Dua Puluh (I) ☁️ Aku Cuma Ingin Pulang

Bintang semakin terang menaungi kami dalam gelap dan keramaian. Aku dan Dala benar-benar nekat menerobos gulita di dalam mall. Begitu penglihatan kami mulai beradaptasi dengan minimnya cahaya, Dala lekas menarikku menuruni eskalator mati sembari mengikuti cahaya flash orang-orang sekitar.

Kelas akselerasi kembali bertemu di depan mekdi. Pak Faruq menghela napas bangga dan lega sebab eskrim terakhir milik Taufan berhasil diserahkan dan pembayaran lunas sesaat sebelum listrik mati.

Bila juga tampaknya lebih baik setelah disogok eskrim. Gadis itu duduk di tengah-tengah dua pot besar sambil menjilati eskrim dengan khusyuk. Dia membiarkan ponselnya menyala flash, menerangi kami yang diserbu kegelapan.

Usai hari pertama berganti pagi, esok adalah sore terakhir kami jalan-jalan di kota Jogja. Meski diberi waktu cuti, anak aksel tetap harus mengikuti jadwal seperti biasanya, dan Senin depan masih harus masuk sekolah. Sama sekali tidak tampak seperti 'diberi waktu cuti' bukan? Ya, selamat datang di kelas akselarasi yang isinya belajar 24/7.

"Ayo pulang," ajak Pak Faruq dengan senyum mengembang lebar, sampai kerutan tipis di antara hidung dan pipinya tampak. Kalau cerita ini menjadi komik, mungkin sudah kutambahkan efek bunga-bunga di sekitar kepalanya.

"Hayu—padahal belum puas liat cewek-cewek," respons Jamal setengah menggeram.

Walau akhirnya kami menurut dan mengekor pada wali kelas, ada saja ulah jahil dari lima keturunan Homo Sapiens bergen XY, misalnya seperti dua makhluk yang sengaja berjalan paling belakang. Sepupuku dan pemain basket unggulan kelas mendadak menjadi partner in crime menjahili tante-tante berjakun.

Kuabaikan semua itu dan bergulat asik bersama pikiranku. Aku senang tanpa sebab tertentu. Sudah cukup untuk hari ini, aku benar-benar lelah seharian berinteraksi dengan manusia yang hidup dan bernapas. Kalau kalian adalah seorang introfert, seharusnya kalian tahu kalau menghabiskan waktu satu jam saja berbicara tanpa berhenti sudah benar-benar menghabiskan seluruh tenagamu ketimbang disuruh maraton 10 km.

Aku mau tidur saja, bersih-bersih dan mematikan lampu sampai pagi datang. Namun, sekarang langkahku masih menendang-nendang kerikil kecil di sisi trotoar hitam putih.

Melihat wajahku sekilas dari cahaya flash ponselnya, Bila mengerti aku lelah dan memutuskan untuk tidak mengajak bicara. Dia ikut-ikutan bersama Abidine dan Giam menggoda om-om pakai rok mini dan bedak tebal. "Jakun tante manis banget, sih," godanya sebelum lari tunggang-langgang cekikikan.

Mereka tidak berhenti sampai Pak Faruq mendadak berhenti dan memelototi tiga anak sinting itu. Tatapannya seolah berkata, "Coba lanjutin. Saya mau lihat!"

Giam kicep setelahnya, kembali ke barisan di samping Jamal yang kesurupan setan kalem. Tak ada dialog lagi setelahnya sampai kami berdelapan sampai di hotel dan naik ke lantai tiga.

"Nadir!" panggil Dala sesaat sebelum aku menyusul Bila yang langsung menghambur kamar mandi.

Aku mematung di ambang pintu, menunggunya membuka suara lagi. "Apa?" tanyaku kala dia tak kunjung bicara.

Matanya tak lepas menatapku, tetapi gestur tubuh dan bibirnya tak bergerak lagi. Candala mengedipkan matanya beberapa kali seperti orang kelilipan, sebelum akhirnya membuang pandang ke ujung jempol kakinya.

Apa tindakan seperti itu termasuk pelecehan seksual? Menatap lawan jenismu terlalu lama itu tidak sopan.

Terakhir, sebelum kami masuk ke kamar masing-masing, dia menggeleng lantas tersenyum. "Nggak. Gak jadi." Dala mengangkat tangannya ke arahku, kemudian memutar daun pintu. "Kapan-kapan aja, Nad."

Setelahnya, pagi menamparku dengan cahaya yang tidak lebih lembut dari kue pantat Malioboro.

:.:.:

Baru kali ini aku merasa benar-benar malas bangun dari tempat tidur. Seakan ada gravitasi yang lebih berat dari tempat manapun, menarik diriku ke dalam peluk bantal guling dan selimut tebal. Bila pun demikian sampai kami tarik-tarikan selimut.

Hal serupa berlaku pada enam manusia lainnya di kamar mereka masing-masing. Jadilah hari terakhir kami dihabiskan untuk tidur sampai matahari merangkak naik dengan gagah di atas kepala. Nah, barulah Pak Faruq mengetuk pintu kamarku dan Bila buru-buru sebab baru sadar kami berdelapan belum sarapan.

"Pesawatnya jam tiga sore," kata pria itu sembari menggeret tempat duduk kafetaria hotel. "Kita berangkat jam satu dari sini, dua mobil kayak kemarin."

Anak didiknya hanya manggut-manggut separuh sadar, termasuk aku. Rendahnya suhu ruangan di sini mampu membuatku bergidik sendiri sambil memeluk diri. Harusnya aku bawa jaket ke mana-mana, batinku mengeluh sambil menyendok sarapan terakhir.

Kulirik jam di ponselku—sebab kejadian semalam, aku jadi tak ingin jauh-jauh dari ponsel. Sudah jam sebelas, astaga malas sekali aku hari ini untuk bangun pagi?!

Sisa dua jam terakhir kugunakan berbenah kamar, mandi, dan membereskan barang-barang. Padahal rencananya aku mau keluar subuh-subuh, terus menghirup udara pagi Jogja, ala-ala turis gitu. Nyatanya, hanya Bila yang keluar usai mandi siang.

Gadis itu memaksa Giam dan Jamal menemaninya beli oleh-oleh. Aku memutuskan tinggal di kamar dan memunguti perlengkapan mandi dari hotel. Lumayan buat main sabun.

Abidine berkali-kali keluar masuk kamarku, hanya untuk memastikan sepupunya ini tertib dan tidak diculik om-om karena sendirian di kamar. Pada akhirnya, cowok itu selesai berkemas lebih dulu dan mendekam di kamarku.

Kubiarkan saja anak itu berguling-guling di kasur sementara aku mengingat-ingat barang bawaan. "Kau beneran udah nggak ada yang ketinggalan?" tanyaku memastikan.

"Hooh, aman aja. Aku cuma bawa baju tiga pasang, daleman, sama dompet. Cowok nggak seribet kalian—tapi bau kamar cewek emang beda, ya?"

"Lah?" Aku melenggang ke kamar mandi, siapa tahu lupa mengambil handuk. "Kau 'kan sering masuk kamarku?" Tidak ada. Kamar mandi kosong tanpa barangku atau milik Bila.

"Kamarmu bau Nadir, bukan bau cewek," kilahnya, berguling-guling lagi di ranjang yang luas.

Terserah, sebahagiamu, lah. Aku kembali ke tengah-tengah ruangan, memakai outer dan menyibakkan rambut panjangku agar keluar dari luaran itu. "Nggak ikut beli oleh-oleh buat bapakmu?"

Dia menggeram dalam tumpukan bantal. "Kau tau bapakku, 'kan?"

Benar juga. Ayah kami setipe: oleh-oleh cuma buang-buang uang. Motto kakak beradik itu kekeh sejak masih tidur peluk-pelukan, sampai punya anak.

Kehabisan topik pembicaraan, aku dan Abidine membungkam mulut beberapa saat sambil saling memunggungi. Kalau kau sudah sering melakukan segala hal dengan temanmu, tahu segalanya tentang satu sama lain, maka semakin sedikit topik yang akan kalian temukan. Paling-paling hanya satu dua kisah konyol singkat.

"Nad?"

Aku berdeham menanggapinya.

"Kau ... nggak kepikiran buat kabur dari rumah, 'kan?"

Hah?! Keningku mengernyit dalam-dalam, kemudian menoleh dramatis padanya. "Gila. Aku masih cukup waras buat nggak kabur kayak anak broken home."

Iya, meski orang tuaku sudah berpisah, ibuku kencan dengan lelaki psikopat, dan aku seakan menjadi bawang putih di rumah, pikiranku tetap waras. Untuk tidak menyayat pembuluh darah vena, untuk tidak depresi, untuk tidak kabur dari rumah demi mendapat perhatian lebih orang tua. Itu kekanak-kanakan, dan kalau kau melakukan hal demikian, maka jangan bilang kau sudah dewasa.

"Tolong, janji sama aku," katanya tiba-tiba. Nada bicara Abidine berubah serius, tanpa ada kikikan jahil seperti biasa.

Hal itu membuatku membalikkan badan seutuhnya dan menatap sepupuku sungguh-sungguh. "Tergantung."

"Pertama, kalo ada apa-apa, kau kudu bilang ke aku atau orang tuaku. Kedua, cuma rumahku yang boleh kau jadikan tempat pelarian. Terakhir ...." Abidine menggantung kata-katanya sebentar. Dia bergerak gelisah sendiri di atas bantal-bantal sambil menekuk lutut dan memeluknya. "Janji kita bakal ke mana-mana bareng." Kepalanya tengelam dalam lipatan tangan. "Aku malu bilang kayak gitu ke anak gadis, tapi kau sepupuku, dan aku laki-laki."

Mungkin, Nadir setahun yang lalu tidak akan paham apa yang Abidine katakan saat ini. Namun, aku sudah berubah. Entah bagaimana aku paham maksudnya hanya untuk melindungiku yang tidak memiliki laki-laki lain kecuali ayahku.

Abidine selalu baik sejak kami akrab enam belas tahun lalu. Aku bangkit. Laki-laki tolol yang multiguna dan bisa diandalkan semua orang. Kudekati dia. Sepupuku yang tak pernah bosan mendengar dehamanku selama ini.

Tanganku terjulur duluan, menangkup seluruh tubuhnya yang terlipat sedemikian rupa. "Janji apaan itu?" Kueratkan pelukan sampai anak itu betulan tercekik dan mengeluarkan suara tinggikan seperti kambing. "Gak perlu repot-repot. Tanpa kau suruh pun aku bakal kayak gitu."

"Nad! Aku nggak bisa napas!"

Aku tertawa cekikikan, langsung melepas pelukan tidak ramah kala melihat wajahnya yang pucat terangkat dari lipatan lengan.

Setelah itu, dua jam berlalu cepat. Kami check out, lekas-lekas ke bandara tanpa sempat makan siang. Sebelumnya Pak Faruq sudah mengingatkan Bila, jangan terlalu banyak membawa oleh-oleh kalau tidak mau kena biaya bagasi. Namun, yang namanya cewek mana bisa belanja sedikit. Kini anak itu yang menenteng sendiri setengah kilo kelebihan muatannya. Aku tidak mau ikut-ikut.

Kelas akselarasi terbang lagi, pulang ke kandangnya untuk melanjutkan depresi yang sesaat lenyap. Sesaat sebelum kami melewati pintu penerbangan, Abidine bertingkah aneh. Dia terus-terusan menatapku tanpa berkedip, kemudian beralih ke sepatunya.

Anak ini baper dengan kata-kataku sebelumnya atau bagaimana? Ah, tidak mungkin. Abidine mana pernah peka dengan perasaan seperti itu, makanya dia tidak pernah punya pacar.

Di atas udara, tidak ada satu pun dari kami yang mampu terlelap—sebab semua sudah kenyang tidur sampai siang. Yang kupandangi hanya awan cirrus sampai cumulus, kalau beruntung aku bisa melihat gunung menjulang beserta kawah-kawahnya. Sayang, cuaca di sekitar sedang tidak mendukung.

Kuputuskan menarik penutup jendela dan bersandar pada bahu Abidine di sebelahku—kami duduk bersisian atas kehendaknya, tidak ada yang keberatan. "Kenapa? Minta dipeluk lagi?"

Abi yang biasanya bakal nyengir, kini menunduk memperhatikan lututnya. Dia menggeleng. "Enggak. Gapapa."

Dingin, dan telingaku berdenging akibat tekanan udara. Jadi, ketekuk lutut lantas memeluknya sendiri. "Padahal aku masih pengen lama-lama jauh dari ibu," desahku mengeluarkan unek-unek.

"Oh ya?" Abi terkekeh pahit. "Kau bakal nyesel." Matanya ikut terpejam saat aku menoleh. Dia menyandarkan kepalanya balik di atas kepalaku dengan santai.

Tidak. Aku tak akan menyesal. Tidak ... sampai kami tiba di bandara tujuan.

Mungkin, semuanya lelah. Termasuk aku. Kami lebih banyak diam dan berjalan. Menunggu koper keluar sambil makan lemper Korea yang bentuknya segitiga dibalut rumput laut kering. Percayalah, semua rasanya enak!

Benar, inilah akhir dari liburan kami. Tak ada cerita lagi setelahnya, dan rasa aneh mulai menggandrungiku. Rasa aneh karena tiba-tiba berpisah dengan keramaian. Giam pulang duluan, dijemput orang tuanya di depan bandara. Bila dan Jamal menyusul setelah itu, diikuti Taufan.

Candala sepertinya juga mau dijemput—kulihat dia mengangkat telfon dari seseorang, kemudian anak itu bilang sudah di bandara. Diam-diam aku berharap orang tuanya Abidine mau menjemput anaknya beserta keponakan tercinta mereka. Sementara Pak Faruq masih menunggu kami semua sampai pulang sebagai bentuk tanggungjawab wali kelas.

Entahlah, aku mungkin bengong selama beberapa detik di bangku tunggu bandara. Saat aku menoleh ke arah lain, kudapati Abidine sudah memasang raut wajah serius di depan Candala.

Mereka nggak mau baku hantam di sini, 'kan? Namun, setelahnya mereka malah berjabat tangan dengan raut wajah kaku dan alis menekuk ke dalam.

"Nad, kau nggak buru-buru pulang, 'kan?" Dala menghampiriku segera sambil membawa tasnya.

"Abi pulang duluan ya, Pak?" Sepupuku berderap cepat menyalami Pak Faruq, kemudian ngacir sebelum aku menjawab pertanyaan Dala.

"Engg—"

"Oke, sip!" potong Candala cepat, menarik tanganku untuk bersalaman juga dengan Pak Faruq dan lari berlawanan arah dari Abidine.

Bukan hanya aku yang mengerjapkan mata berulang kali karena tidak paham ada apa dengan mereka berdua. Pak Faruq juga garuk-garuk kepala di belakang kami, tetapi akhirnya ikut bangkit sesaat sebelum Candala membawaku ke belokan lain dan pandanganku dari wali kelas kami lenyap.

Aku hendak menarik tangan dan minta penjelasan lebih lanjut, tetapi Dala menyangkalnya lebih dulu, "Makan. Kau belum makan siang, 'kan? Ini mau jam lima, jadi kita makan dulu, ya?"

Terlalu mustahil bagi seorang Candala mau repot-repot menarik tanganku dan buru-buru keluar dari bandara demi mengajak anak gadis makan siang. Ada sesuatu yang tidak beres, dan itu berkaitan dengan Abidine juga.

"Jangan lari! Capek," keluhku betulan menarik tangan sampai kami berhenti di trotoar jalan. "Apa? Kenapa? Kau sama Abidine ada sesuatu, 'kan?"

Candala menggeleng pelan. "Enggak, sih." Kemudian dia sadar bahwa tangannya masih menggandeng tanganku intens. "Sori!" Dilepasnya langsung pegangan kami, kemudian berbalik ke depan. "Ayo makan. Nanti kuantar pulang."

Enggak. Ada yang aneh, dan aku tidak bodoh untuk menyadari perbedaan itu. Abidine mendadak pendiam, dan Dala tiba-tiba terburu-buru memutuskan sesuatu. Biasanya tidak seperti itu.

"Tadi telfon dari siapa?" tanyaku sembari mengekori punggungnya.

"Ayah, maksudku Pak RT. Cuma nanya udah sampe mana," jawabnya lugas.

Kecurigaanku semakin bertambah saat dia membawaku mampir ke toko langganan kami sepulang sekolah. Candala menanyakan hal-hal tak penting, dan itu sudah cukup mencongkel kebohongannya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top