PROLOGUE 2 - BAHASA VERSION
Angin semilir dengan bebas menerpa pepohonan dengan perlahan. Menggoyangkan dahan serta ranting di sana sini siang hari yang cerah ini.
Walau terik mentari begitu menyengat tepat di atas kepala, tak menghentikan aktivitas seorang gadis di bawah pohon yang dimanja oleh angin dengan sendirinya.
Gerakan tangan yang cekatan dan sesekali gemulai menyentuhkan kuas bercat ke atas kanvas terus dilakukannya. Pandangannya tak hilang dari gambaran yang tengah disempurnakannya. Seakan siang ini dunia hanya miliknya. Hanya dia yang menikmati indahnya alam sekitar dan hanya dia lah yang bersedia mengabadikan keindahan itu dalam bentuk sapuan-sapuan warna-warni yang teratur dengan indah.
"Kak Ai!" Seseorang memanggilnya dari arah belakang.
"Kak!" panggilnya lagi.
"Hmm...." Gadis itu memveri jawaban dengan deheman dan masih terus terfokus pada kanvas di hadapannya.
Laki-laki itu mengambil tempat di sebelah gadis berbaju putih bersuspender tersebut. "Ini minumnya. Dari tadi Kak Ai aku lihat nggak minum atau makan sama sekali," kata cowok itu. Ia meletakkan nampan berisi minuman yang terlihat seperti jus mangga serta beberapa camilan di atas meja. Meja itu dipenuhi peralatan seperti cat minya, palet serta alatalat lukis lainnya.
"Makasih, Dan," ucapnya memgambil gelas berisi jus tersebut dan meminumnya.
"Iya." Laki-laki itu mengamati lukisan pada kanvas di hadapannya.
"Woah! Tumben gambarnya bagus?" Ia terkejut namun setelahnya intonasi berubah terdengar seperti candaan.
Pletakk
"Awwwsshhh..." Aileen, gadis cantik berambut hitam sepunggung itu memukul kening sang adik dengan ujung pensil yang diraihnya.
Laki-laki itu kemudian terkikik. "Becanda, Kak. Gambaran Kak Ai emang bagus. Gimana kalo Kak Ai gambar sesuai pesanan. Kan lumayan dapat penghasilan Kak," sarannya. Laki-laki itu menyomot camilan yang dibawanya tadi di nampan.
Aileen mengembuskan napas. "Kakak nggak akan bisa gambar kalo dipaksa sesuai keinginan orang, Dan. Kamu tahu sendiri Kakak gambar karena hobi. Kakak akan gambar terserah apa yang ada di pikiran Kakak ataupun yang Kakak anggap bagus," jelasnya. Aidan-- laki-laki itu manggut-manggut.
"Oh... yaudah di gudang itu bisa dijual berarti." Aidan berucap sengaja menggoda sang kakak.
"Aidan!"
Aidan nyengir. "Maaf, maaf, Kak."
Aileen mengambil camilan di hadapannya. "Oh ya, Kak, keluar yuk!" ajaknya.
Aileen menggeleng. "Nggak ah, entar kamu kerjain lagi." Aileen menampilkan wajah cemberutnya.
"Yang itu, maaf deh. Gimana? Ayo ikut Kak!"
"Nggak. Nggak mau lagi ke mall," ujar Aileen lesu.
"Nggak ke mall, kita ke taman rekreasi gimana?"
Aileen memandang wajah sang adik. "Apalagi ke sana. Nggak!" tolaknya mantap.
"Kenapa? Padahal Aidan maunya ngajak pacar Aidan sama Kakak juga," ujarnya jujur.
Aileen mengerutkan kening. "Kamu punya pacar?"
Aidan tersenyum mengembang. "Iya lah. Masa cowok ganteng gini nggak laku? Ha ha..." Laki-laki itu tertawa dengan bangganya.
"Huuuu dasar!" cibir Aileen.
"Eh Kak Ai, Kak Ai nggak mau cari pacar, gitu? Kak Ai kan cantik." Aidan tiba-tiba mengalihkan pembicaraan.
"Emangnya cari pacar kayak cari batu? Bisa dengan mudah?" jawab Aileen santai. Ia kembali melanjutkan aktivitas melukisnya.
"Lagian Kakak nggak pernah mikir sampai ke sana," lanjutnya.
"Kalau misalnya ada cowok yang suka sama Kak Ai gimana?" Aidan kembali bertanya.
Ai menyunggingkan senyuman. "Memangnya ada? Semua cowok itu sama aja."
Aidan mengerutkan kening. Heran. "Eh? Kata siapa?"
Aileen menatap sang adik. "Mana ada yang mau sama cewek nggak normal---
"Kak Ai jangan gitu! Kakak itu istimewa tau!" potong Aidan cepat.
Aileen menghela napas berat seraya tersenyum tipus pada sang adik. "Hmm. Iya cuma kamu yang ngerti Kakak." Cewek itu mengusap lembut kepala Aidan.
"Iya dong. Aidan!!!" serunya dengan bangga.
***
Aileen, cewek itu berjalan menuruni tangga dengan perlahan. Ia mengenakan setelan piyama tidur bergamabar kaktus kecil-kecil.
Seorang wanita paruh baya tengah mempersiapkan makanan di meja makan dengan bantuan seorang asisten rumah tangga. "Ai cepat sini!" panggilnya.
"Iya Ma!" sahutnya. Ia bergegas mendekat.
"Nih, Mama sama Bik Mud masak makanan kuah yang kamu pengenin sejak Minggu kemarin," ucap sang ibu.
"Beneran?" Aileen langsung tampak senang. Cewek itu langsung duduk di kursi begitupun sang ibu.
"Aidan mana?" tanya sang ibu.
"Di sini, Ma!" Cowok jangkung itu langsung menyahut. Ia baru saja selesai membenarkan tatanan rambutnya sehabis mandi.
"Kelihatannya enak tuh!" Aidan memandang makanan yang sudah tersedia di meja.
"Iya dong. Kamu cobain deh Dan." Aidan kemudian duduk.
"Sebentar Bu, saya ambilkan es buahnya," kata pembantu rumah tangga di hadapan mereka.
"Iya Bik."
Aidan mengambil nasi dan menyendok lauk serta sayur hang dimaksud ibunya. "Hm... enak Kak Ai. Apalagi dimakan pas hujan-hujan kayak gini," ucap Aidan setelah mencicipi sekali. Cowok itu kemudian melanjutkan makannya.
"Iya Ma. Makasih udah masakin ini," ucap Aileen kemudian.
"Iya, Sayang."
Mereka bertiga menikmati makan malam dengan tenang. Bik Mud membawakan es buah yang dimaksud tadi.
"Gimana sekolah kamu, Dan?" tanya Arlita-- wanita paruh baya tersebut.
"Baik, Ma. Dua minggu lagi penilaian akhir semester," jawab Aidan kemudian meminum air putih di hadapannya.
"Belajar yang bener, Dan," tutur Arlita.
"Iya, Ma," jawab Aidan. Sedangkan Aileen tengah menikmati kue cokelat menggunakan garpu perlahan.
"Jangan pacaran mulu!" celetuk Aileen sambil terkikik menatap sang adik.
Arlita menatap Aidan heran. "Pacaran?"
"Iya, Ma," jawab Aileen langsung. Ia tertawa kecil karena berhasil menggoda sang adik.
"Kamu punya pacar Dan?" tanya Arlita memastikan. Aidan tersenyum malu-malu.
"Ehm... iya Ma. Tapi jangan marah dulu Ma. Aidan tetep Aidan yang rajin dan pinter kok hehe," ujarnya cepat.
Emma meminum air putih di gelas lalu kembali memandang sanga anak. "Awas aja kalo kamu macam-macam sama anak orang terus nilai kamu jadi turun, Mama akan bilang ke Papa biar kamu nggak jadi masuk taruna," ancam Arlita serius namun terdengar pengertian.
"Yah... jangan dong Ma. Iya Aidan janji. Pacar kan buat penyemangat..." jelas Aidan sambil tersenyum.
"Iya. Yaudah lanjutin makan."
"Udah kenyang." Tangan Aidan mengambil satu persatu butir anggur yang berada dj wadah bundar.
"Oh ya, Papa kapan pulang Ma?" tanya Aileen.
"Bulan depan Ai. Lagi pula Papa di sana juga jadi relawan. Kamu tahu sendiri kan banyak bencana akhir-akhir ini," jawab Arlita.
"Kamu jangan keluar jauh-jauh Dan. Inget, motor yang Papa beliin gunakan sebaik mungkin. Rawat dan jaga dengan baik," tutur Arlita. Aidan mengangguk sambil terus mengunyah anggur merah di wadah tersebut.
Arlita menoleh pada Aileen yabg masih menikmati kue tadi. "Oh ya Ai, besok hari Jum'at temenin Mama belanja ya," kata Arlita pada sang putri.
"Tumben biasanya Bik Mud," jawab Aileen heran.
"Mama mau ngadain reunian sama temen-temen Mama Ai," ujarnya.
"Temen mana? Arisan?" Aileen menatap sang ibu penasaran.
"Ih.... Ai. Ini temen kuliah Mama. Ada juga temen SMA," kata Arlita serius.
"Ajak Aidan aja Ma," jawab Aileen malas.
Aidan yang merasa namanya terpanggil langsung mengernyit heran. "Ngggak, nggak! Cowok kok belanja," katanya.
Aileen memutar bola matanya. "Ai nggak suka keramaian Ma. Mama tahu sendiri kan? Beberapa hari lalu gara-gara Aidan, Ai jadi malu waktu ke mall," ucap Aileen jujur. Ia tampak kesal seketika.
"Itu karena Aidan negerjain kamu. Jangan gitu lagi Dan!" tegur sang ibu.
"He he... Iya maaf,"
Arlita kembali menatap aileen mencoba membujuk cewek itu lagi. "Ya, Ai? Anterin Mama."
"Sekalian bantuin. Sama Bik Mud juga kok. Kan dia yang lebih tahu buat masak apa," lanjutnya.
"Emangnya kapan acaranya?" tanya Aileen.
"Sabtu, sore hari. Gimana?" Arlita tersenyum mengembang menunggu jawaban sang anak.
"Kamu ikut ya, Ai?"
Aileen mengembuskan napas pasrah "Hm.. iya, Ma."
"Gitu dong, anak Mama." Arlira tersenyum senang mendengar sang anak mau diajak berbelanja.
***
"Ken! Kenneth!" Panggil seorang wanita cantik. Wanita itu mengenakan piyama tidur. Ia baru saja keluar dari sebuah kamar. Ia menghampiri Kenneth yang berada di ruang keluarga. Sedang vermain video game.
"Hm?" Kenneth menyahuti sambil terus bermain.
Wanita itu, Tante Kenneth duduk di sofa sebelah keponakannya. "Kamu Sabtu besok nggak ada jam kuliah kan?" tanyanya.
"Hm. Kenapa?" Kenneth masih fokus pada game di layar televisi.
"Ada jadwal pemotretan nggak?" Wanita itu bertanya lagi. Kali ini Kenneth melepas earphone nya dan menoleh ke samping.
"Minggu depan pemotretannya," jawab Kenneth. Ia menjeda aktivitasnya sejenak.
Wanita itu manggut-manggut. "Ouwh... ehm... kamu bisa nggak temenin Tante?"
"Kemana?" Kenneth bangkit dari tempatnya lalu meminum air mineralyang berada di atas meja.
"Ada acara reunian di rumah teman Tante. Temenin ya?" Wanita itu mencoba membujuk keponakannya.
Kenneth mengembuskan napas berat. "Kenapa harus Kenneth sih?"
"Yah... mau siapa lagi, Ken?" Wanita itu menatap cowok yang sekarang duduk di sofa tepat di hadapannya.
"Kalau kamu nggak mau, Tante nggak kasih kamu uang buat touring lagi loh!" ancamnya.
Kenneth terkejut. "Jangan dong Tan. Minggu ini mau touring. Harus bawa uang yang cukup," jelasnya memelas.
"Yaudah makanya, Sabtu temenin Tante," ucapnya lagi.
"Hufffttt... iya iya. Nggak lama kan?"
"Iya, palinga juga cuma dua jam. Sekalian kamu ikut masuk."
"Hm... iya, Tan." Kenneth berucap pasrah.
"Oh ya, Papa kamu nelpon nggak?"
Kenneth menggeleng seraya mencebikkan bibir. "Nggak."
"Tumben?"
Kenneth mengendikkan bahu. Tak peduli.
"Biarin aja," ucapnya acuh.
"Ken, nggak baik gitu!" Wanita itu menegurnya.
"Udah lah Tan, Ken males bahas dia."
"Hah... terserahlah. Gimana tugas kuliah kamu? Betah jadi anak HI?" tanya wanita itu. Ia memandang keponakannya yang dengan santai menyandarkan punggung pada sofa.l besar yang didudukinya tersebut.
"Betah lah!"
"Oh ya, honor kamu dari majalah kemarin masih ada kan?"
"Masih ada. Di rekening Ken. Emangnya kenapa?"
"Nggak apa-apa. Jangan boros, ditabung aja. Tante tahu banget gimana anak muda sekarang. Dan lagi, jangan mau jadi bucin." Wanita itu sengaja menggoda Kenneth
Kenneth mengerutkan kening. "Bucin?"
"Budak Cinta. Jangan-jangan kamu sering belanjain cewek kamu, ya?" tebaknya.
Kenneth mencibir. "Nggak ada."
"Serius?"
"Iya, Tan..."
"Nggak percaya, masa keponakan Tante yang ganteng gini nggak punya cewek. Jangan bilang kamu..." Wanita itu berucap penasaran. Seakan mengintimidasi.
Kenneth yang peka denga apa yang ada di pikiran tantenya langsung menyanggah, "Ken normal kok Tan. Cewek yang Ken kenal, hidupnya mewah semua. Bisa habis honor Kenneth sebulan buat belanjain sekali," jelas Kenneth.
Wanita itu bernapas lega lalu tersenyum. "Gitu dong! Cari cewek tuh yang bisa diajak hidup susah tapi kamu sendiri juga jangan sampai mengajak cewek kamu dalam kesusahan. Apalagi kalau udah rumah tangga," jelasnya.
"Hm.... Iya Tan," sahut Kenneth datar.
"Tipe cewek kamu emang gimana?"
Kenneth mengendikkan bahu "Entah. Oh ya Tan, Ken mau keluar sama temen-temen." Kenneth bangkit dari tempatnya seraya menengok jam di tangan kanannya.
"Sekarang?"
Kenneth mengangguk. "Inget, Ken. Jangan sampai mabuk. Tante nggak mau sampai itu terjadi," peringat wanita itu.
"Hm... Bye!" Kenneth menyandang jaket di atas meja.
Setelahnya cowok dua puluh tahun itu melenggang keluar rumah.
***
If you like this story give votes and comments below!
Thanks
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top