Bab 5: Presentasi
Hari Minggu, Netta masih berjuang menyelesaikan komik yang harus ditinta untuk diserahkan kepada Ray Senin paginya. Cowok itu membayarnya cukup lumayan untuk sebuah pekerjaan yang bisa diselesaikan dalam waktu satu sampai dua jam saja per halaman.
"Ternyata bikin komik itu butuh kesabaran ekstra." Netta menarik garis dengan cepat saat membuat detail gedung-gedung sebagai latar. Cewek itu juga menghitamkan setiap wilayah yang diberi tanda X oleh Ray.
Harus Netta akui, Ray sangat sabar. Pada zaman sekarang, sudah sangat jarang komikus yang membuat sketsanya secara manual. Cowok itu melakukannya dengan alasan lebih bisa meresapi dan menghidupkan karakter dengan cara itu. Setelahnya, Ray baru meninta dan memberi efek di komputer. Netta memang punya tablet gambar untuk meninta secara digital. Akan tetapi, jika mereka mengerjakannya bersama di kampus, Netta memilih membantu membuat latar karena membawa tablet gambarnya yang berukuran besar sangat tidak praktis. Toh, hasilnya sama rapinya.
"Wah, di kampus ada tugas komik?" Ahsan tiba-tiba sudah berdiri di belakang Netta.
"Eh, Papa?!" Netta berbalik sembari mendongak. "Kayak penampakan, tiba-tiba nongol," candanya.
Ahsan memperdengarkan suara tawa yang rendah dan halus. "Dari tadi Papa ketuk pintu, kamu enggak nyahut. Ternyata lagi serius, toh!" Pria itu mengamati setiap detail halus yang dihasilkan putrinya. Tak sia-sia dia merogoh kocek begitu dalam untuk membeli alat berukuran sekitar 40 x 30 senti itu. Netta benar-benar memakainya dengan baik.
"Ini bantu temen, Pa." Netta melirik jam di dinding. "Boleh Netta sambil nerusin, Pa? Besok harus diserahin."
Ahsan mengangguk. "Dari dulu kamu selalu dibikin repot sama orang lain." Pria paruh baya itu duduk di atas kasur sembari mengamati pekerjaan putrinya. Kadang, dia cemas jika Netta sampai diperalat seseorang karena sifat mudah ikut campurnya itu. Karenanya, pria paruh baya itu berjanji kepada almarhumah istrinya untuk selalu menjaga Netta dari orang-orang jahat di sekitarnya.
"Ini enggak ngerepotin. Netta diupah lumayan, kok. Lagian, ini nyenengin." Senyumnya merekah saat dia menoleh selintas ke arah papanya sebelum kembali meninta.
Ahsan mengangguk lega. "Syukurlah, kalau begitu." Pria itu bersedekap sebelum melanjutkan ucapannya, "Oh, iya, kalau kamu sudah senggang, kabari Papa, ya! Papa lagi pengin bikin advertising untuk perjalanan di Asia Tenggara dua bulan lagi."
Semua gerakan Netta terhenti. Dia langsung memutar kursinya ke arah Ahsan. "Jadi, Papa pengin Netta yang bikin?"
Ahsan mengangguk.
"Sekarang?"
Lagi-lagi, Ahsan hanya mengangguk.
"Serius?!"
Ahsan tertawa kecil sambil mengangkat jempolnya. Netta langsung bangkit dari kursi dan melompat ke pelukan sang papa. Pria itu balas memeluk sembari membelai belakang kepala cewek itu penuh kasih.
"Iya, sekarang kan kamu sudah masuk DKV, artinya sudah terbukti perjuanganmu selama ini enggak sia-sia. Papa rasa sudah saatnya untuk ngasih kamu kepercayaan mengubah iklan Mama menjadi iklanmu."
Akan tetapi, rasa ragu menggelayut. "Netta bahkan belum UTS, lho, Pa! Baru beberapa minggu masuk kuliah," bisiknya takut-takut.
Ahsan menangkup wajah oval putri kesayangannya itu. "Kamu harus percaya kalau kamu bisa. Ini saatnya kamu membuktikan semua kerja kerasmu selama ini."
Netta bisa merasakan kepercayaan begitu kuat yang diberikan oleh papanya. Sesuatu yang tak mungkin dia abaikan begitu saja.
"Netta akan berusaha!" Cewek itu mengeratkan pelukan. Ada haru meruak tak terjelaskan ketika akhirnya Ahsan berani mengambil langkah untuk mengubah iklan jadul buatan mamanya dengan yang baru. Dia sudah lama meminta Ahsan untuk menyewa desainer profesional, tetapi selalu dimentahkan. Ahsan sungguh mencintai semua karya istrinya sepenuh hati.
Kini, Netta akan berjuang untuk membuat iklan baru yang tak kalah keren dari milik mamanya. Sebagai putri satu-satunya, dia harus bisa melanjutkan semua yang sudah dimulai sang mama.
"Ada tenggat?" Netta akhirnya melepas pelukan dan duduk di tempatnya semula. Wajahnya masih terlihat berbinar bahagia.
Ahsan melirik kalender di atas meja. "Tiga minggu lagi maksimal. Kalau enggak bisa, ya enggak apa-apa. Kita pakai punya Mama lagi."
Netta menggeleng. "Bisa, Pa! Harus bisa!" Sejenak, cewek itu terlihat bimbang. "Tapi, Netta boleh minta saran ke temen, enggak? Netta agak enggak PD kalau bikin sendiri."
Tiba-tiba, senyum jahil terukir di wajah tampan itu. "Jadi ..., kamu udah punya gebetan, nih?"
Tanpa Netta sadari, wajah tampan berkacamata yang kaku itu melintas cepat di benaknya. Cewek itu menggeleng, mengenyahkan bayangan senyum tipis tetapi memesona yang hadir menyapa. "Enggaaak! Cuma teman satu grup! Dia genius banget, Pa!"
Ahsan bangkit dari kasur dan mengacak-acak rambut Netta. "Iya, iya. Cuma teman satu grup yang genius dan Papa rasa tampan. Jangan lupa kenalin ke Papa. Papa pengin tahu temen yang kamu bilang keren itu."
"Ih, Papaaaaa!"
Hanya tawa berderai yang tertinggal ketika Ahsan meninggalkan kamar. Netta menatap foto sang mama. "Ma, apa ini artinya suka?"
Hanya kebisuan yang menjawab.
***
"Wih, gile! Lo kudu lihat, Ru! Kerjaan Netta beneran rapi!" Ray mengacungkan gawainya ke arah Aru untuk memperlihatkan hasil halaman komik yang sudah diselesaikan Netta.
Netta berusaha menurunkan gawai Ray malu-malu. "Udah, ah," bisiknya.
Ray hanya tertawa ringan melihat cewek itu salah tingkah. "Duit udah gue transfer ke rekening lo, ya! Traktiran jangan lupa!"
"Sama aja bohong kalau Netta harus traktir kamu," Aru berujar sinis.
Netta hanya bisa tertawa. Namun, tiba-tiba dia menggigit bibir bawahnya. "Aku grogi, nih." Tengkuk cewek itu meremang mengingat sebentar lagi pelajaran Western Art Review akan dimulai. Sudah lama dia tidak berbicara di depan umum.
Alis Aru mengerut. "Perlu aku aja yang presentasi?"
Netta menggeleng. "Enggak boleh! Kamu udah repot kemarin. Sekarang giliranku!" Cewek itu terlihat berapi-api. "Cuma tetep aja grogi."
Ray hanya tertawa sambil menyimpan gawainya ke tas. "Dibawa santai ajalah! PPT Aru bagus, kok! Rangkuman lo juga kece. Tinggal lo baca. Kalau bingung, kan ada gue yang nemenin."
Netta mengangguk, berusaha meyakinkan diri. Berulang kali cewek itu membaca slide PPT yang Aru buat di laptopnya. Dulu, dia memang hampir tidak punya masalah saat maju dan menerangkan materi di depan kelas. Namun, sekarang tidak lagi. Semakin banyak dia berinteraksi dengan orang lain, kecemasan itu semakin menggerogoti. Apa kondisinya akan terkuak tanpa sengaja? Semoga saja tidak.
Akhirnya, waktu yang dinanti telah tiba. Ketiganya sudah siap di depan kelas. Aru akan mengendalikan slide dari laptop yang tersambung ke proyektor. Sementara itu, Netta menjelaskan materi dan Ray berdiri di depan, menanti untuk dijagal pertanyaan dari teman-teman.
Netta mulai menjelaskan tentang Leonardo di ser Piero da Vinci. Di mana dia lahir, karya pertamanya, apa yang menginspirasi karya tersebut, dan masih banyak lainnya.
Netta merasakan semua mata tertuju ke arahnya. Keringat dingin menetes di pelipis dan tenggorokannya terasa kering. Dia berdeham terlalu sering saat berusaha menyingkirkan segala kelu. Hanya tinggal kalimat penutup dan semua akan usai.
"Jadi," Netta menarik napas panjang, "kalau teman-teman ada pertanyaan tentang Leonardo Dicaprio, silakan bertanya dengan mengangkat tangan."
Suara tawa riuh langsung membahana. Netta sama sekali tidak menyadari ada yang salah dengan ucapannya. Ray tanggap dan langsung mengambil mikrofon.
"Nah, maklumi saja rekan saya ini. Dia sudah bergadang demi mengumpulkan materi hingga sedikit kepeleset. Siapa, sih, yang enggak kenal Leonardo ganteng yang itu?" Mata Ray mengerling. "So, yang punya pertanyaan, silakan angkat tangan. Biar saya yang jawab." Ray menepuk dadanya pongah.
Dosen pun hanya tersenyum tipis kala melihat Netta baru menyadari kesalahannya dan langsung menutupi mukanya dengan kertas presentasi. Ray memperbaiki kesalahan kecil temannya dengan menonjolkan kelebihannya. Dosen itu paham, tampaknya kelompok ini benar-benar mengerjakan tugas bersama-sama. Termasuk juga cowok berkacamata yang kini memasang ekspresi gemas ingin menggantikan keduanya.
Pertanyaan demi pertanyaan diajukan. Ray ternyata telah melakukan persiapan dengan matang. Dia bisa menjawab nyaris tanpa masalah.
"Tim kalian hebat!" Dosen memuji saat mereka bertiga akhirnya berdiri bersama di depan kelas. "Dan kamu, Ray, jangan selalu ketiduran di kelas. Terutama untuk pelajaran CB. Saya sudah dengar gosip jelek di ruang dosen."
Netta langsung menepuk dahinya. Ray hanya bisa tertawa pasrah dan berharap itu tak berarti dirinya akan gagal diluluskan di pelajaran Character Building.
Nilai 90 untuk presentasi adalah angka yang fantastis. Ketiga orang itu tampak puas dengan hasil yang telah mereka raih. Saat itu, Netta belum sadar bahwa, dari kursi penonton, sepasang mata mengamatinya diiringi sebuah senyum penuh arti.
***
Keesokan harinya, Netta tersenyum lebar ketika mendapati Ray dan Aru sudah duduk di tempat mereka masing-masing. "Ray!" Netta mencolek bahu Ray beberapa menit sebelum kelas CB dimulai. "Aku hari ini bawa ini." Cewek itu membuka sedikit tasnya dan memperlihatkan kotak hitam mungil di dalamnya.
"GILE LO!" Ray terbeliak kaget.
Netta mengangkat bahu tak acuh. "Kalau kamu sampai tidur dan enggak bisa bangun, aku bakal pakai ini."
"Itu taser! Setruman! Lo pikir gue penjahat yang perlu dibikin pingsan?" Ray memelotot protes.
"Ya, tinggal jangan tidur aja. Gampang, 'kan?" Aru kali ini berusaha menahan tawanya.
"Gue pindah kursi!" Namun, Ray sadar, dia tak punya tempat untuk kabur. "Bro! Sis! Rambut gue udah ikal! Tolong jangan ditambah jadi keriting."
"Paling juga kribo." Netta tertawa.
"Secara teori, sih, enggak mungkin karena—" Ucapan Aru terpotong.
Saat itulah, dosen CB masuk ke kelas. Kini, Ray duduk tegak penuh kewaspadaan. Terutama karena dia harus maju untuk mempresentasikan segala hal mengenai dirinya. Untung saja Dosen CB hanya meminta Ray mengumpulkan makalah dan tidak perlu melakukan presentasi yang membuang waktu. Kini, pria paruh baya itu terfokus menjelaskan materi berikutnya.
Untuk tiga puluh menit pertama, semua tampak berjalan dengan lancar. Sayang, kidung Dosen CB terlalu kuat untuk pertahanan Ray. Cowok itu semakin terkantuk-kantuk di bangkunya.
Netta berusaha mencubit perut Ray dari samping karena posisi itu tertutup oleh meja dari pandangan dosen. "Sial! Enggak ada lemaknya. Susah dicubit!" rutuk Netta pelan. Namun, dia mengganti target cubitan. Dengan mengangkat bindernya ke atas, tangan Netta menuju lengan Ray dan mulai memelintir dengan intensitas yang meningkat perlahan.
Mata Ray langsung terbuka lebar. Dia mendelik ke arah Netta seolah mengajukan protes atas perbuatannya. Netta kembali memperlihatkan taser di dalam tasnya. Cowok itu mengumpat dalam hati.
"Silakan kalian buat tugas untuk menjawab siapa diri kalian. Dikumpul saat pelajaran berakhir." Dosen CB pun bergerak meninggalkan kelas. Para mahasiswa langsung riuh saat sang dosen killer tak lagi tampak.
Ray mengembuskan napas panjang. "Gue mau tidur. Jangan ganggu! Udah beres kalau tugas kayak gitu!" Cowok itu mengangsurkan tulisan tangannya yang seperti resep dokter ke arah Netta. Tampaknya, dia sudah membuat coretan tugas sebelum nantinya disalin dalam bentuk makalah di komputer.
"Ternyata kamu sebenernya rajin, ya?" Netta terdiam melihat Ray sudah mendengkur dengan halus. Rahang tegas, alis tebal, dan kulit kecokelatan membuat cowok itu terlihat gagah, bahkan saat tidur. "Ish, tidurnya cepet banget."
"Kenapa, sih, kamu ngurusin orang mulu?" Aru kini bertanya penasaran.
Netta melihat Aru yang sempat menatapnya penuh selidik sebelum cowok itu mengeluarkan pulpen dan kertas.
"Kan kalau dihukum, yang rugi juga bukan kamu." Aru mulai mengerjakan tugasnya tanpa menoleh sedikit pun ke arah Netta.
Netta mengalihkan pandangannya sejenak ke arah Ray yang kini mengubah posisi dengan menyembunyikan wajah di balik lipatan tangan. "Karena dia temanku. Aku enggak bisa membiarkan temanku gagal. Bukannya itu yang disebut teman?" Cewek itu menoleh ke arah Aru yang hanya bisa mengangkat bahu tak acuh.
Tanpa Netta sadari, sepasang mata yang pura-pura terpejam mengintip dari balik lengan. Sebuah senyuman tulus tercipta dari wajah yang kini bersemu merah itu.[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top