Bab 2: Drawing One
Butuh beberapa waktu sebelum Netta menguasai diri dari pengaruh senyuman Aru. Cewek itu berusaha keras kembali fokus untuk mempertegas efek mengilap pada karyanya. Dia menggunakan satu set pensil Darwunt Sketching Collection hadiah Papa saat dia berhasil masuk DKV Pinus. Netta menyukai hasil goresannya yang sangat halus dan rapi. Sangat sebanding dengan besarnya biaya yang dikeluarkan.
Masih ada waktu tiga puluh menit sebelum kelas berakhir. Seluruh mahasiswa sudah kembali ke kursi masing-masing. Lembar-lembar kertas yang sudah dilukis bertumpuk di meja dosen.
Dosen muda itu mengedarkan pandang ke seluruh penjuru kelas. "Nah, saya akan memberi review singkat tentang tugas yang sudah kalian kerjakan." Suara rendahnya terdengar berwibawa. Selintas, dia memperbaiki posisi kerah bajunya sebelum bergerak ke arah meja.
Pria itu tetap berdiri sembari melirik ke arah kertas tugas. Diambilnya lembar yang paling atas dan melihatnya sepintas. Kertas bergambar bangku taman itu diangkatnya sebatas dada. "Ini lumayan. Tinggal dipertegas arsirannya." Setelah itu, kertas diletakkan di samping. Selanjutnya, dia kembali mengambil tugas demi tugas untuk diberi komentar singkat.
Netta bisa merasakan keringatnya keluar membasahi jemari. Berkali-kali dia membasahi bibir. Lututnya tanpa sadar bergoyang ke atas dan ke bawah. Apa reaksi dosen yang sejak tadi tak tersenyum itu saat melihat karyanya nanti? Dosen itu terkesan sangat killer.
Tiba-tiba, terdengar suara debas panjang dari depan kelas. "Kalian sudah mahasiswa. Jangan memakai jalan pintas untuk berkarya!" sentaknya sedikit keras. Dosen itu mengangkat sebuah kertas bergambar lampu jalan dan kursi.
"Membuat bayangan menggunakan gesekan jari itu JOROK!" Pria itu mencebik sebelum membelah kertas itu menjadi dua bagian. "Karya seperti ini tidak layak dikumpulkan! Buat ulang!"
Netta nyaris terlonjak dari bangkunya. Karya siapa yang dirobek? Ah, bukan saatnya dia ingin tahu karena bisa saja nanti dia akan bernasib sama. Bukankah dirinya juga menggunakan arsiran abu-abu?
"Itu pantas dirobek. Sampah." Aru mencibir dingin, nyaris tanpa ekspresi. Pandangannya tetap tajam ke depan, seolah dia juga berhak menilai semua karya yang dikomentari sang dosen.
Harus Netta akui, Aru memang jeli. Penilaian cowok itu tidak hanya karena besar mulut saja, melainkan karena dia memiliki kemampuan mumpuni yang setara dengan ucapannya. Namun, Netta berusaha tak terlalu kagum. Bagi cewek itu, mengucapkan kata kasar, meski itu benar, bukanlah suatu hal yang pantas dilakukan.
Lalu, apa reaksi Ray? Netta melirik ke kiri dan melihat cowok itu hanya mengangkat alis sedikit, seolah itu bukan hal mengejutkan baginya.
"Nah, lihat ini." Dosen itu mengangkat satu gambar dengan objek serupa. "Lihat bagaimana teman kalian menggambar detail ornamen lampunya." Telunjuknya membuat gerakan melingkar di atas kertas. "Dia membuat kertas menjadi penuh dengan fokus pada kepala lampu. Arsiran nuansa malamnya juga sangat bagus dan rapi."
Beberapa mahasiswa tampak mencatat apa yang harus mereka lakukan untuk memperbaiki lukisan. Netta juga termasuk di dalamnya.
"Wow!" Kali ini dosen itu terdiam tatkala memandang sebuah lukisan bergaya hyperrealism. Setiap guratan kayu diarsir begitu detail. Tak hanya itu, setiap helai daun dan cahaya yang membias di sela-selanya tampak nyata. "Saya ingin tahu, siapa yang menggambar ini?"
Dengan gaya yang begitu tenang, Aru bangkit dari kursinya dan mengangkat tangan kanannya sebatas dada. "Saya, Pak!" jawabnya bangga.
Sang dosen mengangguk dan mempersilakannya duduk kembali. "Ini baru luar biasa!"
Aru berusaha keras menahan senyum puasnya. Namun, sudut bibirnya yang sedikit melengkung ke atas tak bisa disembunyikan. Netta ingin tertawa melihat bagaimana Aru selalu berusaha menyembunyikan rasa bangga saat dipuji. Seolah cowok itu merasa bahwa sanjungan adalah hal lumrah, sehingga dia tak perlu terkesan.
"Komposisinya enak dilihat," sang dosen melanjutkan penilaiannya. "Tidak ada ruang kosong percuma. Tebal tipisnya mendukung dimensi dan tekstur. Lanjutkan seperti ini!"
Netta memandang Aru dengan perasaan iri menyusup. Tak didengarnya dosen itu kembali memberikan tanggapan kepada tugas yang lain. Saat ini, rasanya Netta ingin bisa menggambar sebagus itu. Namun, jika dipikir-pikir, dia lebih menyukai desain grafis. Menyusun iklan, kartu nama, dan logo lebih diminatinya daripada membuat ilustrasi. Akan tetapi, bukankah manusia pada dasarnya serakah dan ingin menguasai semuanya?
Tiba-tiba, lengan kirinya dicolek berulang. "Gambar lo, tuh. Jangan lirik Aru mulu. Enggak bakal kabur dia." Ray memberi kode agar Netta menoleh ke depan.
"Ini yakin tidak pakai penggaris?" Dosen itu mengangkat gambar sedan dengan lekuk badan mobil yang detail dan rapi.
"Tidak, Pak," Netta berdiri perlahan dan berbisik takut-takut.
Dosen itu tampak terkejut dan membaca nama yang tertulis di sudut kertas. Dia sedikit tak menyangka bahwa pelukis benda otomotif ini adalah seorang perempuan.
"Dia tidak pakai penggaris, Pak. Dia hanya pakai Darwunt satu kotak." Aru tiba-tiba berdiri, masih dengan wajah tanpa ekspresinya. Dia mengangkat satu kotak alat lukis Netta yang sedari tadi masih tergeletak di meja. "Saya tadi di sebelahnya."
Tak bisa dijelaskan perasaan yang menghantam dada Netta saat ini. Aru membelanya? Sejak kapan cowok itu memperhatikannya menggambar? Tanpa sadar, semburat merah muncul jelas di pipinya. Netta menunduk, berusaha menyembunyikan semua rasa yang meruak nyata.
Dosen itu tertawa pelan. "Saya bukannya tidak percaya. Hanya terkejut ternyata yang menggambar perempuan. Cukup jarang melihat perempuan menggambar kendaraan sebagus ini." Pria itu menunjuk bagian di dekat pintu. "Dimensi dan efek reflektif bahan objek kelihatan jelas. Kedalaman benda juga tergambar dengan jelas."
Netta meremas ujung bajunya gugup. Ada rasa senang membuncah mendengar pujian itu terhadap gambarnya. Dia bersyukur mengubah keputusan dan memilih menggambar mobil daripada pohon seperti idenya semula. Mungkin dia harus berterima kasih kepada Ray untuk itu.
"Kamu sangat berbakat untuk menggambar design product." Dosen itu menutup ulasannya.
"Terima kasih," bisik Netta dengan wajah tersipu-sipu.
Dia duduk dan tersenyum lega. Semua kekhawatirannya seakan terbilas pergi. Dia punya tempat di kelas ini. Ada yang mengakui kemampuannya, tanpa harus membedakan apakah dia buta warna atau tidak.
"Lo enggak usah berterima kasih sama gue. Gue tahu, lo pilih mobil karena lo enggak mau samaan kayak gue." Ray mengangguk khidmat seolah bisa membaca pikiran Netta yang sedari tadi meliriknya diam-diam.
Semua perasaan sentimental yang tadi dirasa Netta langsung ambyar tanpa sisa. Makhluk geblek satu ini apa belom minum obat? batinnya merutuk.
"Aduh!" Dosen mereka tiba-tiba berdecak ke arah sebuah gambar yang lagi-lagi dia angkat agar semua mahasiswa bisa melihat. "Saya yakin pelukisnya bisa menggambar lebih bagus dari ini. Kelihatan dari arsirannya yang sudah berbentuk dan bertekstur. Namun, entah karena tidak niat, atau memang tidak ada waktu?"
Ray hanya tersenyum tipis memandangi gambarnya kini menjadi topic pembahasan. Dia tak peduli dengan perkataan dosen itu, termasuk saran untuk menggambar objek lain agar kertasnya tidak terlalu kosong.
"Apa kubilang? Pasti diprotes." Aru membetulkan posisi kacamatanya.
Ray hanya mengedikkan bahunya tak peduli. "Enggak dirobek, artinya gambar gue udah bagus."
"Huh ..., kalah sama cewek," sindir Aru lagi, tampak tak suka akan reaksi Ray yang di luar dugaan.
"Udah, ah, dosennya masih ngomong!" Netta berusaha melerai.
Ray tertawa pendek. "Gue mah santai kayak di pantai." Cowok itu menyedekapkan tangan di dada. Rambut ikalnya bergerak seiring gerakan kepalanya yang mengangguk-angguk puas.
Aru tersenyum sinis ke arah Ray sejenak, sebelum kembali memandang ke arah papan tulis.
Netta menarik napas panjang. Tampaknya, dia harus terjebak di antara pertengkaran kucing dan anjing. Masalahnya, apa dia harus menghindari keduanya dan sendirian saja? Namun, tugas presentasi Western Art Review jelas tak mengizinkannya untuk kabur.
Lagi-lagi, dia mengesah.
Satu-satunya yang bisa dia lakukan hanyalah berharap segala sesuatunya bisa berjalan dengan lancar.
***
Malam itu, Netta membuka aplikasi favoritnya: Pinterest. Dia mencari contoh desain, lalu menyimpannya dalam folder-folder sesuai kegunaannya. Cewek itu banyak belajar dari sana. Ada berjuta hal menarik yang bisa dicontohnya.
Namun, setiap kali melihat desain yang indah, dia jadi merindukan sang mama. Orang yang sejak dulu mendampinginya berkarya. Sahabat yang selalu hadir dan tertawa bersamanya.
Sejak kepergian istrinya saat Netta kelas satu SMA, Ahsan tampak kehilangan semangat. Dia tak ingin merekrut desainer lain dan hanya memakai desain-desain lawas almarhumah. Kuliah di Jurusan Manajemen membuat pria itu lihai berbisnis, tetapi Ahsan sama sekali tak paham tentang desain. Akibatnya, travel agent yang dia dirikan menyusut peminatnya karena promosi yang kurang gencar dan menarik.
Netta tak ingin papanya terus begitu. Cewek itu berjanji akan tumbuh menjadi desainer sehebat sang mama agar bisnis traveling Ahsan tetap berjalan dengan materi promosi yang baru dan segar setiap saat.
Sebuah foto berpigura di meja menyedot perhatian Netta. Gambar wanita berumur hampir empat puluh dengan wajah yang sangat mirip dengannya itu sedang tersenyum. Orang yang selalu hadir dalam setiap doa yang dipanjatkan Netta. Sosok mama yang selalu diidolakannya.
Netta ingin menjadi pengganti mamanya dan kemudian bisa membahagiakan sang papa.
***
Hari ini, Netta nyaris saja terlambat karena ada kecelakaan yang membuat daerah kampus Pinus macet total. Untung bangku yang biasa dia tempati masih kosong. Cewek itu hanya bisa mengembuskan napas pasrah ketika lagi-lagi dia harus berada di antara Aru dan Ray.
Tampaknya teman-teman yang lain sudah membentuk kelompok kecil dan merasa bahwa tempat duduk yang mereka huni adalah tempat terbaik. Tak seorang pun sudi berpindah ataupun memilih kursi lain.
Dalam kondisi diapit dua cowok seperti ini, dia terlalu malu untuk membuka kaca kecil yang dibawanya untuk becermin. Angin bertiup cukup kencang saat dia tergesa naik ke lantai dua, hingga mungkin rambut panjang kemerahannya kini berantakan. Harusnya, dia pergi ke WC saja tadi. Sayang, bel tanda masuk kelas mencegah Netta pergi. Cewek itu hanya bisa pasrah dan merapikan diri sekenanya.
Materi Character Building (CB) kali ini membuat 80% penghuni kelas sekarat ingin terbang ke alam mimpi. Parahnya, satu orang di antara mereka benar-benar telah pindah dimensi, bahkan sempat mendengkur dengan halus.
Kali ini, Aru tak peduli. Dia tidak berbaik hati melempar Ray dengan buku CB dan justru membiarkan cowok itu terkena teguran keras dosen gemuk berambut tipis yang kini berkacak pinggang dengan garang.
"Kalian tahu materi CB untuk membangun kedisiplinan kalian semua?!" Suara rendahnya menggelegar meski tatapannya tak berpindah dari Ray yang masih terkantuk-kantuk. "Lalu, apa hukuman yang tepat untuk mahasiswa yang berani tertidur pada pertemuan pertama ini?" Senyum dingin tersungging jelas di bibirnya.
Ray tersenyum tengil. "Jangan kejam-kejam, ya, Pak. Saya enggak sengaja. Semalam saya belum tidur."
Seolah tak memedulikan permohonan Ray, si dosen hanya bersedekap dan berujar, "Buat presentasi tentang siapa kamu, apa kelebihan, kelemahan, hal yang kamu suka, hal yang kamu benci, termasuk dalam jenis pribadi apa dirimu sesuai dengan buku CB Relasi dengan Diri Sendiri."
Cowok itu mengangkat alis. Membayangkan dia harus menjelaskan itu semua di depan kelas sudah pasti akan membuat teman-temannya bosan akut. "Ada minimal halaman? Ukuran detailnya?" Ray tampak sedikit khawatir dengan tugas itu.
"Aturan menulisnya seperti skripsi saja. Dijilid rapi. Jumlah halaman, ikut tanggal hari ini saja. Dua puluh delapan!" Dosen itu pun berlalu dan kembali menerangkan tentang cara untuk mengenal diri sendiri di depan kelas.
Ray menghela napas panjang dan menyandarkan tubuhnya ke belakang. Dia sedikit menyiah rambut ikal cokelatnya ke kanan. "Harusnya gue enggak nanya ukuran, jadi bisa gue bikin pakai font segede Godzilla."
Netta terkikik pelan mendengar celoteh Ray. "Kamu absurd!"
"Thank you, Milady! Absurd is my middle name."
Aru hanya mampu berdecak dan menggeleng keheranan.
Pelajaran CB sebenarnya cukup menarik bagi Netta. Namun, memikirkan bahwa rambutnya sangat berantakan akibat tertiup angin, membuat cewek itu tanpa sadar selalu menyisirkan jari ke kepala. Dia tak ingin membawa kesan buruk kepada dosen yang tampaknya tak hanya menilai dari hasil ujian, tetapi juga sikap sehari-hari mereka itu.
Bahkan ketika si dosen telah keluar kelas, Netta masih sedikit cemas. Cewek itu tahu, dia tak pernah begini sebelumnya. Netta sebenarnya cukup memiliki rasa percaya diri selama ini. Prestasi akademisnya memang tidak terlalu menonjol, tetapi angka enam tak pernah mampir ke rapornya.
Tiba-tiba, Netta merasakan sesuatu yang keras mencolek lengannya. Dia menoleh ke kanan.
"Nih!" Aru mengangsurkan sebuah sisir kecil berwarna hitam.
"Hah?!" Netta tak mampu berkata-kata. Kenapa ada cowok yang bawa sisir ke kampus? Lalu, kenapa Aru menawarkan sisir kepadanya?
"Aku selalu bawa sisir. Soalnya, aku kadang langsung ngasih les tanpa balik ke kos," Aru menjawab keheranan Netta.
Bola mata Netta melebar. Jadi, itu alasan Aru selalu tampil begitu rapi. Rambut hitam lurus yang diberi gel itu memang tak memiliki anak rambut yang berantakan. "Kamu bisa baca pikiran?" Kali ini cewek itu tak bisa menyembunyikan keheranannya.
Suara gelak tawa terdengar dari arah belakang. "Lo gampang ditebak. Enggak perlu jadi peramal buat tahu apa yang lo pikir."
"Ish ...!" Mulut Netta maju mendengar celotehan Ray. "Kalau sisir, aku juga bawa."
Aru memasukkan kembali sisirnya ke tas. "Terus, kenapa enggak dipakai? Repot amat sepanjang kelas nyisir rambut pakai jari."
Kali ini, Netta menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan, berusaha mengenyahkan semburat panas yang terasa di pipi. Dia malu! Sangat malu! Jadi, selama sembilan puluh menit, Aru memperhatikan seluruh gerak-geriknya? Namun, dia harus tegar. Pikirannya tak boleh terbaca lagi.
"Oh, karena lo diapit dua cowok ganteng, lo jadi malu mau nyisir?!" Ray memukulkan kepalan tangan kanannya ke telapak kiri seolah mendapat ilham besar.
Saat itu, Netta ingin menghantamkan kepalanya ke meja.
Aru mulai berdiri sembari mencangklong tasnya. "Aku kasih saran. Rambut harus diikat kalau sudah sepanjang tali BH seperti punyamu."
Tawa Ray langsung meledak keras. "Anjir! Tali BH! Enggak ada istilah lain apa? Punggung, kek!" Cowok itu berdiri sambil terus terkekeh .
Aru menaikkan kacamatanya dan mengamati rambut lurus Netta yang tergerai. Warna merahnya, akibat terbakar matahari, terlihat mencolok. "Kata punggung adalah skala ukuran yang tidak presisi. Lihat saja sendiri—"
"SETOOOOOP!" Netta berdiri dan mengangkat kedua telapak tangannya ke arah Aru dan Ray.
Ray hanya melambaikan tangan dan bergerak menjauh. "Sampai jumpa besok, cewek dengan rambut sepanjang tali—"
"AAAAA!"
Aru pun tanpa ekspresi bergegas meninggalkan Netta yang kini mengacak-acak rambutnya gemas.
"Ya, Tuhaaaaan ..., kenapa Engkau ciptakan dua makhluk seperti ituuuuu?!" jerit Netta putus asa.
Akan tetapi, harus Netta akui, keberadaan duo abstrak itu membuat kehidupan kuliahnya sedikit lebih santai. Dia tak harus melulu khawatir akan rahasianya, melainkan lebih cemas akan apa yang akan duo gesrek itu lakukan pada hari-hari berikutnya.
***
Contohnya hari ini, ketika cahaya mentari tampak enggan menunjukan keperkasaannya, terselimuti mendung gelap yang suram. Hujan lebat dan petir menemani area Pinus sejak pagi. Ini pasti karena ulah Ray yang begitu khidmat mendengarkan materi Design and Materials. Entah kenapa, cowok jangkung itu dengan senang hati mencoret-coret kertas tugas saat dosen memerintahkan menggambar tekstur kulit pohon dan meja kayu.
"Kalau kamu rajin kayak gini terus, aku jamin IPK-mu bakalan bagus." Netta melirik takjub detail gambar karya Ray. Semua bayangan yang dibuat Ray menyebabkan tekstur kasar kulit pohon begitu jelas. Serat kayu di meja juga tergambar jelas.
"Lo bawel amat, deh." Ray tak mengindahkan Netta.
Netta sedikit kehilangan senyumnya. "Beneran, deh. Sayang kalau bakat lo dipakainya setengah-setengah. Gue malah iri sama orang dengan gambar sebagus lo."
Kali ini, Ray mendongak, memperhatikan Netta yang hari ini mengikat satu rambutnya seperti saran Aru kemarin.
"Kenapa lo suka ngurusin orang lain, sih?"
Netta tertegun. Pikirannya langsung mengembara kepada masa ketika dia masih duduk di bangku SMP. Ada teman sekelasnya yang marah besar, padahal Netta hanya berkata bahwa cowok yang ditaksir cewek itu sudah punya pacar dan hanya berpura-pura jomlo.
Tak hanya sekali itu dia mendapatkan perlakuan tidak mengenakkan karena mengungkapkan kebenaran. Sering malah. Padahal, dia hanya berniat membantu. Apa itu salah?
Netta memang sering berjanji kepada dirinya sendiri agar tidak terlalu ikut campur urusan orang lain. Jangan lagi sok membantu jika tidak diminta. Namun, old habits die hard. Tak semudah itu mengubah kebiasaan yang sudah mendarah daging sekian lama.
"Aku cuma pengin kamu sukses," Netta berbisik.
Ray menaikkan sudut bibirnya sedikit. "Lo cewek naif yang enggak takut tersaingi."
Netta mengerutkan alis tipisnya dalam. "Kenapa harus bersaing? Kuliah kan enggak pakai system peringkat. Kita bisa sama-sama sukses!"
"Terus, pas kerja kita saingan ngincer klien atau kantor yang sama?" Aru tiba-tiba menimpali. "Kamu bakal kalah dari Ray dan aku."
Netta mencebik. "Laki kok takut persaingan. Rezeki enggak bakal tertukar. Nyokap gue bilang, 'Makin banyak kita nolong orang, kita akan makin ditolong Tuhan.'"
"Dasar anak mami." Ray hendak meninju lengan Netta pelan, tetapi terhenti saat menyadari cewek di hadapannya tiba-tiba kehilangan senyuman.[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top