Ch 16; Missing You
Saya heran, kenapa ff ini ke sana-sana semakin sepi ya? Padahal chapter depan udah ending, lhoh. Tolong kali ini lebih ramai ya... ^^
JANGAN LUPA VOTE DAN KOMEN YANG BANYAK YA KAWAN! MAAF NUNGGU LAMA UNTUK FF INI....
ENJOY!
.
.
.
"Lhoh? Tidak dihabisin susunya?"
Xiao Zhan memeriksa kembali isi tasnya sebelum menutup resleting tas tersebut. "Taruh kulkas saja, Bu. Entar sepulang sekolah aku minum kok."
Wanita paruh baya itu mengeringkan kedua tangannya ke apron yang ia kenakan setelah selesai mencuci piring, "pulang sekolahmu 'kan jam 9 malam. Susunya pasti sudah basi."
Musim panas sudah datang, pelajaran tambahan untuk kelas 3 pun sudah dimulai sejak seminggu yang lalu hingga membuat anak bungsunya pulang larut setiap hari.
"Enggak kok. Aku sering seperti itu. Ibu saja yang tidak tahu." Pemuda manis itu berdiri dan memakai tas serta membenarkan seragam musim panasnya yang sedikit kusut akibat duduk.
"Masih pagi, lhoh ini. Mau berangkat sepagi ini?"
Ia mengangguk, "Aku harus mengantarkan barang pesanan dulu ke orang yang kemarin memesan jaket –ah!! Hampir saja lupa. Jaketnya masih di kamar." Lalu remaja 18 tahun itu bergedebukan menuju kamar untuk mengambil sesuatu yang tertinggal.
"Cek lagi semua barangmu sebelum berangkat, Nak."
Lalu Xiao Zhan menjawabnya dengan teriakan yang berasal dari kamar anak bungsunya itu.
"Bu"
"Ya?"
"Nanti tolong bungkusin kaos putih yang ada di atas lemari kecil ya? Lusa mau aku antar ke pembelinya."
"Iya."
Sudah hampir 6 bulan ini, anak bungsunya telah mengelola bisnis online dengan menjual fashion item untuk kalangan remaja –khususnya remaja pria. Pemuda manis itu mengelola usaha tersebut sebenarnya bukan inisiatif sendiri, melainkan dari kakaknya, Xuan Lu, yang memberikan modal untuk membuka usaha online.
Xuan Lu sebenarnya memberikan modal pada adiknya bukan tanpa alasan. Dia tidak ingin adiknya kerja paruh waktu lagi saat Xiao Zhan sudah memasuki tahun terakhir di SMA. Tidak, dan jangan sampai. Itu akan mengganggu aktivitas belajarnya. Jika dengan bisnis fashion online ini 'kan, tidak terlalu mengganggunya, dan Xiao Zhan bisa berlatih untuk mengelola sebuah usaha.
"Aku berangkat!"
Xiao Zhan langsung berlari ke pintu keluar dan langsung menutupnya dengan cepat. Tapi, saat dia mencapai tangga untuk sampai ke jalan, dia berhenti. Pandangannya kosong ketika melihat depan gang yang menuju pintu rumahnya.
Mungkin dia rindu, mungkin juga dia memang teringat dengan orang yang dulu sering menjemputnya saat hendak berangkat sekolah. Di mana dulu pria itu rela bangun pagi dan membuatnya jengkel ketika menemukannya nangkring di atas motornya dengan cengiran yang lebar.
Mengingatnya, Xiao Zhan jadi kembali tersulut emosi. Sudah 6 bulan lebih kepergiannya ke Singapore, tapi dia menghubungi dirinya hanya sekali saja. Hanya malam itu saja, saat di mana Wenhan memaksanya untuk menerima video call dari Yibo dan berakhir dirinya yang menangis semalaman, karena merasa tidak dihargai oleh pria itu yang tidak menceritakan rencana study nya di luar negeri.
"Apa sebegitu sibuknya kah dia? Aku kira dulu dia mahasiswa pemalas. Pasti di sana juga tidak jauh berbeda."
Xiao Zhan merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah benda yang sudah 6 bulan ini dia miliki. Pemuda manis itu mengangkat benda tersebut di depan wajahnya, lalu memandangnya dan menghela napas keras.
"Kok aku kangen ya dengannya?"
Lalu kedua matanya terpancang pada sebuah cincin yang menggantung bersama merpati putih, "apa-apaan sih? Sempat-sempatnya dia membuat cincin ukir tapi dia untuk pamit saja nggak sempat."
Tentu saja ia masih marah dengan Yibo yang seenaknya pergi tanpa memberi kabar. Katanya ingin dekat dengan dirinya, sudah hampir dekat, malah pergi. Tanpa pamit, pula!. 'kan menyebalkan.
Ia mengetahui kondisi pria –yang sekarang− 24 tahun itu hanya dari sahabatnya –Wenhan, yang kadang memberinya pesan singkat atau menemuinya. Itupun hanya dilakukan beberapa kali saja. Bisa dihitung dengan jarinya.
Lamunan remaja 18 tahun itu segera berakhir saat ponselnya berbunyi. Ia segera melihatnya, dan kedua mata bulatnya membesar saat tahu kalau pesan itu berasal dari pelanggan yang memesan jaket darinya.
"Oh astaga!" Setelah memasukkan lagi ke dalam saku celananya, Xiao Zhan segera berlari untuk mengejar bus pagi yang menuju taman kota.
****
"Wajahmu masam sekali."
Zoucheng melihat temannya yang terlihat lemas dengan memandang gantungan kunci yang ia sering lihat sejak mereka naik ke kelas 3.
Karena pemuda manis itu tidak menjawab, Zoucheng menaruh punggung tangannya ke dahi pemuda itu, "tidak panas. Kau kenapa, sih?"
"Aku?" Jawabnya dengan masih meletakkan kepalanya di atas meja, "entahlah, A-Cheng. Aku hari ini merasa sangat lesu." Ucapnya sambil memainkan gantungan kuncinya
"Apa kau lembur membungkus semua pesanan pelangganmu?"
Xiao Zhan segera menggeleng, "Ibu selalu membantuku kalau membungkus pesanan."
Sebelah alisnya terangkat, pemuda jangkung itu merebut gantungan kunci dari tangan putih sahabatnya.
"Aiyoo... mau kau apakan gantungan kunciku?!" Xiao Zhan menggapai-gapai frustrasi untuk bisa merebut gantungan kunci tersebut dari tangan Zoucheng, tapi temannya itu terlalu cepat menggerakkan tangannya, hingga akhirnya Xiao Zhan menyerah dan langsung mengerucutkan bibirnya.
"Aku penasaran, kenapa kau sering sekali memandangi benda ini." Lalu ia memegang cincin perak yang menggantung di sana. "Apa ini perak asli?"
Xiao Zhan ingin menjerit saat dengan bodohnya, Zoucheng menggigit cincin itu.
"Asli? –wah! Kau dapat dari mana?"
Pemuda bergigi kelinci itu segera merebut gantungan kuncinya dan menggumam tentang betapa bodoh sahabatnya itu yang menguji keaslian cincin dengan menggigitnya. Kalau rusak bagaimana, coba? Ini kan pemberian Yibo.
Nah, jika pemberian Yibo memang kenapa?
Xiao Zhan merasakan panas menjalar di kedua pipi chubbynya saat pertanyaan tersebut terlintas di otaknya.
"Kenapa wajahmu memerah, Zhan?"
"Tidak!" Ia segera mengelak, "kau nggak usah tahu ini pemberian siapa. Pastinya bukan darimu. Kau 'kan nggak pernah ngasih aku hadiah."
Zoucheng berdecak sebal, "padahal juga kau sering sekali ditraktir olehku."
Iya, meski Zoucheng belum pernah memberinya hadiah sejak mereka sama-sama tumbuh remaja. Tapi Zoucheng sering mentraktir Xiao Zhan makan. Bahkan pernah uangnya habis hanya karena ia tidak tega melihat pemuda manis itu iri melihat orang makan daging bakar di restoran dekat sekolahnya.
Sial. Kalau ingat itu Zoucheng ingin menangisi celengan babinya saja. Harga dagingnya sungguh membuatnya terasa tercekik.
Mendengar itu, Xiao Zhan meringis polos. "Apa kau ingin tahu gantungan kunci ini dari siapa?"
Pemuda itu memasukkan buku-bukunya ke dalam tas, "nggak dikasih tahu juga nggak apa-apa."
Remaja 18 tahun itu mengerucut sebal mendengr balasan dingin sahabatnya. "Ini dari Yibo Ge." Tapi dia tetap memberi tahu.
Seketika itu pula, Zoucheng berhenti melakukan aktivitasnya, "mahasiswa mesum itu?"
"Dia tidak mesum." Koreksinya, sedikit tidak enak dengan julukan Zoucheng terhadap Yibo.
"Kau dulu bilang begitu, kok."
Oh iya...
Ya...tapi 'kan itu dulu sebelum dirinya mengenal Yibo.
"Ya...itu 'kan dulu. Sekarang dia enggak."
"Dia 'kan lagi di luar Negeri, mana bisa mesumin kau?"
"Aish!"
Zoucheng terkekeh melihat wajah sahabatnya yang memerah. "Jadi...kau dilamar olehnya sebelum dia pergi?"
"Dilamar? Hah?" tiba-tiba detak jantungnya berdentum dengan keras mendengar ucapan Zoucheng tadi. Mana mungkin, ah! Yibo kan hanya memberikan gantungan kunci ini. Mana nggak romantis lagi karena itu diberikan 2 hari sebelum pria itu pergi ke luar negeri.
Melihat wajah bodoh sang sahabat, Zoucheng ingin menempeleng kepala polosnya itu. Polos ya, karena Xiao Zhan tidak terlalu bodoh untuk ukuran siswa di kelasnya.
"Mana ada orang yang rela memberi cincin mahal dengan ukiran dari tangan secara cuma-cuma?"
"Tapi 'kan dia menggantung cincinnya di gantungan kunci. Kalau lamaran kan harus dipasang di jari manis."
"Oh ya? Bagaimana kalau memang si mahasiswa mesum itu melamarmu secara tersirat? Dia sudah pergi berapa lama coba? 5 bulan? 6 bulan?" Zoucheng memandang pemuda itu yang masih memasang wajah bingung, "kau itu sudah diikat sama dia. Istilahnya, lhoh."
Xiao Zhan terdiam, pemuda manis itu kembali teringat dengan perkataan Yibo 6 bulan lalu sebelum ia pergi ke Singapore.
"yang aku harapkan, kau menyimpan itu baik-baik. Karena ada cincin yang cukup mahal"
"Terus, kok ada cincinnya?"
"kau akan tahu nanti"
Seketika itu pula, Xiao Zhan menyembunyikan wajahnya pada lipatan tangannya yang terlipat di atas meja. Dia malu mengingatnya.
"Ehemm! Yang sudah dilamar~"
"Diaaam!" Suaranya sedikit teredam karena Xiao Zhan masih menyembunyikan wajahnya.
"Sudah. Ayo istirahat biar bisa makan, kenyang dan nggak sakit. Tunanganmu pasti tidak mau kalau kau sakit –AAARRG!"
Belum selesai berbicara, Xiao Zhan mencubit lengan sahabatnya itu dengan cukup keras hingga berbekas.
******
Untung pelanggan yang membeli barangnya meminta bertemu pada siang akhir pekan, jadi dia bisa bersantai dulu sambil me-packing pesanan lain untuk pelanggannya di luar kota. Semua pekerjaannya beres.
Setengah jam lagi dia harus menuju ke sungai yang ada di taman kota ini, di mana pelanggannya ingin bertemu di sana.
Sebenarnya dia malas ke sana. Selain harus menggunakan bus, dia juga enggan mengingat kejadian buruk setahun lalu. Di mana mahasiswa mesum mencium seenaknya agar wanita yang ia benci berhenti mengejarnya.
"Tuh kan! Kenapa aku teringat dia lagi, sih?"
Pemuda manis itu memukul-mukul kepalanya. Ia segera memasukkan bungkusan kaos itu ke dalam tasnyadan berdiri.
"Ibu! Aku berangkat." Teriaknya dari ruang tengah. Tanpa menunggu jawaban dari ibunya yang ada di dapur, dia segera keluar dan berlari menuju halte agar tidak tertinggal bus tujuannya tersebut.
Selama perjalanan, ia terdiam, entah kenapa sejak pembicaraannya dengan Zoucheng kemarin lusa membuatnya terus menerus memikirkan pria yang bahkan seperti hilang tanpa kabar.
Berbulan-bulan ia selalu benci jika Yibo mengganggunya, harusnya dia senang, bukan, jika si pengganggu hilang dari pandangannya. Tapi kini yang ada malah sebaliknya.
Xiao Zhan menghela napas dan mengeratkan pelukannya pada tas ransel yang ia pangku, lalu kembali melihat gantungan kunci yang ia gantungkan di tas. Ucapan Zoucheng kembali terngiang.
"Melamar ya...." Desahnya. Ia masih gamang dengan tuduhan Zoucheng pada maksud Yibo memberinya gantungan kunci dengan cincin di sana.
Tapi kini ia tampak menyetujui ucapan Zoucheng ketika dirinya mencari makna merpati putih di internet yang artinya kesetiaan.
Ugh!
Pemuda itu segera memegang kedua pipinya yang terasa panas.
"Dasar pria aneh!" makinya lirih pada Yibo yang jelas-jelas tidak akan tahu kalau dirinya memaki pria tersebut.
Ia mengernyitkan kedua matanya saat turun dari bus, sinar matahari menyengat begitu teriknya. Harus berjalan 10 menit lagi agar sampai ke sungai taman.
Musim panas memang lebih nyaman jika berada di rumah dengan kipas angin yang menyala di depannya. Tapi kini ia malah mengantarkan pesanan.
Mau bagaimana lagi, uang hasil usahanya juga untuk kepentingannya agar bisa mendaftar BimBel.
Orang yang memesannya ini tidak mau memberikan ID WeChat nya. Jadi, Xiao Zhan menghubunginya lewat e-mail. Sungguh merepotkan. Padahal di website tokonya, dia memberi keterangan bahwa ia hanya menerima pesanan lewat WeChat, tapi malah dia melenceng. Nama e-mailnya juga aneh. Tracer85. Aneh bukan?
Mau menolak pesanan orang itu, tapi dia membeli produknya yang paling mahal dan sudah mentransfer uangnya. Aneh. Tapi...ya, sudahlah. Rejeki 'kan nggak boleh ditolak.
Kondisi sungai taman kota saat ini tidak terlalu ramai –tentu saja, orang-orang lebih memilih berada di rumah dari pada harus panas-panasan di pinggir sungai.
"Di mana orang itu." Si pemesan berkata kalau dia memakai kemeja warna merah. Tidak sulit menemukannya, selain jarang ada orang, si pria tersebut memang paling mencolok di tepian sungai sambil duduk-duduk.
"Dasar aneh. Di sana 'kan panas. Ngapain duduk di sana?"
Namun, Xiao Zhan tetap menghampirinya dengan langkah lesu.
"Permisi. Apa Anda –" Xiao Zhan tidak bisa meneruskan ucapannya setelah pria itu menoleh ke belakang dan menatapnya.
"Ya. Saya Tracer85."
Dia hanya menyeringai melihat Xiao Zhan yang terkejut dengan wajah manisnya yang menegang.
"Bagaimana kabarmu, Xiao Zhan?"
*****
2 hari yang lalu...
Wenhan terperangah saat membuka pintu flat nya dan ia mendapati wajah seram sahabatnya yang sangat ia kenali. Ia kembali menutup pintunya. Barang kali dirinya sedang berhalusinasi karena terlalu merindukan sahabat brengseknya itu.
Pasalnya, pria itu jarang menghubunginya sejak berada di Singapore, sudah 6 bulan lebih dia tidak bertemu dengannya dan kini sahabatnya telah berada di depan pintu flatnya.
"Wenhan! Buka pintunya atau kudobrak sampai pintu ini hancur?"
Tapi suara menyebalkannya tidak berubah sama sekali.
"Yibo?!"
Sesegara mungkin ia kembali membuka pintunya, tapi malah kesialan yang ia dapat karena tangan berotot itu mengeplak kepalanya. Wenhan mengaduh kesakitan, tapi malah si tersangka masuk dengan santai ke flatnya.
"Dasar bajingan tengik!" Umpatnya, masih terus mengaduh dan menutup pintu flat.
"Itu akibat tidak menyambut tamu jauh dengan baik."
"Taik!"
"Heh!"
Mereka diam, saling berpandangan dalam beberapa detik sebelum saling terbahak dan berpelukan melepas rindu. Yibo kini sedikit berbeda. Kulitnya lebih gelap dari biasanya. Semakin berotot. Tapi tinggi masih segitu-gitu saja, sih.
"Astaga. Si begundal muncul lagi. Kukira kau sudah jadi bangkai di Samudera Hindia." Wenhan memeluk dengan erat sahabatnya itu hingga dia terbatuk.
Yibo melepaskan diri dari pelukan Wenhan sebelum dirinya pingsan karena tersedak ludah sendiri, "Aku tidak akan mati sebelum kau mati duluan."
"Sialain!" setelah melepas rindu, Wenhan berjalan menuju lemari es nya. "Kukira kau akan pulang setahun kemudian. Apa kau melarikan diri dari kewajibanmu?" sekaleng cola ia sandingkan pada sahabat yang tidak ia temui setengah tahun itu.
"Tidak. Aku sudah hampir menyelesaikan studyku di sana."
Wenhan hampir menyemburkan cola yang sedang diminumnya setelah mendengar ucapan Yibo.
"Serius?"
Yibo mengangguk sambil meletakkan kaleng cola yang baru ia minum, "aku selesai lebih cepat karena aku mengambil semua mata study dalam satu semester ini."
Wenhan masih tidak percaya, dia tahu, kalau yang Yibo masuki bukanlah universitas, melainkan hanya sekolah bisnis yang bisa ditempuh satu tahun atau dua tahun.
"Aku masih tidak percaya."
Yibo menyeringai, "sama. Aku juga tidak percaya. Awalnya aku hanya ikut-ikutan temanku yang dari Indonesia. Tapi ternyata aku berhasil melewatinya."
"Haikuan Ge tahu?"
"Hm." Yibo mengangguk, "Dia juga seminggu yang lalu ke Singapore, waktu aku lagi ujian."
"Wah..." Wenhan menempelkan punggungnya pada sofa, ia masih tidak percaya pada Yibo yang bahkan dulu saat kuliah sangat malas, hingga sampai sekarang belum selesai mengerjakan tugas akhirnya.
"Jadi, sekarang kau sudah fix sepenuhnya kembali?"
Senyum di wajah Yibo menghilang, "tidak, sih. Aku harus mengurus beberapa hal lagi di sana kira-kira dua bulanan, atau paling cepat 5 Minggu. Aku ke sini hanya minta tanda tangan pembimbing dan dekan."
"What?!" Wenhan ragu untuk bertanya ke hal berikutnya, "jangan bilang kalau..." ia menggantung kalimatnya, tapi melihat senyum pria yang ada di depannya, dia langsung mengetahui apa yang akan diucapkan pria di sampingnya.
"Ternyata ada bagusnya menyelesaikan tugas akhir dengan cara online. Cepat selesai dan dimudahkan oleh dosen."
"Sial." Wenhan benci seringai kemenangan dari sahabatnya itu. Dia di sini kebingungan sendiri mengerjakan kerangka awal tugas akhir. Nah, sahabatnya ini bisa selesai dengan cepat bahkan sambil kuliah di bidang yang berbeda sekali dengan yang sebelumnya ia ambil.
"Aku di sini hanya seminggu. Setelah itu, aku ke sana lagi untuk menyelesaikan administrasi finalnya."
Wenhan merasa takjub, kesal dan bangga sekaligus pada sahabatnya ini. Ia kira, Yibo tidak akan menyelesaikan study nya di sana dengan cepat, atau bahkan keluar dan menyerah di tengah jalan.
Namun, kenyataannya kini sungguh mencengangkan siapapun yang kenal dengan Yibo.
"Aku heran, kok kau bisa berubah cerdas seperti ini sih?"
Yibo meneguk cola nya lagi. "Mau tahu rahasianya?"
Wenhan mengangguk cepat, dia sudah bosan menjadi mahasiswa, dia akan malu jika tahun ini tidak juga lulus.
"Cinta."
"Huh?"
Pria itu menoleh, "iya. Kau harus jatuh cinta pada seseorang. Cinta yang tulus dan kuat akan memberimu semangat pada apa yang kau lakukan."
Bullshit!
Apa temannya ini belajar sastra juga? Kenapa seperti pujangga saja?
"Aku ingin muntah mendengar syair murahanmu."
Yibo tertawa. Ia meneguk cola terakhir yang ada di kaleng dan menyuruh Wenhan untuk menyingkir dari sofa.
"Minggir. Aku mau istirahat."
"Kau tidak pulang ke rumahmu di Beijing?"
"Nggak berminat. Pasti nanti ayahku menceramahiku dengan nasehat-nasehat yang aku sudah hafal." Ucapnya dengan masih memejamkan kedua matanya.
"Tidak menemui pujaan hati?"
Kedua mata Yibo yang semula tertutup, kini terbuka lebar dan memandang langit-langit dengan nanar.
"Besok lusa."
"Hei, kau tahu? Dia sekarang menekuni bisnis fashion via online, lhoh!"
Yibo menyeringai, dengan masih menutup kedua matanya dia berkata, "Aku tahu itu. Aku sudah pesan baju dengannya."
"Hah?"
Tbc
A/ N : Halo.... Lama nggak bersua di ff ini. Jika lupa alurnya, bisa baca ulang kok. Hehehe...
Percakapan Yibo dan Wenhan diambil dari saya yang lama gak ketemu sahabat pasti gitu XD
Akhir kata,
Arigatchu~ :*
Jangan lupa untuk vote dan komen yang banyak demi kelancaran ff ini ^^ sampai jumpa di chapter terakhir!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top