Bab 22: Bertiga

Dua jam setelah makan malam, Netta masih duduk termangu di kasur memeluk bantal kesayangannya. Memikirkan urusan re-branding tampaknya tak serumit memikirkan kalau dirinya lagi-lagi harus bergantung pada duo gesrek itu di kampus.

Apakah dia tak bisa membuat semuanya sendiri tanpa bantuan Ray ataupun Aru? Desainer macam apa yang selalu menggantungkan pekerjaannya pada orang lain? Bukankah dia harus belajar menjadi sosok mandiri seperti Vinny? Sungguh, dia tak suka merepotkan orang lain, terlebih untuk mendukung keinginannya. Netta kini merasa berubah menjadi sosok yang sangat egois. Apakah nanti dia menyerupai Ale? Netta langsung komat-kamit membaca semua doa untuk terhindar dari marabahaya yang diingatnya.

Segalanya berawal sejak Netta mengetahui kondisi buta warnanya. Dunia terasa terlalu sulit untuk dijalani. Semua tampak menjadi beban karena dia merasa ketakutan dalam setiap langkah. Seolah tak ada lagi kesalahan yang boleh ditoleransi dalam hidupnya. Membayangkan setiap desain akan membuat orang mengetahui buta warna yang diidapnya selalu mampu membuat cewek itu gugup. Netta mengembuskan napas berusaha menenangkan diri.

Sejenak, diamatinya gawai yang menampilkan layar WhatsApp dalam diam. Ada nama Aru dan Ray terpin di atas bersama nomor Papa. Apakah dia harus meminta bantuan keduanya malam ini? Diliriknya jam di atas meja. Sudah pukul sembilan. Sudah terlalu malam untuk memulai sebuah perbincangan.

Netta pun meletakkan ponselnya ke atas meja dan merebahkan diri. Ruangan kamar yang sudah diatur temaram tak juga mampu membuatnya terpejam. Dia membayangkan harus melalui UTS, UAS, dan tahun-tahun penuh kekhawatiran yang membuatnya sakit kepala.

Cewek itu meregangkan tubuhnya sejenak, berusaha menyingkirkan semua beban. "Ah, dipikirin sekarang juga enggak mengubah keadaan. Tidur aja daripada besok kesiangan."

Ya ..., mungkin besok dia akan mengajak keduanya bicara langsung saja.

***

Netta berjalan dengan tergesa dari parkiran menuju kelas. Cuaca hari ini sangat panas. Awan seolah enggan memberi perlindungan dari kejamnya sinar matahari pukul sebelas kurang.

Kelas sudah dipadati mahasiswa. Beberapa tampak panik masih berusaha mengerjakan tugas nirmana. Beberapa justru mengobrol santai di kursi masing-masing.

Netta bergerak ke kursinya yang biasa. Ray dan Aru tampak sudah santai mencorat-coret buku sketsa masing-masing. Cewek itu selalu takjub. Kedua cowok itu tak pernah membiarkan waktu tersia-sia begitu saja. Jika ada kesempatan, mereka akan membaca atau mencorat-coret apa pun di atas buku sketsa ukuran A5 yang selalu dibawa ke mana-mana. Sedikitnya, ada rasa iri terselip di dada.

Ah, kenapa harus iri? Bukankah keduanya memiliki kemampuan seperti sekarang karena kerja keras mereka sendiri? Berapa jam yang mereka habiskan dalam sehari untuk menggambar dan memperbaiki diri? Kini, mereka tinggal memetik hasilnya.

Mengingat itu, Netta menjadi lebih bersemangat. Dia berjanji akan berjuang lebih keras lagi untuk menyusul ketertinggalannya.

"Wow! Bokap udah percaya sama kemampuan lo!" Ray berseru riang ketika Netta menceritakan tugas dari Papa. Rambut cokelat ikalnya mengayun seiring gerakan kepalanya yang lincah. Ruang kelas masih riuh karena dosen tak kunjung tiba meski waktu sudah menunjukkan pukul setengah dua belas. Maka ketiganya masih melanjutkan obrolan dengan santai.

Netta ternyata mengurungkan niat untuk meminta bantuan dari keduanya. Dia hanya meminta doa agar proses desainnya berjalan dengan lancar. Jika bisa, dia akan menyelesaikan semuanya sendirian.

"Kamu sudah ada konsepnya?" Aru mengeluarkan buku catatan mungilnya dan meletakkannya ke atas meja. Notes yang sering Netta lihat sebagai buku penyimpan doodle-doodle ide dan catatan acak sepanjang kuliah.

Netta memperlihatkan flyer lama milik Mama di gawainya. "Aku harus ngerombak ini. Cuma, kepenginnya, sih, warnanya jadi bernuansa hitam-emas. Soalnya target marketnya orang-orang menengah ke atas."

Aru mengangguk-angguk sembari mencorat-coret sesuatu di atas notes mininya. "Kalau sudah punya konsep dasar begitu lebih mudah. Bagus malah. Sudah mulai kumpul moodboard-nya?"

Netta menggeleng. "Baru semalam kan Papa minta tolongnya. Ini aja masih ngambang mau remake logo apa enggak." Pandangan cewek itu menerawang sejenak.

"Satu-satu aja. Moodboard dulu, lalu pikirin cocok enggak logonya. Kalau cocok, ya lanjut, kalau enggak, ya re-branding. Setelah itu, baru, deh, kita mikirin soal iklan-iklannya." Kali ini Aru memgeluarkan gawainya dan mulai mengetikkan sesuatu.

"Oh, gue punya beberapa koleksi gambar untuk moodboard di komputer kos." Ray menimpali.

Tiba-tiba, salah seorang pengurus kelas mengetuk papan tulis beberapa kali. Semua mata langsung tertuju kepadanya. "Dosennya ada masalah mendadak hingga kelas diundur lusa. Buat yang belum kelar bikin tugas nirmana, bisa ngelanjutin lagi, tuh!" Cewek dengan rambut diekor kuda itu terkikik lega. "Sekarang boleh pulaaang!"

Sorak-sorai langsung terdengar di seluruh penjuru kelas. Semua langsung bergegas menyiapkan tas dan pulang.

Netta berdecak kecewa. Mau bagaimanapun, dia sudah sangat siap untuk mengumpulkan tugas. Menunda dua hari rasanya menyebalkan. Harusnya, dia bisa lebih santai lagi dalam menegaskan tepian gambar karena tenggat masih lama. Namun, dia tidak boleh egois. Toh, banyak juga teman-temannya belum selesai. Lagi pula, bukankah dia juga bisa selesai berkat keberadaan Ray?

"So, mau ke kosan gue? Ntar gue kasih lihat koleksi moodboard." Ray mencangklong tasnya dan bangkit berdiri sembari memainkan alis tebalnya naik turun.

"Kurasa itu bisa menghemat waktu, daripada kamu mencari sendiri." Aru memasukkan peralatan tulisannya ke tas. "Aku rasa kepekaan Ray dalam warna juga cukup terasah. Apalagi dia komikus, 'kan? Untuk membuat karakter, beberapa komikus menggunakan moodboard sebelum mendesain."

Ray menoleh kaget mendengar Aru mendukung rencananya. Apa cowok yang saat ini masih tak mengeluarkan ekspresi apa pun itu menyembunyikan sebuah rencana licik di baliknya? Membayangkan itu, Ray bergidik ngeri. Bukankah seseorang yang biasanya terlihat tenang, bisa diam-diam menghanyutkan?

"Kenapa?" Aru mengangkat kacamatanya sedikit kala menyadari Ray dan Netta memandangnya tanpa bisa berkata-kata.

Ray berdeham. "Ya udah, daripada kelamaan, yuk, langsung ke sana!" Cowok berambut ikal itu langsung menggandeng tangan Netta dan setengah menyeretnya ke luar kelas.

Baru beberapa saat keduanya keluar dari kampus dan menyeberang jalan, mereka menyadari kalau Aru mengekor dengan santai di belakang.

"Lho? Ngapain lo ikut?" Ray menatap tidak suka.

Aru mengangkat bahunya tak acuh. "Kosan kamu tidak ada larangan cewek masuk. Jadi, pasti enggak ada larangan buat cowok masuk, 'kan?"

Ray menjengit. "Serah lo, deh!" Cowok itu tetap menggandeng Netta dan tak mau melepaskannya sepanjang perjalanan menuju kos.

Aru tetap tampak santai dan terus berjalan tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Sedikitnya, Netta merasa kecewa. Rasa yang tanpa disadari menyusup ketika menyadari bahwa Aru tak melakukan apa pun ketika Ray menggandengnya.

Karenanya, Netta hanya bisa pasrah mengikuti bagaimana Ray setengah paksa membawanya ke kos yang cukup membawa kenangan buruk itu. Namun, dengan adanya Aru, cewek itu yakin mereka tidak akan kemalaman lagi. Ada alarm hidup ikut hadir di ruangan.

Belum sampai di belokan kos, tiba-tiba Ray mengarahkan langkahnya ke sebuah warung makan bernuansa Jepang. Spanduk warna merah menyala dengan logo mangkuk berbentuk huruf S itu terlihat mencolok. Di dalamnya, sudah cukup banyak orang tengah memesan. Ada satu wilayah kosong di dekat jendela. Maka ketiganya langsung bergerak ke arah meja tersebut.

"Makan siang dulu. Gue ogah dianggap enggak kasih makan anak orang." Matanya menatap Aru tajam. Sayangnya, yang ditatap masih tak acuh dan langsung duduk dengan santai di hadapan keduanya.

Mata Netta menyusuri daftar menu ukuran besar yang terpasang di dinding. "Aku chicken toripirikaradon yang ukuran M aja."

Alis Aru naik sedikit melihat nama asing itu. "Itu apaan?"

Netta mencebik sambil mengangkat satu bahunya. "Enggak tahu. Namanya lucu. Aku pesen karena itu."

Ray langsung terkekeh. "Gue chicken kare aja."

"Original beef bowl size L."

Mulut Netta membentuk bulatan ketika mendengar pesanan Aru barusan. "Kecil-kecil ternyata porsi makan kamu gede juga."

Dengan santai Aru meletakkan tasnya di dekat kaki. "Cowok emang harus banyak makan biar berotot, 'kan?"

"Hilih, kerempeng aja sok berotot!" Ray mencebik sambil menahan tawa.

"Mau dibuktiin?" Aru hampir saja membuka kancing kemeja teratasnya.

"HOOOI, KALIAN!" Netta berteriak dan tertawa terbahak. "Jangan ngaco, ah!"

Tak sampai lima belas menit, pesanan mereka tiba. Netta terpana melihat semangkuk nasi berlauk potongan ayam goreng yang dibumbui pedas kemudian disirami saus Jepang dan mayones bertabur wijen.

"Aduh, a-aku enggak bisa makan mayones," bisik Netta galau. Ditatapnya pesanannya dengan rikuh.

Tiba-tiba, Aru menarik mangkuk Netta dan menyodorkan miliknya. "Ambil aja punyaku. Belum kumakan."

"Atau mau kare gue aja?" Ray turut menawarkan.

Namun, melihat mangkuknya sudah lebih dulu berpindah, Netta tak enak jika harus menolak tawaran Aru. "Tapi, aku nggak habis kalau porsi gede gini." Netta memandang mangkok ukuran besarnya kebingungan.

"Lemparin aja nasinya ke aku. Lauknya ambil aja semua enggak apa-apa." Aru mengambilkan sendok. "Kebetulan aku suka banget, kok, sama mayones."

Netta mengucapkan terima kasih dan menyerahkan sebagian nasinya kepada Aru. Ada rasa bahagia tak terjelaskan di dalam hati mendapat perhatian dari cowok yang masih tak berekspresi kala mulai mengaduk ayam bermayones dengan nasi tersebut. Bulu kuduk Netta sedikit meremang melihat perpaduan itu.

Mereka makan sembari berbincang santai tentang detail travel agent milik Ahsan. Alasannya agar keduanya bisa memikirkan sedari sekarang apa yang terbaik untuk desain mereka.

"Ini enggak apa-apa? Aku kayak ngerepotin kalian. Aku enggak pengin ngeganggu." Cewek itu menunduk dan memainkan sendok dalam mangkuk.

Suara tawa renyah Ray terdengar, "Halah, lo enggak minta tolong juga gue bakalan langsung nolongin. UTS bentar lagi. Bakal lebih cepet kalau dikerjain ber—" kalimatnya menjeda sedikit, "—dua ...."

"Tiga!" ralat Aru cepat.

"Oke, tiga." Ray memutar bola matanya malas.

Netta merasakan kehangatan merengkuh dadanya. Matanya terasa panas. "Makasih ...." Tiba-tiba, dia merasakan kelembutan tisu menyapa pipinya.

"Jangan nangis, dong! Gue jadi enggak enak. Ntar dituduh macem-macem udah bikin nangis anak orang." Cowok berparas manis itu berusaha tersenyum.

Hanya anggukan yang bisa menjawab. Ray pun membelai pucuk kepala Netta dan berbisik, "Pokoknya lo enggak usah takut. Gue selalu ada buat lo."

Saat itu, Aru hanya menggenggam gelas hingga buku-buku jarinya memutih.

***

Ketiganya tiba di depan kos Ray tepat pukul 12.30. Matahari mulai tak bersahabat menebarkan terornya, membuat kulit Netta mulai memerah.

"Yuk, langsung masuk!" Ray membukakan gerbang dan pintu utama. Netta dan Aru berjalan tepat di belakang Ray ketika naik ke lantai tiga.

"Selamat datang di kamarku." Ray membuka pintu kamarnya lebar-lebar. Netta hanya bisa membelalak penuh keterkejutan.[]



AUTHOR'S NOTE

Tebak-tebak buah manggis. Kira-kira kamar Ray kayak gimana?

Apa jangan-jangan ada poster idol Jepang seperti AKB48?

Atau, uhuk ... anime-anime yang cantik?

Atau, justru sangking plain-nya malah bikin kaget?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top