Bab 6: Cemburu?

Hari cukup cerah ketika Netta tiba di kelas bersama dua teman absurdnya itu.

"Gile ..., ini tugas nirmana lo?" Ray tak bisa menyembunyikan kekagumannya melihat apa yang dibawa Netta hari itu.

Di atas kertas persegi berukuran 30 x 30 cm, Netta membuat sebuah nirmana yang sangat indah. Tak sekadar membentuk garis hitam putih, cewek itu juga menggabungkan bentuk blok warna hitam berhias titik putih, jaring-jaring, garis lurus, dan ranting. Cara Netta menyusun semua elemen seperti pantulan cermin sangat memukau.

Cewek itu mengangguk malu-malu. Pertanyaan retorik Ray terdengar begitu positif di telinganya.

"Kamu bisa banget bikin depth dan menerapkan prinsip Gestalt di sana." Aru mengangguk-angguk. Ternyata, diam-diam dia meneliti setiap goresan yang tertuang.

Ray ikut mengangkat kertas gambar Netta, seolah tengah mengamati sebuah masterpiece yang luar biasa. "Lo main closure, ya?" Ray bahkan memutar badan, tampak sengaja memamerkannya ke seantero kelas.

"Udah, dong! Turunin! Aku maluuu!" Netta menarik kaus pendek Ray ragu-ragu. Dia merasa jengah dengan beberapa pasang mata yang mulai memandanginya.

"Ray, kalau sampai rusak, kamu akan kuhajar! Balikin!" bentak Aru dengan tatapan sedingin es.

Netta menoleh dengan perasaan campur baur. Apa barusan Aru membelanya? Apakah ini artinya dia punya kesempatan untuk mendapatkan cinta cowok itu? Tiba-tiba, cewek itu membeliak. Aku mikir apa? batinnya gusar.

"Silakan, Baginda Ratu." Suara Ray mengembalikan pikiran Netta dari khayalan. Cowok itu mengangsurkan kertas tugas dengan sangat hati-hati. Namun, tak urung bibirnya tetap tersenyum jail.

Netta menerima dan menyelipkannya ke buku gambar dengan penuh perasaan. Sungguh, dia tak ingin tampil menonjol di kelas. Biarlah dia tersembunyi dan tak ada yang peduli. Itu akan lebih aman untuk rahasianya. Namun, apa daya, Netta diberkati Tuhan harus selalu bersama dua makhluk yang sering menjadi pusat perhatian itu.

"Lain kali, jangan bikin cewek panik." Aru bersedekap. Cowok berkacamata itu masih belum mau duduk di kursinya.

Ray mengerutkan kening. "Emang kenapa? Gue enggak jahatin dia."

Aru mencebik. "Introspeksi sana!"

"Udah, udah!" Netta berusaha melerai.

"Jadi, lo benar-benar cewek paling berbakat di sini." Suara rendah yang terdengar seksi membuat ketiganya serentak menoleh ke satu arah.

Sesosok cowok dengan rambut yang diwarnai burgundy, mata biru cerah, kulit pucat, dan bertubuh jangkung nyaris 190 senti itu menyapa. Bibir tipisnya melebar, memamerkan gigi putih yang tersusun rapi.

"Siapa lo?" Ray terlihat tidak suka dengan kedatangan cowok yang dandanannya begitu modis itu. Belum lagi diiringi bisik-bisik para mahasiswi yang tampak seperti barisan fans fanatiknya.

Cowok blasteran itu tampak terkejut karena Ray ternyata tidak mengenalnya. Namun, dia berusaha bersikap sopan. "Kenalin, gue Rafli Aletherama. Orang telanjur ganteng blasteran Sunda, Cina, dan Prancis. Panggil aja Ale, yang bakal bikin cewek-cewek Pinus mabuk tiap menghidu aroma musk gue. Cause I am darker in hue, tasted sweet and bitter at once."

Baik Ray, Netta, bahkan Aru merasa tubuh mereka membeku dari ujung rambut hingga ujung kaki.

"Pourquoi?" Kenapa? "Enggak pernah lihat cowok ganteng nyapa duluan? Itu merupakan sebuah kehormatan bagi kalian. Harusnya kalian bersyukur. Lihat, ada berapa pasang mata yang cemburu kepada kalian sekarang?"

Oke, Aru emang narsis, tapi ternyata Ale jauh lebih mengerikan! Ray bergidik tanpa sadar.

"Duduk! Dosen udah mau datang." Aru menggeser tubuh Ale yang lebih tinggi sekitar lima senti darinya itu.

"D'accord!" Baiklah! "Gue cabut. Sampai jumpa Netta cantik! Mimpiin gue, ya, malam ini!" Kedipan di mata kiri cowok itu lagi-lagi mampu membuat Ray, Netta, dan Aru merinding sekujur tubuh.

Netta bergegas duduk dan menepuk-nepuk pipinya berusaha mengembalikan semua kesadaran. Bisa-bisanya dia tidak menyadari keberadaan makhluk seajaib itu di kelas. Mungkin karena dirinya terlalu fokus untuk sembunyi dari semua orang.

"Lo terpesona sama dia?" Mata Ray menyipit.

Netta terperangah, tak percaya mendengar pertanyaan itu. "Duh, jujur, aku kaget disapa cowok seganteng itu. Tapi, baru denger kalimat perkenalan dia, pesona Ale udah jatuh ke Palung Mariana. Aduh, aku enggak boleh ngejelekin orang lain. Enggak sopan!" Netta menutup mulutnya dengan cepat.

Ray tertawa terbahak, sementara Aru menyunggingkan senyum sinis penuh persetujuan.

"Daripada ngomongin cowok itu, coba lihat karya kalian. Pasti lebih keren!" Cewek itu tersenyum lebar penuh rasa ingin tahu.

Ray mengangkat alis kanannya dengan penuh kebanggaan. "Ini karya mati-matian gue yang enggak tidur tujuh hari tujuh malam!" Cowok itu mengangkat kertasnya ke depan dada sebelum menggerakkannya ke arah Aru dan Netta.

"Wow, rapiii!" Netta memandang takjub. Nyaris tidak ada warna solid kecuali segitiga hitam kecil yang tersebar. Garis-garis tipis saling silang seperti jaring laba. Dua ornamen di sudut gambar berseberangan yang merupakan perpaduan tiga segitiga menjadi pusat perhatian. "Meski kelihatan simpel, tapi kamu bisa menciptakan kedalaman yang berkesinambungan."

"Smart girl!" Ray tanpa malu mengusap-usap puncak kepala Netta hingga rambut cewek itu sedikit berantakan.

Belum ada dua detik, Aru menyambar tangan Ray dan mendorongnya keras ke samping.

"Jangan sembarangan pegang-pegang kepala cewek!" Aru terlihat tidak senang. "Kalau sampai sepanjang pelajaran dia fokus nyari sisir kayak waktu itu, kamu harus tanggung jawab!" sembur cowok itu lagi.

Netta merasakan kehangatan. Dengan gerakan halus, dia duduk dan melepas ikatan rambutnya. Tak perlu waktu lama sebelum Netta merapikannya lagi.

"Untung dosennya belum datang. Jadi, Netta enggak perlu malu untuk pakai sisir," Aru masih menggerutu.

"Iya, deh, iya." Ray mengangkat kedua tangannya. "Gue minta maaf." Satu kerlingan muncul. "Habis, lo beneran pinter."

Netta masih bisa mendengar Aru sedikit mengomel dengan suara nyaris tak terdengar. Apa ini artinya Aru cemburu? Eh? Bolehkah dia sedikit berharap?

Netta menatap Aru yang menaikkan sedikit posisi kacamatanya. Mata mereka berserobok.

Aru sedikit membuang muka, lalu menunduk, mengambil sesuatu dari tas.

"Ini buatanku." Aru mengangkat kertas itu dengan tangan kirinya. Bisa dilihat dengan jelas nirmana buatan Aru begitu dahsyat. Segala bentuk detail tercipta, menghasilkan kedalaman yang luar biasa. Rasanya seperti memasuki dunia ajaib dengan pintu berlapis. Setiap pintu berkelambu dengan dinding bermotif persegi mungil. Warna hitam yang mewarnai beberapa bagian dinding berbentuk bujur sangkar menambah fokus. Bagian atasnya yang didesain seperti guratan kayu pun tampak indah.

Netta menyambar tangan kanan Aru. "Yang punya tangan ini makannya apa, sih? Bisa sakti amat?" Cewek itu mengamati jemari Aru dengan saksama, seolah ingin mencari apa yang tersembunyi di baliknya.

Aru terperangah melihat reaksi Netta yang begitu cepat dan di luar dugaan itu. Ternyata tangan cewek begini, halus dan mungil. Jika diingat-ingat, dia nyaris tak pernah bicara dengan cewek mana pun. Cewek selalu menjauhinya. Padahal, dipikir-pikir, dia tidak pernah berbuat jahat seperti yang dilakukan Ray. Kenapa mereka semua tampak membencinya?

Cowok berambut hitam legam itu menghela napas, menenangkan diri. Dia menarik tangannya dari Netta dan menghindar dengan memasukkan gambar itu kembali ke tas. "Aku makan nasi, lauk-pauk, sayur, juga buah. Kadang ditambah susu."

Ray terbahak. "Waraaas! Gue punya temen waraaas banget!" ujarnya sembari menggebrak-gebrak meja dengan tangan. Sangking kerasnya dia tertawa, air matanya tampak menggumpal di sudut mata. Tawa Ray baru berhenti ketika dosen mereka berdeham saat memasuki kelas.

Sesuai dugaan, karya mereka bertiga mendapat sambutan luar biasa. Ray bahkan dengan santai berkata bahwa mungkin mereka bertiga adalah three musketeers yang melegenda di Jurusan DKV tahun ini. Tentu saja ucapan itu langsung disambut tawa seantero kelas.

Sayang, dosen nirmana sama sekali tidak senang melihat kelakuan Ray yang ajaib itu. Pria kurus tinggi berusia sekitar empat puluh tahun tersebut mengeluarkan sebuah benda dari tasnya.

"Nah, tugas berikutnya adalah nirmana warna. Saya minta kalian membeli color wheel." Dia mengangkat sebuah benda berbentuk lingkaran dengan diameter nyaris dua puluh senti. Alat sederhana yang dipakai untuk panduan pencampuran warna. Cukup diputar, maka warna campuran dan tipe kombinasi akan tampak pada kolom lainnya. "Lalu, dengan teori yang tadi sudah kita pelajari, buatlah color composition."

Jantung Netta rasanya melorot dari tempatnya. Semua ketakutannya kini mengemuka.

Teori warna.

Pelajaran paling dasar yang membuatnya gugup setengah mati. Napasnya menjadi tak beraturan. Apa yang harus dia lakukan? Gradasi warna adalah kelemahannya. Jika diminta membuat komposisi hitam putih, tak akan ada masalah. Netta menyukainya. Namun, warna?

"Asistensi akan dilakukan mulai minggu depan. Kalian bisa datang dengan komposisi dahulu, baru pilihan warna. Tugas akan dikumpulkan enam minggu lagi." Dosen itu menuliskan nomor ponsel di papan tulis. "Buat janji dulu sebelum ketemu."

Netta terlalu sibuk dengan semua pikiran yang berkecamuk di benaknya sehingga tidak sempat mencatat apa-apa. Namun, dia tidak bisa terus berlari. Bukankah dirinya sudah menemukan cara untuk mengatasi kelemahan itu? Dia harus bisa mengelabui semua orang. Apakah akan berhasil? Dia tidak yakin.

***

"Kok kamu bengong terus dari tadi?" Aru menepuk pundak Netta saat kelas berakhir. Cowok itu merasakan ada yang mengganggu pikiran Netta sepanjang pelajaran.

Aru kemudian merasa heran akan ucapannya sendiri. Kenapa dia bisa tahu? Bukankah biasanya Aru tidak peduli kepada apa pun dan siapa pun kecuali tentang betapa sempurna pekerjaannya? Ada apa dengan cewek berambut kemerahan setali BH ini sehingga bisa mengalihkan fokusnya sebegitu sering?

Sementara itu, Netta terlihat salah tingkah, wajahnya memerah. Lalu, dia bergegas membereskan buku dan memasukkannya ke tas. Dia bungkam seribu bahasa.

"Serius enggak ada apa-apa?" Kali ini Ray yang bertanya. Kegundahan Netta jelas terpancar tanpa penghalang.

Netta menarik napas. Dia harus memikirkan alasan lain. Sesuatu yang membuat mereka mengalihkan perhatian sejenak. "Kayaknya, aku mulai males bawa mobil ke kampus. Badan remuk karena macet."

"Gara-gara itu aku milih ngekos." Aru mencangklong tasnya dengan cepat. Baru saja beberapa langkah dia berjalan, cowok itu menoleh. "Aku tahu beberapa kos-kosan cewek yang mungkin cocok. Mau kutemani cari sekarang?"

Cewek itu mengangguk tanpa pikir panjang. Sial! Apa sih yang ada di pikirannya? Netta bahkan belum bilang bahwa dia berminat menjadi anak kos kepada Papa. Pria paruh baya itu sangat protektif. Netta punya keyakinan 90% Papa akan melarang anak tunggalnya ini tinggal jauh dari rumah.

Menerima ajakan Aru adalah sebuah keputusan nekat bagi Netta sendiri. Namun, apa salahnya, sih, bersenang-senang dengan gebetan? Toh, belum tentu dia menemukan yang cocok.

"Kamu enggak usah ikut." Belum sempat Ray membuka mulut, Aru sudah memotong. "Kalau ada kamu, bisa rusuh."

Ray menahan tawanya. "Oh ..., gituuu ...." Tatapan Ray berubah sejenak sebelum cengiran khasnya kembali menghias. "Silakan! Semoga bisa menemukan kos yang bagus."

"Aku pasti bakal kasih saran terbaik."

"Deket Gang Parkit juga boleh. Gue di sana." Ray mengerling, lalu bergerak ke luar kelas.

Aru mengangkat kacamatanya dan berkata, "Kalau gitu, kita mulai dari dekat Gang Kijang aja."

Netta nyaris tertawa melihat bagaimana Aru sengaja memilih kos yang berlawanan arah dari Gang Parkit. Tampaknya, cowok itu sungguh-sungguh tidak menyukai Ray. Ataukah hanya karena Aru tak suka dirinya dekat dengan Ray?

Belum sempat Netta berpikir jauh, Aru kembali menyerukan namanya. Cewek itu hanya bisa pasrah ketika cowok itu menelengkan kepala dan mengajaknya untuk segera keluar.

Ternyata, Ray pun masih berdiri tak jauh dari luar kelas.

"Ngapain masih di sini?" Aru tampak tidak suka.

Ray mengedik. "Pengin menatap pemandangan aja. Enggak boleh?"

"Apa kamu mau ikut cari kos baru juga?" Netta berusaha memecah kecanggungan. Cewek itu sama sekali tak melihat ekspresi Aru yang memelotot tak suka.

Ray terkikik. "Enggaklah." Dia mengibaskan tangannya. "Gue masih betah di tempat gue yang sekarang." Kedua telapak tangan cowok itu disanggakan di belakang kepala.

"Ayo!" Tiba-tiba, Aru menyambar tangan Netta dan menariknya menjauh. Netta terseret dengan sukses.

"Woooi! Jangan pegang-pegang anak orang!" Ray tertawa. Namun, ketika keduanya menghilang di turunan tangga, tawa itu lenyap dari wajahnya. Satu decakan kecil dan dia pun memilih mengambil jalan memutar daripada harus bertemu keduanya di bawah.

"Aru, sakit!" Netta merasakan nyeri di tangannya yang terus ditarik kala mereka tergesa menuruni anak tangga.

"Ah, maaf." Aru melepas pegangannya dengan segera. Netta yang masih tertarik, tiba-tiba limbung pdi anak tangga terakhir. Suara jeritan terdengar ketika Netta kehilangan keseimbangan dan terdorong ke depan.

Netta memejamkan mata menantikan rasa sakit, tetapi sesuatu yang kokoh menahan perut dan tulang selangkanya. Dia membuka mata takut-takut. Aru berhasil menahan tubuhnya yang nyaris mencium tanah. Netta terdiam. Meski Aru terlihat tak terlalu besar, ternyata tenaga lelaki tetap saja kuat.

"Te-terima kasih." Netta begitu gugup. Seandainya ada pelantang suara di dadanya, mungkin suara degup jantungnya yang liar sudah bisa terdengar di sepenjuru kampus.

Aru menarik napas sembari menegakkan tubuh Netta. "Aku minta maaf udah narik kamu cepat-cepat dan bikin kamu nyaris jatuh."

Netta mengerjap. Aru minta maaf? Sesuatu yang menyenangkan menyeruak di hatinya. Cewek itu tak ingin Aru terlalu merasa bersalah. "Udah, aku enggak apa-apa, kok. Kita makan aja, yuk!"

Aru menyetujui. "Entar aku lihatin cara aku makan."

Netta mengerutkan kening. "Eh?"

"Tadi katanya kamu mau tahu selama ini aku makan apa. Nanti aku pesankan menu yang sama."

Hanya tawa berderai yang bisa Netta lontarkan setelahnya.[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top