku. "Sori lho, Nad," sesalnya menyusulku berlutut.

Ini ... keajaiban! Kupungut benda itu perlahan-lahan. Semua orang memperhatikan, tawa mereka berhenti seketika.

"Nad?" panggil Giam sedikit panik. Dari caranya memanggilku, anak itu takut aku marah padanya.

Aku mengangkat sebelah tangan, mengisyaratkan agar tidak terlalu dekat. "Nggak, nggak. Justru makasih banget, Gi!" Kupalingkan wajahku cepat padanya. "Ini," kuangkat black card itu tinggi-tinggi, "benda yang nyangkut entah sejak zaman kapan, dan kau membantuku!"

:.:.:

Acara belajar bersama kami terancam bubar jika saja aku keceplosan bilang bahwa benda milik seseorang yang membunuh ibuku. Pada akhirnya, mereka semua bertanya-tanya apa sebenarnya benda ini, tetapi kujawab saja itu adalah black card mendiang ibuku. Tentu tidak semuanya percaya, termasuk Jamal. Namun, rupanya anak itu paham dengan kondisi dan mengangguk saja mengiyakan.

Malam beranjak naik, dan hari semakin gelap. Ini diksi yang sama, tetapi kau akan merasakan perbedaannya kalau berada di posisiku. Langit cerah tanpa awan dari sini, dan keempat temanku itu ternyata cukup tahu diri untuk pulang alih-alih menetap di rumah seorang gadis.

Taufan dan Giam pulang bersama, mungkin rumah mereka searah. Sementara Abidine punya tanggung jawab untuk terus menemaniku, yang mana pada saat ini menjadi sebuah halangan buatku melaksanakan misi pencarian Candala. Jamal mungkin orang yang paling mengerti keadaan kepalaku saat ini di banding tiga laki-laki lainnya, itu sebabnya dia memilih pulang dan tidak ikut campur urusanku.

"Yakin tetep di sini? Ke rumahku aja, Nad. Ada ibuku juga," tawarnya saat kami tiba di ambang pintu untuk mengantar yang lain pulang. "Belum makan juga, 'kan?"

Aku menggeleng. "Di sini aja." Kalau kalian mengira aku akan datang dan bertanya sendiri ke rumah Pak RT, kalian salah. Aku memang akan ke rumah Pak RT, tetapi bukan untuk bertanya.

Hari ini, pasangan suami istri tua itu tidak akan ada di rumah sampai adzan isya selesai berkumandang. Maka, aku punya waktu kira-kira satu setengah jam untuk mencari petunjuk di kamar Dala; flashdisk rekaman CCTV dan beberapa catatan penting. Sekali lagi, masalahnya saat ini adalah Abidine. Aku tidak mau ada orang lain yang terlibat dalam hal ini.

"Makan di luar aja gimana?"

Bingo! "Harus ada yang jaga rumah," jawabku pura-pura berpikir. "Kau aja yang pergi, aku jaga rumah. Lagian masih ada yang mau kuperiksa abis ini."

Abidine hampir membantah, tetapi pada akhirnya dia tetap mengangguk. "Mau makan apa?" Mungkin, dia mendapat ilham, bahwa anak gadis tidak seharusnya keluar saat magrib, dan memang harus ada seseorang yang menjaga rumah ini sebelum benar-benar layak untuk ditinggalkan.

"Nasi padang di tempat biasa enak." Aku tersenyum lebar. Abidine tidak pernah bisa menolak keinginanku kalau soal makanan-itu karena selera kami sama, dan aku dapat memutuskan sesuatu lebih cepat darinya.

"Tumben nggak bilang terserah, tapi oke lah. Nunggu agak lama gapapa?"

Nah! Itu memang yang kucari, anak muda! "Aman, nggak laper-laper amat." Kuacungkan jempolku, kemudian pura-pura melakukan sesuatu seperti membereskan meja dan sisa-sisa rembukan tadi.

Sepupuku menyiapkan ponsel dan uangnya, kemudian mendekati pintu keluar. "Tunggu, ya!" Tubuhnya lenyap di balik daun pintu, masih dengan seragam sekolah dan sendal jepit.

Beberapa menit, dirinya tak kunjung kembali. Baiklah, ini giliranku untuk menyelinap. Tak perlu usaha besar untuk masuk ke kamar Dala, sebab aku sudah punya akses masuk utama yang diberi secara sukarela oleh sang empunya rumah.

Masih mengenakan seragam putih abu-abu, aku melesat cepat, mengunci pintu dari luar, meninggalkan sendalku begitu saja, kemudian berjalan santai ke rumah Pak RT. Kalau buru-buru, nanti orang lain akan curiga, maka dari itu aku memasang wajah tak berdosa, benar-benar menikmati embusan angin sebelum magrib.

Dalam hati, ada sedikit rasa bersalah lantaran aku tampak seperti orang yang tak punya adab dalam bertamu. Setelah semua ini selesai dan aku menemukan Candala, akan kuakui semua kesalahanku pada mereka. Sekarang, aku harus menemukan flashdisk itu dulu. Di sana, barangkali ada secuil jejak Candala.

Tidak ada yang memperhatikanku saat tubuhku mulai berbelok ke arah beranda rumah bercat putih kuno itu. Dengan luwes kubuka pintu menggunakan kunci duplikat yang pernah diberi Bu RT. Bagian dalam rumah gelap, sorot lampu jalanan tak mampu meraih keseluruhan sudut gelap ruang tamu. Kuputuskan menutup pintu dan menguncinya seperti semula. Semisal ada apa-apa nanti, aku bisa kabur lewat jendela saja.

Kamar Dala letaknya hampir mirip dengan anime Doraemon—terletak di lantai atas dan kini menjadi satu-satunya ruangan setelah dua kamar bersaudara digabung. Itu sebabnya, saat aku masuk cahaya remang dari lampu jalan masih mampu menerobos masuk tirainya yang sedikit transparan. Jendela ditutup rapat, membuat wangi terakhir parfumnya enggan hilang di sini.

Kondisi kamarnya masih sama seperti saat terakhir aku mampir dan terciduk orang rumah. Kanvas-kanvas dibiarkan begitu saja, seolah empunya rumah tak pulang berhari-hari. Tidak, berbulan-bulan. Saat aku bertanya pada Pak RT tentang Candala, beliau hanya mengulum bibir, kemudian mengusap puncak kepalaku sambil berkata, "Nanti juga tau sendiri."

Lantainya tidak berdebu, artinya seseorang pasti sering ke sini untuk bersih-bersih. Seorang ibu pasti geram melihat kamar anaknya berantakan, maka mari kita simpulkan bahwa Candala masih sering ke kamar ini, paling tidak tiga hari yang lalu.

Mataku menyapu dengan cepat, mengarah langsung pada meja belajar di dekat jendela dan ranjang. Rak-rak bukunya juga masih rapi, berderet sesuai tinggi dan jenisnya. Buku tebal kisi-kisi, sampai novelnya tersimpan cantik pada rak gantung. Satu-satunya yang tak kulihat pada koleksinya adalah sekardus novel Sherlock Holmes yang kuberikan setahun lalu.

Tak perlu repot-repot menggeledah barang privasinya. Begitu aku membuka laci meja belajar, benda lonjong seukuran dua jari tangan tampak mencolok di antara barang-barang besar lainnya, termasuk botol kaca yang di dalamnya terdapat sebuah gulungan kertas. Aku ingat jelas anak itu sering meminjam punggungku, alasan tidak bawa papan scanner untuk menulis saat kami berada di tempat yang tak lazim—misal kandang sapi dan atap sekolah. Aku juga ingat jelas, Candala berkata bahwa ada saatnya aku mengetahui semua isi botol itu. Sampai kapan diri ini harus menunggu?

Kugigit bagian dalam pipiku, menguatkan tekad untuk merampas botol kaca itu dengan sekali gerakan dan meninggalkan kamarnya tanpa jejak. Tujuanku kemari sudah terpenuhi, sekarang harus pulang ke rumah tanpa ketahuan dan mencurigakan. Kuingat jelas semua hal yang kutemukan di kamarnya hari ini, dan semuanya sama persis saat terakhir kali aku ke sana. Ukiran pada dindingnya, tumpukan kanvas berlukis sketsa tak rampung, dan beberapa cat yang mulai mengering di palletnya. Satu hal yang kutahu, Candala bukan tipe orang yang suka menimbun pekerjaan. Ketika anak itu sudah memulai, dia akan menyelesaikannya segera, termasuk lukisan. Kalau sampai ada hal seperti ini, itu artinya dia sedang mengerjakan sesuatu yang lebih penting lagi.

Aku keluar dengan selamat lewat pintu depan sembari mengapit botol kaca dan mengantongi flashdisk—beruntung aku tidak harus melompati jendela. Bertepatan adzan magrib, punggungku mencapai kamar lamaku di lantai atas. Tak terduga, semua benar-benar berjalan mulus. Hebat.

Sebelum Abidine kembali, lekas kunyalakan laptop dan membongkar apa saja isi flashdisk milik Candala. Foldernya lumayan banyak, tetapi satu yang menarik di mataku adalah namaku sendiri. "Dear Nadir." seperti surat wasiat khusus buatku. Begitu kubuka, beberapa video terlampir di halaman depan, juga satu folder lagi di dalamnya. Pertama, kutonton dulu apa isi rekaman CCTV nya. Kalau berguna, mungkin ini bisa menjadi petunjuk buat Ayah menangkap David yang bernotabene sebagai buronan negara.

Tanggal dan waktu kejadian persis seperti saat aku pulang liburan dari Jogja bersama anak-anak akselarasi. Sore hari, mungkin aku masih di bandara saat itu. Langit masih kebiruan dan semburat jingga kelabu belum masuk ke dalam rekam CCTV. Rekaman hanya tersedia satu hari penuh, sampai kami tiba di rumah Candala.

"Anak ini pasti punya kendali dari ponselnya," lirihku, mengamati jelas apa yang terjadi pada layar laptopku.

Sejak pagi, Ibu dan David hanya keluar satu kali menggunakan motor, dan kembali dengan sekeresek sayur dan buah pukul sembilan pagi. Setelahnya, rumahku sepi seperti tidak ada yang terjadi. Rekaman kupercepat hingga dua jam terakhir sebelum kami mendarat. Jariku terhenti pada detik ke sekian, dan David dengan santainya keluar dari halaman rumah.

Kusipitkan mataku, memperbesar gambar yang tertampil di laptop. Wajahnya ... kesal? Tapi kenapa? Bukankah dia berhasil membunuh ibuku? Atau mungkin ... bukan itu yang dia inginkan. David mungkin menginginkan sesuatu, dan dengan mengakhiri nyawa ibuku, dia pikir sesuatu itu bisa didapatkan. Nyatanya tidak. Tapi apakah sesuatu itu? Surat tanah? Masih ada di lemari, kok. Sangat terekspos malah. Mana mungkin buronan profesional seperti dia tidak melihatnya.

Rekaman kembali berjalan, dan hal tersebut mampu membuatku membelalakkan mata.

Tubuhku bangkit dari kursi, terlonjak sangking tak percaya. Ini semua di luar dugaanku, dan ... bagaimana bisa aku tak menyadarinya sejak awal?! Ponsel, di mana ponselku?!

"Nadir! Agak pedes nggak papa, ya?" teriak seseorang dari bawah. Abi sudah kembali, tepat waktu di mana aku membutuhkannya.

Kusambar ponselku cepat setelah menemukannya di atas ranjang. Nomor Ayah yang sudah kuhafal di luar kepala lekas kupanggil. Beberapa detik menunggu, Ayah mengangkatnya. "Ayah di mana?"

Ketukan terdengar, disusul Abidine mengintip dari balik pintu. Saat itu Ayah sudah selesai bicara, dan aku lekas ke luar menyeret Abidine, meninggalkan tulisan dari David.

"Aku akan menemukanmu."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top