Challenge:
Masukkanlah sebuah lagu ke dalam satu chapter cerita kalian. Boleh beserta lirik, atau karakter yang menyanyikan.
Jangan lupa putar lagu di mulmed
⊂((・▽・))⊃
Biar makin nyeseq bacanya.
Enjoy
Happy reading!
Sesak di dada membuntuti langkahku yang mengendap-endap melintasi pintu demi pintu rumah sakit. Tak beralas kaki, kuterjang dinginnya malam dengan piyama.
Mataku masih berair, dan aku enggan menghapusnya. Terbayang skenario singkat di kepalaku kala kami bertemu nanti. Aku mau lompat ke arahnya, atau minimal meninju rusuknya.
Pasien-pasien mulai sepi tatkala kulintasi bagian belakang rumah sakit. Kian sepi pula setelah kulewati pintu belakang. Tak ada yang melihatku, mungkin, sebab ini tahun baru.
Udara sejuk menyapaku, berdesir pelan di bawah kelamnya malam kelabu tanpa bulan dan bintang. Aku harus cepat, sebelum hujan membasahi balutan di tangan kiriku.
Sejenak, aku celingukan sendirian di antara bangku-bangku yang tersusun rapi disinari lampu taman. Tolong jangan bilang Candala hanya main-main. Di mana anak itu? Netraku menyapu sekitar dengan cepat.
Wahai cahaya ... harap taklukkan
Gelap yang kerap, datang hampiri
Selimuti hari memekik menguasai.
Mataku berhenti pada sosok berkemeja ivory polos di salah satu bangku taman. Kedua tangannya bersembunyi di balik saku celana panjang, berdiri menungguku di bawah sorot lampu redup.
Dadaku kian sesak lagi melihatnya tersenyum simpul ke arahku.
Tahan ... jangan menangis, Nadir.
Kudekati dia perlahan sembari memeluk diri sendiri kedinginan. Namun, entah mengapa perasaanku berbeda kali ini. Seakan, semakin terkikis jarak kami, semakin jauh pula perasaanku menggapainya.
Tak bisa jamah ... langkah-langkah ... mu yang tertampak
Kumulai malu, tersipu, kumalu mu terurai canda-canda.
Hingga kami benar-benar berhadapan. Tingginya membuatku sedikit mendongak demi menatap matanya yang teduh.
Aku kehilangan kata-kata. Semua dialog yang sudah kususun saat perjalanan kemari hilang begitu saja. Tubuhku mematung, menggigit bibir mencegah air mataku tumpah.
Tahan, Nadir. Jangan menangis.
"Hai," sapanya, mendaratkan telapak tangannya di puncak kepalaku.
Menatapi senyuman yang terlihat saat itu
Detik itu juga kuberhenti berkhayal
Seperti semua terjadi.
Gagal. Setitik derai lolos dari pelupuk, diikuti titik-titik yang lain. Aku maju selangkah hingga Dala terenyak kaget. Kukepalkan tangan kuat-kuat, mengangkatnya untuk bersiap menghantam Dala.
Namun, yang keluar hanyalah tinjuan lemah dariku. Aku tak kuasa lagi. Aku terlalu merindukan suaranya. "Panggil aku," isakku dengan kepalan tangan di dadanya. "Panggil namaku."
Kurasakan tubuhnya menunduk hingga mungkin pipi atau dagunya mendarat di ubun-ubunku. "Kenapa, Nadir? Tumben?"
Ada yang hilang selamanya dari dadaku.
Sinarnya mentari, perlahan meredup
Memahami tentang makna hari ini kan berganti.
Kudaratkan wajahku dalam dekapannya. "Dala bego," makiku melingkarkan tangan di punggungnya. Aku tak peduli lagi apakah Candala akan memarahiku karena kemejanya basah sebab tangisku. "Kau ke mana aja?! Aku—" Tak sanggup meneruskan kalimat, kuremas punggungnya, takut kalau aku melepasnya dia akan pergi lagi.
Aku mengatakan demikian, karena kurasa ... setelah ini semuanya tak lagi sama.
"Takkan ke mana-mana."
Tak kuduga, kedua tangannya balas melingkar padaku. Dala menarikku dalam peluknya, hingga aku dapat mendengar debar jantungnya yang kosong di kepalaku. "Kangen, hm?"
Tangisku makin menjadi, sesenggukan tak keruan di depannya kadang membuatku malu. Kini aku tak peduli lagi. "Dala," isakku merasakan hangat dekapnya. Aku benar-benar kehilangan kata-kata di depannya. Yang kuinginkan sekarang hanya menangis sampai air mataku kering.
Dala diam saja, mengusap belakang kepalaku perlahan berulang kali. Kadang wajahnya bersembunyi di balik rambutku yang sudah pendek, sekadar menyapa leherku sejenak.
"Nggak kerasa, ya? Hari ini pas setahun kita ketemu," bisiknya pelan. Pelukannya semakin erat, dan kini bisa kurasakan bahuku ikut basah karena air matanya.
"Cahaya, harap kalahkan
Gelap yang hadir ikut menyapa."
Menyekap batin yang mengadu, diam berseru.
Dala mengambil napas panjang. "Ayo duduk dulu—"
"Nggak mau," potongku cepat. "Kau kudu membayar sebulan lenyapmu. Kau belum menjawab ke mana perginya dirimu." Kugigit bibir bawahku, memberanikan diri mengucap kata selanjutnya. "Setidaknya baca pesanku, atau katakan bahwa kau masih hidup."
Angin kencang berembus, memainkan rambut kami, pun merontokkan helai-helai dedaunan. Mendapatinya bergeming, aku melanjutkan.
"Kau tahu? Hidupku berubah begini karenamu."
"Maksudmu, kau menyalahkanku? Atas apa yang terjadi padamu?" terkanya pura-pura bodoh.
Menatapi senyuman, yang terurai saat itu.
Sebagian hatiku berkata, itu benar. Namun, yang kumaksud bukanlah demikian. "Aku memang kesal saat kau mendadak lenyap. Tapi berkatmu, aku bukanlah Nadir yang apatis lagi."
Pada akhirnya, aku menurut untuk duduk dan lebih tenang. Dala meminjamiku pundaknya untuk bersandar, tetapi ujung-ujungnya dialah yang bersandar padaku.
"Seandainya setahun yang lalu kau tidak masuk ke kelas akselerasi, mungkin sekarang nggak bakal kayak gini. Misal kau menyerah mengajakku bicara, atau membiarkanku pergi begitu saja waktu di ayunan setahun lalu, mungkin akhirnya bakal beda."
"Nyatanya enggak, 'kan?" Bukan pertanyaan yang dilontarkannya, tetapi pernyataan. "Kita berubah banyak setahun terakhir."
Kutahan hasrat ingin menghambur ke pelukannya lagi. "Terima kasih," kataku, "sudah mau mewarnaiku."
Dan aku masih ingin berlama-lama denganmu. Andai kau tahu seberapa besar rasaku ingin meninjumu, sekali saja.
"Kuhargai ucapan terima kasihmu. Tapi," Dala menegakkan punggungnya, "aku tak yakin bisa menemanimu lagi."
Detik itu juga kuberhenti berkhayal
Seperti semua terjadi.
Eh? "Kenapa?" tanyaku tak percaya. "Kau cuma bercanda, 'kan?"
Dala menggeleng. "Meski aku tak mau, semuanya bahkan sudah digariskan sejak setahun lalu, Nadir." Dia tersenyum, menampakkan giginya lagi. "Masih banyak yang ingin kusampaikan padamu," katanya meraih punggungku, menyibakkan helai-helai rambutku yang sudah tak keruan.
Sinarnya mentari perlahan meredup
Memahami tentang makna hari ini kan berganti.
Tubuhnya maju, pun tubuhku hingga yang kurasakan di depan dada adalah hangat jantungnya yang kosong. Kepalanya jatuh di bahuku, dan napasnya benar-benar membuatku merinding di malam yang dingin.
Jarak kami benar-benar raib. Kakiku dan miliknya bersinggungan. Kini, wajahnya lebih dekat denganku dari pada yang sebelumnya.
"Dala," panggilku, "j-jangan di sini. Nanti ada yang liat—"
"Tolong," katanya. Bisa kutangkap isakan tipis dari bibir itu. "Biarkan seperti ini dulu, untuk waktu yang lebih lama."
Tak bisa pungkiri, tetap tertera padamu
Kukan diam di ruang gulita merangkai cerita.
Aku pun sebenarnya menginginkan lebih. Aku masih betah berada di pelukannya meski kepala ini mendadak bertambah berat dan kesadaranku mulai pudar. Aku tak ingin ke mana-mana lagi.
Takkan ke mana-mana
Takkan ke mana-mana
Walau bosan menghalangi suka.
"Waktu kita sudah habis," bisiknya di telingaku. Di detik-detik terakhir sisa kewarasnanku, kudapati dirinya menangis dengan sangat jelas.
Terdengar samar suara tentang resah
Berbisik pelan, dengan tatapan, penuh luka lara.
Dala terisak, benar-benar terdengar sampai sesenggukan di bahuku. Punggungnya bergetar hebat, pelukannya semakin erat denganku.
Terdengar samar suara tentang resah
Berbisik pelan, dengan tatapan, penuh luka lara.
"Candala?" panggilku lirih, ikut terisak. "Dala?"
Tangannya meraih daguku, hingga kami bersitatap. Wajahnya maju lagi. Air mata jelas keluar dari sana. "Apapun yang terjadi setelahnya, percayalah padaku kalau aku takkan ke mana-mana."
Hidungku dan miliknya nyaris bersentuhan. Singkat dan cepat, kurasa kalian sudah bisa membayangkan sendiri apa yang terjadi.
Baru kali ini kulihat secara jelas Candala menangis di depan mataku. Namun, itu semua tak mampu kurasakan lebih lama lagi. Sebab setelahnya, semua duniaku gelap, termasuk Candala.
Hilang entah ke mana.
。 ☆ 。
S E L E S A I
Terima kasih sudah menemani Nadir hingga akhir.
Udah, dah abis. Mau apa lagi bah?
Oke oke
Empat chapter lagi ya :)
Udah >:v nih tak kasih lagu bagus
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top