Dua Puluh Satu ☁️ Reaksi Kimia

Hidupku benar-benar berubah. Dua minggu berturut-turut setelah kematiannya, ibu tak pernah absen mengunjungi mimpiku. Aku selalu bangun di sepertiga malam dan menangis sesenggukan di kamar sampai ayah datang dan memelukku layaknya anak sepuluh tahun.

Di dalam mimpi, wanita itu berulang kali meminta maaf padaku, sebelum akhirnya mati dengan cara yang berbeda-beda. Pada hari pertama, aku mimpi sedang berdiri di depan rumah. Dari sudut pandang lain, aku melihat diriku sendiri sedang melamun, kemudian ibu keluar dari rumah sambil menjerit-jerit tidak jelas. Cara berlarinya mendadak jadi lambat, kemudian balok kayu besar menghantam kepalanya dari belakang.

Yang membuatku menangis, adalah diriku di sana hanya berdiam diri tanpa bisa menggerakkan satu pun bagian tubuh. Padahal, hatiku menjerit tak keruan di dalam, meronta-ronta minta posisi kami ditukar saja.

Hari-hari berikutnya datang kematian dengan cara yang lebih mengenaskan. Rumah kami terbakar, ibu mengejarku tanpa kepala, kami berada di ujung dunia, sampai adegan paling realistis di mana kejadiannya persis dengan cerita Pak RT. Ibu selalu tersenyum kepadaku, sesaat sebelum ruhnya melanting dari badan.

Sampai sekarang aku terus berharap arwah ibu akan muncul di depanku, sama seperti kucing kami Hero dan nenekku. Aku terus berandai-andai wanita itu membangunkanku pagi-pagi untuk berangkat sekolah, tetapi lagi-lagi aku ditampar realita. Ibuku sudah tiada.

Pada akhirnya, aku hanya menangis sendirian di kamar sambil menggigit bibir meredam jeritan tak tertahan. Seberapa kuat kutahan isakan, ayah akan mendengarnya dan berderap ke kamarku. Ayah tidak langsung memindahkan barang-barangku ke rumahnya pada malam kematian ibu. Kami pelan-pelan membawa beberapa di kemudian hari. Sekarang aku tinggal bersamanya lagi. Tanpa ibu.

Sehari setelah kematiannya, ditemani Candala aku mengambil sisa barang di kamarku. Diam-diam kucuri kesempatan untuk masuk ke kamar ibu dan mencari beberapa petunjuk lagi. Apapun itu tentu akan berharga. Lima belas menit berkutat, tak kutemukan apapun di sana selain surat tanah, buku nikah, dan dokumen pribadi. Tidak ada hal yang berkaitan dengan kode, brankas, atau tahun lahir ibu.

"Kangen?" Dala menghampiriku setelah kuizinkan berkeliling rumah.

Baru ditinggal sehari, rasanya sudah lama sekali aku jauh dari ibu-meski memang demikian kenyataannya. Kuhela napas panjang, menghirup dalam-dalam wangi khas ruang tengah sebelum benar-benar tak ke mari lagi.

Semalam ayah bilang kalau rumah ini bakal dipindahtangankan pada adik perempuan ibu. Jadi, kalau aku ke sini lagi, tentu suasananya jauh berbeda. Walau belum tahu kapan rencananya mereka akan merombak bagian dalam rumah, sampai saat itu terjadi aku berencana mampir ke sini setiap hari.

"Mau minum dulu?" tawarku melewatinya dan melenggang ke dapur. Langsung terbayang di benakku bagaimana David memukul ibu dengan teflon yang mungkin sudah diamankan. Aku menggeleng cepat, mengusir pikiran negatif itu. "Bantuin ngabisin galon, biar nggak mubazir."

Candala mengangguk saja, duduk di meja makan dan mengamati sekeliling lagi. "Rumah ayahmu dari sini lumayan jauh. Ntar kuanter aja, ya?"

Aku mengangguk dengan senang hati. "Makasih, aku males jalan jauh-jauh." Isi kulkas masih sama seperti sebelum kami liburan ke Jogja. "Ada sirup, apel, sama alpukat. Mau apa?"

"Mau kau aja, deh," katanya santai sambil menenggelamkan wajahnya di taplak meja.

"Bukan untuk dijual," jawabku iseng, mengambil dua buah berbeda dan mencampakkan sirup. "Om-om polisi bersih, ya, kalo ngepel." Kuperhatikan benar-benar ubin keramik yang mengkilap. Wangi stroberi, pembersih lantai kami.

Dala ikut melongok ke bawah. "Tapi nggak mereka sapu," keluhnya sebelum membalikkan kepala membelakangiku. "Liat noh di bawah kitchen set, masih ada yang nyangkut."

Kuikuti telunjuknya mengarah. Memang benar ada sesuatu yang menyangkut di sana, mempersulit bagiku untuk membuka laci di atasnya. "Apaan?" desisku pelan. Sebelumnya tak ada di sini, 'kan?

Penasaran, kutarik benda pipih itu pelan-pelan. Lebih sulit dari dugaanku, benda ini apaan, dah?

"Bisa, nggak?" Akhirnya Dala turun tangan membantuku mengambilnya. "Susah, bah. Kau ada obeng?"

Setengah jam berlalu, kami melupakan apel dan alpukat, memilih penasaran pada benda itu. Siapa tahu ini black card punya David, kan lumayan buat jajan.

Seberapa kuat kami mengangkat laci di atasnya, membengkokkan kayu bagian bawah, benda itu tetap saja tidak mau keluar dari sana. Sialan, aku dan Dala hanya buang-buang waktu di sini!

"Pulang aja yok!" geramku kesal. "Tinggal aja, bah! Kesel aku."

:.:.:

Selalu begitu. Dua minggu aku mencobanya. Tidak ada perubahan berarti. Pun kamar ibu. Aku benar-benar buntu dengan angka kelahiran ibu itu. Padahal, sekolahku sedang dalam masa sibuk-sibuknya ulangan harian.

Sekolah tidak membicarakan tentang ibuku, mereka memutuskan menutupinya demi kebaikan bersama, dan aku senang tidak mendapat tatapan iba dari banyak orang. Tahun keduaku di SMA tak jauh berbeda dari setahun lalu.

Di semester empat, praktek jauh lebih banyak dari sebelumnya. Aku sering bolak-balik antara kelas dan lab kimia. Tugasku juga semakin banyak dari tiga semester lain, sampai Candala bilang aku jadi pendiam lagi.

Mungkin dia benar. Aku menjauhi Bila, menolak ajakannya, tak mengindahkan Taufan dan Giam lagi, bahkan terang-terangan melotot pada Jamal yang kerap mengajakku by one ulangan fisika. Kepalaku dipenuhi rumus dari masing-masing mata pelajaran.

Aku banyak menyendiri, kalau ada waktu luang maka akan kuhabiskan untuk tidur di kelas. Bibirku enggan bergerak kalau seseorang menegur atau bertanya yang tidak perlu. Hanya dehaman yang keluar dari pita suaraku, atau sekadar mengarahkan telunjuk.

Ada alasan lain mengapa aku malas membuka mulut. Yang pertama, bibir dan lidahku sariawan. Sejak sering menahan tangis dengan menggigit bagian dalam mulut, radang-radang itu datang sendirinya usai darah mengering. Kedua, otot wajahku seakan kaku. Menangis tiap malam selama dua minggu ternyata sangat melelahkan. Bila pernah sekali menegurku kenapa ada kantung mata di sana. Terakhir ... karena aku malas. Itu saja.

Akhirnya! Kutarik napas dalam, mengembuskannya sedikit-sedikit, kemudian menerawang sunyinya sekitar. Setelah semua masalah di awal tahun ... hidupku yang tenang akhirnya kembali.

Kelas masih sepi, aku sengaja berangkat pagi untuk menikmati embun sebelum enam manusia lain datang dan harus berbagi oksigen denganku. Mulai hari ini, aku harus bisa lepas dari bayang-bayang masa lalu. Termasuk kematian ibu. Aku memutuskan tidak mengurusinya lagi.

Sejatinya, semua masalah yang datang padaku enam bulan terakhir adalah murni kesalahanku. Sebab aku mendadak membuka mulut dan memberanikan diri melihat dunia luar lebih luas. Seharusnya aku tetap diam, melakukan semuanya sembunyi-sembunyi seperti yang sejak dulu kulakukan.

Masih hanya dengan Candala, aku berani mengungkapkan segalanya tanpa harus menutup-nutupi. Itu orangnya barusan masuk ke kelas dan tersenyum padaku-astaga senyumnya menawan sekali.

Cowok itu meletakkan tasnya di depan mejaku, kemudian mengangkat dagu, tanda kalau dia bertanya ada apa dengan diriku. Bibirnya juga tidak mau terbuka, mungkin dia ingin kami bicara seimbang tanpa suara.

Aku menggeleng, membuang muka ke arah lain. Benakku berputar, dan diriku seolah mendapat dejavu yang memorinya sama seperti awal Januari. "Nggak papa," lafalku pada akhirnya. Aku tidak mau kejadian serupa terjadi lagi dan mengulang dari awal.

"Udah kimia?"

"Udah." Aku diam sejenak. "Mau liat?"

Candala menggeleng. "Nanti praktek. Bawa jas lab?"

Kuacungkan ibu jariku sejajar dengan wajahnya. "Aman."

Setelah ini, aku tidak mau terlibat hal-hal merepotkan lagi seperti tahun sebelumnya. Mau itu pertengkaran dengan kakak kelas, tawuran sama anak SMK, atau Olimpiade Sains Nasional. Sebentar lagi kelas 12, dan aku mau menikmati masa-masa terakhirku di SMA. Dengan tenang. Tanpa masalah. Sebab September nanti kami resmi jadi anak tahun ajaran terakhir, dan selesai sekolah bulan Februari, kemudian lulus secara sah pada bulan Mei.

"Nanti pulang main, yok?" ajaknya, mengeluarkan jas lab.

Kimia menjadi jadwal pertama hari ini, dan kami diminta langsung ke lab setelah bel teriak. Di semester keempat, seharusnya sudah tidak ada praktikum kimia lagi, tetapi guru baru yang mengajar kami tetap ngotot minta nilai praktek. Bukan masalah buatku yang suka main ke lab.

"Aku mau pulang aja," tolakku, ikut mengeluarkan jas lab saat Abidine dan Giam datang. "Oh iya, Giam. Nanti kau dipanggil Pak Faruq di kantornya pas istirahat pertama."

Anak itu mengangguk, menghempaskan tas setubuh-tubuhnya. "Yoi, makasih, Nad."

Ada urusan apa? Aku tidak tahu dan tidak mau ikut campur. Wali kelas kami hanya titip pesan demikian saat aku melintasi gerbang utama.

Kurang lebih dua setengah bulan sejak penerimaan peserta didik baru, dan Candala sudah tenar luar biasa di sekolah. Para adik kelas menggandrunginya ke mana-mana tak tahu malu. Namun, begitu aku berjalan di sisinya, semua kepala itu menunduk dan hanya mengeluarkan suara mendesis. Itu membuatku senang, seakan Candala hanya milikku seorang.

Lelaki itu hanya mau membuka suara pada kelas kami saja, lebih sering padaku. Selebihnya, dia memilih diam dan melenggang tanpa mengucap kata dengan pandangan jengah. Alih-alih mundur, cewek-cewek itu malah semakin gemas dan berusaha mendekatinya. Seperti pagi ini.

"Nad." Anak itu menghampiriku usai memasang jas putih dan menunggu teman-teman yang lain keluar lebih dulu menuju laboratorium kimia. "Bareng."

Awalnya aku mengangkat alis, pura-pura tidak tahu apa yang dia mau. Kemudian dia memasang wajah memelas sambil menyatukan kedua telapaknya di depan dada.

"Plis, mereka godain aku terus."

Tawaku nyaris meledak sewaktu Candala merengek padaku macam anak kecil yang kacamata kerennya jatuh di jalan. "Apaan? Padahal kau jago taekwondo. Masa bela diri sendiri nggak bisa?"

Candala menghela napas berat, berlutut di lorong mejaku. "Aku bingung gimana cara mukul cewek." Tangannya menarik milikku yang barusan selesai melesat di jas putih. "Atau kau rela aku dipegang-pegang cewek-cewek itu?"

Meh, tidak mungkin. Candala mana mau disentuh perempuan. Dipeluk Bila dari depan saja dia lari menghindar, apalagi cewek nggak dikenal.

"Malah pacaran, cepet ke lab, woi!" Kepala Jamal nongol dari ujung ambang jendela.

"Dahlah, ayok!" Dala tiba-tiba bangkit dan menarik tanganku yang masih dalam genggamannya.

Itu tadi cuma ngeles ala-ala saja. Sebenarnya dengan senang hati aku mau jalan di sebelahnya seperti sekarang. Ditambah lagi, tangannya tak mau melepasku. Di bawah tatapan adik kelas di koridor sekolah.

"Aku kangen dirimu yang berisik."

"Hah?" Aku bersumpah mendengarnya mendesis tadi, tetapi aku tak mampu mendengar jelas apa yang anak ini katakan. "Kau bilang apa tadi?"

Dala menggeleng sambil tersenyum. "Siapa yang ngomong sama kau?" Begitu matanya melirikku, pandanganku kabur ke arah lain. "Kok noleh? Ada apaan di belakang?" Dia ikut menoleh ke arah di mana pandanganku tertuju.

Refleks kulepaskan tangannya dan menangkup kedua pipi Dala. "Nggak ada! Dah, ayo ke lab!"

:.:.:

Kejadian yang sama terulang kembali saat kudapati kelima teman sekelasku mematung di depan pintu lab. Taufan tengah berusaha mencuri pandangan guru di dalam sana demi meminta penjelasan, sementara Bila langsung menggelayuti lenganku.

"Masa dipake lagi sama kelas dua belas!" adunya manja. Gadis itu menghentak-hentakkan kakinya kesal, menendang-nendang tidak jelas sebelum luluh bersimpuh di pelataran koridor.

Aku berdecak pelan, malas menanggapi sikapnya yang kekanak-kanakan. Kadang, ingin rasanya kucubit pantat anak itu dan meneriakinya bahwa kami sudah SMA. Jujur saja aku tidak suka dengan sikapnya yang seperti itu. Hanya saja, aku bukan mamanya. Jadi tak ada kewajibanku memarahinya.

Beberapa menit berlalu. Jempol Jamal dan Giam sudah terlibat pertarungan sengit di atas arena panco ibu jari. Taufan tak kunjung mendapat lirikan mata sama sekali dari guru kimia yang mengajar di dalam, sampai Abidine membuka pintu blak-blakan.

"Assalamualaikum— lho, bukan kelas aksel, ya?" Matanya bergerak singkat, lalu nyengir sambil minta maaf pada guru yang sedang mengajar. Itu hanya sandiwaranya agar guru terpancing.

"Maaf, ibu ambil ruangannya. Kata Bu Nana kalian ambil di lab lama." Tuh, 'kan. Rencana Abidine langsung membuahkan hasil.

Lagi-lagi, Bila mengeluh sambil menggandrungi tanganku. "Ih, di sana tuh jorok, tau. Lagian kenapa ada kelas dua belas di sini, sih?" Bibirnya manyun, minta dibuang ke jembatan Ancol. "Perasaan masih semester awal buat kelas reguler."

Tak kutanggapi dirinya dan balik badan menyusul yang lain berjalan lebih dulu. Moodku sedang tidak baik untuk menghadapinya. Kalau aku membuka suara, bisa-bisa nanti salah ucap, terus malah menyesal.

"Nad, ntar semeja, ya?"

Kami tidak naik ke lantai atas lewat tangga keramat. Taufan sebagai orang yang berjalan paling depan memilih jalan memutar ketimbang melewati kantin dan kelas IPS. Rumor tentang tangga itu selalu menyebar dengan cepat. Terbukti sebab tidak ada anak kelas sepuluh yang melewatinya sampai sekarang—saat itu aku benar-benar anak paling bodoh amat karena nekat menaiki tangga itu sendirian.

Tangga ini salah satu penyebab diriku kesulitan mendapat teman, sisanya murni karena aku tidak mau punya teman. Itu sudah setahun yang lalu, sekarang tidak seperti itu lagi.

"Aku masih nggak ngerti sama asam basa. Ajarin, ya?"

Cuma perasaanku saja, atau sejak dua minggu lalu aku tak lagi semangat ke sekolah? Mendadak aku jenuh dengan pelajaran sampai malas by one fisika sama Jamal. Perasaan labil terus mengikutiku ke mana pun. Kadang aku merasa semua ini tidak berguna.

Pikiranku seakan terbang ke zaman sebelum RA Kartini tenar, di mana semua pikiran masyarakat masih beranggapan bahwa semua perempuan akan berakhir di dapur. Buat apa belajar tinggi-tinggi kalau akhirnya nurut suami dan di rumah saja?

"Ayo masuk, Nad!"

Debu memang memelukku saat pintu dibuka, tetapi pikiranku masih terawang-awang berusaha melupakan kekesalan pada Bila yang masih menempel padaku. Aku harus memikirkan hal yang lain agar diriku tidak kelepasan marah padanya.

Pilihan jurusanku untuk kuliah nanti ada banyak. Aku bisa masuk jurusan seni rupa di Institut Seni Indonesia di Jogja, menekuni hobi dan pekerjaan yang kusenangi. Atau memilih fakultas kedokteran, mengemban amanah dari apa yang kuucapkan pada Bilqis waktu itu. Terakhir, masuk jurusan sastra, melanjutkan hobiku menulis jurnal ini, dan membaca banyak buku seperti impianku waktu masih SMP.

"Ini asamnya dipanasin dulu kan ya?"

Abaikan, dia seharusnya bisa berpikir sendiri! Ngomong-ngomong soal Bilqis, dia mengirimiku surel pada hari kematian ibu. Katanya, dia turut berdukacita. Entah bagaimana aku percaya kata-kata dalam pesannya itu mewakili perasaan sesungguhnya dari seorang Bilqis. Di rumah, mungkin dia yang paling dekat dengan ibu, bahkan melebihi anak kandungnya. Aku sering menangkap basah mereka sedang bicara serius di meja makan. Kalau malam, dan David belum pulang, Bilqis sering ke kamar ibu entah apa yang mereka lakukan berdua di sana.

Tentang kamar ibu ... dan kode di balik pigura. Apa sebaiknya aku tanyakan pada Bilqis saja?

"Nadir!"

"Apa?!" Nada suaraku meninggi. Sontak mataku membulat pada Bila yang memanggil namaku keras-keras. "Tidak bisakah kau lakukan sendiri?!" Rahangku mengeras, geram sendiri lantaran sejak tadi anak ini terus menarik-narik jas labku.

Seisi kelas menoleh padaku, aku tidak peduli. Dadaku tengah dipenuhi kemarahan.

"Kau kudu bisa sendiri, kenapa semua-muanya tanya mulu?! Gimana coba caramu masih di kelas akselerasi?!" Kupukul meja dengan sebelah tangan, menggerakkan tabung reaksi yang memanas di atas api alkohol. "Berhenti bersikap seperti anak-anak, kita sudah SMA. Kau harusnya tau, itu kebutuhanmu sendiri. Mana bisa selamanya kau mengandalkan orang lain!" Kurasakan pipiku memanas.

"Nad? Udah." Seseorang mengelus bahuku, tetapi dengan mudahnya kutepis.

Telunjukku menuding wajahnya dari jarak tiga meter. "Tolong kau sadar sendiri. Kadang aku juga capek punya temen kayak dirimu!"

Hening. Suara denting-denting kaca yang bersinggungan mendadak hilang di pendengaranku.

"Udah, hei?" Dala meraihku dalam ceruk lengannya, menghalangiku dari Bila. "Kenapa pula kau emosi?"

Aku diam beberapa saat kala didorong mundur selangkah dari Bila. Keningku melunak, baru sadar semua yang kukatakan barusan benar-benar membuat gadis di depanku melongo tidak percaya.

Netraku berpendar cepat melihat sekitar. Masih tidak ada Bu Nana, sementara kelima teman laki-lakiku hanya menunduk atau membuang pandang setelah mendengarku berseru.

"Bila?" ucapku tanpa sadar. "Maaf ... maaf aku—"

"Nggak papa," sanggahnya sambil menyinggung senyum selebar mungkin. "Kau cuma perlu jujur buatku." Matanya tidak bisa dibohongi, dia berkaca-kaca sambil meremas buku jari. "Dan aku nggak bakal ganggu lagi, Nad."

Aku benar-benar tidak mengira takdir mengabulkan ucapan terakhir Bila.

Asap mengepul perlahan dari tabung reaksi yang dikerjakannya. Kian menjadi setelah kami menyadari perubahan pada senyawa di dalamnya. Tiap detik asap membumbung semakin banyak sampai menyelimuti kami.

"Matikan apinya!"

Sebelum aku sempat lepas dari dekapan Dala dan meraih Bila yang paling dekat dengan tabung reaksi, segalanya berakhir. Hidupku, mimpi-mimpi kami, dan dunia kecil yang sudah kami bangun.

Dentuman keras menampar kami semua. Lantai yang kupijak bergetar hebat. Aku terpental jauh ke ambang pintu lab, lepas dari naungan Dala, mendarat kasar dengan punggung. Sekitarku hanya asap, masuk ke sela hidung dan membuat paru-paruku sesak. Lenganku menghantam sesuatu, entah apa yang jelas cukup membuatku merintih sakit.

Aku terbatuk berulang kali, mencoba bangkit setelah mendengar samar suara orang-orang berdatangan. Bila, di mana anak itu?! Seberapa kuatnya aku mencoba bangkit, sesuatu seakan menahanku.

"Nadir?!"

Suara Candala! "Dala? Kau di mana?" Aku celingukan mencari keberadaannya. Sampai sebuah tangan menarikku keluar dari lebatnya asap. Kudongakkan kepalaku demi menatapnya. "Kepalamu!"

Darah mengalir dari pelipis Dala hingga ke rahang. Dia menyentuhnya sekilas dengan tangan yang masih dibalut sarung tangan karet. "Perih doang. Bila mana?!" Kami menepi ke tangga, berpegang pada dinding agar tidak limbung.

Guru-guru segera berdatangan, berseru agar siswa yang lain tidak mendekat. Suasana menjadi tidak terkendali ketika salah satu guru laki-laki berteriak untuk segera memanggilkan ambulans.

Napasku sesak lagi, seakan ada gumpalan besar yang masuk ke dalam dada begitu saja. Kurasakan pijakan di bawahku luluh. Perlahan pandanganku mengabur, Candala seolah ada tiga di mataku.

"Nadir!" Tubuhnya maju.

Mataku tertutup sempurna. Napasku terhenti sejenak. Tubuh ini merasakan sensasi diambung ke awang-awang sebelum menabrak ubin dengan keras. Dengan sisa-sisa kewarasan di kepalaku, kubisiki diriku berulang kali untuk membuka mata dan bertahan.

Aku jatuh tersungkur, dan dunia kecil kami runtuh di bawah kakiku.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top