Dua Puluh Lima (II) ☁️ Teguran Walas

Kalau tahu kita akan berakhir seperti ini
Mungkin aku takkan berani
Mengenalmu lagi lain kali.

Aku hanya perlu bertahan sampai akhir Desember nanti. Setelah libur panjang akhir tahun, aku sudah memiliki cukup bukti rekam video dan gambar untuk melaporkannya.

Luka di pahaku baru benar-benar sembuh tanpa meninggalkan koreng dua minggu lalu. Meski demikian, ayah tetap mewanti-wanti diriku agar tetap mengenakan dalaman selutut, pun tak melepas kalung cutter ke mana-mana. Bukan masalah, lagi pula bentuk cutter yang baru ayah berikan lebih lucu—awan berwarna putih seukuran separuh genggaman tangan.

Kehidupan sekolah lamaku setaun yang lalu kembali. Aku sendiri yang memaksa diri untuk menjauh dari teman-teman sekelas. Jamal, Taufan, Abidine, bahkan Candala ketika di sekolah. Meski Rina kerap mengirimiku pesan, hanya sekadar bertukar kabar dan ucapan rindu. Kadang dia mengirimiku fotonya bersama Keenan dan Gosal di kelas mereka.

"Kita bakal pulang Februari. Tunggu, ya!"

Ada secuil rasa senang dan kupu-kupu yang terbang di perutku kala mendapat pesan itu di grup kelas. Selain almarhumah Bila dan Rina, aku benar-benar tak memiliki teman lagi. Gadis yang pernah satu SMP denganku sudah hilang entah ke mana kabarnya, mungkin sibuk dengan kawan baru.

Satu-satunya yang paling dekat, tetapi tidak bisa dianggap sebagai teman adalah Abidine. Dia sering mendekati mejaku kalau ada tugas kelompok, Jamal dan Taufan juga. Mereka bilang, sudah saatnya aku keluar dari stereotipe serigala penyendiri. Contohnya seperti saat ini. Senin pagi yang mendung, kelas akselarasi berangkat lebih awal dengan jantung berdebar menunggu wali kelas membawa setumpuk rapor semester lima kami.

Rasanya baru kemarin Giam dinyatakan lengser dari kursi aksel, dan hari ini kami sudah terima rapor lagi.

"Pada mau ambil di mana kalo lolos SNM?" Abi memecah hening di antara kami. Sadar kalau tidak akan ada yang memulai, bibirnya kembali terbuka. "Aku mungkin mau ambil teknik nuklir di ITB atau UGM—jangan diem aja, aku nggak ngomong sama tai."

Tiga lainnya termasuk aku masih bergeming, berpikir sejenak sebelum Taufan angkat bicara. "Aku mungkin tambang ... atau K3. Gajinya lumayan besar, dan pas banget banyak dibutuhkan perusahaan."

Benar juga. Selain memikirkan pekerjaan kedepannya, aku harus berpikir apakah jurusan itu mampu membangunku menjadi sosok manusia berguna untuk negara. Namun, tetap saja aku di ambang bimbang.

"Aku belum tau mau ambil apa," celetukku.

Semua memandangku dengan alis bertaut. Mungkin, di kepala mereka aku tampak seperti gadis yang memiliki rencana paling sempurna, tetapi sebenarnya tidak begitu. Ada banyak sekali yang harus dipertimbangkan saat mengambil keputusan agar tidak menyesal di kemudian hari.

Kusingkap helai rambut panjang yang menjuntai sampai paha—mungkin aku harus memotongnya setelah lulus. "Kalo Dala keknya udah pasti ambil seni di ISI," lirihku.

"Apa?" seru Jamal, minta pernyataanku diulang. "Kau ngomong tadi?"

Sejenak kulirik Dala yang bisu di tempatnya, kemudian menggeleng. "Enggak. Emang kau mau masuk mana?"

"Rahasia," jawabnya enteng, memainkan pulpen di antara jemari panjangnya. "Kalian bakal tau kalo udah saatnya, tenang aja."

Yang jelas, dia tidak akan mengambil jurusan yang sama dengan salah satu dari kami. Sekolah memang menyiapkan agar kami berpencar saat memilih PTN. Mungkin bertujuan agar tingkat diterimanya lebih besar.

Namun, apa harus sebegitunya Jamal menutupi jurusan yang bakal dia ambil? Maksudku, itu 'kan hal yang umum. Kenapa dia harus malu?

"Ah ga asik, Mal. Kasih tau aja sekarang." Abi bergelayut di bawah ketiak Jamal yang duduk di mejaku. "Jangan bilang kau ambil S3 tawuran?" Tangannya mengusap pinggang Jamal manja.

"Ish!" Gagang pulpennya tepat mengenai ubun-ubun Abi dengan keras, menyuruh anak itu berhenti bersikap demikian. "Yang bener aja." Jamal membuang pandang ke arah pintu, lantas melompat kala mendapati rambut klimis Pak Faruq timbul tenggelam dari jendela kelas. "Lagian taun ini aku nggak kuliah sama kalian. Ada pelatihan yang harus kuikuti dulu."

Mereka kembali ke tempat duduk masing-masing tanpa bertanya lagi apa maksud Jamal. Aku membuat gestur gelisah di atas pangkuan tangan. Sampai Pak Faruq menghela napasnya panjang sembari menautkan tangan di bawah jidat.

Kami diam, menunggu wali kelas membuka suara.

Meski sering mendapat bimbingan konseling tentang jurusan mana yang akan diambil setelah lulus SMA, aku sungguh-sungguh mengisi tiga kolom yang tersedia seakan bisa mengembat semua jurusan. Kolom pertama, yang paling atas, kuisi fakultas kedokteran dan forensik di Universitas Indonesia. Diikuti linguistik forensik, simpelnya bahasa dan sastra Indonesia di UGM. Terakhir, jurusan yang sama dengan Candala: seni rupa di Institut Seni Indonesia.

Ngomong-ngomong tentang dua kampus di Jogja, aku jadi menyesal tidak mengajak Pak Faruq jalan-jalan ke kampus waktu kami berkunjung ke sana.

"Kalian nunggu apa?" tanya beliau, mengangkat sebelah alis dengan tangan bersilang di depan dada. "Ambil rapotnya dan tentukan sendiri apa kalian layak lulus Februari nanti—kalian tahu kriteria lulusnya."

Jantungku berdebar tak keruan. Melompat-lompat di dalam rongga dada yang tiba-tiba terasa kosong melompong. Aku tidak tahu apakah wali kelas kami itu tengah marah atau bangga, raut wajahnya sama saja. Seharusnya baik-baik saja—

"Permisi, Pak." Taufan dengan sukarela maju ke depan dan mengambil keempat map biru gelap berisi nilai-nilai kami, kemudian membagikannya.

—dan memang baik-baik saja. Tatkala kami membuka rapot bersamaan, pria nyaris berkepala tiga itu tersenyum miring sambil menyipitkan matanya. Sungguh tanda yang sangat ingin kulihat satu semester terakhir.

Hitam. Semua angka dalam lembar nilaiku legam. Tanganku gemetaran sangking takutnya mendapat tinta merah padam. Benar-benar kutelaah tiap kolom, hanya demi memastikan tak ada nilai yang tenggelam.

Aku mendongak, menatap keempat temanku yang lain sedang senyum-senyum sendiri.

"Saya tunggu di semester terakhir," ujarnya mengangkat pantat dari singgasana. "Dan kau, Nadir. Saya mau dengar ceritamu setelah ini, jangan pulang dulu." Senyumnya merekah secerah mentari di tengah gerimis. Kemudian pria itu melambaikan tangan sambil berjalan santai keluar kelas.

Entah perasaanku saja, atau Pak Faruq tiba-tiba mirip James Bond? Maksudku, dengan seragam PNS hitam putih, rambut rapi, dan gaya bicaranya yang semi formal, juga gelar pendidikan terakhirnya. Wanita mana di luar sana yang tidak terpukau melihatnya? Oh, aku. Aku tidak termakan pesonanya yang luar biasa itu.

Namun, tetap saja. Seharusnya tidak hanya aku yang berpikir bahwa Pak Faruq adalah agen rahasia.

Baiklah, mungkin aku hanya mengarang.

:.:.:

"Lantas kau membela Rachel?" Tangannya bersedekap lagi, menaikkan setumpuk kakinya di ujung meja rendah dan bersandar pada sandaran kursi. "Saya muak sama elakanmu semester lalu."

Aku menatapnya tak berkedip, mematung di kursiku. Salah bicara sedikit saja, mungkin asbak di depanku bisa punya sayap dan terbang.

Baru kali ini, aku ditegur dengan cara keras. Oleh orang yang sama, yang hampir setahun tak bosan menegurku. Orang itu menatapku tajam dari jarak dua meter, sungguh auranya berbeda saat kami berada di tengah pelajaran.

Percuma menunggu Pak Faruq membuka suara, dia tengah menantiku menjawab pertanyaannya. Sebelum aku yang memulai lagi, dia takkan bicara.

Jadi, aku menelan ludah dengan susah payah, meremas jariku perlahan. "Tidak, Pak. Saya cuma mau membuat pembelaan, dan saya tidak bodoh untuk membiarkan diri saya sendiri dirundung sampai lulus."

Pria itu masih bergeming, menandakan bahwa bukan jawaban itu yang dia inginkan. Jadi aku melanjutkan.

"Saya punya alasan tersendiri, dan saya yakin alasan saya cukup bagus—"

"Untuk memberi kakak kelasmu efek jera, hm?" Kakinya turun bersama punggungnya yang bangkit. Pak Faruq melongok maju, mendekatkan wajah padaku dengan tatapan galak. "Saya harap demikian, Nadir."

Mata kami benar-benar beradu, seperti kontes menatap. Sesekali aku melarikan diri, pada kosongnya ruang guru dan kipas-kipas yang berputar dalam diam. Namun percuma, netraku akan kembali sadar bahwa diriku sedang diperhatikan sepasang mata yang tak kalah tajam dari burung hantu.

Wali kelasku seakan punya dua kepribadian yang berbeda saat ini. Sisi gelap yang sama sekali belum pernah siswanya lihat.

Kepalanya mundur, menghela napas panjang. "Saya tahu kau cukup peka terhadap situasi seperti ini, dan saya harap kau bisa menanganinya dengan tepat. Bukan hanya untukmu, tapi masa depan pelaku juga."

Aku sudah memikirkannya matang-matang. Mumpung Rachel masih SMA, di bawah hak asuh orang tua, masih belum terlambat memberinya pelajaran di balik sangkar besi. Biarkan aku yang menamparnya, ketimbang anak itu ditikam orang lain.

"Terakhir," katanya dengan intonasi yang lebih bersahabat. "Saya minta tolong kalau ada masalah apa-apa, Nadir bisa cerita ke saya."

Kenapa dia jadi tanya apa masalahku? Bukannya kami sedang membahasnya? Aku menggeleng menanggapinya. "Aman, Pak."

Wali kelasku beranjak, meninggalkan kursinya dan memutari meja. "Aman gundulmu!" Jari tengah dan telunjuknya menonyor pelipisku setengah kesal. "Saya memang bukan psikolog, tapi orang awam pun tahu kalau ada yang salah." Langkahnya berhenti tepat memunggungiku. "Kau sudah boleh keluar. Terima kasih waktunya."

Keningku mengernyit dalam. "Sama-sama?" Aku berdiri, melewatinya menuju pintu keluar.

Sekolah sudah sepi, lapangan yang sering dipakai anak-anak basket, kini menyisakan tiga gadis dengan tangan menggenggam gunting. Tenang saja, meski keroyokan mereka tidak mungkin membunuhku di sekolah.

Ya 'kan?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top