Bab 21: Pacar
Ray bisa melihat dengan jelas wajah Netta yang memerah dan bagaimana cewekitu diam-diam menunggu reaksi Aru. Cowok berambut kecokelatan itu menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri, menepiskan rasa kecewa atas kecerobohannya sendiri.
"Mertua siapa? Mertuamu?" Aru menyisipkan tangan kanannya ke saku celana.
"Lo," balas Ray malas.
"Calon mertuaku?" Sejenak ada jeda terasa. "Maksud kamu aku jatuh cinta sama Netta dan ingin papanya jadi mertuaku?" Cowok berkacamata itu mengerutkan kening. Aru langsung bangkit berdiri sembari menyambar tisu-tisu yang berserakan untuk dijejalkan ke saku celana kirinya. "Seumur hidup, aku belum pernah merasakan debar jantung orang jatuh cinta yang katanya bisa sampai bikin sesak napas itu."
Aru mencangklongkan tasnya ke pundak. Sejenak, pandangannya meredup kala memandang Netta. "Karena pembicaraan kita sudah selesai, aku pamit." Dia pun bergerak menjauh dan menghilang di tikungan koridor.
Netta mengembuskan napas penuh kekecewaan. Namun, tak lama cewek itu menyusul bangkit.
"Ray, aku balik dulu, ya! Sekali lagi makasih buat segalanya. Maaf kalau Papa udah resek." Ada tawa kecil menghias.
Ray melompat berdiri dan merentangkan tangannya lebar-lebar. "Tenang, pintu maaf gue lebih gede dari ini." Dia menyeringai.
"Thanks, Ray!" Netta melambai dan bergerak menjauh.
"Sama-sama," lirih Ray menjawab.
Ada hening menjeda ketika dia menarik tas dan memakainya. "Belum pernah jatuh cinta, ya?" Masih dengan suara pelan, cowok itu berbicara dengan dirinya sendiri. "Lo aja yang belum nyadar."
Langkah kakinya pun terseret lunglai di sepanjang koridor.
***
"Jadi, hari ini enggak diantar pulang sama pacar kamu?" Ahsan memulai topik pembicaraan saat makan malam yang langsung membuat Netta tersedak.
Dengan gerakan santai, Ahsan menyodorkan segelas air putih dingin sembari menahan senyum. Dia sangat senang berhasil menggoda Netta. Harus pria itu akui, kemarahan Netta kemarin membuat hatinya gundah gulana seperti lagu era 80-an.
Hati gundah gulana karena datang sunyi mencekaaam ....
Resah hari gulita, di kesunyian malam yaaang kelam ....
Selama ini, Netta tak pernah melakukan perlawanan apa pun terhadapnya. Setiap permintaan selalu ditaati dengan senyum yang tak pernah absen menghias. Baru kemarin putri satu-satunya itu memberontak, bahkan tampak sangat marah sekaligus kecewa.
Ahsan menepuk-nepuk punggung Netta penuh kasih saat putrinya itu meminum air sampai habis.
"Papa, ih!" Netta memukul lengan papanya manja. Bibir yang dimajukan ke depan membuatnya terlihat semakin menggemaskan pada usianya yang menginjak 18 tahun ini. "Siapa yang pacar?"
"Justru Papa nanya. Yang mana pacarmu? Ray apa Aru?" Senyum jail mau tak mau kembali dipamerkan.
Lagi-lagi Netta berusaha tak acuh dan menyuapkan kembali ayam bakar kecapnya. Cewek itu mengunyah dengan hati-hati dan menggantung pertanyaan Ahsan tanpa jawaban.
Ahsan pun diam dan kembali melanjutkan makan malamnya dengan tenang. Namun, kedamaian itu tak lama. Tepat ketika Ahsan selesai menghabiskan tetes air terakhir, dia kembali berujar, "Jadi, Papa masih penasaran. Kamu pilih Ray apa Aru?"
Kali ini Netta berhasil menahan dirinya agar tidak tersedak kembali. "Aduh, Pa, kami enggak pacaran! Kami Three Musketeers yang tak terpisahkan. TRIO! Bukan pacaran! Enggak percaya amat, sih!" gerutunya.
Pria paruh baya itu mengangguk-angguk. "Papa percaya kamu belum pacaran dengan salah satu dari mereka."
"Siiip ...." Netta menyandarkan punggungnya ke kursi dengan lega.
"Apa perlu Papa aja yang pilihin?"
"PAPAAA!!!"
Tawa Ahsan meledak hingga bahunya berguncang. Netta hanya bisa mengembuskan napas pasrah melihat bagaimana Ahsan menggodanya habis-habisan.
"Papa beneran udah enggak marah lagi sama Ray?" Takut-takut, Netta memberanikan diri untuk bertanya.
Ahsan memiringkan kepalanya sedikit, berusaha mengamati ekspresi anaknya yang masih dirundung khawatir. "Hei, justru Papa pengin minta nomor telepon dia."
Alis Netta naik tanpa sadar.
"Papa mau minta maaf." Pria paruh baya itu melengkungkan bibirnya ke atas. Dia menanti reaksi putrinya yang hanya mampu membuka mulut dan lupa menutupnya kembali.
Kekehan kecil Ahsan yang menyentak Netta untuk kembali tersadar dari kagetnya.
"Papa udah salah paham. Papa cuma khawatir anak kesayangan Papa hilang. Kamu kan tahu banyak penculikan akhir-akhir ini. Tapi, sekhawatir apa pun, selama kamu sudah kembali, harusnya Papa bisa berpikir lebih jernih."
Netta merasakan kesejukan mengalir dalam batinnya. "Terima kasih."
Kali ini, giliran Ahsan yang terbeliak kaget. "Untuk?"
"Untuk mencintai Netta sepenuh hati, selalu mengkhawatirkan Netta, dan menjaga Netta sampai kapan pun." Netta tiba-tiba bangkit dan memeluk papanya yang masih duduk di kursinya.
Sejenak, Ahsan mematung menerima kehangatan yang kini mendekapnya. Anak gadisnya sudah begini dewasa, dia merasa bersyukur memiliki Netta yang begitu mencintainya dengan tulus. Menemaninya menghadapi pahitnya kehilangan istri tercinta bertahun silam. Tangan Ahsan pun terulur dan membalas dekapan hangat Netta penuh kasih.
"Terima kasih sudah mengerti kalau Ray bukan orang jahat. Makasih udah mau dengerin penjelasan Aru. Papa emang terbaiiik!" Netta mempererat dekapannya. "Ray enggak marah, kok, sama Papa. Netta yakin!"
Ahsan membelai kepala Netta sebelum akhirnya cewek itu melepaskan dekapannya dan kembali duduk.
"Eh, tapi Papa serius. Kamu tinggal pilih. Dua calon itu kayaknya ideal dijadikan suami."
"Udah, ah, Pa! Capek bercandanya itu mulu." Netta merengut.
Kali ini Ahsan menyerah. "Ya udah, kita tunda pembicaraan soal ini."
Netta mengembuskan napas lega.
"Omong-omong, kamu kayaknya udah bagus di DKV. Soal Papa minta tolong yang dulu itu udah siap?" Papa memberikan isyarat dengan kepala agar Netta mengikutinya ke ruang kerja.
Jantung Netta melompat-lompat panik. Sejak bermasalah dengan Ale dan nirmana datar, kepalanya terasa penuh untuk memikirkan permintaan Ahsan. Ya Tuhan, semoga dia tak mengecewakan pria itu.
***
Di kamar berukuran 3x3 meter itu, Papa mempersilakan Netta duduk di kursi bersandaran empuk di depan meja jati berpelitur halus.
"Maaf, Netta belum sempat memikirkan apa pun soal flyer yang Papa minta." Netta tertunduk gelisah.
Ahsan menepuk punggung Netta perlahan. "Papa ngerti. Enggak usah sedih begitu."
Netta mengangguk lega.
"Papa mau bikin promo umroh plus travel ke Turki, nih." Ahsan mengeluarkan sebuah album tebal berisi kumpulan flyer yang pernah dibuat almarhum Vinny. Dia membalik-balik sebelum akhirnya menemukan yang dicari.
"Yang kayak gini!"
Netta memperhatikan flyer ukuran A4 berwarna ungu kebiruan dengan latar belakang kota Makkah, Madinah, dan Turki itu. Menjelaskan hotel yang akan dihuni, lengkap dengan biaya dan contact person.
Logo perusahaan juga pesawat yang akan dinaiki tersusun dengan apik. Tak lupa track record perusahaan yang telah menerbangkan beberapa public figure juga terpampang untuk menarik minat. Hadiah 500 ml madu alami juga disertakan sebagai bonus bagi seratus pendaftar pertama.
"Ini bisa kamu remake? Paling diubah data harga dan tanggalnya aja."
Netta menyusurkan telunjuknya ke setiap detail flyer di hadapannya. "Enggak mau dirombak total aja?" Cewek itu mendongak.
Alis Ahsan berkerut ke dalam. "Dirombak gimana?"
"Sayang kalau masih pakai punya Mama. Ini udah ketinggalan zaman. Udah hampir sepuluh tahun lalu, 'kan? Mana tiap tahun dipakai."
Netta masih mengamati flyer itu penuh kasih. Dia memang selalu mengagumi bagaimana mamanya bisa membuat flyer yang begitu menarik pada masanya. Namun, tren selalu berubah. Sebagai desainer, dia juga harus bisa mengikuti tren. Akan lebih baik jika menciptakan tren, tetapi Netta memang belum sampai ke titik itu sekarang.
Ahsan masih menunggu penjelasan Netta berikutnya. Tangannya disedekapkan ke dada. Hal yang selalu dilakukan jika sedang dalam mode bekerja.
Netta senang melihat Ahsan serius menanggapi ucapannya. Tak ada yang lebih berharga ketika orangtua mendengarkan sepenuh hati apa yang diucapkan anaknya. Apalagi sampai memercayainya setulus jiwa.
"Jadi, zaman now yang paling penting adalah foto. Kita ambil foto terbaru dari masjid Çamlıca Republic. Keren, tuh!"
Netta membuka ponselnya dan mulai mencari foto-foto masjid terbesar di Turki itu. "Nah, ini, Pa." Cewek itu mengangsurkan foto yang dimaksud. "Kita bisa beli stok fotonya cuma dengan harga 95 ribu doang!"
Ahsan membelai dagunya, mempertimbangkan. "Yang ini fotonya bagus." Pria itu menunjuk masjid yang terlihat megah di atas bukit. Pantai dan pasar tradisional Turki terlihat di bagian depan. Nuansa kebiruan tampak mendominasi.
"Papa suka branding-nya biru?"
"Maksudnya?"
Netta kembali mengetik kata kunci dan menyerahkan kembali ponselnya. "Ini arti warna biru dalam desain."
Ahsan menyusuri setiap kata yang muncul di layar gawai putrinya.
Biru: Warna dari laut dan langit, warna ini sering mengomunikasikan kedamaian, kualitas yang bersih. Sebagai lawan kata dari berenergi, warna yang lebih dingin, biru dilihat sebagai warna yang menenangkan. Pada beberapa konteks, biru dapat merepresentasikan kesedihan atau depresi.
Arti alternatif: Dalam budaya Timur Tengah, biru secara tradisional memiliki arti sebagai perlindungan dari iblis. Karena asosiasi warna biru dengan surga, biru menyimbolkan keabadian dan/atau spiritualitas dalam berbagai budaya.
Pada branding: Biru digunakan secara luas dan merupakan salah satu warna yang serbaguna. Secara umum digunakan untuk mengomunikasikan kepercayaan, keamanan, dan kestabilan. Biru tua adalah pilihan yang populer dengan konteks perusahaan karena warna ini memiliki rasa serius, konservatif, dan kualitas profesional.
Ahsan mengerutkan kening. "Depresi?"
Ada kekehan terdengar. "Semua warna memang punya sisi negatif, Pa. Enggak usah khawatir."
Cewek itu kembali mengambil gawainya dan mengetikkan kata kunci baru. "Nih, Netta lebih suka perpaduan emas dan hitam."
Sekali lagi Ahsan mengamati penjelasan warna yang diajukan Netta.
Pada branding: Oranye sering merepresentasikan kemudaan dan kreativitas. Emas yang juga salah satu tipe dari oranye atau kuning tetapi tergantung hue-nya sendiri, adalah sebuah simbol dari kemewahan dan memiliki kualitas tinggi.
Pada branding: Hitam juga secara luas digunakan sebagai penetral. Meskipun warna ini masih dapat menyampaikan arti suram, tergantung konteks yang dibuat. Banyak desain yang secara sederhana berwarna hitam dan putih, entah hal tersebut pilihan yang disengaja atau hanya untuk menghemat biaya cetak. Warna lain dapat terlihat lebih terang dan lebih intens ketika disandingkan dengan hitam.
Mata Ahsan melebar sedikit sebelum mengetukkan telunjuknya ke meja sembari berpikir.
"Netta suka emas dan hitam karena perpaduannya elegan. Target market travel agent Papa kan buat kalangan atas. Artinya memang mereka yang mendahulukan kenyamanan dan kualitas daripada harga."
Netta kembali menyodorkan gawainya.
"Lihat, Pa. Ini contoh-contoh iklan dengan perpaduan warna emas. Elegan banget, 'kan?"
Mata Ahsan tampak berbinar. "Iya juga, ya."
"Netta enggak bilang desain Mama jelek. Keren, malah! Cuma kalau memang target market kita kalangan atas, re-branding mungkin memang diperlukan."
"Apa prosesnya rumit?"
Netta memajukan mulutnya sedikit sembari berpikir. "Relatif." Dia memutar bola matanya dan berpikir sejenak hingga suara deru pendingin ruangan terdengar lirih. "Netta bisa ajukan re-branding plan buat Papa. Pertama bikin mood board new branding-nya dulu. Habis itu, kita pikirkan mau pakai logo lama apa mau ubah sekalian. Baru setelah menentukan semua itu bisa disusun promotion plan-nya."
Tiba-tiba Ahsan berdiri dan bergerak ke arah Netta secepat kilat. Dengan gerakan mendadak, dia menarik Netta berdiri dari kursinya lalu mendekapnya dengan erat.
"ANAK PAPA PINTER BANGEEET!"
"PAPAAA, AKU BUKAN ANAK KECIL LAGIII!"
Netta menggeliat, berusaha melepaskan diri dekapan Ahsan serta ciuman bertubi yang dilancarkan di pipi dan keningnya.
Butuh waktu beberapa saat sampai Ahsan melepaskan Netta dan membiarkan anak gadisnya itu merapikan rambut.
"Maaf, Papa gemes, sih!"
Netta hanya bisa tertawa lepas melihat perlakuan Ahsan sebelum pria paruh baya itu kembali ke kursinya.
"Kapan, sih, butuhnya?"
"Sebulan lagi."
"WHAT?!"
"Terlalu cepat?"
Netta berdeham. "Lumayan, sih. Lagi banyak tugas soalnya. DKV tugasnya enggak nyantai sama sekali. Lagian sebulan lagi pas UTS. Kayaknya susah kalau sendirian."
Kali ini, senyum jail menghiasi wajah Ahsan. "Jangan sendiri kalau begitu."
"Lah, terus?"
"Apa gunanya Aru sama Ray? Minta tolong, dong, sama mereka."
Netta hanya bisa melongo.[]
AUTHOR'S NOTE
Wakakaka .... Habis gelap terbitlah terang. Sekarang, papanya Netta sudah memberi lampu hijau, nih, ke Ray dan Aru.
Masalahnya, kira-kira kalau Netta memilih salah satunya, apa trio bukan kwek-kwek ini akan tetap langgeng?
Pernah ngalamin, enggak? Habis satu jadian, persahabatan malah bubar? Hiks.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top