Dua Puluh Lima (IV) 🌫️ Akhir dan Awal Kita
Ada yang hilang dari dadaku.
Secuil rasa geram dan rasa sakit hati. Dan ternyata selama ini, yang kubutuhkan hanyalah menangis di bawah lebatnya hujan, di bawah sirine riuh merah biru. Dengan bibir dan lengan kiri yang merekah merah tumpah ruah. Diksiku kelewatan, tetapi percayalah rasa sakitnya lebih dari diksiku yang dilebih-lebihkan.
Gagal pingsan, aku masih sadar saat darah bercucuran dari lengan kiriku meski Jamal sudah mengikatnya dengan gelang-gelang miliknya—yang baru kali ini berguna sejak kusebutkan di chapter dua. Kesadaranku hanya lenyap sebentar, mungkin saat dia membawaku dari koridor kamar mandi ke gerbang utama SMA.
Tubuhku benar-benar lemas. Giam membantuku melepas ikatan di kedua tangan dan kaki setelah menyeret tubuh Dila yang lemas—aku nyaris tak percaya anak itu bisa menotok orang.
Pandanganku tidak jelas. Antara rintik hujan atau derai yang belum jatuh, dua-duanya menumpuk di pelupuk. Hanya besar kecilnya cahaya yang bisa kubedakan. Lebih gelap saat kami berada di tempat awal ketimbang sekarang.
Suasana benar-benar kacau. Kami—hanya Jamal dan Giam, sih—tidak bisa mencegah para guru untuk mengetahui keberadaanku. Seandainya aku bisa berdiri dan memalingkan wajah ke arah lain saat diajak bicara di pos depan, mungkin kami masih bisa lolos dan ke rumah sakit dengan damai. Namun, kenyataannya lain.
Pak Faruq keburu mendapatiku dibopong Jamal ala bridal style dengan tampang compang-camping, badan bau bensin, dan rambut gimbal berpotongan tak keruan. Jamal tak mungkin menutupi tubuhku terang-terangan, atau gosip lain akan beredar di kalangan guru. Itu belum seberapa, lebih parah lagi saat Pak Kasman yang mendapatiku mandi darah. Beliau marah luar biasa setelah mendapati tiga siswinya teler ditotok Giam.
Guru-guru perempuan panik, mengambilkan handuk dari UKS sembari menunggu ambulans datang. Sisanya berusaha tidak menimbulkan keributan berlebih, sebab masih ada beberapa anak OSIS dan kelasnya Giam yang masih berada di lingkungan sekolah.
Sedikit menyenangkan melihat mereka bekerja sementara aku rebahan dalam pangkuan Bu Endang—beliau guru bimbingan konseling kalau kalian lupa. Wanita itu paham kondisi dan tidak menanyaiku macam-macam. Wajahnya menunduk, memperhatikan sejenak sembari mengusap wajahku, sebelum berbisik bahwa semuanya bakal baik-baik saja. Padahal dia tahu kenyataannya tidak seperti itu.
Aku kehilangan banyak darah dalam perjalanan ke rumah sakit. Nadiku nyaris teriris setengahnya, itulah yang membuat halaman sekolah digenangi beberapa hemoglobin. Beruntung, hujan datang di saat yang tepat dan menghilangkan jejak kelabu hari itu.
Wali kelasku segera menghubungi ayah, tetapi panggilannya tidak mau tersambung. Maka Pak Faruq mengambil keputusan cepat untuk menanganiku lebih dulu. Kami berlima naik ambulans sepuluh menit kemudian. Tiga perempuan setan itu ditinggal di UKS, dijaga guru-guru perempuan. Jamal dan Giam ikut bersama Bu Endang. Mereka berempat berdiskusi mengelilingiku dan ponselku.
Pihak sekolah cepat mengurus surat tendang siswa setelah Giam menyerahkan ponselku yang merekam semuanya. Kalian seharusnya tahu aku tidak sebodoh itu membiarkan Rachel menghabisiku dengan mudah. Inilah bentuk balas dendamku, meski harus mengorbankan banyak darah sungguhan, aku puas.
Ini bukan pengalaman pertamaku di rumah sakit, tetapi aku akan dengan bangga menulisnya di jurnal. Dokter di UGD ketar-ketir mendapat pasien sepertiku—yang badannya luka-luka, disiram bensin pula. Mereka lekas membersihkanku, memberi infus, kantong darah, dan bius total untuk menjahit sayatan panjang di lengan kiriku.
Pada menit pertama, aku seolah masih bisa merasakan jarum itu membelah kulitku. Selebihnya, aku tidak ingat lagi. Begitu sadar, rahangku kaku dan telapak tanganku hangat. Ayah di sana, menemaniku dari satu sisi dipan. Genggaman tangan Ayah tak kunjung melonggar sejak ba'da isya, menandakan pria itu terjaga seutuhnya walau kepala bermahkota klimis itu menunduk dalam lipatan tangan.
"Kau kuat, Bung," komentar Jamal, mengepalkan tangannya dari sisi dipan yang berlawanan dengan ayah. Giam di belakangnya, tersenyum simpul memberiku semangat.
Nyawaku masih di ambang ada dan tiada, mata pun masih sayup-sayup terpejam saat Taufan, Candala, dan Abidine datang dengan sekoper baju. Sepupuku tampak menahan napas saat berdiri berhadapan dengan kakiku. Tangannya mengepal, kemudian luluh menundukkan kepala sambil meremas rambut depannya kasar.
Telapak tanganku bergerak pelan. Ayah mengangkat kepalanya dan melepasku demi mengusap mata di balik bingkai transparannya. "Bi, sama siapa ke sini?" Diliriknya Abidine, kemudian menyambut uluran koper dari tangan keponakannya.
"Sama Taufan, berdua aja. Ayah lagi di lokasi, ibuku juga masih kerja, besok baru bisa jenguk." Matanya kembali melirikku sayu, kemudian tersenyum tipis. Mampu kulihat sebuah rasa sakit hati dalam ekspresinya. "Gila kau, Nad."
"Kau yang gila." Taufan menempeleng kepala Abidine sampai seisi ruangan menggaungkan suara renyahnya. "Sodara sendiri dikatain gila pas lagi sakit. Gendeng."
Ayah terkekeh geli, meletakkan koper di antara nakas dan dipan. "Saya heran kalian betah sama Abidine." Seberapa kuat pun Ayah mengalihkan pikiran dari kondisiku, netranya selalu berakhir menatapku iba dan tak mampu dibohongi. "Udah pada tau kalo Abidine sama Nadir sepupuan?"
Giam mengangkat bahunya dari belakang Jamal. "Mau gimana lagi, Om. Sepupunya Nadir posesif banget. Saya aja sering dipelototin."
Mereka asik bertukar suara saat aku masih berusaha mengumpulkan kesadaran. Yang jelas, Ayah berterima kasih banyak pada Jamal dan Giam sebab sudah menemukanku. Aku tak tahu sudah berapa menit sejak adzan isya selesai—hanya suara itu yang terdengar jelas di telingaku saat bangun.
Teman-teman sekelasku, di tambah Giam, terpaksa keluar ruangan setelah Pak Faruq mengetuk pintu kaca nir transparan. Kepala beliau melongok beserta kacamata bulat Harry Potter-nya. Kupikir hanya wali kelasku saja yang akan menjenguk, ternyata Pak Kasman dan Bu Endang mengekor di belakangnya.
Ruangan kelas II BPJS milikku sendiri, tidak dicampur dengan pasien lain seperti saat kejadian lab kimia. Ayah bisa dengan bebas berbincang dengan guru-guruku di satu sofa panjang.
Aku masih lumayan lemas saat itu, tetapi sudah jauh lebih sadar dan mampu mendengarkan mereka dengan jelas. Rachel, Dila, dan Abel—si Behel—resmi dikeluarkan dari sekolah. Ketiganya sudah sadar dari pengaruh totokan Giam saat aku dijahit.
Kudengar, ada yang menyebarkan video pembullyan-ku ke media sosial. Dan kini, seperti rencanaku, Rachel dan teman-temannya dijatuhi hukuman penjara. Maksimal lima tahun di balik jeruji besi, atau denda seratus juta rupiah. Aku puas, sangat puas. Sampai kemudian tiga guru itu curiga kalau Jamal dan Giam yang menyebarkannya untuk pencemaran nama baik.
"Maaf, Pak," lirihku mencoba bangun dengan tangan kanan. "Boleh saya lihat akun mana yang mengunggahnya?" Suaraku memang tak begitu kencang dan jelas terdengar, tetapi aku harus membuat pembetulan agar kasus ini cepat selesai.
Ayah langsung berderap memapahku untuk duduk yang sopan menghadap mereka. "Nggak usah dipaksa kalo bibirnya sakit."
Namun, aku menggeleng dan menerima tawaran ponsel dari Pak Faruq. "Maaf, video ini diunggah setengah jam lalu, bapak ibu sekalian. Waktu itu saya masih tepar di sini, Jamal sama Giam juga teler di sebelah sama ayah saya." Kukembalikan ponsel wali kelasku, mengambil napas dalam. Bicara dengan separuh bibir di-klem tidak semudah yang terlihat. "Bisa tanya Ayah saya kalau tidak percaya. Nggak ada yang pegang ponsel di sini setengah jam lalu."
Kening mereka mengernyit, terlebih Pak Kasman. Beliau mengangkat sebelah alisnya saat memandangku. "Kenapa Nadir diem aja waktu dibully?" Bu Endang melotot keberatan dan menyikut Pak Kasman, tetapi beliau segera mengangkat telapak tangannya. "Saya dan semua yang ada di sini perlu tahu."
Bukan masalah. "Siapa bilang saya diam saja? Tangan dan kaki saya diikat." Kuangkat tangan kananku yang sehat dengan memar merah di pergelangan. "Mereka cepat belajar tali-temali, ya."
"Kenapa nggak cerita sama saya, Nadir? Padahal saya sering bilang kalo ada apa-apa cepat bilang," sanggah Pak Faruq. "Sejak kapan kau dibully?" Wajahnya yang paling dalam menyiratkan rasa sakit hati. Mungkin, karena dia wali kelasku dan dia merasa lebih dekat denganku ketimbang guru yang lain.
"Sejak Candala masuk sekolah. Motifnya simpel; Kak Rachel cemburu lihat saya sering bareng Dala kalo ke Lab kimia." Sebisa mungkin kuhindari menjawab pertanyaannya yang pertama.
Bahunya tergerak maju, berusaha menahan diri untuk tidak melonjak dan berdiri. "Itu sudah lama, Nad. Hampir setahun!" seru Pak Faruq tak terima. "Kenapa nunggu sampai kejadian dulu, Nad?!"
Ayah dan dua guru lain ikut menatapku, meminta penjelasan.
Sial, padahal aku sengaja menghindar dari pertanyaan ini. "Saya pikir, kalau saya cuek aja, Kak Rachel bakal bosan sendiri. Saya juga nggak begitu peduli sama hal begituan—bapak tahu 'kan awalnya saya apatis? Bapak sendiri yang bilang demikian." Kuberi jeda pada diriku sejenak untuk mengambil napas dan merasakan pedihnya bibir kiriku. "Lagi pula, melaporkannya cuma menambah masalah. Saya nggak nyangka bakal jadi begini, tapi saya nggak bodoh biarin diri saya tanpa perlawanan. Jadi ponsel saya berguna sekali di kesempatan kali ini." Wahai, banyak sekali kata saya di satu paragraf ini.
Guru-guru SMA-ku masih menanyai beberapa hal kurang penting. Salah satunya joki tugas mereka bertiga yang kukerjakan—menambah poin plus mereka dikeluarkan dari sekolah. Sampai pintu kaca diketuk lagi.
Pasangan-pasangan suami istri berumur bergerombol membawa buket bunga, melongok setelah dipersilakan masuk oleh Ayah. Dilihat sekilas pun semua tahu mereka orang tua dari tiga anak yang sedang kami bicarakan.
Melihat kondisiku, salah satu ibu bersanggul elegan nyaris menjatuhkan rahangnya. Beliau cepat menangkup kedua tanganku sambil meminta maaf sebanyak-banyaknya—sampai aku muak mendengar ucapan yang itu-itu saja. Bukannya jahat, aku hanya tidak tahu harus bilang apa, makanya diam saja.
Iya, Tante. Nggak papa. Gundulmu nggak papa. Jelas darahku banyak yang terbuang sia-sia dan sekarang senyum pun aku tak bisa.
Kepala keluarganya berbincang dengan Ayah, memohon agar putri-putri mereka dibebaskan atau minimal diberi keringanan dari hukuman penjara. Pak Kasman hanya menyimak, tak bisa membantu apa-apa.
Inti dari kedatangan mereka kemari bukan untuk membesukku, tetapi minta keringanan. Itu saja, tidak usah mengelak. Jelas tidak akan kuberikan, enak saja. Bukan salahku kalau anakmu masuk penjara, itu jelas sepuluh miliar persen salah didikan orang tua. Makanya ngajarin anak yang bener.
Melihat Ayah yang tak tahu harus berbuat apa, lima belas menit kemudian mereka pamit pulang dengan alasan pekerjaan dan mengurus anak-anaknya. Pak Kasman dan Bu Endang juga harus pamit sebab malam semakin larut.
"Ayah juga harus balik," desahnya berdiri dari duduk sambil mengambil ancang-ancang pemanasan pinggang. "Mau dibawain apa besok pagi?"
"Buku gambar," kataku tanpa membuka bibir lebar, "sama kotak pensil Nadir."
Pria itu tersenyum tipis. Kerutan di belakang kacamatanya jadi tampak jelas. "Abidine nginep sini sama satu temenmu. Kalo ada apa-apa, ada cutter di nakas. Tusuk aja." Sekali gerakan, disambarnya jaket gelap dan kunci mobil dari kursi. "Tunggu, ya."
Aku mengangguk saja, membiarkannya berganti shift dengan Abidine. Mungkin teman Abidine yang dimaksud itu Candala, sebab anaknya nyelonong masuk dengan kemeja lengan pendek sesaat setelah Ayah menutup pintu.
"Yo."
Apa rambutku sudah rapi? Astaga aku belum bercermin lagi. Bibirku apa kabar ya? Aduh, masih bau bensin?
"Ngapain, sih, Nad? Kayak maling gitu mukamu?" Sebelah tangannya menggeret kursi, duduk menghadapku. "Maaf nggak sempet dateng waktu itu." Dala menunduk, memainkan jemari di atas pangkuan.
Eh? Mukaku kenapa? Sekarang, aku jadi bingung harus bilang apa padanya. "Mau gimana lagi. Udah lewat juga." Aku membuang pandang pada sekitar. Jendela gelap, meja pendek, vas, sisa-sisa buket bunga.
Kami membisu, seperti biasa. Menyisakan suara detik jam dan tetesan infus yang menggantung. Kupandangi saja helai rambutnya dari atas. Semakin panjang ... atau perasaanku saja?
Gemas. Aku gemas. Tangan kananku maju, mendarat di puncak kepalanya. Lembut dan lebat, mungkin telapak tanganku bisa lenyap di balik helainya—
"Ngapain?" Dia mendongak tiba-tiba.
Astaga! Buru-buru kutarik tanganku dan meremasnya sendiri. "Enggak." Aku mau lagi.
Kini, gantian anak itu yang tak lepas menatapku. "Kerasa, 'kan, bedanya waktu masih ada Bila."
Keningku langsung mengernyit. "Apa-apaan?"
"Seandainya ada Bila, mungkin lukamu nggak bakal separah ini."
"Iya, aku sadar." Tetapi sekarang bukan saatnya mengingat anak itu lagi. Aku tidak bisa terjebak di luka yang sama selamanya. "Bila sudah tiada, hadapilah itu."
"Bukan itu maksudku."
"Terus apa? Mau bikin aku nyesel karena marahan sama dia?" Kenapa aku jadi emosi begini? Dia terdiam sejenak, pun diriku sendiri. "Bibirku sakit. Jangan ajak aku ngomong—"
Pintu tersentak kena hantaman dari luar. "Punten, Mbak. Izin mulung." Rambut belah tengahnya yang khas bergerak kena desiran angin. "Saya bawa temen sepemulungan, mau ngungusi dari korban banjir air mata," kata Jamal menunjuk Abidine yang menggendong sekantong tisu.
Sepupuku masuk mengekor bersama dua orang lainnya. "Kau nggak tau, Mal. Darahnya Nadir tu darahku juga—"
Taufan cepat mengambil tisu lainnya dan menyumpalkan ke mulut Abidine sebelum dia melanjutkan kalimatnya. "Alay. Aku ogah denger kata-kata klise kayak gitu dari Abi. Bisa mabok tujuh hari tujuh malam aku."
"Sebenernya aku pengen nendang Abidine, tapi malem ini keknya aku bakal jadi kalem dulu." Giam muncul belakangan, menutup pintu pelan-pelan setelah pembukaan yang kurang lembut itu. "Kita ke sini mau bikin kontrak—"
"Mulai lagi anak orang," desah Taufan memijat pangkal hidungnya sebelum duduk lesehan di dekat Candala. "Kau jangan macem-macem sama anak orang, Gi. Aku dapat restu bapaknya Nadir buat nggebuk dirimu kalo terdesak."
Candala ikut ngemper di bawah, tidak enak hanya dirinya sendiri yang duduk di atas. Dia tetap menutup suaranya meski duduk paling belakang di antara mereka. "Kau harus belajar bersosialisasi, Nad," katanya tanpa suara. "Kumohon, terakhir kalinya."
Jamal berdeham pelan, duduk bersila seperti bapak-bapak pengajian. "Tujuan datangnya kami kemari, tak lain dan tak bukan adalah menawarkan perjanjian—"
Suara tamparan renyah dilayangkan Taufan dengan khidmat. Sementara Jamal mengaduh dan semua pasang mata di kamar inapku melotot, ketua kelas kami melanjutkan. "Ayahmu minta kita-kita buat jagain kau di sekolah. Emang keliatannya agak posesif, tapi ayahmu punya alasan tertentu—nanti dijelasin Jamal. Nah, kami minta kerja samanya, Nad."
Kutatap mereka satu persatu, lantas membuang napas panjang sambil melirik ke sudut ruangan yang kosong. Bukannya tidak mau. Aku cuma takut terlanjur nyaman berteman dengan mereka. Bila sewaktu-waktu ada kejadian yang sama hingga salah satu dari kami resign dari dunia duluan, sakit hati dan penyesalan itu yang tak bisa kutahan.
"Ayolah. Sampai kapan kau mau jadi serigala penyendiri?" desis Jamal. "Kau butuh teman lagi, dan sekarang nggak perlu repot-repot nyari orang lain. Udah ada empat pemulung yang siap nemenin. Tinggal bilang 'iya', sering-sering cerita, dan nongki sama kita. Simpel, 'kan? Nggak perlu bayar."
Padahal tidak lama lagi kami bakal lulus, dan berpisah di universitas masing-masing. Lantas buat apa pertemanan yang singkat ini?
"Kau nggak perlu khawatir kita bakal ngilang." Kali ini Giam yang angkat suara. "Nanti, mau nggak mau kita bakal sering ketemu, kok. Percaya, deh."
"Tau dari mana—"
Giam membekap mulut Taufan cepat-cepat. "Nah, sekarang gantian aku yang nganiaya kau." Seringai jahatnya terbit, mendekatkan wajah pada Taufan. "Canda aniaya."
"Diem aja, Nad?"
"Dia nggak bisa banyak ngomong, bego!" umpat Abidine, membuang ingusnya. "Peka dikit napa, dah. Bibirnya begitu mana bisa ditanyain." Dia menatapku dengan mata membulat. "Kan?"
Aku mengangkat alis. Terserahlah kalau begitu. Kami sudah berteman setahun, dua kali masuk rumah sakit bareng-bareng, teman macam apa lagi yang kuharapkan?
"Katanya 'oke'—nah, sekarang kalian keluar, aku mau me time sama sepupu tercinta," usir Abidine tanpa bergerak dari duduknya.
"Makasih," kataku lirih. "Aku nggak tau kudu ngomong apa lagi." Kulirik anak-anak itu, senyumnya terbit meski tipis-tipis.
"Bilang, makasih temen-temenku yang ganteng." Jamal mengedipkan sebelah matanya, kemudian beranjak berdiri, mengantar Dala, Giam, dan Taufan keluar.
"Jijik."
"Nah!" Tunjuk Abidine. "Itu tandanya Nadir dah sembuh."
Anak-anak pemulung itu pulang, melambaikan tangan padaku sambil melayangkan doa cepat sembuh. "Dadah, Nad! Ge we es, yo!" Kecuali Abidine dan Jamal. Sebentar ... kupikir Dala yang bakal tinggal?
Menyadari tatapanku yang melayangkan tanda tanya, Jamal tersenyum simpul. "Ada banyak yang harus dijelasin."
。 ☆ 。
Tentang bully dan pasal-pasalnya:
https://irmadevita.com/2020/bullying-dan-ancaman-hukumnya
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top