9 • Which vigilante is this again?
Ada rasa puas tersendiri saat melihat jam tangan canggihnya berfungsi dengan sangat luar biasa. Tidak hanya memasangkan kostum secara sempurna tetapi juga terdapat cermin besar pada penyimpanan dimensi miliknya. Dia menyempatkan diri untuk melihat tampilan superhero dirinya di depan cermin. Kali ini, dia sudah cukup bosan dengan model rambut kepang dua seperti saat ia bertugas menjadi sidekick NightQueen. Bahkan microchip pada jam tangan itu juga mampu untuk mengubah tatanan rambut sehingga menjadi hitam panjang bergelombang sampai di atas pinggang.
Tidak hanya dari segi penampilan, topeng mata yang dikenakannya juga berbeda dengan topeng mata pahlawan-pahlawan lain seperti yang diketahui di dunia tersebut. Benda yang kini dipakai pada matanya lebih mirip dengan kacamata virtual canggih dengan tampilan yang seakan berasal dari seratus tahun masa depan. Layaknya kacamata game MMORPG, biru terang dan tembus pandang jika dinyalakan. Namun, lensa kaca tembus pandang tersebut hanya berlaku bagi si pemakai, yang memandang tetap tak akan mengetahui sebagian dari area hidung ke atas wajah.
Ana, si gadis dengan kostum Hero biru merah bersepatu boots tinggi dan memakai stoking hitam hingga menutup seluruh bagian kaki itu berkacak pinggang, memeriksa kelengkapan alat-alatnya yang semua statusnya berfungsi sempurna. Dia kemudian melangkah keluar dari ruang tempatnya berganti pakaian sekarang, melihat dirinya kemudian disambut oleh beberapa kroco yang sedang menodongkan pistol.
"Vigilante mana lagi ini?!" Wajah keheranan dari si penodong tidak dapat disembunyikan.
Klise. Ana sudah paham dengan rute kejadian yang akan dilewati. Benar seperti apa yang dia duga, dia mendapatkan hujan tembakan yang jelas tidak mempan. DNA Wonder Woman sudah cukup kuat untuk menahan benturan ditambah dengan kostum canggih berbahan tenunan zetix bahkan lebih dari cukup menahan ledakan bom sekalipun. Apalagi jika hanya lesatan peluru, bagaikan kertas yang melayang dan membentur tubuh. Tidak terasa.
"Cuma segitu?" Ana bertanya, mimik muka yang ditampilkan lewat wajah pada bagian tak tertutup topeng terlihat tak begitu bersemangat.
Ana malas. Musuhnya terlalu lemah sehingga dia hanya berjalan santai ke depan sambil memperhatikan wajah-wajah takut dari delapan kroco yang sekarang hendak bergerak lari terbirit kalau saja cambuk Lasso of Lies tidak mengekang mereka. Ana dengan lihai memainkan si cambuk emas, melilit kedelapan orang sekaligus dan dengan mudah membenturkan mereka ke samping, atas, bawah, dan terus begitu secara berulang.
Delapan orang itu tidak mati. Melihat musuhnya sudah tak berdaya, dia tetap melangkah menyusuri sekitar. Lorong-lorong di kapal tersebut sudah banyak terbaring seonggok demi onggok manusia dengan luka tembak di dada. Ana menunduk, memperhatikan darah segar yang mengalir dari dada korban–ah, maksudnya dada kriminal yang menjadi korban entah siapa pelakunya–tidak mendapatkan tembakan di titik vital. Satu hal yang Ana pahami adalah, orang yang melakukannya pasti punya semacam moral untuk tidak membunuh atau sejenisnya. Tetapi melihat luka tembak di sisi lainnya, itu bisa dikatakan sangat parah meski tidak sampai mencabut nyawa.
"LARI! DIA ORANG GILA!" Suara teriakan datang dari arah berlawanan.
Ana bergegas, melangkah secepat mungkin menuju ke lokasi teriakan dan kerusuhan tersebut. Kakinya berhenti melangkah saat tiba di puncak anak tangga menuju ke bagian lebih dalam lagi dari kapal tersebut. Di lantai bawahnya, api menjalar memakan pilar-pilar, ruang demi ruang kapal yang terbuat dari kayu pun perlahan dilahap liar oleh si jago merah. Di seberang, tampak sekelompok kriminal yang sedang menembakkan pistolnya ke satu arah. Ke sebuah ruang gelap sedang sekelompok itu terus mundur dari arah pintu ruang gelap, menjauh dan menjaga jarak.
"Orang bodoh mana yang mau bertarung dengan si gila Red Hood?!" Seruan nyaring seseorang spontan membuat Ana mengalihkan pandang. Dia mendapati seorang lelaki berpenampilan sama dengan para kroco kriminal berada tak jauh dari posisinya berdiri memandangi lantai bawah.
"Apa? Red Hood? Coba ulangi!" teriak Ana pada si lelaki tersebut.
Si lelaki memandang Ana dengan mata memicing, memperhatikan si gadis dari ujung kepala hingga ujung kaki. Pakaian yang dikenakan tidak bisa dikatakan normal untuk berada di tengah-tengah tempat seperti yang dipijak sekarang. Korban bukan, seperti kriminal juga bukan. Satu kesimpulan yang bisa ditarik hanyalah, dia juga vigilante.
Si kriminal spontan menodongkan pistol ke arah wanita bercambuk emas yang masih terlihat santai. Dia berkata, "Kau pasti rekan Red Hood, iya, kan? Si Batman gila itu tidak ada habisnya mengambil anak."
"Jangan salah paham, Om kriminal. Aku bukan vigilante. Aku ke sini cuma karena ingin mendapat harta warisan Ayah." Ana menjelaskan.
Siapa pula yang mau mendengarkan alasan seperti itu. Kriminal ya kriminal. Lelaki itu berseru, "Persetan dengan itu yang penting matilah kau!"
Suara desing peluru muncul dari moncong pistol si kriminal. "Lagi-lagi begini. Malas, deh," keluh Ana.
Si wanita yang dianggap vigilante itu mengayunkan cambuk emas dengan tidak bersemangat. Padahal dia tidak begitu mengeluarkan tenaga saat melakukannya tetapi satu orang kriminal itu sudah dengan mudah dililit dan diayunkan hingga membentur tembok kayu di samping. Kali ini, Ana tidak sebrutal sebelumnya yang sampai mengayunkan musuh seperti lato-lato karena tak ingin membuatnya pingsan. Dia hanya melumpuhkan sedikit lalu memperpendek jarak hingga berada di depan si lelaki yang masih dalam keadaan terikat Lasso of Lies.
"Katakan padaku maksudmu tadi!" perintahnya.
"Aku tidak tahu apa yang kau maksud." Jawaban si lelaki benar. Dia memang tidak mengerti titik pernyataan yang diberikan si pahlawan.
"Red Hood. Ada apa dengan dia? Ada apa dengan kapal ini?" tanya Ana.
"Aku tidak tahu." Bohong. Listrik bertegangan tinggi langsung menyengat si lelaki sampai rambutnya melanglang buana ke langit-langit melawan gravitasi.
"Di mana Red Hood? Ada apa sebenarnya dengan kapal ini?" tanya Ana, lagi.
"Aku tidak tahu. Mana mungkin aku menjelaskan tentang kapal padamu yang rekan Red Hood." Tolol. Si kriminal ternyata suka disetrum.
Pertanyaan berikutnya masih sama dan si kriminal enggan menjawab jujur, setruman listrik semakin kuat hingga kulitnya gosong dan melepuh di beberapa bagian. Mata si kriminal sudah putih semua, hampir kehilangan kesadaran penuh kalau saja Ana tidak mencolok matanya sebagai kejutan agar dia terbangun dari pingsannya.
"Katakan dengan jujur kalau tidak mau mati gosong." Ana berbisik memberikan penekanan pada ucapannya.
"Red Hood menyelinap dari lantai bawah dan membuat kekacauan di kapal. Dia menggagalkan arah tujuan kapal yang akan bertemu di tengah perairan antara Gotham dan Metropolis." Penjelasan si kriminal rupanya menjadi ucapan terakhir yang bisa diberikan karena kemudian dia jatuh pingsan dan tak lagi bisa disadarkan.
Ana bangkit dari jongkoknya. Ia bergegas ke tepian pegangan tangga dan benar mendapati Red Hood keluar dari pintu ruang gelap yang tak tertutup. Rupanya sekelompok kriminal yang tadi menodong senjata ke satu arah adalah Red Hood sebagai tujuan tembaknya.
"Red Hood, aku padamu." Maaf, Ana keceplosan. Niatnya mengutarakan di hati malah diutarakan dengan seruan, cukup jelas sampai membuat atensi Red Hood teralihkan padanya.
Keduanya jadi saling pandang. Ana yang bersemangat itu tidak mampu menebak ekspresi semacam apa yang sedang Red Hood buat di balik topeng merah penutup seluruh wajah dengan bentuk seperti orang bad mood tak berkesudahan.
.
.
.
Minggu, 30 Juni 2024, 23:40 WIB.
A/N : Bisa update akhirnya! Sempat ketar-ketir takut enggak tuntas tanggungan bulanan ternyata masih kesampaian menjelang deadline.
So sorry karena aku ngerasa ini enggak ngalir dan gak to the point, cenderung 'manjangin' soalnya aku sendiri lagi bingung mau bikin pertemuan RH sama Ana kayak gimana.
Next chap bakal spill codename Ana pas lagi bertugas. ✨
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top