Bab 18: Berdua
Netta tak bisa menghilangkan rasa kecewa ketika menyadari Aru benar-benar menghilang. Namun, cewek itu tak menampakkannya sama sekali. Ray sudah berbaik hati membantunya. Netta merasa sangat berterima kasih. Dia harus bersyukur. Di samping itu, Aru tidak membencinya, itu saja sudah merupakan sebuah kabar baik. Jadi, mungkin dia masih punya harapan.
"Di perpus?" Cewek itu mengekor Ray yang bergerak menuruni tangga. Hanya saja, langkah Netta tersendat karena mencangklong tas yang besar dan cukup berat dengan aneka alat lukis di dalamnya.
Langkah Ray terhenti. Dia kembali menaiki anak tangga dan berdiri tegak di sisi Netta. Ditariknya tas cewek itu dengan gerakan sedikit memaksa.
"Di kos gue aja, lebih nyaman." Cowok itu melanjutkan langkah. Dia tidak memedulikan protes Netta karena tasnya diambil, juga karena mereka terus berjalan menuju kos tempat Ray tinggal.
"A-aku mana boleh masuk kosan cowok!"
Ray menghentikan langkahnya dan terkekeh pelan. "Ih, geer amat! Kosan gue nyampur cowok cewek. Beda lantai. Ada ruang belajar bareng di bawah. Makanya banyak anak DKV dan arsitek yang ngekos di sana."
Mata Netta membulat. "Oooh ..., nyampur, ya?"
Alis Ray naik. "Kenapa? Lo mau satu kos sama gue?"
"Ish ..., mana mungkin aku dibolehin kos campur." Netta tertawa pelan. "Papa bisa stres!"
Ray mengangkat bahu. "Ya udah, gue cuma nawarin."
Tak sampai sepuluh menit, keduanya sudah masuk ke rumah kos itu. Tempatnya ternyata cukup luas dan nyaman. Ada tulisan dilarang merokok yang membuat Netta merasa senang.
Ternyata rumah itu memiliki ruangan berukuran 6 x 6 meter di lantai bawah untuk ruang belajar yang tertutup dan ber-AC. Bahkan, lampu selalu dalam kondisi menyala karena kamar tanpa jendela itu akan menjadi gelap gulita jika ditutup.
Seperti yang Ray bilang, satu kamera CCTV bertengger manis di langit-langit. Aula kecil tanpa kursi dan meja itu hanya memiliki gulungan tikar di sudut. Namun, para tamu tampak lebih memilih menggelar pekerjaan mereka tanpa alas apa pun.
"Kita makan dulu aja." Ray mengetikkan sesuatu di layar ponselnya. "Gue ke atas dulu, ambil peralatan gue. Lo di sini aja daripada repot naik turun tangga."
Netta menyapukan pandangan ke sekeliling. Tak banyak mahasiswa di sini. Hanya ada satu grup di sudut kanan. Dia pun bergerak dan duduk di sisi kiri. "Kita di sini, ya?"
Ray hanya mengangguk dan menghilang ke atas. Tak lama, dia turun dengan membawa tas berisi semua perlengkapannya. Pakaiannya sudah berganti dengan kaus oblong yang lebih santai. Di tangannya, ada satu bantal duduk yang cukup tebal.
"Buat lo. Gue enggak mau lo ambeien gara-gara duduk di lantai kelamaan."
Netta menerima bantal merah berukuran empat puluh sentimeter persegi berbahan beledu itu dengan takjub. "Kamu sendiri?"
"Cowok pantatnya berotot, sih, jadi enggak masalah!"
"Jorok!" Netta tergelak.
Tak butuh waktu lama sebelum makanan yang Ray pesan diantarkan ke kos.
"Sandwich?" Netta menatap roti berbentuk segitiga berisi daging dan sayuran itu.
Ray tak menjawab. Dia langsung membuka plastik dan mulai mengunyah.
"Enak juga." Mata Netta berbinar takjub saat menelan suapan pertama.
"Jelas, dong! Langganan gue! Keju dan dagingnya enggak pelit."
Tiba-tiba, Netta menjerit tertahan karena saus dari sandwich yang dia gigit muncrat dan memercik ke bajunya sendiri. Lelehannya terasa mengalir di tepi bibir.
Tangan Ray langsung terulur dengan tisu tergenggam. Namun, gerakannya terhenti.
"Eh, ini tisu." Cowok itu bersyukur dalam hati masih sempat menghentikan refleksnya untuk membersihkan saus di dada Netta. Mungkin dia akan menerima tamparan di pipi setelahnya jika itu sampai terjadi. "Sori lupa bilang sausnya berlebih emang."
Netta menggeleng sambil membersihkan sisa saus di bibir dan bajunya. "Enggak apa-apa. Enak banget, kok. Aku cuma enggak siap aja."
Ray tersenyum. Netta memang tak pernah meremehkan pemberian siapa pun.
Selama SMA, jika Ray PDKT dengan seorang cewek lalu salah memilih tempat makan karena selera cowok itu agak unik, dia langsung mendapat protes. Namun, saat ditanya mau makan di mana, mereka selalu menjawab dengan terserah.
Kadang, Ray merasa cewek adalah makhluk yang paling ingin dimengerti, tetapi tidak mau memberi petunjuk sama sekali.
"Jadi, kita mulai dari mana?" Netta menggelar alat lukisnya seusai makan.
Ray mengamati bentuk yang dibuat Netta dengan takjub. Sungguh, cewek itu memang berbakat. Setiap detail yang dibuat dari sudut ke sudut begitu menakjubkan. Transformasi kodok menjadi burung bukan sesuatu yang mudah dilukis.
"Lo mau pakai warna apa?"
Netta terdiam. Dia tak yakin harus menjawab apa. Apakah nanti dia akan ketahuan buta warna?
"Enggak ada ide?" Ray keheranan.
Netta menunduk, memainkan jemarinya.
"Udah, enggak usah takut. Gue bukan dosen galak. Gue di sini buat bantuin lo. Oke?" Ray memiringkan kepalanya, berusaha melihat wajah Netta yang tertunduk dalam.
"Hijau ke biru. Konsep untuk katak di dedaunan dan burung di angkasa."
Ray mengangguk puas. "Naaah ..., lo udah punya tuh idenya. Sekarang masalahnya di mana?"
Netta menarik napas pelan. "Warnanya. Aku enggak yakin gradasinya pas."
Cowok itu mengamati enam botol kecil yang baru saja dikeluarkan Netta dari tasnya. Bibir Ray menegang membentuk garis lurus. Warna yang dicampur di sana terlalu kontras satu sama lain. Saturasinya berantakan dan tinggi sekali.
"Lo bingung apa campuran warna lo udah sesuai sama nuansa gambar?" Ray berusaha memutar otak, mencari kata-kata yang tepat.
Mata Netta membeliak dan mengangguk kuat-kuat. Sungguh, dia tak terpikir sampai ke situ. Semoga saja dengan alasan ini, kebutaannya tidak akan diketahui.
Ray mengacungkan jempolnya dengan sigap. "Nah, pertama-tama, kita campur warna lo dulu." Cowok itu mengelus-elus dagunya sembari berpikir. "Sayang cat lo. Gue coba benerin dulu, ya. Lo mau warna kayak ini?" Ditunjuknya sebuah warna dari color wheel.
Netta hanya bisa mengangguk pasrah. Dia tak yakin karena menurutnya pilihan warna Ray terlalu pucat. Namun, dia sadar bahwa matanya melihat warna yang berbeda dengan kenyataan. Dia harus memercayai cowok itu.
Harus Netta akui, tangan Ray sangat terampil kala mengurangi isi tabung, menambahkan warna, dan mengaduknya perlahan. Setelah itu, Ray menyapukan hasil campurannya ke atas kertas putih. Jika merasa tidak puas, dia akan mengulangi proses itu hingga senyum merekah di wajah tampannya.
Satu jam kemudian, warna yang diinginkan Ray tampak sudah selesai. Enam tabung cat dengan gradasi warna yang sangat indah siap digunakan. Hanya saja, Netta melihatnya seperti warna pucat yang tak memancarkan pesona apa pun.
"Nah, lo bisa pake catnya sekarang." Ray menyorongkan enam tabung itu sekaligus ke arah Netta.
"Ma-makasih banyak." Netta masih ragu-ragu. Terutama mengenai warna apa yang harus dia gunakan lebih dulu. Biru dan hijau tergelapnya terlihat serupa. Cewek itu berusaha menahan diri untuk menggaruk kepalanya.
Ya sudahlah, ambil satu warna lalu sapukan. Toh, biru ke hijau atau hijau ke biru sama saja. Netta berusaha menghibur diri meski dia takut berakhir dengan mewarnai kodok menggunakan warna biru langit.
"Hei! Jangan yang itu!"
Tiba-tiba, tangan Netta yang memegang kuas ditarik Ray dengan cepat. Netta mendongak.
Waktu seolah membeku. Wajah cowok itu begitu dekat. Mata kecokelatan itu menatapnya penuh kekhawatiran. Netta bisa mencium aroma maskulin khas yang membuatnya merasa lebih tenang. Parfumkah?
"Ah, sori ...." Ray mundur. Rupanya, gerakan refleks membuatnya menjulurkan tubuh agar bisa menangkap tangan cewek itu. Namun, debaran yang tersisa kala melihat iris hitam yang membius dengan bulu mata lentik dan lebat dalam jarak begitu dekat itu sungguh tak bisa dikendalikan. Ini gawat!
Netta hanya menggeleng malu-malu.
"Sini, gue urutin tabungnya." Dengan cepat, Ray menyusun tabung dari warna hijau daun ke biru langit. "Kodok pakai yang ini, lalu gerak ke sana."
Keheningan melingkupi keduanya selama beberapa saat.
"Ray, apa kamu ...." Kalimat Netta tertahan.
"Apa gue keren?" Ray mengerling. "Lo baru tahu?"
Netta terkekeh pelan. "Dasar!" Cewek itu mengurungkan pertanyaannya. Ya ..., tak mungkin Ray tahu, 'kan? Kalau tahu, dia sudah pasti akan bertanya.
Keduanya pun sibuk mengerjakan tugas masing-masing. Sesekali saling melempar canda dan tawa.
"Selesaaai!" Netta merentangkan tangan, merasa bangga dengan pencapaiannya. Begitu asyik terfokus mengerjakan tugas, dia sama sekali tak memperhatikan waktu. Tangannya membuka ponsel dan membeliak melihat angka yang tertera di sana.
"Kenapa?"
"UDAH JAM DELAPAN!" Netta dengan sembarangan menarik alat-alat lukisnya dan menjejalkannya dalam tas. Dengan tisu basah, dia bersihkan semua noda cat yang ada di lantai dengan tergesa.
Ada banyak misscall dari Ahsan. Ya Tuhan, dia lupa menonaktifkan mode silent seusai pelajaran. Ahsan pasti akan marah. Belum pernah Netta keluar malam sendirian. Tanpa sadar, air matanya menggenang.
Baru saja dia hendak menggulung tugas nirmananya, tangan Ray menahan.
"Biar gue bawain aja besok. Takut tintanya belum kering." Ray mengangkat tugas itu dengan hati-hati. "Biar gue taruh ke kamar. Lo tunggu di sini dan tolong masukin barang gue ke tas, biar cepet." Baru dua langkah, dia berhenti. "Jangan berani pulang sebelum gue turun!"
Secepat kilat, cowok itu berlari ke atas meninggalkan Netta yang kembali merapikan semuanya termasuk sisa ceceran cat milik Ray. Tak lama, tas cowok itu pun sudah rapi kembali.
Baru saja Netta bangkit, Ray sudah membuka pintu ruangan.
"Yuk, gue anter!" Cowok itu melambaikan kunci di tangan. Kini, dia sudah mengenakan jaket kulit berwarna hitam. Sementara itu, dengan sigap dia menyambar kedua tas dan mencangklongnya pada masing-masing bahu. Selintas, dia berbicara kepada seseorang dan menyerahkan tasnya. Mungkin dititipkan.
"Naik motor?"
"Iya, dong! Biasanya masih macet kalau harus naik mobil meski udah jam segini."
Mereka pun tiba di parkiran. Ray mengeluarkan sesuatu dari dalam bagasi. "Nih, jaket. Pake aja. Dingin kalau malem." Cowok itu melihat keraguan di mata Netta. "Wangi, kok. Baru gue laundry." Dia tersenyum jail.
Netta kembali terkejut kala melihat tasnya bisa masuk dengan mudah ke bagasi dengan aman. Motor Ray memang bukan tipe sembarangan. Cewek itu mengenakan jaket denim yang dipinjamkan dengan hati-hati. Kebesaran, tetapi nyaman.
Ray mengangsurkan helm berwarna hitam. "Sekarang, gue punya dua helm. Kemarin gue pinjem sama temen soalnya. Kalau gini kan enak. Lo minjem helm yang fresh dari gue." Dia mengangkat helm berwarna perak dan mengenakannya.
Tak sampai sepuluh menit, mereka sudah meluncur di jalanan Jakarta yang padat. Netta berharap Ahsan belum pulang, tetapi dengan semua misscall tadi, rasanya tidak mungkin. Tak bisa dibayangkan bagaimana reaksi ayahnya itu jika memergokinya pulang bersama seorang cowok.
Mungkin seharusnya dia naik ojek daring saja. Namun, naik motor dalam kecepatan tinggi dengan seseorang yang tak dikenal itu menakutkan. Bahkan dengan Ray pun Netta tak berani memeluk dan hanya mencengkeram jaket cowok tersebut erat-erat.
Netta menjelaskan arah menuju rumahnya. Ray pun dengan cukup gesit mempercepat laju motornya jika jalanan mulai lengang. Pukul sembilan lewat lima belas, mereka tiba di depan rumah Netta.
"NETTA!" Suara menggelegar terdengar tepat setelah Netta turun dari motor dan menerima kembali tasnya.
"Pa ... pa ...." Suara Netta mencicit.
"Malam, Om. Saya—"
"Diam! Beraninya kamu ngajarin anak saya hal enggak bener! Jam berapa sekarang?! Dasar cowok enggak tahu malu!"
"Bukan begitu, Pa—"
"Diam! Masuk rumah!" Ahsan masih berteriak.
"Masuk aja. Gue enggak apa-apa." Ray menggerakkan kepalanya.
Netta hanya bisa pasrah dan menunduk melewati Ahsan yang masih terlihat murka.
"Saya enggak peduli! Kalian enggak boleh ketemuan lagi mulai sekarang. Titik!"
Seiring langkah pria paruh baya itu menyusul Netta ke dalam rumah, Ray hanya bisa membeku di tempatnya berdiri.[]
AUTHOR'S NOTE
Sedih banget sama perlakuan papanya Netta. Tapi, itu juga saking sayangnya dia sama Netta.
Kalian punya jam malam?
Pernah melanggar?
Terus diapain?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top