Dua Puluh Sembilan (II) 🌫️ Lenyapmu Abadiku

Napas kami berlomba-lomba tiba di ujung sabana, dengan flash berdisko ria, dan degup jantung yang menggebu-gebu. Tak mudah mencari sebuah bunker di antara pepohonan, terutama saat malam hari. Namun, berkat diorit besar yang tak sengaja Abidine tendang, semuanya jadi lebih mudah.

Diorit sebesar ini, selain mahal, batuan jenis ini tidak akan tumbuh di sekitar sini. Terbentuk dari lelehan magma yang membeku perlahan, diorit jelas butuh gunung berapi untuk tercipta, sementara tempat ini lumayan jauh dari gunung. Bagaimana kami mengetahuinya? Apa kalian lupa, bahwa aku, Taufan, dan Abidine peminat club kebumian? Tentu kami bisa membedakan—dari tekstur dan warnanya sudah jelas.

"Minggir!" Jamal merentangkan tangan, menyuruh kami mundur agar dia bisa memindahkan batuan itu. Giam ikut mengangkat di sebelahnya, juga Abi dan Taufan.

Sedikit lagi, aku bisa melihat sebuah lorong kecil dan pintu jati tertutup bawah di sana. Tunggu, bagaimana kuncinya?

Meski tidak terlalu berat dan besar diangkat berempat, mereka serempak mengusap pinggang belakang setelah diorit tadi terpindah. "Mal, bawa koyo, nggak?"

"Gila, Candala sebenernya siapa, sih? Tajir banget punya bunker rahasia? Nggak ketauan pemerintah pula?" Abi melongok bersamaku.

Dia sebenarnya mata-mata rahasia, dan tempat ini mungkin salah satu markas yang dibuat organisasinya setelah mengelabui pemerintah, batinku menjawab. "Kalian di sini aja, biar aku yang masuk," kataku sambil menyalakan flash dan berusaha meraih daun pintu. Tidak terkunci rupanya?

Abi lekas mencekal tanganku. "Kalo ada apa-apa, gimana? Lagian gelap, Nad."

Aku berpikir sejenak. "Kalo lebih panjang dan dalam, aku bakal balik buat manggil kalian. Tapi kalo cuma satu ruangan kecil, tolong kasih aku waktu sebentar, oke?"

Mereka berempat bertukar pandang. Aku tahu ini sedikit tidak adil, terutama mereka yang sudah membantuku sejak awal, masa tidak boleh masuk? Maka, aku melanjutkan.

"Lima belas menit aja," kupasang pengingat waktu di ponselku. "Kalo udah bunyi, kalian bisa nyusul. Aku cuma perlu sendirian sebentar doang." Ini tawaran terakhirku.

Abidine bergerak gelisah di tempatnya, seakan ada firasat buruk yang dia lihat.

"Oke," kata Jamal setuju. "Tapi kalo lebih panjang, balik ke sini."

Aku tersenyum lebar, mengacungkan ibu jari dan menarik daun pintu. Begini saja, aku sudah tahu kalau di dalam tidak ada orang. Pertama, cara membuka pintu adalah ditarik keluar, bukan ke dalam. Kedua, kalau ada orang di dalam, dia pasti kesusahan menutupi pintu dengan diorit tadi, dan menyembunyikannya di balik tumpukan daun.

Hawa lembab menyapaku, juga belasan anak tangga dari batuan solid. Pelan-pelan, kujejakkan kaki melangkah turun sambil berpegang pada dinding batu kasar. Kuarahkan cahaya flash ke bawah menyingsing gulita, hanya ada lorong lurus ke bawah. Langkahku dipercepat hingga tiba di anak tangga terakhir dan menyapa sebuah pintu jati.

Kulongokkan kepalaku sejenak ke atas, di mana cahaya bulan masih bisa mencapaiku meski remang-remang. Apapun yang ada di dalam, aku harus siap. Tanganku terulur, membuka pintu perlahan.

Tidak ada zombie yang mendadak muncul, atau gas beracun yang membuatku pingsan, atau jebakan seperti di Mesir kuno. Hal yang pertama kali kulihat, adalah lampu emergency yang sudah redup di sudut ruangan, menerangi sedikit bagian dan membuat ruangan terkesan sedikit horor. Ditambah kehadiran sebuah tabir putih besar yang menutupi sesuatu di sisi kiri ruangan.

Ponselku menjadi pemandu dengan flashnya. "Dala?" panggilku lirih. Tidak ada yang menjawab, maka kuberanikan diri masuk lebih jauh lagi dan melihat sekeliling.

Penampakannya tidak jauh dari ciri khas kamar Candala. Berdinding batu, dengan furnitur kayu klasik, meja belajar di bawah lampu emergency penuh lembaran kertas, rak-rak buku di sudut ruangan, peti kecil setengah terbuka berisi cat di dekat tabir yang kuduga sebuah lukisan, dan beberapa kardus yang entah apa isinya. Lantainya terbuat dari batuan alam, dan sisi-sisi dinding tertentu diukir sedemikian rupa. Tidak ada tempat tidur, hanya sebuah tikar setengah tebal terhampar di sudut bunker lainnya.

Benda yang pertama kali kuhampiri adalah meja belajar, di mana semua tulisan tangan Candala berserakan. Kubereskan semua pelan-pelan, menyusunnya di ujung meja. Rata-rata tugas sekolah kami, laporan praktikum kimia dan fisika, juga lembar puisi.

Jemput aku di ujung bianglala
Di antara peliknya melankolia remaja
Menebus bena pancarona nestapa
Biar anggara buana melalap kita.

Secuil puisinya mampu membuatku terkekeh. "Melankolis banget." Tanganku tanpa sadar membuka lembar berikutnya dalam sebuah buku besar, seperti buku nota, padahal aku belum melihat apa judul atau sampul depannya.

Bawa aku pergi
Di balik gelap eboni
Di mana tak seorang menghampiri
Di belakang rasa padmarini
Temukan aku di sini.

Hei, sejak kapan Dala pintar bikin puisi? Diksinya juga oke. Namun ... semua ini tentang apa? Tanganku membalik lagi lembar berikutnya.

Singkaplah tabirku, agar kau tahu
Seberapa banyak kata layu
Yang belum sempat kuucap untukmu
Y ....

Sajak terakhirnya raib. Aku kembali membalik lembarannya, tetapi tak menemukan apa-apa lagi di sana. Puisi tadi benar-benar akhir dari buku catatannya. Ke mana anak itu sebenarnya? Tatapanku terpaku pada puisi terakhir. Singkap tabir ... yang di belakang sana? Aku menoleh pada benda besar yang kuduga kanvas ditutupi tabir besar.

"Permisi," lirihku mencengkeram ujung-ujung kain putih itu. Kutarik semuanya dengan sekali gerakan, lantas mematung merinding saat kuarahkan flash ponsel menimpa permukaannya.

Ini ... aku? Candala sungguh melukisku? Dengan kanvas dua kali A1?! Lihatlah, benar-benar persis ... dengan latar kelas kami dan matahari sore. Aku tampak memandang ke luar jendela, astaga sesinis itukah wajahku? Kusentuh langsung permukaan kanvasnya, dan entah bagaimana, tiba-tiba saja kelenjar air mataku bereaksi.

"Cantik, 'kan?"

Demi apapun itu, aku menoleh cepat. Sosoknya di sana, berdiri tegap sambil memasang senyum. Di bawah terpaan cahaya remang lampu emergency, dia menungguku. Kutahan diriku sendiri untuk tidak menjerit dan menghambur ke pelukannya.

Tanganku mengepal. "Kenapa kau menghindar—"

"Aku nggak menghindar," tukasnya. Candala masih tersenyum tipis, langkahnya perlahan maju. "Kenapa kau mencariku?" Dia berhenti saat kami berjarak hanya dua langkah.

"Bukannya kau sendiri yang bilang," suaraku hampir tercekat di ujung tenggorokan. Aku merindukannya, tapi kutahan diriku sendiri agar tidak maju dan memeluknya lagi. "Kalau kau mencariku, aku akan selalu ada di tempat itu. Tapi untuk menemukannya, aku ingin kau berusaha. Sebab di dunia ini tidak ada yang cuma-cuma. Kalau kau mencariku, maka kau bersungguh-sungguh dengan perasaanmu," kuulangi kalimatnya waktu itu. "Mari kita balik pertanyaannya. Kenapa kau menghilang?"

"Kau sudah membaca dokumen tentangku, 'kan? Aku bukan Candala, aku bohong padamu—"

"Aku tidak peduli!" seragahku cepat. "Aku cuma mau tau, kenapa kau tiba-tiba ngilang gitu aja. Apa salahku? Setidaknya berikan perpisahan yang lebih waras." Aku maju, mengepalkan tangan dan memukul dadanya. Mataku semakin perih.

Kurasakan tangannya mengusap bahuku. "Maaf," katanya. "Maaf aku nggak bilang di awal." Telapak tangannya mengusap puncak kepalaku. Rasanya persis seperti di ayunan setahun lalu. "Kau harusnya tau aku dateng ke kota ini, sekelas denganmu, dan rumah yang berdekatan, itu semua karena misi. Padahal kau tau aku akan membunuhmu, tapi kenapa kau tetap mencariku?"

Bibir bawahku mungkin sudah berdarah kugigit menahan isak. "Kau sudah membunuhku." Setitik, kurasakan rinaiku menetes. "Waktu kau hilang, saat aku putus asa mencarimu, di sana kau membunuhku. Apa kau tidak sadar?!"

"Kita semua berubah. Aku harus membunuhmu karena misiku, tetapi aku justru membuatmu berkembang menjadi sosok yang tidak apatis. Dan targetku sendiri yang mengubah caraku berpikir." Embusan napasnya keluar perlahan. "Bukan kau yang mati, Nadir. Tapi aku."

Hening menguasai kami beberapa detik, hingga aku memutuskan bertanya. "Kau bakal tetep di sini, 'kan?"

"Merdekakan dirimu dariku, Nadir." Candala tersenyum, meraih daguku agar menatapnya. "Aku selalu ada di sini kalau kau mencariku." Yang dimaksudnya bukan bunker ini. Candala mengusap kepalaku hingga turun ke pundak.

Itu artinya selama dia hidup dalam imajinasiku, dia akan tetap berada di sini.

"Waktu itu aku yang bertanya," suaraku bergetar menahan tekanan diri untuk tidak mengeluarkan derai lebih banyak. "Seandainya kisah hidup kita adalah cerita, akhir seperti apa yang kau inginkan. Jawab pertanyaanku, Dala!" Kugigit bibir bawahku keras-keras.

Cengkeramannya di pundakku melunak. Candala tersenyum lembut, menatap mataku dalam-dalam. Kuperhatikan tiap jengkal wajahnya lekat-lekat. Mata Dala besar nan gelap, alisnya rapi dan simetris, kedua daun telinga yang memiliki tahi lalat serupa tindik. Terakhir, raut wajahnya yang baru kusadari juga menahan diri untuk menangis di depanku sekali lagi.

Hatiku tak kuat lagi saat Candala menarik tubuhku agar jarak kami lenyap sempurna. Kupeluk dia kuat-kuat, sebab aku tahu ... mungkin ini akan menjadi yang terakhir kalinya untukku, dan dirinya di dunia ini.

Napasku kian sesenggukan, tetap kutahan semuanya di ujung epiglotis. "Aku tidak mau semua ini lenyap begitu cepat. Aku tidak mau kau menghilang selamanya dari duniaku. Masih banyak yang ingin kutanyakan padamu, kita lakukan bersama, dan ... dan ...." Tak mampu kulanjutkan sisa kalimatku.

Tolong ... jangan menangis di sini. Tidak hari ini, Nadir.

Tangannya mengusap punggungku, balas mendekap erat tubuhku. "Seandainya aku bisa, Nadir, aku pun tak mau." Suaranya tepat di sebelah telingaku. Atau mungkin hanya dalam angan-angan kepala saja.

Semakin erat pelukanku, semakin tak rela kulepaskan dirinya pergi, semakin sakit pula hati ini.

"Kalau kisah hidup kita adalah cerita," Kusaksikan tubuhnya kian memudar, pecah menjadi keping-keping cahaya yang buyar di udara. "aku akan memilihmu menjadi akhirku yang paling bahagia, Nadir."

Kalimatnya membuatku mengulas senyum lebar di pundaknya. Air mataku merembes melalui celah-celah sudut mata. Aku terkekeh, merasakan lenyapnya materi yang menahan tanganku di punggungnya. "Terima kasih," kataku terisak.

Terima kasih sudah memanusiakanku. Untuk semua petualangan yang kau beri. Untuk semua lagu dan puisi yang kau tulis. Untuk semua rasa perih yang kau sembunyikan dalam gurat tawa tiap kita bersama.

Pada akhirnya, semua yang datang harus pergi. Itu sudah kodrat alam. Candala pun demikan. Berderingnya ponselku menjadi akhir perjalanan kami. Candala sungguhan lenyap tak berbekas. Atau dirinya memang tak di sini sejak awal. Abidine dan yang lain menyusul turun, lantas sepupuku memelukku erat.

"Maaf, Nad. Maaf," katanya sambil memelukku erat. "Aku menyembunyikan sesuatu. Tentang kau dan semua masa lalu kita."

Aku merelakan Candala pergi. Sekuat apapun aku menangisi anak itu, dia takkan kembali. Kalian mungkin bertanya-tanya ke mana sebenarnya anak itu pergi, karena hanya melihat dari sudut pandangku. Karena itu, mari dengarkan teman-temanku yang bercerita dari sudut pandangnya.

Abidine mengawalinya dengan ribuan permintaan maaf, kemudian lari ke masa lalu. Kalian bisa melihatnya di bagian ke-sebelas, di mana aku bisa melihat sosok nenekku yang sudah meninggal lima tahun lalu. Abidine menjelaskan, bahwa aku memiliki kelebihan seperti itu sejak lahir. Saat aku bicara dengan kucingku, Hiro, yang sudah mati, berlagak melihat bahkan mengelusnya. Semua itu karena otak imajinasi, kalian bisa melihatnya di bagian ke-sebelas juga, aku sudah membahasnya di sana.

Temanku yang lain menambahkan, bahwa aku mulai terlihat aneh setelah ledakan di lab kimia itu. Mereka melihatku tersenyum saat dokter menyatakan Candala meninggal dunia tepat di sebelah dipanku. Aku terus menganggap Candala ada, padahal nyatanya aku hanya bicara sendiri.

"Kami menyembunyikannya darimu, karena tidak ingin kau sakit hati."

Alasan mengapa mereka semua diam saat kutanya di mana Candala. Alasan mengapa Jamal tak menjelaskannya pada Ayah waktu kami di rumah sakit. "Candala pernah bilang padaku," kata Jamal, "akan lebih baik kalau kau tahu sendirinya."

Mereka semua sudah tahu tentang ini, dan memilih merahasiakannya atas keinginan Candala. Dia tahu aku bisa melihat sosok yang sudah tiada, dan kalau itu berarti kami bisa bersama, meski hanya sedikit lebih lama, dia akan mencoba.

Nyatanya, aku tetap harus merelakan anak itu pergi. Semua kisah yang sudah terjadi setahun terakhir akan tetap ada di jurnal ini. Semua rahasia yang hanya kita yang tahu, tempat-tempat ajaib, petualangan serta anomali yang kami alami, mungkin akan berakhir di sini.

Satu yang pasti kudapat darinya. Berteman dengan seorang seniman akan membuatmu abadi.

Pun raga kita nestapa
Kisahku mencarimu tetap ada
Hingga waktu berkata
Kisah kalian sampai di sini saja.

Setidaknya, aku lebih tenang. Aku tak diawang-awang hadirmu antara ada dan tiada. Kini, mungkin saat yang tepat merelakanmu pergi.

:.:.:

Terima kasih sudah bersama Candala hingga akhir

Epilog akan dipublish nanti malam
18 Agustus 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top