Dua Belas ☁️ Libur Tapi Boong

Kemarin, Dala memutuskan mengambil semua novelku untuk dibacanya seorang diri di rumah. Padahal aku sudah di depan perpustakaan, tetapi dia mencegatku dan berbisik bahwa dia mau lihat isi novelnya.

Ternyata, Dala menyukai Sherlock Holmes. Dia cuma punya satu di rumah, pinjaman dari Rumah Anak-nya dulu. Jadi dengan senang hati kuberikan kardus itu padanya dan pulang ke kelas usai istirahat pertama.

Sungguh, kalau bisa kukatakan Kamis itu adalah hari paling tenang di sekolah. Terlepas dari sikap menyebalkan Abidine dan Candala di depan rumah ayah, semuanya baik-baik saja. Teman sebangkuku itu berhenti bertanya ini itu atau menatapku dengan tatapan sejuta makna.

Kamis itu, Dala fokus pada novel yang baru dia dapatkan, dan itu menjadi keuntungan bagiku sebab pikiranku sedikit lebih tenang.

Nah, Jumatnya barulah semua kepanikan bermula. Pak Faruq tiba-tiba berkoar di grup kelas tentang semua persiapan dadakan yang harus kami lakukan. Padahal tanggal 16 ini tahun baru Imlek, harusnya libur dan memang sedang tanggal merah.

Saat itu aku masih bergulung manja di atas ranjang berselimut tebal. Begitu melihat notifikasi bak air terjun yang tumpah ruah, juga tag yang banyak menandaiku, mau tidak mau kubuka grup kelas.

"Tugas matematika wajib, halaman 388 buku paket kurikulum 2013. Kerjakan nomor genap saja! Kemudian tugas bahasa Indonesia, buatlah puisi bertema bebas! Upayakan tulis apa yang kalian suka. Terakhir, tugas seni budaya." Kalimatnya hanya berhenti sampai di sana, tanpa ada kejelasan tentang tugas terakhir.

"Tugas senbud disuruh apa, Pak?" Taufan mewakili kami semua untuk bertanya.

"Nggak tau juga bapak. Kata Pak Irwan, 'Suruh anak-anak bikin karya seni rupa.' begitu. Mungkin apa aja boleh? Bikin aja, bener atau salah nanti bapak yang ngomong sama Pak Irwan."

Nah, kawanku. Selamat datang di kelas akselerasi, di mana tidak ada hari tanpa tugas. Pak Faruq sabarnya luar biasa menghadapi anak-anak ini beserta tugasnya.

Kulempar ponselku sejenak sebelum kembali memejamkan mata. Ayolah, aku ingin sehari saja bangun siang dengan tenang. Namun, kalau sudah ada beban moral tugas, hatiku mana bisa tenang.

Jadi aku mandi, melakukan hal sebagaimana yang gadis lakukan. Aku tidak mau ibu membuka pintu kamarku dan berseru, "Kamar naga!" seperti bulan lalu.

Seperti biasa, wanita itu masih tidur dan rumah nenek masih tenang. Terkadang, sekilas aku melihat nenek jalan-jalan berkeliling rumah atau mengusap kening ibu saat dia duduk di sofa ruang tengah. Aku memilih diam dan tidak memberitahukannya pada ibu.

Nanti kalau aku disangka gila dan dijebloskan ke SLB (sekolah luar biasa) kan jadi repot.

Dari kejauhan, kudengar ponselku berdering. Siapa yang mau nelpon pagi-pagi? batinku. Kemudian bergegas mencari sumber suara.

Nomor tidak dikenal dan tidak masuk kontakku. Abaikan saja, nanti bosan sendiri.

Kusambar buku bahasa Indonesia dan mulai duduk lesehan memulai tugas. Membuat puisi seharusnya tidak sesulit itu. Tentang sesuatu yang kusukai ....

Ponselku berdering lagi di ujung buku paket. Nomor yang sama seperti tadi. Apa, sih, yang dia mau? Menelpon, "Anak Anda saya culik, minta tebusan lima miliyar ke rekening berikut." untuk menipuku?

"Halo?" Akhirnya kuangkat juga telponnya. "Ambil aja anak saya, dia emang beban. Tapi hasil jual ginjalnya bagi dua sama saya, biar anaknya berguna sedikit buat saya," kataku lugas tanpa menunggu seseorang di seberang sana menjawab sapaanku.

Suara di ujung sana terkekeh, bahkan terbahak nyaring selama mungkin sepuluh detik. "Oke, saya jual anak Anda. Tapi ginjalnya cuma plastik murahan, harganya nggak cukup buat beli permen."

Oh anak ini, astaga. Apa yang dia mau pagi-pagi? "Apa maumu?"

Masih ada sedikit tawa dari Dala, tetapi ditepisnya dengan mudah. "Main ke rumahku, yok?"

"Gak."

Candala mendesah kesal, lantas berdecak. "Sekalian nugas. Kau lagi ngerjain puisi, 'kan? Nah, aku goblok kalo disuruh bikin begituan. Nanti jadinya lirik lagu."

Kuhela napas panjang sebelum kembali bicara. "Itu tugasmu, kerjakan sendiri."

"Kukerjakan sendiri, kau hanya perlu datang dan membantuku," tawarnya.

Aku menggeleng. "Nggak, aku mau males-malesan di kamar." Ada apa dengan anak ini, sih? Demen banget nempel denganku ke mana-mana.

Jeda sejenak, kuduga dia memikirkan kalimat persuasif untuk membuatku tertarik ke rumahnya. "Aku punya buku thriller, kalo kau mau pinjem?"

Percuma, itu takkan mempan memancingku.

"Sekalian makan siang—"

"Deal," kataku cepat. "Share lock, aku berangkat."

。  ☆  。

Aku ternganga melihat rumah Pak RT dari luar. Mataku melirik ponsel lagi, memastikan bahwa maps yang dikirim Dala tidak salah. Pasalnya, titik penerima sudah ada di depan mataku, hanya berjarak seratus langkah dari rumahku.

Sebelum aku mengetuk pagar dari luar, pintu dibuka perlahan dari dalam. Pemiliknya mengintip di sela pintu, kemudian tersenyum lebar mendapatiku membawa tas berisi buku-buku.

"Kok kau di sini?!" Tak bisa kutahan diri untuk tidak berteriak dan menunjuknya sambil mengernyitkan dahi.

Oh iya, dia kan anak pertukaran pelajar. Di surat persetujuan tentu menyangkut tentang orang tua asuh. Kutepuk jidatku sendiri karena terlambat menyadari hal tersebut.

"Sini masuk," ajaknya.

Kuikuti dia dan membuka sepatu. Aku hafal kebiasaan Pak RT dan istrinya sejak zaman bahula. Mereka memiliki dua anak laki-laki, yang pertama sudah menikah dan tinggal di Surabaya, satunya lagi empat tahun lebih tua dariku, sekarang kuliah di ISI.

Rumah ini memang sepantasnya sepi, sebab dua hari lalu kudengar mereka pergi ke Surabaya menemui anak sulungnya. Menyadari hal itu membuatku merinding sejenak, lantas hendak mengurungkan niat untuk belajar bersama Candala.

"Kenapa? Takut?" tanya Dala, menyuruhku duduk di meja makan ruang tengah.

"Jelas! Kau satu-satunya makhluk hidup di sini." Aku menyapu pandangan, sudah lama tidak main ke rumah Pak RT, tetapi tak banyak yang berubah sejak sepuluh tahun lalu.

Dia meninggalkanku sendirian untuk ke dapur. "Nadir," panggilnya. "Saat kubilang kau makan siang di sini ... maksudku kau yang bikin—"

Lagi-lagi sudah kuduga. Pertama, karena aku tahu rumahnya sepi. Kedua, kami sekelas tahu Dala tidak pandai memasak atau berhubungan dengan api. Ketahuan saat kami ke kantin bersama, dan dia tak sudi dekat-dekat wajan berisi minyak mendidih.

Melihat tatapan mataku, Dala tak melanjutkan kalimatnya. Dia berlalu di balik kitchen set dan membuka kulkas.

Anak itu benar-benar membuatku hendak teriak macam orang gila. Anehnya, aku betah berteman dengan dia, meski cerewet dalam diam dan abnormal tidak ketolongan.

"Naik duluan sana ke kamar—"

Kupelototi dia dari meja makan. Mata kami bertemu dengan dua ekspresi berbeda, dan dia paham jelas apa maksudku. Tidak sepantasnya anak gadis masuk kamar laki-laki dan kami hanya berdua.

Dala mengusap tengkuknya, raut wajah itu langsung berbeda dan merasa tidak enak, paham kalimatnya barusan seharusnya tidak pernah dia ucapkan.

Aku baru menyadari bahwa Candala tampak berbeda saat mengenakan kaos polos dan celana pendek. Penampilannya jauh berbeda saat mengenakan seragam sekolah. Dia kelihatan lebih ... santai? Dan lebih banyak bicara. Entah apa yang dia pikirkan tentangku sehingga dipilihnya menjadi satu-satunya orang yang mau diajak bicara.

Keadaan canggung tadi teratasi dengan cepat, aku tidak begitu peduli terhadap itu, mungkin Dala juga demikian. Kami mulai mengerjakan tugas setelah Dala mengambil peralatannya dari kamar.

Lima belas menit pertama, rumah benar-benar sepi dan kami fokus pada pelajaran masing-masing. Aku mengerjakan puisi, Dala menggarap matematika wajib.

Sepuluh menit kemudian, Dala mulai bosan dan memainkan pensilnya di antara hidung dan bibir atas. Aku selesai mengerjakan matematika wajib. Gelas kami hilang isinya, mungkin sudah berseluncur di ginjal.

Lima menit terakhir, Dala mengeluh tentang betapa heningnya saat bersamaku.

"Kau tau? Kau lebih berani dari yang kuduga," katanya menyambar gelas kami dan mengisinya lagi di dapur. "Waktu kau dikerjai kakak kelas ganjen itu, di bayanganku kau bakal nangis atau minimal jambak-jambakan."

Aku diam, membiarkannya bercerita sendiri sementara tanganku sudah meraup semua bukuku yang berserakan, dan menyusunnya kembali. Cukup menjadi pendengar saja, tak ada yang perlu kukomentari.

"Tapi mukamu jujur nyebelin banget waktu itu. Makanya dia sebel sama kau," oloknya, kembali ke meja makan dan menyodorkan minuman lagi.

Dala duduk diam, kulirik dia dari sudut mataku. Kemudian tersadar bahwa tugas kami tidak cuma dua.

"Seni budaya gimana?"

Tangannya langsung mengangkat buku gambar dengan takzim dan menyeringai. "Kau sudah tau jawabannya, bung."

Benar juga, lukis dan gambar termasuk seni rupa. Itu adalah satu-satunya hal yang mampu kukerjakan dalam dunia seni, sebab aku payah dalam menyanyi atau memainkan alat musik selain piano.

"Aku pulang dulu, ambil sketchbook."

"Nggak usah," tahannya. "Pake kanvas aja."

。  ☆  。

Dala sungguhan gila membawaku ke kamarnya di lantai atas, dan betapa terkejutnya diriku saat mendapati ruangan warna-warni beserta kanvas-kanvas setengah jadi. Sebenarnya otak Candala terbuat dari apa, sih? Bagian kanan dan kirinya mampu bekerja bersamaan itu luar biasa.

"Pake aja yang mana satu, cat juga masih banyak," katanya seraya memasuki kamar berjingkat-jingkat.

Aku tidak percaya Pak RT punya kamar seluas ini di rumahnya. Dulu ini kamar anak sulung dan gudang, tetapi sepertinya kedua ruangan itu digabung. Ketahuan sekali dari bekas potongan dinding yang tak rapi di tengah kamar.

Dan dari mana Dala mendapat semua cat ini? Kalian tahu, cat akrilik 15 ml harganya bisa dua puluh ribuan. Bagaimana bisa Pak RT punya uang sebanyak itu untuk membelikannya seperangkat alat lukis? Ngepet jaga lilin?

Rupanya Dala memerhatikan wajahku sedari tadi. "Beasiswa Pemprov DKI, aku dapat lumayan buat jajan."

Gila! Sebenarnya anak ini sepintar apa, sih? Namun, mengapa nilainya masih lumayan jauh di bawahku? Bahkan Bila mengalahkannya di mata pelajaran biologi.

"Apa nggak papa kupake kanvasnya?" tanyaku basa basi. Itu tidak begitu perlu, sebab aku bisa pulang dan mengambil kertas seandainya Dala hanya formalitas saja berkata demikian.

"Aku memaksamu." Dala tersenyum, menarikku masuk dan menutup pintu dari dalam. "Aku ingin kau memperbaiki lukisanku, pilih yang mana saja. Kalau bagus boleh kau ambil, sekalian buat tugas senbud."

Langkahku sedikit terseret ke belakang, menjauh dari Candala sedikit. "Asal jangan dekat-dekat." Pandanganku keburu jalan-jalan ke seisi kamar Dala, setidaknya ada lima kanvas yang sudah tercoret-coret, dan dua kanvas polos yang duduk di sudut ruangan. "Kau? Bagaimana denganmu?"

"Aman aja." Dia menjauh, berlari kecil ke sisi ruangan dan kembali padaku dengan sekotak kayu cat akrilik.

Aku termenung sejenak. Bila diingat lagi, ini adalah pengalamanku yang paling aneh bin ajaib, sebab aku tak pernah melukis ulang lukisan, milik orang lain pula. Juga ruangan ini, tampak seperti atelier yang dipenuhi banyak noda cat dan kain putih.

Meski hanya lima kali lima meter, Dala mampu mengorganisir ruangan dengan rapi sehingga bagian 'kamar' yang lebih pribadi terpisah dari cat-cat. Ranjangnya paling sudut, paling jauh dari pintu, dekat jendela serentangan tangan dan meja belajar minimalis. Banyak rak gantung menghiasi dindingnya, berjejalan buku novel, komik, sampai kamus bahasa. Beberapa yang kukenali milik sulung Pak RT, mungkin mereka masih menyimpannya di sini. Seakan ada kubus transparan menghalangi semua warna dan barang-barang kotor.

Kuterima uluran kotak kayu darinya, tetapi masih bingung hendak memilih kanvas mana. Semua ukurannya sama, satu kali setengah meter—ukuran yang cukup besar. Yang paling dekat denganku berwarna merah, sebuah apel dengan pisau, setengah jadi sebab latar belakangnya masih absurd, entah sebenarnya apa yang hendak anak ini lukis. Di sisi kirinya kanvas disiram warna toska, coretan krem berpadu silver sedikit tergores di tengahnya, tetapi aku tak paham jalan pikir Dala. Di sudut ruangan, sekilas tampak seperti siluet kota kelabu berbatasan dengan padang ilalang, kontrasnya warna abu dan xanadu-kuning semakin memusingkanku terhadap apa ide anak yang kini sedang menyambar kanvas ketiga itu.

"Maaf, Bung. Aku ambil yang ini," katanya, bergegas mengambil dua kursi dari sudut kamar.

Kanvas keempat, sedikit mainstream dengan biru laut dan hitam eboni menyembul dari tengah, entahlah itu apa, lagi-lagi gagal paham. Yang terakhir, paling jelas bentuk dan warnanya, wajah Candala sendiri dari sisi samping serta rambutnya yang tersingkap disela telinga. Rahangnya tegas, dengan mata sayu menatap kosong ke bawah, seakan melirikku seraya tersenyum tipis.

Kain putih tiba-tiba melayang di depanku. Sekujur tubuh bagian atasku terselimuti kain dengan horor, seolah setelah kubuka tabir ini dunia luar akan berubah dan hancur.

"Jangan dilihat, aku malu!" bisiknya.

Aku meronta kesetanan di tengah putihnya dunia di sekitarku. "Iya, tapi tak perlu sebegininya!" Aku berseru, belum berhasil menyingkirkan kain yang ternyata super besar. "Bantuin!"

Dua detik, tak kurasakan tangan lain menyapaku. Sesaat setelahnya tawa Dala meledak keras mengolok-olokku. "Kayak anak kecil jempalitan!"

Perlu usaha lebih untuk keluar dari sana selama setengah menit. Langsung kudapati Candala terpingkal-pingkal di lantai sembari memegangi perutnya geli. "Ya, ketawa aja terus." Aku memutar mata jengah.

"Eh, jangan, jangan." Disekanya air mata di sudut mata, lantas berdiri tertatih, masih setengah tertawa. "Sana bercermin, Nad." Senyumnya enggan menghilang dari wajahnya saat ini.

Berisik, aku tahu rambutku berantakan macam singa lepas kandang. Kutarik karet rambut dari pergelangan tangan, menguncir tiap helaiku tinggi-tinggi agar tak mengganggu nantinya.

"Jadi orang jangan serius-serius, Nad. Kita masih remaja, kau kudu menikmatinya sedikit, seperti kata Bila." Usai mengatakannya, Dala mengusap puncak kepalaku sekilas sebelum mengambil kuas dalam rendaman air di cawan besar.

Rasa aneh mendadak menjalari tubuhku. Aku tidak tahu ini perasaan apa, rasanya seperti aku ingin marah tetapi tertawa di saat bersamaan.

Ah, peduli amat. Pilih saja sembarang kanvas yang paling mudah dilukis ulang.

Dala sudah memulai kanvasnya, mengambil palet dan menuangkan beberapa warna di sana. "Kenapa kau mau kutempeli?" tanyanya mendadak.

Sudah kuputuskan memilih kanvas kedua, yang toska dan krem campur perak gemerlap. "Pertanyaan macam apa itu." Kuseret kursi pinjaman dari Dala, mulai berpikir apa yang hendak kulukis dengan warna dasar seperti ini.

"Di antara sembilan orang di kelas yang pernah berusaha mendekatimu, semuanya kau acuhkan." Kuasnya terangkat, melihatnya menggores permukaan kain dengan percaya diri membuatku merinding. "Kecuali aku. Kenapa?"

"Kau juga begitu, 'kan?" Kuambil palet, menyusun gradasi warna untuk diguratkan pada bagian toska. "Kau bahkan tak bicara pada Pak Faruq, pada Jamal. Lantas tiba-tiba memelukku di ayunan. Apa-apaan itu?" balasku.

Tak lagi kulihat dirinya, sebab mata ini fokus pada kanvas. "Aku tidak menjauhi mereka. Aku hanya diam, mengamati interaksi sosial kalian. Jangan samakan aku denganmu."

Kenapa dia jadi menyebalkan begini, sih? Aku membuang napas panjang, sebelum akhirnya menjawab setengah hati. "Karena, satu. Kau teman sebangkuku. Dua, aku juga makhluk sosial yang perlu teman. Tiga, jangan lupakan Abidine. Sebelum aku duduk denganmu, satu semester sudah kulewati duduk bersamanya." Tanpa sadar tanganku mengayunkan kuas dengan kasar.

Kami terdiam tanpa saling melihat selama beberapa menit. Suara denting kuas menabrak cawan kaca menjadi satu-satunya pengilang hening.

Suasana hatiku sudah lebih baik setelah beberapa goresan. Aku sadar apa yang kukatakan barusan tentu menyakitinya. Dala sudah berusaha dekat padaku, tetapi aku hanya menganggapnya seolah formalitas hidup dengan teman.

"Apa kau tak berusaha mencari teman?"

Aku menggeleng. "Aku mau. Sudah kucoba, tetapi aku selalu berpikir tak ada gunanya berteman. Untuk apa memiliki partner hidup kalau aku bisa melakukan semuanya sendirian?"

"Kau benar," katanya, "tapi, kau salah." Dia terdengar hendak menyampaikan sesuatu, mungkin sedang mengolah kata. "Terkadang temanmu memang tak berguna, tetapi di saat bersamaan mereka membangunmu dari dalam. Itu yang tidak kau sadari sejak awal. Bagaimana dengan teman SMP?"

"Dia punya teman baru lagi di kelas reguler. Aku tak peduli, bukan hidupku," jawabku asal. Kini, kanvasku berubah kekuningan cerah. Aku berencana melukis setangkai bunga matahari.

"Tidak cocok, huh?"

Aku mengangguk. "Terlalu aktif dan tak bisa diandalkan."

Alih-alih memahamiku, Dala malah tertawa. "Kau jahat sekali."

"Memang."

"Tapi, kau ingin teman?" tanya Dala lagi, sepertinya dia sedang menoleh ke arahku. Suaranya terdengar lebih dekat dan tidak memantul dari dinding seperti tadi.

Sejujurnya, aku ingin sekali bisa memiliki banyak teman. Seperti yang kulakukan saat pertama kali sekolah di tahun ini. Aku sudah mencoba akrab dengan mereka, tetapi selalu gagal karena pikiranku sendiri. Pak Faruq benar, semakin ahli kau mengobservasi pola perilaku individu, semakin kau tahu baik buruknya, semakin enggan pula kau berteman dengannya.

Kadang aku ingin membuang kepintaran ini demi mendapat teman dan berperilaku selayaknya remaja SMA yang tidak anti sosial. Melihat anak-anak main sepulang sekolah, membuang waktu mereka bersama teman. Aku iri. Namun, aku juga selalu berpikir bahwa orang-orang itu hanya membuang waktu berharga di usia muda, sama saja membuang masa depan mereka.

"Kalau kau memang menginginkannya, maka kau harus berusaha memahami mereka juga, Bung." Tangannya tiba-tiba mengelus puncak kepalaku dengan lembut, tetapi langsung melenggang ke sisi lain ruangan untuk mengambil cat. "Dimulai dari teman sekelas. Itu yang paling mudah."

Tunggu, kenapa dia jadi menasihatiku seperti ayah? Sialnya dia benar, dan satu sisi di dalam hatiku mendadak sebal.

"Kau sudah memulainya," ucap Candala, dia berdiri dan menunduk di sisiku. "Kau masih ada di sini meski isi batok kepalamu itu sebenarnya ingin cepat-cepat pulang, 'kan?"

"Apa maumu, Bung?" tanyaku, meletakkan kuas dan palet sejajar di tangan kiri. "Aku tak merasa punya hutang budi padamu. Tapi, kau terus berusaha membantuku memiliki teman. Kenapa? Kau seharusnya punya alasan kuat." Kutatap dia, mata kami bertemu lama sekali.

Dala berlutut, melirik lukisanku yang sudah setengah jadi. "Lukisanmu jelek," komentarnya mengalihkan topik. "Tidakkah kau pikir demikian?"

Aku berdecak, "Berhenti mengacuhkan pertanyaanku!"

"Jawab dulu pertanyaanku, lalu kujelaskan mengapa."

Anak ini ... ingin kucekik rasanya. "Iya, aku merasa ada yang kurang. Padahal komposisinya sudah tepat menurutku"

"Itu karena kau hanya menggambar sebuah bunga matahari dengan teknik pas-pasan." Dala bangkit, menunjuk kanvasku dengan telunjuknya yang bernoda cat kering. "Seni sangat menggambarkan dirimu, Nadir. Bunga matahari yang ingin bersinar sendiri, tetapi dia belum mampu memancarkan cahayanya sendiri, sama seperti dirimu yang belum siap hidup seorang diri tanpa orang lain.

"Maka dari itu, kau membutuhkan support system untuk membantumu bersinar. Tambahkan beberapa bunga matahari lain sebagai latar belakang, tambahkan teman yang akan mendukungmu saat kau sendirian. Mereka akan membuat bunga mataharimu terkesan lebih menonjol dan bersinar sendiri. Dan alasanku mendekatimu kira-kira seperti benda-benda di belakang lukisan utama itu."

Otakku memahami maksudnya, dan hatiku sedikit tersentuh sebab dia rela mengatakan hal itu dengan perumpamaan rumit. Hanya demi menyadarkanku bahwa berteman itu hal yang sangat penting. "Gimana kalau aku punya skill yang lebih tinggi? Aku tak butuh latar belakang lagi kalau begitu."

Dala tersenyum. "Apa kau punya itu sekarang?"

Tidak, aku tidak memilikinya. Kepalaku menunduk melihat kedua tanganku yang sedikit terciprat cat.

"Itulah sebabnya aku di sini," kata Dala. Dia meletakkan cat-cat yang diambilnya tadi di dekat kursinya. Kemudian kembali padaku. "Dengar." Tangannya menangkup kedua pipiku hingga mata kami bertemu lagi. "Aku nggak bakal ke mana-mana kau sampai lulus SMA. Aku bakal terus di dekatmu sampai kau nggak ansos lagi. Sesuai janjiku saat pertama kali kita bicara. Sampai akhir hidupku, kita akan terus berteman." Wajahnya semakin dekat, hanya terpaut beberapa senti dariku

Entah mengapa, kali ini kalimatnya menimbulkan perasaan berbeda dari waktu itu. Wajahku terasa hangat seutuhnya, dan semoga Dala tak mendengar jantung dan batinku yang berteriak!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top