12
Saudara, sebuah jalinan kasih yang terhubung dengan sebuah ikatan darah murni. Seumur hidup , bagi Levi. Keluarganya satu satunya hanyalah mikasa. Adik manis satu-satunya dari keluarga Ackerman. Keluarga yang miskin, dan terbengkalai penuh dengan dosa-dosa yang bertebaran tiada tara. Kami termasuk dalam keluarga kotor dan kumuh. Hidup dalam sebuah dosa , dan kekejaman duniawi yang gelap. Mendorong Levi dan Mikasa untuk bertahan hidup dalam dunia itu.
Entah tidak terhitung sudah beberapa kali, Levi dipukuli demi melindungi adiknya itu. Adiknya yang masih murni dan sangat kecil. Ayah dan ibu sama sama tidak pernah sekalipun menyayangi kami, mereka selalu mabuk-mabukan memukuli dan berbicara dengan keuangan yang sangat susah. Mencuri dan melakukan apapun, mereka hanya menghabiskan uangnya dan Levi harus mencari uang dengan mencuri dan melakukan hal-hal lainnya. Demi Mikasa, adiknya masih membutuhkan susu asi. Ia tidak bisa melihat adiknya kelaparan, adiknya yang manis. Hanya itu satu-satunya yang menjadi bagian bertahan dari Levi untuk bertahan.
Bertahan dalam kehidupan ini.
.
.
Levi hanya duduk dibalik kayu rapuh yang penuh lubang itu. Rumah kumuh, yang mungkin tidak lama lagi akan hancur. Menyisakan keluarga hancur mereka ini. Ia melihat saudari kandungnya yang tengah asyik meminum susu di botol. Levi terdiam saja, dengan kondisi tubuh yang kumuh. Bekas darah yang mengalir di bajunya yang sudah compang-camping itu.
"Mnh...Nn.." seru Mikasa. Gadis manis kecil itu, saat itu Levi berumur 6 tahun. Adiknya masih berusia 1 tahun. Masih sangat kecil, seperti boneka. Tangan mungilnya memegang jemari Levi yang diletakkan di atas lantai yang kotor itu. Levi menoleh melihat adiknya yang ia letakkan diatas kardus yang masih bersih. Adiknya, Mikasa tersenyum dengan polosnya. Rambutnya yang baru tumbuh berwarna hitam legam serupa dengan dirinya. Levi sedikit menunduk saat sang adik ingin memanggilnya saat itu.
Srek!
Levi membulatkan matanya saat merasakan kalau tangan mungil sang adik mengelus surai nya itu. Ia mengangkat kepalanya dan jarinya masih mengelus surai pendek Levi yang terurai di pipinya itu. Lalu ia tersenyum dengan cerianya, tampak sangat bahagia. Binar mata yang Levi rasa sudah mulai menghilang dari dirinya ada pada Mikasa. Perlahan binar yang tersisa itu muncul di kedua mata Levi, sebuah binar yang lembut. Ia memegang jari jemari yang kecil itu. Menjawab senyuman nya yang sungguh sangat manis.
"Kau tumbuh yang besar, jangan seperti diriku" ujar singkat Levi mengelus rambutnya. Mikasa hanya melihat tidak mengerti seperti anak kecil, kedua binar mata berwarna hitam yang melihat ke arah Levi, didalam matanya terdapat gambar kakak nya tersayangnya yang selalu terekam disana. Kakak yang selalu bersama dengannya, kakak yang selalu ada disisinya. Dan kakak yang sayang padanya sebagai sebuah keluarga.
Bruk!
Levi langsung menarik sang adik ke belakang lemari usang yang memiliki celah disana. Ia masih meminum susu, jadi tidak akan berisik. Levi langsung berdiri memandang dengan wajahnya yang kembali sangat datar.
Dibalik pintu yang dibuka paksa. Sosok itu muncul, ayah yang mabuk-mabukan. Dia melihat dengan rabun kearah Levi dan langsung meminum lagi racun itu. Ia berjalan sempoyongan dan Levi menghindarinya.
"KH, mana adik berisik itu!. Dasar anak bayi gak berguna. Setiap hari nyusahin saja dengan suara berisiknya itu" gumam ayahnya tidak jelas. Ia melihat kearah Levi, melotot kearahnya.
"Mana anak itu?" Serunya.
"..." Levi hanya diam, lalu ia menoleh dingin kearah lainnya menghindari ayahnya itu.
"Tidak tau" serunya singkat. Ayah nya menjadi geram, selalu saja seperti ini. Ia meraih dengan kasar pundak kecil Levi yang masihlah rapuh itu.
"Dasar anak ini!. Aku ini orang tuamu!, Kurang ajar!"
"Orang tua busuk" seru Levi mendengus kasar , ia langsung menatap tajam ke arah mata ayahnya itu tanpa sedikitpun rasa takut pada dirinya.
"Kurang ajar!" Teriak ayahnya. Lalu ia melayangkan botol itu tanpa rasa belas kasih. Tanpa mau tau kalau itu adalah anak kandungnya sendiri yang masih sangat kecil. Levi hanya diam hingga bunyi hantaman keras itu mengenai lagi berkali-kali tubuh kecil Levi. Tanpa adanya suara sedikitpun selain suara ayah yang mengeluarkan umpatan dan kata-kata kasar padanya. Botol dihantamkan berkali-kali tanpa sedikitpun perasaan.
Buk! Buk!
"Anak gak guna!. Lebih baik kau gak dilahirkan!. Buang buang uang saja, kurang ajar!. Gak mau nurut sama sekali!"
Buk! Buk!
Darah mengalir perlahan turun memenuhi kaki kecilnya.
Buk! Buk!
"Bangsat , Bajingan. An****. Dasar anak buangan!" Seru sang ayah yang meledak-ledak itu.
Buk! Buk!
Pecahan kaca dari botol mulai terdengar bertebaran dimana mana. Bersamaan dengan darah yang mengalir semakin deras. Levi hanya diam saja, ia hanya menunduk. Melindungi bagian atas kepalanya. Ia harus tetap sadar, demi adiknya. Ia melihat kearah adiknya yang melihat dia dengan tatapan polosnya.
Levi hanya berusaha tersenyum meksipun sangatlah kecut. Pertanda kalau ia baik-baik saja sama seperti 'biasanya'.
.
.
Brak!
Tiba-tiba bunyi kebakaran terjadi. Ayahnya berhenti memukuli saat mendengar orang-orang mulai berteriak panik diluar. Kemudian rumah mereka runtuh seketika. Levi dengan susah payah keluar dari celah yang ada. Dia keluar dan mengambil nafas sebanyak banyaknya. Ia langsung melihat kearah lainnya. Adiknya, dalam satu waktu. Hanya itu yang ia pikirkan. Suara orang-orang mulai bersahutan saling berteriak dan meminta tolong untuk kehidupan mereka.
Bau asap menyebar, api yang panas mulai terasa membuat semua oksigen menipis. Levi berusaha mengerakkan kakinya yang terhimpit kayu. Dengan tangan kecilnya ia berusaha untuk bertahan hidup dengan sendirinya. Nafasnya mulai terasa sesak, untuk seorang anak kecil sepertinya. Ini adalah tekanan yang terlalu berat. Levi berhasil dengan susah payah mengeser sedikit kayu itu. Ia menarik paksa kakinya yang terasa berdarah saat di gesek dengan bekas kayu tajam yang saling berjauhan itu.
Grep!
Levi terhenti saat ia merasakan kalau kakinya kembali ditarik dan dia terjatuh lagi, tubuhnya menyentuh tumpukan kayu yang saling bertumpuk secara tidak beraturan. Ia melihat kearah sang ayah yang menariknya dari satu arah. Ibunya yang berlarian keluar tidak karuan. Ibunya melihat kami, tapi ia tidak bergerak melakukan apapun. Hanya mempedulikan dirinya sendiri, ia hanya menatap dingin dan kembali berusaha untuk mencari jalan keluar dari rumah mereka yang mulai hampir rubuh dan akan menimpa kami sekeluarga di sini.
Levi kembali menatap ayahnya yang terhimpit kayu yang besar. Ayahnya menatap dengan kedua matanya memohon. "Tolong ayah, nak. Kau adalah anak ayah kan?. Sudah tugas anak untuk membantu orang tua" pinta dia dengan kata-kata putus asa.
Levi menatap dingin, lalu ia dengan kejamnya. Mengangkat salah satu kayu disana. Ia mendekati tubuh ayah yang terbaring disana. Levi duduk di atas lantainya tanpa berkata apapun. Ayah?, Dia bukanlah ayah. Sejak awal sosok yang sekarang ada didepannya ini hanyalah seorang asing. Selalu saja memukuli anak-anaknya setiap mabuk-mabukan. Hingga Levi, tidak jarang selalu hampir pingsan karena kehabisan darah. Ia terbangun lagi, karena teringat akan adiknya. Memaksa dirinya yang berkali-kali hampir mati. Botol minuman yang entah sudah berapa kali dipecahkan ayah di tubuh kecilnya ini seolah dia bukanlah manusia.
"A-apa yang-"
"Sejak awal kau bukanlah ayah kamu. Ataupun ayahku. Sejak awal, kami hanyalah sendiri. Kau hanyalah orang asing yang selalu menyiksa kami" serunya dengan nada dingin tanpa emosi dan perasaan. Ia melihat lagi dengan tatapannya yang dingin seperti samudera yang dalam.
Bruk!
Levi menarik kayu itu dan tanpa belas kasihan apapun langsung mengarahkan bekas kayu jatuh yang penuh perpotongan yang tidak rapi pada tangan ayahnya yang memegangi kakinya. Satu pukulan, ayahnya berteriak. Dan tidak mau melepas, dua pukulan darah mulai keluar. Ini tidaklah sebanding, dengan darah yang selalu rutin keluar dari tubuh mungilnya yang harus terpaksa bertahan dalam kurungan itu.
Buk! Srek!
Beberapa kali pukulan ayahnya masih bertahan. Ia hanya menatap datar, tanpa perasaan apapun. Seperti semua perasaan dalam dirinya hilang. Ia melihat lagi ke arah ayahnya dengan tatapan seperti kematian. Dan satu tangannya itu mengangkat kayu itu, melihat dalam ke arah ayahnya yang ketakutan. Lalu suara itu muncul, darah muncul seperti air mancur sesaat. Dan teriakan menyayat hati keluar. Levi mengerakkan kakinya yang terasa bebas sekarang ini.
Grep!
Lagi, dan Levi menoleh lagi. Melihat sang ayah dengan satu tangannya yang lain memegang kakinya penuh harap.
"A-anak kurang ajar awas saja kau kalau aku keluar!" Seru ayahnya masih keras kepala. Meksipun salah satu tangannya sudah lenyap dari sana.
Tanpa belas kasihan dan dengan kekejaman yang tidak masuk akal, seolah anak kecil manis itu sudah kehilangan segalanya yang dibutuhkan. Dengan wajah dingin, ia menarik lagi dua kayu besar yang ada di sebelahnya dan menancapkan nya begitu saja pada tangan ayahnya itu hingga ia berteriak lagi dan tangan itu terlepas. Levi melihat ke arah atas, ia segera menarik kakinya. Melihat dengan wajah datarnya saat kayu yang ada di atas itu jatuh, dan perlahan kayu itu menimpa manusia itu.
SPLAT!
Levi hanya diam, saat darah perlahan menyembur pada pipi nya itu. Darah merah segar, tanpa ekspresi atau apapun. Levi mengelap darah itu lalu bangkit dari sana. Seolah tidak ada kejadian apapun disana, Levi bersusah payah bangkit dari tempat dia duduk. Kakinya berdarah karena gesekan kayu tadi. Semakin ia berjalan, sisa kayu tajam itu semakin sangat menyiksa kakinya yang tanpa berbalut apapun.
"..." Tidak ada suara. Tanggapan apapun darinya. Ia melihat kearah sekitar, mencari dimana keberadaan adiknya itu.
Ia melihat kearah lemari yang masih utuh. Levi terjatuh saat ia merasakan menyentuh sesuatu yang tajam. Pecahan botol tadi. Ia menyeret tubuhnya kearah lemari tadi. Melihat Mikasa yang masih disana, ia mengulurkan tangannya dengan susah payah. Menyeret kakinya yang masih sangat sakit tertancap sesuatu yang tadi diinjaknya, ia tidak punya waktu melepaskan itu. Lemari itu akan roboh, Levi terus mengulurkan jemarinya dengan penuh harap. Mikasa hanya diam, ia melihat kakaknya yang berusaha menggapai nya.
"..mnh!" Seru mikasa dengan polosnya, ia mengulurkan tangan mungilnya pada Levi saat ia menyentuh tangan itu. Bunyi retakan terjadi, Levi langsung saja menarik tubuh kecil Mikasa dan memeluknya dengan erat. Melindunginya dengan tubuh mungilnya sendiri. Ia memeluk erat-erat Mikasa di dadanya. Ia membuka matanya melihat kearah lemari yang hancur itu di sampingnya. Levi melihat kearah Mikasa yang dengan polosnya mengarahkan tangan mungilnya pada Levi, mengelus pipi Levi yang terluka disana.
"Aku baik-baik saja" ujar Levi. Ia mengelus jemari itu. Dengan susah payah ia bangkit dari posisinya. Mencabut begitu saja kaca dari kakinya menahan rasa perih yang menjalar seketika. Darah mengucur tapi ini jauh lebih baik, Levi berdiri sembari mengendong adiknya di depan dadanya. Menyeret tubuh kecil nya dan adiknya ke arah jalan keluar yang terlihat. Tidak ada celah, semuanya runtuh. Levi melihat kearah lemari yang ada disana. Disana ada celah, mereka bisa keluar lewat sana.
Levi beranjak kesana. Levi mengeser lemari itu dengan tenaganya yang tersisa ada celah tapi ia harus mengeser kayu itu dulu. Levi dengan susah payah meloncat, ia meletakkan dulu Mikasa di bawah. Levi berhasil menyingkirkan kayu itu, ia berniat untuk turun ketika dia ditarik paksa kebawah hingga dia terduduk diatas lantai.
Didepannya ada ibunya yang penuh make-up yang tampak berantakan. Mengendong adik kesayangannya itu. Dia tersenyum melihat kearah Levi dan mengancam kearahnya.
"Apa yang kau mau?" Tanya Levi langsung. Menatap tajam.
"Huh, anak gak ada manisnya. Sebentar lagi rumah kumuh ini akan rubuh. Kau akan ada disini bersama adikmu dan aku yang akan pergi lewat sana" seru ibu yang bahkan tidak bisa disebut sebagai seorang ibu, hanyalah seorang pelacur yang tidak pernah merawat anak kandung nya sendiri. Ia melihat dengan tatapan mengancam seraya mengendong Mikasa. Jika tidak ia akan menyakitinya.
Levi menyeringai ,"Tidak akan" seru Levi. Ia langsung saja melempar pecahan kaca dari botol yang tadi menempel di kakinya itu. Langsung mengenai mata wanita itu. Levi langsung cepat menangkap Mikasa yang terjatuh disana. Ia mengendong Mikasa ke arah celah itu, terlebih dahulu ia mengeluarkan Mikasa baru dirinya sendiri. Sebelum pergi , ia melihat kearah wanita yang kesakitan itu. Ia tidak bisa melihat dan meracau, mengutuk Levi yang melakukan itu.
Sejak awal , dia hanyalah sendirian. Tanpa seorangpun. Dan orang di depannya ini juga adalah orang asing yang bahkan tidak pernah di kenali-nya. Levi melihat kearah Mikasa yang ada di gendongannya, ia begitu murni dan manis. Dirinya yang memiliki rambut yang sama mirip dengan dirinya. Mikasa hanyalah seseorang yang bisa ia sebut sebagai 'keluarga'.
Bruk!
Levi tidak melihat kebelakang. Karena sejak awal mereka itu tidaklah sama. Rumah itu runtuh melenyapkan suara suara rintih disana. Levi berjalan seraya melihat Mikasa yang melihatnya dengan polos. Salah satu tangannya memegang tangan Levi yang mengelus surai nya itu. Mikasa adalah saudaranya satu-satunya. Adik kecil yang bisa ia sebut sebagai keluarga. Adik manis yang serupa dengan dirinya, adik yang akan selalu ia lindungi dari dahulu. Kedua anak kecil yang hanya memiliki satu sama lain. Bertarung hanya untuk diri mereka sendiri.
.
.
Levi hanya diam seraya ia mengalungkan syal merah yang ia dapat pada leher Mikasa yang kini sudah sedikit besar. Mikasa memandangi nya dengan polos. Levi menaruh tangannya mengusak pelan surai hitam yang sudah memanjang itu. Mikasa suka kedinginan jadi saat ia menemukan syal ini, Levi memberikannya begitu saja pada adiknya itu. Hanya sebuah balutan kain yang terbuang. Entah orang itu tidak butuh dan terdampar begitu saja, Levi hanya melakukan ini sebagai kewajibannya sebagai seorang kakak kandung bagi Mikasa.
"Dengan begini kau tidak akan lagi kedinginan" seru Levi.
Levi bangkit dari posisi berlutut nya itu. Mikasa memegang syal merah itu, memandang ke arah kakaknya itu. "Terima kasih, syal ini sangat hangat, kakak" seru Mikasa tersenyum tipis. Levi hanya diam, ia berbalik dan berjalan kearah depan entah ke arah mana. Mikasa berjalan disamping Levi menarik salah satu tangannya itu dengan tangan kecilnya, salah satu tangannya memegang syal itu menyembunyikan sebagian wajahnya dalam balutan itu.
"Hangat"
.
.
Buk!
Levi terjatuh tapi ia segera bangkit kembali. Tidak lagi mengindahkan rasa sakit yang menghantam kakinya itu. Ia memeluk roti yang ia ambil itu. Berbagai barang dilemparkan padanya. Beberapa barang terlempar terkena pada Levi membuat keseimbangannya goyah, beberapa lagi kena pada kepala Levi meninggalkan bekas darah disana. Tapi lagi-lagi dia hanya diam, tanpa merintih sedikitpun seolah itu bukanlah hal yang menganggu untuknya.
"Bangsat, pencuri. Menghilang saja dari muka bumi!" Hina orang itu , tanpa tau kalau kehidupan mereka bahkan jauh lebih baik darinya. Semuanya hanya melihat dari luar, tanpa tau kalau kami kasta bawah juga mempunyai alasan tersendiri.
Buk! Buk!
"Berhenti pencuri!" Orang orang berkumpul lebih banyak.
Beberapa mulai melemparkan batu untuk seseorang yang mereka anggap bersalah. Batu itu mengenai kaki Levi yang terus berlari, mengenai tangan Levi yang melindungi roti itu dengan sepenuh hati. Hanya untuk sebuah roti , hanya untuk sebuah makanan sederhana yang dirasakan sebagai suatu benda yang sangat berharga.
Levi melihat kearah celah, dan langsung masuk ke dalam sana. Terdengar orang ramai disana saling berteriak. Levi menarik nafas, melihat ke arah roti itu yang ia ambil dengan susah payah itu. Baju kusut yang entah sudah berapa lama dipakai. Bagi kami, makanan dan tempat tinggal itu yang paling penting. Levi mengesek lukanya yang berdarah karena gesekan batu kerikil tadi. Ia juga sempat jatuh dan kurasa besok akan susah untuk mencuri lagi. Bertahan dalam dunia yang kejam ini, menjadi seorang pencuri, sebagai seorang penjahat untuk bertahan hidup seorang diri.
Tes!
Darah menetes, membasahi tubuh rapuh itu. Membasahi salah satu mata Levi mengalir pada pipinya pelan. Tanpa emosi, tanpa perasaan , tanpa rintihan sekalipun seolah hal itu sudah menjadi kebiasaan.
"Ka-kak" seru Mikasa yang ada di sebelahnya. Rumah baru mereka yang hanyalah gang sempit. Beralaskan karton bekas. Levi hanya menyerahkan roti itu tanpa perasaan apapun, ekspresi yang gelap. Ia membiarkan luka itu mengalir begitu saja. Bahkan untuk sekedar merasakan sakit saja, ia tidak bisa lagi. Rasanya seperti biasa saja. Levi seolah sudah membiasakan diri untuk rasa sakit itu. Tatapan Levi seperti ikan mati, tatapan yang kosong. Ia melihat kearah Mikasa yang mengobati lukanya dengan perban bekas itu.
Dia juga pendiam, mereka hidup jauh lebih menderita disini. Bertahan dengan mencuri dan hidup diluar. Dengan luka-luka yang seakan tidak ada habisnya. Penampilan kusut dan kotor seperti sampah. Tinggal di celah-celah seperti tikus. Itulah mereka. Levi seperti sudah terbiasa dengan semuanya itu. Lebih tepatnya membiasakan diri. Dipukuli sampai pingsan. Menyelamatkan diri dari kematian beberapa kali dan mendapatkan makanan untuk sekedar bertahan sehari. Satu roti, yang bahkan untuk sebulan penuh. Bertahan hidup dengan kematian membayangi dimana mana. Saat tertidur, saat malam. Saat pagi, preman berkeliaran menyiksa sesama yang lemah dan saling membutuhkan. Levi dan Mikasa, belajar akan hal itu. Bertahan dalam kekerasan itu.
Srek!
Levi menusuk seseorang yang baru saja ingin mengintip Mereka. Orang itu jatuh begitu saja disamping. Levi tanpa mengatakan apapun hanya membersihkan bekas darah yang ada di pisaunya itu. Kalau tidak, maka nyawa mereka yang akan terancam. Mikasa bahkan sudah terbiasa dengan hal itu.
Tak! Tak! Tak!
Orang orang lebih banyak datang. Levi bersiap. Mikasa juga. Levi mengarahkan tangannya pada Mikasa menyuruhnya untuk menunggu saja di belakangnya. Mikasa hanya diam menuruti, saat ia melihat kakaknya sendiri. Tanpa emosi apapun. Dengan kejam mengiris para preman itu dan membiarkan mereka berjatuhan dengan darah yang keluar seperti sedang berpesta darah. Levi yang seperti malaikat maut. Seseorang hampir saja menusuk Mikasa, dan Levi menusuk lehernya tepat di depan Mikasa. Mikasa hanya diam, untuk anak sekecil mereka. Ini adalah hal yang sudah sangat biasa.
Bertahan hidup, hanya itu yang dapat mereka lakukan. Bertahan dalam dunia gelap ini, maka kau juga kan harus menjadi gelap.
"Kak kau gak apa-apa?" Tanya Mikasa gemetaran. Perlahan air matanya mengalir saat ia melihat kakaknya yang sudah seperti mayat hidup saat ini.
"Tidak apa-apa" seru Levi. Ia mengusap darah di wajahnya dengan tatapan kosong. Tatapan yang seolah sudah lelah, tanpa ada perasaan apapun disana.
Disaat Mikasa tidur, ia kadang mendengar suara isakan kecil. Isakan yang ditahan-tahan. Mikasa melirik dari ujung matanya saat melihat kakaknya, Levi terduduk di sebelahnya. Menutup mulutnya rapat-rapat dan satu tangannya menutupi sebagian wajahnya. Matanya mengeluarkan air mata yang tertahan. Levi yang berusaha untuk tetap kuat, ia adalah seorang kakak. Meksipun sebenarnya, ia juga ketakutan saat melihat darah yang keluar membasahi dirinya itu. Setiap melihat itu ia mual, tapi ketika melihat Mikasa. Ia harus tahan dan tanpa sadar dirinya mulai kehilangan emosi saat itu.
Mikasa tidak bisa menahan air mata yang ikut mengalir. Kenapa ia harus mengalami semua ini?. Apa salahnya??. Bertahan hidup padahal kami masihlah anak yang sangat kecil. Hanya ada kami berdua, saling mematikan perasaan. Menjadi yang bukan manusia lagi. Kenapa?. Berapa kali pun pertanyaan itu keluar, kata-kata yang bertanya kalau hidup ini tidak adil. Tapi, tidak akan ada yang berubah. Hal ini akan tetaplah sama.
Setiap hari.
Sampai kapan kami akan terus bertahan?. Sampai kapan emosi kami akan tetap ada?
"Bisakah kami tetap menjadi manusia lagi setelah semua ini?"
Tetesan hangat keluar setiap harinya. Setiap rasanya setiap emosi kami mati, untuk hidup ini. Untuk kehidupan yang terasa menghukum diri kami ini.
.
.
"Ada apa kakak?, Apa aku membangunkan mu?" Seru sebuah suara manis itu. Levi membuka matanya melihat ke arah Mikasa yang kini sudah menjadi gadis remaja yang sangat cantik. Mikasa tampak mengerjapkan matanya dengan ragu. Levi hanya menoleh kearah lainnya dengan dingin. Kedua matanya memandang ke arah jendela yang menampilkan hujan yang merintik pelan.
"Tidak ada, hanya ingatan masa lalu" seru Levi dingin.
Dia masih mengunakan syal itu. Mikasa menarik syal merah yang ada di lehernya itu. Syal yang sudah menemaninya sejak masa lalunya dulu. Syal yang menjadi harta berharganya. Saudara terkasih yang dia miliki. Kakak yang bisa dia katakan adalah sebuah keluarga, hubungan diantara kami yang sudah tidak bisa diukur mengunakan apapun. Seiring waktu yang selalu kami jalani berdua. Hati yang sudah saling berbagi. Dalam segala masalah yang sudah terlibat, dalam rintihan luka dan tangisan. Semua itu berada dalam syal yang masih ia kenakan sekarang ini.
Saudara, Levi melihat lagi kearah balutan syal merah yang terpantul dalam kaca jendela itu. Sosok adiknya yang manis yang kini semakin bertumbuh. Dia yang bisa berjalan sendiri, bisa berbicara dengan sendirinya. Levi perlahan tersenyum selama itu, dalam prosesnya ia selalu bersama dengannya. Berada di sampingnya, berpindah-pindah tempat entah kemana. Mikasa yang tidur selalu dengan dirinya. Dirinya yang kini sudah remaja dan bertumbuh dengannya.
Levi terdiam saat ia merasakan kalau Mikasa memeluknya dari belakang. Meletakan kepalanya diatas pundak Levi.
"Kakak , kau akan selalu ada disisiku kan?" Seru Mikasa pelan. Ia takut jika suatu saat nanti Levi akan pergi, pergi dari kehidupannya sekarang.
"Tentu saja bodoh, kau masih saja kekanak-kanakan seperti dulu. Gak bertumbuh" ujar Levi. Ia juga takut, jika suatu saat nanti Mikasa tidak lagi ada di sisinya. Seseorang yang selalu ia lindungi sebagai keluarga.
"Aku sudah remaja loh, kali ini aku juga akan melindungi kakak sebagai saudara" seru Mikasa lagi. Levi membuka kedua matanya membayangkan masa lalu yang dihadapinya dulu.
Begitu kelam dan kejam. Tapi kami menghadapinya berdua sebagai keluarga sebagai kakak dan adik melalui sebuah ikatan darah yang murni itu. Harta berharga satu-satunya yang kumiliki. Seseorang yang ingin ku-lindungi dengan hatiku yang paling dalam. Adikku, Mikasa.
"Aku sudah tidak lagi bisa menjadi manusia" jawaban itu yang terukir dalam benak Levi saat ia tidak bisa lagi mengingat saat-saat ia menangis.
Tangisan yang seolah sudah kering dan tatapan yang kini sudah mulai menghilang hanya menyisakan kedalaman dalam tanpa perasaan apapun disana. Dan darah yang kini bukanlah hal yang ditakutkan lagi baginya. Melainkan sebuah hobi dan dia menyukai-nya saat cairan itu berhamburan didepannya.
"Bukankah dia sudah bukan manusia lagi?"
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top