Bab 24: Publik


Ray menarik napas berusaha menyingkirkan semua api yang membakar dada. Dia harus tenaaang ....

Tariiik ..., embuskaaan ....

Tariiik ..., embuskaaan ....

Tariiik ..., embuskaaan ....

Selama sekitar tiga menit, Ray seperti ibu hamil sembilan bulan yang siap brojol kapan saja.

"Jadi, semua beres, nih, ya? Tinggal bikin flyer, perangkat promosi lainnya kayak standing banner, business card, lalu juga semua promotion tools di media sosial." Ray kini sudah bisa mengatur napasnya kembali.

"Makasih buanget nget nget buat kalian berdua! Makasih, Aru! Makasih, Ray!"

Lagi-lagi, dada Ray berdenyut mendengar namanya disebut belakangan. Cowok itu tak suka rasa yang menggerus di dadanya. Netta mungkin tak sadar, tetapi sejak awal, cewek itu hanya menatap ke arah Aru. Haruskah dirinya mundur?

"Gue bisa bantu bikinin IG feed content. Gampang itu. Enggak nyampe dua jam juga kelar," Ray menawarkan bantuan.

Aru mengangguk sebagai tanda persetujuan. "Aku bisa bantu bikinin FB page dan template isinya. Enggak usah khawatir. Kamu fokus sama konten promonya aja."

Jemari lentik Netta masih menari-nari di atas kertas, mencatat semua yang teman-temannya katakan.

"Oh, besok nirmana datar akan dikumpulkan. Kata Pak Genta, jangan lupa bawa cat warna yang dipakai untuk mencampur warna." Aru melihat gawainya sambil mengerutkan kening.

Ray menatap heran. "Tahu dari mana?"

Aru hanya memutar arah gawainya ke Ray dan Netta bergantian.

"Wow! Ada pengumumannya ternyata di web kampus!" Netta berdecak kaget.

"Aduh, malesin. Emang ngapain, sih? Masa enggak percaya itu tugas udah pakai darah dan air mata sendiri?" Ray menghela napas. Tiba-tiba, dia teringat sesuatu. Diliriknya Netta dengan cepat dan langsung mengubah kalimatnya. "Lagian, kan emang enggak ada larangan buat dibantu sedikit. Toh yang nguas ke kertasnya juga masing-masing."

Aru membenarkan. Sejenak, ketiganya terdiam.

"Jangan-jangan Ale ketahuan minta tolong ke selirnya?" Ray membeliak.

Lagi-lagi Aru setuju. "Dasar tukang bikin masalah!"

Netta sendiri sibuk memikirkan kemungkinan terburuk. Bagaimana jika ternyata dosen mengetahui bahwa dirinya harus bergantung pada orang lain untuk mencampur warna? Tanpa sadar, cewek itu menggigit bibir bawahnya kuat-kuat.

Tiba-tiba, Netta merasakan tangannya digenggam erat. "Enggak usah khawatir. Kamu berbakat. Soal warna, hafalin aja butuh berapa tetes dari setiap warna untuk menjadi kombinasi pilihan kamu. Ray pasti bakal bantu karena dia yang tahu perpaduannya."

Aru mengalihkan pandangannya kepada Ray. Ekspresinya masih datar, tetapi Ray bisa merasakan ada ketulusan di sana.

"Apa, sih, yang enggak buat Netta?" Ray mengerling dengan jail.

"Aku rasa, aku harus pamit. Sudah mau jam tiga." Aru melirik jam tangannya. "Aku harus ngasih les." Ada helaan napas menjeda di sana.

Netta terlihat khawatir mengetahui Aru akan segera pergi. Bagaimanapun, berduaan dengan lawan jenis di ruangan tertutup bukan pilihan bijaksana dan sedikit melenceng dari etika ketimuran yang digenggamnya teguh.

"Kalau kamu khawatir soal Ray, dia enggak bakal berani macam-macam." Cowok itu mengangkat kacamatanya sedikit dengan jari telunjuk. "Atau, kalau mau tenang, kalian bisa latihan di ruang bawah yang lebih lega, 'kan?"

"Ta-tapi, aku enggak bawa cat posterku," Netta berkata gugup.

Ray terkekeh dan menunduk, membuka salah satu laci di dekat meja komputer. "Merek cat poster kita sama. Kebetulan gue juga punya." Cowok itu mengeluarkan botol-botol cat berukuran lima senti ke atas meja. "Nih, kita bisa latihan. Gue ada pipet juga biar lebih presisi. Atau kita bisa pake sistem lingkaran. Terserah nyamannya lo aja."

Aru menatap dingin sebelum mengembuskan napas panjang dan nyaris tak terlihat.

"Jangan lupa, Netta harus pulang sebelum magrib. Jadi, jangan biarin dia pulang dari sini lewat dari jam lima."

Ray menghela napas. "Kali ini gue enggak bakal kecolongan."

"Baguslah ...," Aru menyahut dengan dingin. Selintas, pandangannya beralih kepada Netta. "Kalau gitu, aku pamit. Enggak usah panik. Selalu ingat di kepala kalau kamu berbakat."

Tak menunggu balasan dari Netta, Aru langsung menyambar tasnya dan turun sendiri ke lantai bawah.

Ray langsung bangkit dan berteriak, "Aru, tunggu!"

Netta tiba-tiba merasa khawatir dan ikut menyambar tasnya dan keluar kamar.

Langkah Aru terhenti di tangga. Hanya alis mengerut yang menandakan sebuah tanda tanya.

"Gue turun sekalian sama Netta. Lo kan enggak bisa buka pager sendiri. Kuncinya di gue."

Kali ini, mulut Aru terbuka sedikit hingga membentuk lingkaran sempurna. "Oh."

Ray menyambar sketchbook, pipet, sekotak tisu, kuas, dan cat poster untuk dijejalkan ke dalam tas dengan cepat. "Yuk!" Cowok itu tanpa ragu menggandeng Netta setelah mengunci pintu untuk turun ke bawah.

Aru hanya membuang muka dan melanjutkan langkahnya ke lantai dasar.

"Jadi, taktiknya begini." Ray membongkar peralatannya setelah mengantarkan Aru keluar. Kali ini, ruang tamu lengang. Hanya ada dua orang sedang makan dengan santai di sudut. "Lo fokus sama jumlah tetes setiap warnanya ke palet."

Netta terlihat tak yakin. "Iya, tapi apa enggak aneh, nyampur warna pake pipet? Kan orang-orang umumnya pakai kuas."

Ray mengembuskan napas. "Iya, emang enggak wajar. Tapi, lo kan enggak bisa pake mata buat ngebedain warnanya. Jadi harus pake eksakta buat memastikan ramuan lo tepat."

Cewek itu terdiam. Yang dikatakan Ray memang ada benarnya. Namun, apa yang harus dia katakan jika dosen sampai bertanya mengapa dirinya harus menggunakan pipet?

"Bilang aja lo orangnya presisi. Enggak betah kalau cuma main feeling." Seolah bisa membaca pikiran, Ray memberikan usul. "Lagian, dengan detail bentuk nirmana lo, gue rasa dosen juga percaya. Apalagi track record lo pas tugas-tugas sebelumnya juga dikenal detail dan rapi."

Netta menarik napas.

"Kalau gue yang ngomong, dosen enggak bakal percaya." Ray tertawa renyah. "Kerjaan gue enggak pernah detail dan rapi kayak lo." Beberapa tepukan halus di lengan berusaha meyakinkan Netta bahwa cewek itu akan baik-baik saja di kelas besok.

"Oke, jadi gimana, nih, sistemnya?" Netta akhirnya berusaha meyakinkan diri untuk bisa bangkit dan mengerjakan campuran warnanya sendiri.

Ray mengamati Netta sejenak. Cewek itu tampak tidak yakin. Jika Netta sendiri tidak memercayai cara yang dia usulkan, bisa-bisa semua justru akan kacau balau. Akhirnya, Ray mengubah taktik. Dia mengeluarkan kertas, spidol hitam, dan penggaris bulat.

"Kita pake cara ini aja kalau pipet menurut lo terlalu ekstrem."

"Apa itu?"

"Lo punya plastik akrilik di rumah? Atau plastik mika laminating?" Ray mulai menggambar enam bulatan di atas kertas.

Netta masih tak paham arah pembicaraan mereka. "Bisa beli kalau mika. Deket kampus banyak."

Ray mengangguk setuju. "Lo bikin lima bulatan ke bawah, lalu lima ke samping." Cowok itu terlihat puas memandangi lingkaran dengan diameter satu senti itu. "Warna lo ada empat gradasi hijau ke biru, lalu ada tiga gradasi kuning buat latarnya. Kita fokus ke gradasi hijau ke biru dulu karena lebih sulit."

Netta menyetujuinya.

"Lo udah tahu, 'kan, mana yang hijau paling tua? Perbandingannya cuma lima biru, dua hitam, satu kuning, dan satu hijau." Ray menjelaskan sambil mencampur warna hingga menjadi hijau toska gelap.

Cewek itu langsung mengeluarkan buku tulis dan mulai mencatat.

"Terus, lo geser semua cat ke pinggir. Buletannya bisa lo pake lagi." Ray mempraktikkannya. "Habis itu, warna kedua lo pake enam biru, satu hijau, dua kuning."

Begitulah, selama hampir dua jam, Ray memberi tahu formula untuk semua warna yang dipakai Netta. Cewek itu mengerjap, kebingungan membayangkan cara untuk menghafal semua itu dalam satu malam. Apa perlu dia membuat sontekan? Ah, tidak. Ray sudah berusaha keras untuk membantunya. Tak mungkin dia mengkhianati semua usaha cowok itu.

"Intinya, lo enggak boleh panik." Ray tersenyum menenangkan. "Sekali panik, lo bisa lupa semua campuran yang gue kasih. Oke?"

Netta berusaha mengangguk meski ragu. Biarlah malam ini dia bergadang untuk menghafal semua formula. Semoga saja besok dia tidak dipanggil ke depan. Toh nirmananya tidak mungkin secanggih punya Aru. Mungkin cowok berkacamata itulah yang akan ditunjuk untuk maju. Ya, mungkin saja begitu.

Setelah mengucapkan beribu terima kasih, Netta pulang dengan perasaan campur aduk. Bahkan ketika malam semakin larut, cewek itu masih tak juga mampu memejamkan mata. Rasa panik mencengkeramnya erat.

Kepalanya terasa berdenyut menyakitkan. Ya Tuhan! Apakah dia bisa mengatasi ini semua? Membayangkan hal-hal buruk yang mungkin akan menimpanya membuat cewek itu merasakan sesak mengimpit dada.

Entah sudah berapa domba yang dia hitung berulang hingga, akhirnya, dia jatuh tertidur.

***

Suara riuh rendah ruang kelas mewarnai suasana pagi itu. Setiap mahasiswa keheranan karena perintah mendadak dari sang dosen. Netta masih memainkan jemarinya gugup. Palet dari papan akrilik tipis sudah dia bawa, lengkap dengan sepuluh lingkaran yang dibuat dengan spidol permanen agar tidak bisa dihapus.

"Enggak usah khawatir, kemungkinan besar karya yang terbaik aja yang akan disuruh demo. Pasti itu karyaku." Aru menggerakkan kepalanya sedikit sembari membuka lembaran tugasnya di atas meja.

"Tapi, kalau gara-gara Ale, bisa jadi aku, 'kan?" bisik Netta khawatir.

Ray terkekeh pelan. "Lo mana bisa dibandingin sama Ale, sih? Lo langit, dia palung Mariana!"

Netta memang tak bisa berkata apa-apa mendengar argumen keduanya. Milik Aru memang luar biasa. Dari bentuk segitiga bisa berubah menjadi burung. Gradasi yang ditawarkan terbagi atas empat wilayah berbeda. Emas ke kuning, cyan ke biru. Latarnya pun ada ungu gelap ke muda dan biru gelap ke muda. Detailnya paling rumit diantara mereka bertiga.

Mungkin Aru benar, Netta memang tidak perlu terlalu khawatir.

Belum sempat Ray angkat bicara, Genta sudah masuk ke kelas dan memerintahkan semua orang untuk mengumpulkan tugas. Selama tiga puluh menit, dia hanya mengamati semua tugas yang diberikan satu per satu. Semua mahasiswa menunggu dengan jantung berdebar tak keruan.

"Baiklah, sesuai pengumuman saya di forum, hari ini kita akan mengadakan sharing class." Pandangannya berkeliling ke penjuru kelas. "Karya kalian cukup di atas rata-rata meski, seperti biasa, tampaknya tiga teman kalian memang paling menonjol."

Genta mengangkat tiga tugas yang dimaksud. Netta merasakan jantungnya dilemparkan dari ketinggian lima ratus meter untuk diempas ke tanah. Selain Aru dan Ray, karyanya juga termasuk pilihan.

Kali ini, dia hanya bisa memanjatkan doa sebanyak-banyaknya. Semoga hanya Aru atau Ray saja yang akan terpilih. Tangannya yang menggenggam pulpen gemetaran. Ray menepuk-nepuk punggungnya, berusaha menenangkan. Namun, percuma. Netta semakin pucat dan tampak sedikit gemetar.

"Annetta Shelladhika Putri, silakan maju."[]



AUTHOR'S NOTE

Hueee ..., Netta ..., kamu kudu piyeee???

Duh, kira-kira lolos enggak dia?

Shirei nulisnya aja jantungan ini. Hix.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top