Bab 4: Perpustakaan

Hari sudah menjelang sore ketika Netta selesai berbelanja dari toko seni di luar kampus Pinus. Netta menggeleng takjub melihat berapa banyak uang yang telah dia gelontorkan untuk pelajaran Color Theory. Cutting matt, pen cutter, cat poster aneka warna, dan masih banyak lainnya. Dengan sebegini banyak pengeluaran, cewek itu semakin yakin tak boleh menyerah begitu saja di tengah jalan. Akan tetapi, buta warna parsial jelas bukan hal yang bisa dia taklukkan dengan mudah.

Sebenarnya, buta warna Netta mungkin tidak separah jenis lain. Deuteranormaly. Tipe buta warna sebagian yang dikenal dengan nama red-green color blindness. Jenis buta warna yang paling banyak diidap di dunia. Kelemahan untuk menangkap warna hijau.

Kebutaan yang dikarenakan sel kerucut mata penangkap warna hijau menerima lebih banyak warna merah. Akibatnya, warna merah, kuning, hijau, dan cokelat terlihat hampir sama. Bahkan, untuk beberapa warna seperti biru, ungu, merah muda, dan abu-abu juga akan mengalami nasib serupa.

Kelainan ini ada di kromosom X. Karenanya, penderita buta warna kebanyakan laki-laki yang memiliki kromosom XY. Hanya sedikit sekali perempuan seperti Netta yang mengidap buta warna.

Untungnya, kondisi Netta tidak separah buta warna parsial tipe lain. Kelainannya masih tergolong ringan. Cewek itu masih bisa membedakan antara warna merah, kuning, dan hijau. Hanya saja, kecerahan antarwarna lemah. Bisa dikatakan, saturasinya cukup rendah.

Contohnya, hijau lemon akan terlihat seperti kuning chiffon yang sangat pucat. Warna merah mencolok akan terlihat seperti oranye pudar. Hijau viridian akan menjadi sap green dengan campuran kelabu.

Semua warna pun akan terlihat kecokelatan, sehingga ungu kemerahan akan dideteksi sebagai warna ungu gelap.

Omnya sudah menjelaskan akan hal itu, hingga Netta akhirnya mulai menghafal indeks warna berdasarkan hexacode-nya. Tentu tidak bisa dia hafal semua. Hanya untuk warna-warna yang sering dipakai saja.

Namun, kekhawatiran tetap hadir jika dia harus mencampur warna secara manual. Karenanya, dia mencetak color wheel lengkap dengan nama warna dan hexacode-nya agar bisa dia tiru saat pelajaran Color Theory.

Semua sudah dia persiapkan untuk hari ini. Untungnya, pertemuan pertama baru mempelajari komposisi bentuk. Dia tidak begitu kesulitan karena semua masih hitam putih.

Namun, berapa lama lagi dia bisa menyembunyikan semuanya?

***

Pukul sembilan pagi, ada suara debas terdengar cukup keras di ruangan yang sebenarnya sangat sunyi itu. "Jadi, weekend yang seharusnya aku habiskan dengan santai-santai di kos, malah harus ke perpustakaan bareng kalian?" Aru mengerutkan kening heran. Tangannya bersedekap di dada dengan tatapan yang terlihat tak bersahabat.

Netta mengeluarkan senyuman penuh bujukan. "Ayolah, Ru! Kita bakal presentasi Western Art Review hari Senin. Kita kan bisa kerjain bareng di sini. Kalau pagi gini, perpus belum ramai." Cewek itu mengedarkan pandang ke sekeliling perpustakaan yang tampak lengang. Ruangan itu sangat luas, dengan aneka jenis sofa sesuai kebutuhan mahasiswa. Ada yang melingkar bagi mereka yang ingin berdiskusi panjang, atau sofa tunggal untuk sekadar duduk santai dan membaca tanpa mengerjakan apa pun.

Ketiga orang itu menguasai satu meja dengan dua sofa hitam memanjang. Aru duduk sendirian, sementara Ray dan Netta duduk bersebelahan. Ruangan yang didominasi warna putih dan biru muda itu terasa menyejukkan. Udara dari pendingin ruangan cukup menggigit karena minimnya manusia yang hadir.

"Kita harus bikin slide-nya sekarang." Ray membuka laptopnya dengan santai.

Aru tampak tak suka dan melirik jam di tangannya berulang. "Hmm ..., berkas yang aku dan Ray kasih, udah kamu gabungin?" Cowok itu mengangkat kecamatanya sembari menatap Netta tajam.

Netta mengangguk. "Belum terlalu rapi, tapi udah 85%-lah." Flashdisk berwarna biru dia keluarkan dari tas dan disorongkan ke arah cowok berkacamata itu.

Aru meletakkan telunjuk di atas bibir dan menyangga dagunya dengan jempol. "Aku aja yang bikin slide presentasinya. Biar cepet kelar. Kalian terserah mau ngapain."

Netta memberengut kesal. "Ya enggak bisa gitulah! Ini kerja kelompok! Harus dibuat sama-sama!" protesnya tak setuju. Rambut ekor kudanya kembali berayun keras.

"Kenapa? Efisien, 'kan? Aku ini cerdas. Aku bisa beresin dengan cepat sekarang tanpa gangguan kalian. Kamu Senin tinggal baca dan ngomong. Nanti, kalau ada pertanyaan, biar Ray yang jawab. Semua tetep kerja!" Aru membuka laptop dan mencolokkan flashdisk Netta ke sana. Bibir tipisnya mengatup, seolah tak mau bicara sepatah kata pun lagi.

Ray hanya mengangkat bahu dan merapikan kembali laptopnya ke tas. "Jadi, gue gambar komik aja, nih?" cowok itu memastikan ulang.

Aru hanya mengangkat bahu tak acuh. Matanya masih membaca huruf demi huruf yang tampil di layar laptopnya.

"Ya udah, yuk!" Ray mengeluarkan alat gambarnya dan mulai menggelar lapak. Penggaris berbagai jenis, pensil mekanik, pensil kayu, rautan, penghapus, semua terhampar berantakan.

Suara decakan Aru terdengar melihat semua kekacauan itu. "Kamu enggak bisa rapi dikit?"

"Sorry, Man! Imajinasi baru jalan kalau berantakan." Ray mencebik tak peduli.

Netta yang kini kebingungan harus bagaimana. "Ray, kamu enggak takut kalau terlalu fokus ngomik, kuliah bakalan keteteran, bahkan ngulang?" Cewek itu tak bisa menyingkirkan rasa penasarannya.

Ray terdiam sejenak dan memandang pertanyaan Netta yang dirasanya agak mendadak itu. "Gue punya prioritas."

"Kuliah bukan prioritas?"

Ray menggeleng. "Gue pengin jadi komikus profesional. Itu enggak perlu gelar sarjana. Sebenarnya, gue lebih senang ikut kursus menggambar daripada masuk DKV, sih."

Netta mengambil satu kertas yang sudah berisi sketsa karakternya. "Ini aku bikin latarnya?"

Ray mengangguk. Cowok itu lumayan lega Netta tak melanjutkan obrolan mereka. Diliriknya Netta yang mulai membuat garis bantu tipis dengan pensil warna biru terang untuk sketsa. Jika bentuknya sudah jelas, maka dia akan menebalkannya dengan pensil abu-abu untuk kemudian dipindai ke komputer.

Sebenarnya, Ray bisa saja membuat gambar dengan Google Sketch, tetapi cowok itu lebih suka membuat semuanya sendiri, kecuali untuk beberapa setting yang dianggap umum.

Sayang, dugaan Ray meleset. Meski Netta tengah menarik garis lurus ke atas kertas dengan hati-hati, dia kembali melanjutkan ucapannya. "Kan sekarang kamu udah telanjur basah masuk di DKV. Kenapa enggak nyebur sekalian? Enggak sayang ngerjain kuliah setengah-setengah?"

Gerakan Ray terhenti. Dia memandang Netta yang akhirnya balas menatapnya. Ada ketulusan perhatian seorang sahabat di sana. Netta sungguh-sungguh peduli dan tak sekadar basa-basi. Ekspresi cewek itu seperti air kolam jernih yang mudah terbaca.

"Lo beneran merasa gue bisa ngikutin kelas DKV di luar wilayah komik?" Ray bertanya dengan masygul. Tangannya menyugar rambut cokelat ikalnya ke samping.

Jempol kiri Netta naik ke atas. "Tentu aja! Kamu denger, 'kan, kata dosen kemaren? Kamu punya sense desain dan gambar yang bagus. Cuma—"

"Enggak niat aja," sambung Aru cepat.

Semua rasa yang sempat menghangat di dada Ray bubar sudah. "Gue mah ogah dinilai sama cowok macam lo!"

"Cowok macam apa?"

"Ya macam itu." Ray tak meneruskan ucapannya dan lanjut membuat sketsa halaman komik.

Ketiganya bekerja dalam diam. Hanya suara ketikan dan goresan pensil yang terdengar di antara mereka. Semua hanya ingin menyelesaikan pekerjaan masing-masing secepatnya.

"Yak, beres!" Aru meregangkan tubuhnya sedikit.

"Gile, Ndro?! Kelar?!" Ray terbeliak tak percaya. Dia bangkit dan langsung menuju tempat Aru duduk. "Njir! Beneran kelar."

"Ya ampun, Ru! Kok bisa cepet banget?! Belum ada 30 menit, 'kan?"

"Udah kubilang, aku ini genius." Aru menutup laptopnya dan menyerahkan flashdisk ke arah Netta. "Pelajari aja itu. Rangkuman yang kamu bikin udah bagus banget tadi. Aku cuma copy-paste ke ppt dan memperbaiki sedikit. Kerjamu bagus."

Ada berbagai rasa yang menyergap Netta dengan cepat. Haru, bahagia, dan juga bangga. "Thanks," ujarnya malu-malu.

"Aku mau gambar buat tugas Design and Material dulu bentar, habis itu cabut." Aru mengeluarkan alat gambarnya.

Netta mengangguk. "Aku rangkum dulu slide-nya jadi satu halaman buat patokanku pas presentasi kita nanti."

Aru langsung setuju. Akan lebih mudah memegang satu halaman berisi rangkuman slide dan menghafal sisanya daripada mencetak berlembar-lembar. Hemat biaya.

Ray mengembuskan napas kecewa. Namun, dia tak bisa protes kala asisten barunya memutuskan kembali mengerjakan tugas sejarah mereka. Dia akhirnya mengempaskan tubuh ke sofa untuk melanjutkan gambarnya.

Mereka bertiga kini kembali sibuk dalam kegiatan masing-masing. Perpustakaan semakin ramai pengunjung, tetapi hanya sedikit suara yang terdengar. Hingga akhirnya Netta sedikit mendongak memperhatikan apa yang dilukis Aru.

Cowok itu sedang serius mengarsir satu dari dua belas kotak untuk tugas gambar tekstur buatannya. Hidung mancung, alis yang tegas dan tidak terlalu tebal, dan rambut hitam halus yang selalu terlihat rapi itu menimbulkan pesona tersendiri. Sesekali, Aru menaikkan sudut bibirnya. Senyum puas karena bisa menyelesaikan satu kotak yang menggambarkan jamur dengan detail luar biasa. Netta merasakan kenyamanan dan rasa debar asing setiap kali melihat wajah Aru yang begitu serius mengerjakan tugas-tugasnya.

"Lo mau ngerangkum slide, apa mau ngerangkum Aru?" ujar Ray pelan, tetapi langsung membuat Netta nyaris menumpahkan tinta ke atas laptop.

Cewek itu kelabakan dan langsung meminta maaf berulang.

"Maaf, Ru, bukan bermaksud ngeliatin kamu .... Aduh ...." Netta mengusap wajahnya malu-malu. "Aku selalu kagum sama gambar hyperrealism-mu."

Aru masih tak berekspresi dan menanti penjelasan Netta, sementara Ray berusaha keras menahan tawa. Netta berulang kali menarik napas menenangkan diri. Merutuki kelakuan Ray dalam hati sembari memikirkan kalimat yang tepat untuk menjelaskan.

"Aku dari dulu pengin bisa, tapi enggak telaten." Matanya kembali menyusuri setiap detail arsiran yang dibuat Aru. Bayangan di balik jamur, detail retakan tanah, helai kelopak bunga, detail bulu hewan, semua terkesan hidup.

"Kamu enggak berpikir kalau ini cuma sebuah plagiasi? Sebuah karya yang menjiplak foto doang?" Aru berujar dingin.

Dengan tegas Netta menggeleng. "Lukisan hyperrealism enggak sekadar meniru foto. Malah seperti menegaskan keindahan ciptaan Tuhan yang kita lihat dengan mata telanjang, tapi tidak bisa ditangkap kamera. Itu hal yang paling aku suka dari hyperrealism."

"Gambar lo juga bagus, kok." Ray tersenyum lembut dan langsung membuat iris cokelat Netta berbinar ceria.

"Serius? Tapi, aku enggak bakal bisa sekeren Aru!" Pandangan Netta kembali sendu.

"Dua rius. Mobil lo kemaren keren. Tekstur kayu yang lo bikin buat tugas kemaren juga top," Ray berkata dengan sungguh-sungguh.

"Aku setuju. Kamu bisa gambar hyperrealism juga kalau lebih telaten lagi." Aru tersenyum. Sebuah lengkungan bibir yang sangat tulus dan memukau, tetapi begitu langka terjadi. Untuk kedua kalinya, Netta kehilangan kata-kata.

"Yah, mungkin seratus tahun lagi, baru bisa ngalahin aku."

Lagi-lagi, semua haru menguap hilang.[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top