Dua Puluh Lima (I) ☁️ Episode Tak Penting
Bohong :v episode ini penting (~‾▿‾)~
——————————
Aku tidak begitu mengerti
Tetapi kalau itu tentangmu, aku akan mencari.
Pada akhirnya, ayah tahu tentang luka di pahaku. Juga Pak Faruq dan seisi sekolah. Aku mual luar biasa saat mendapat berbagai perhatian dan tatapan iba meresahkan. Saat melintas di depan kelas mereka, bisik-bisik mulai terdengar dari belakang punggungku.
Usai Dala mengantarkanku pulang senja itu, dia langsung menghilang tanpa pamit pada keluarga Abidine seperti yang biasanya dia lakukan pada orang tuaku. Sepupuku tidak menyadari ada yang aneh pada diriku. Sampai ayah pulang dan menjemput di rumahnya, barulah Abi berbisik pada ayah.
Berangkat dari situlah ayah hendak membuat laporan pada sekolah. Kutahan pria itu demi menjelaskan situasinya dengan cepat dan rinci hingga dia paham bagaimana mauku, dan ayah setuju untuk rencana itu. Yang tidak bisa ditahan adalah Abidine.
Esoknya, entah bagaimana kabar itu menyebar. Banyak anak laki-laki yang mencoba menyingkap rokku setelah itu, tetapi yang mereka dapatkan hanyalah rok lapisan dan celana selutut—ditambah tamparan manis dariku.
Ayah yang membantuku melilitkan perban di paha agar tidak terlalu sakit akibat gesekan pada lukanya. Kemudian dia melapisi pahaku dengan celana hitam ketat sampai lutut dan ditambah rok pelapis, barulah rok abu-abu SMA dipasang. Ayah memang sudah mengantisipasi hal-hal seperti ini bakal terjadi.
Pak Faruq berkali-kali menanyaiku tentang siapa yang melakukan bully sampai seperti ini, tetapi aku hanya menggeleng sambil tersenyum sebagai jawabannya. Aku tidak mau rencanaku dibilang jahat oleh wali kelas sendiri, jadi lebih baik merahasiakannya sampai Rachel ulang tahun.
Mulai dari sanalah, sepanjang hariku ditemani cutter lucu yang menggantung di leher dan tanganku. Taufan bergidik ngeri melihatku memasuki kelas seperti anak laki-laki habis sunat pada hari pertama. Abidine nyaris tak mau melepaskanku pergi ke kantin sendirian kalau tidak kutodong pakai cutter.
Berkat dua benda tajam yang kubawa ke mana-mana Rachel jadi ikut sungkan mendekatiku. Beberapa kali dalam sehari kupergoki dia memperhatikanku dari kejauhan sambil meremas kepalan tangan. Grup yang semula berisi lima sampai enam orang itu mungkin bubar setelah mereka naik kelas 12, isinya hanya mereka bertiga—yang aku lupa siapa saja namanya.
Dari pada itu, pikiranku lebih tertuju pada nilai-nilai ulangan harianku yang tidak kunjung naik. KKM kelas sudah dinaikkan menjadi 85, tetapi nilaiku juga tetap bertahan di sana. Guru-guru menyarankanku untuk ikut bimbingan belajar atau les seperti teman yang lain. Abidine menawariku satu tempat les dengannya. Namun, ayah menolak. Aku juga bisa belajar sendiri, tidak perlu bimbingan.
Kedengarannya seperti masalah remaja biasa, tetapi di balik itu, Rachel masih sering menggangguku. Kadang dia sengaja menumpahkan minumannya di atas catatanku seperti kelas sepuluh lalu. Kalau kelas sepi, entah bagaimana caranya gadis itu menyelinap masuk dan menjejalkan selusin buku tulis beserta soal untuk kukerjakan. Yang ini bisa kutoleransi, sebab di samping membantuku mengingat dan mendapat pelajaran kelas dua belas, dengan senang hati kucoretkan namaku besar-besar menyilang di tengah lembar kerja.
DIKERJAKAN OLEH NADIR XII-IPA-AKSEL TANPA BAYARAN.
Kemudian kuletakkan buku tulis mereka bertiga di atas meja guru, dan keesokan harinya mereka kembali dipanggil ke ruang bimbingan konseling. Sepertinya itu panggilan ketiga mereka tahun ini.
Waktu merayap begitu cepat. Soal beserta catatan datang dan pergi, tetapi aku masih buntu dengan mata pelajaran fisika. Padahal itu adalah mata pelajaran utama yang akan dihitung saat seleksi SNMPTN. Tidak hanya aku, Jamal pun demikian.
Anak satu itu sering bolak-balik dari kelas kami ke XII IPA 1 demi melihat sahabatnya. Nilainya turun beberapa dan Jamal tetap tak peduli. "Maaf-maaf aja, aku nggak ngejar kesempurnaan," katanya. "Lagian, nilaiku udah memenuhi nilai minimal PTN yang kuincar. Seratus persen aku bakal masuk sana meski tutup mata."
Enak, ya, jadi Jamal?
Semester 5 merangkak kian pelan, mungkin sebab aku belum siap lulus SMA. Selama September, hari-hariku hanya di kamar sepulang sekolah. Candala berkali-kali mengajakku keluar, tetapi selalu kutolak sebab masih banyak yang harus dipelajari—aku tidak dianugerahi otak sepintar Jamal yang tanpa belajar sudah pintar, jadi aku harus berusaha sendiri.
Oktober, rupanya diriku mulai jenuh belajar di kamar, jadi kuterima ajakan Candala belajar di tempat lain. Kamarnya adalah destinasi paling sempurna buat kami yang sedang malas jalan jauh-jauh dan bosan dengan makhluk hidup.
Aku tak lagi ragu melangkah masuk ke rumahnya. Kapan-kapan akan kucoba cara mainstream mampir lewat jendelanya, seperti yang Candala lakukan waktu rumahku masih dengan ibu.
Bapak dan Ibu RT bekerja, seperti biasa, hanya kami berdua di sini. Seharusnya ini tidak boleh ... maksudku perempuan dan laki-laki mainan kanvas di satu kamar itu ... memang sangat tabu. Tapi ini 'kan Candala. Apa yang harus kutakutkan?
Satu hari itu, orang tuanya terkejut mendapati anak gadis duduk di lantai rumah mereka. "Lho, Nadir sendirian?" tanya Bu RT, dan aku mengangguk.
Mereka hanya bertukar pandang, lantas tersenyum hangat. Katanya aku boleh main ke sini kapan saja meski Candala tak ada. Sejak dulu memang seperti itu, aku sudah dianggapnya anak bungsu. Pak RT bahkan memberiku duplikat kunci rumahnya supaya bisa masuk lewat depan tanpa perlu susah-susah menjalankan rencanaku lompat dari jendela.
Meski demikian, tetap saja ada rasa sungkan kalau masuk sendirian. Ini bukan rumahku, dan kami tidak ada hubungan darah apapun. Lain hal kalau aku dengan Abidine.
Kondisi seperti itu terus bertahan sampai akhir November, di penghujung semester lima. Ayah mulai bertanya-tanya ke mana tujuanku setelah lulus SMA, sebab Maret tahun depan, empat bulan lagi, SNMPTN akan dimulai. Gara-gara itu pula, pembahasanku dan Candala sebulan terakhir adalah nama-nama perguruan tinggi negeri dan jurusan yang dipunya.
Pilihannya tetap tidak berubah. Candala kemungkinan besar akan mengambil seni rupa di Institut Seni Indonesia, Jogja. "Itu bukan kemungkinan besar, Nad. Tapi kalau bisa," kata Dala pada Sabtu siang yang panas di kamarnya.
Aku merebah di lantai, berguling-guling mengelupasi cipratan cat akrilik kering. "Kayaknya udah mantep banget, tuh," desahku merenggangkan tubuh. Kulirik sudut-sudut kamarnya, dari benda paling besar sampai detail kecil permukaan dindingnya yang ternyata memiliki alur bintang dan rasi-rasi. "Kau demen astronomi?"
Tangan Dala yang semula bertengger pada kuas dan kanvas langsung berhenti seketika. "Bukannya aku dah pernah bilang?"
Benar juga. Anak itu pernah cerita kalau dia mau jadi astronot dan melukis di luar angkasa. Karena menurutnya terlalu sulit, Dala hanya memutuskan menekuni seni rupa dan menjadikan klub kebumian sebagai pelarian.
Netraku menjelajah lagi pernik-pernik kamarnya. "Sebenernya itu botol apaan, sih?" Pandanganku jatuh pada botol kaca bening berisi gulungan kertas kekuningan di dalamnya. Persis seperti yang sering dia sebar kalau kami jalan-jalan. Mungkin, ini yang kelima kulihat dia memilikinya. "Dan dari kemarin, apa, sih, yang kau kerjakan?"
Punggungku bangkit, duduk bersila di tempat, menunggu dipersilakan Dala untuk mengambilnya. Namun, anak itu tak kunjung mengangguk atau mengiyakan gestur tersiratku.
"Rahasia, dan rahasia." Matanya belum lepas dari kanvas yang membelakangiku sejak dua bulan lalu. "Botol itu jelas buatmu, tapi nanti. Kalau sudah kubilang boleh, baru boleh dibuka." Lirikannya kemudian mengarah padaku. "Jangan berani membukanya."
Rambut-rambut halus di sekujur tubuhku bereaksi sebab suara dan intonasi dinginnya. Wajah Candala jadi serius dengan alis menukik. "I-iya. Bah, nggak juga kubuka."
Dagunya terangkat, memandangku seakan rendah. "Bagus." Dia kembali pada kanvasnya, memindahkan warna-warna dari palet di tangannya ke media dua dimensi. "Kau masih nahan diri buat lapor ke Pak Faruq?" tanyanya mengalihkan topik.
"Nahan apa—oh. Nanggung, sebentar lagi, kok." Kujadikan kedua telapak tangan menjadi penopang di belakang tubuh.
"Mau sampai kapan?"
"Akhir Desember." Sesungguhnya aku tak tahan lagi. Belakangan rundungannya lebih parah. "Pasti bisa, sebentar lagi."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top