Bab 17: Wajah

Pagi terlihat sesuram wajah Netta. Awan gelap menggelayut sedari subuh, membuat siapa pun merasa lebih nyaman berada di balik selimut. Netta hanya terlelap sejenak selepas tengah malam. Beberapa kali harus terbangun akibat mimpi buruk yang tak bisa dia ingat detailnya.

Cewek itu duduk termangu menatap pantulan wajahnya di cermin. Matanya terlihat sembap dan bengkak. Hidung kemerahan tampak jelas sisa menangis semalaman. Netta berharap riasan sederhana mampu menutupi semua kekacauan di wajahnya.

Diliriknya tugas nirmana dan tabung-tabung kecil hasil pencampuran warnanya. Apa dia perlu membawanya ke kampus untuk melanjutkannya di perpustakaan? Siapa tahu ada mahasiswa jurusan lain yang bisa dia mintai tolong secara acak? Toh, dia hanya perlu memastikan gradasi warna yang dibuatnya sudah sesuai.

Ya ..., daripada Aru yang ....

Netta bahkan menghentikan pikirannya sendiri karena tiba-tiba saja satu tetes air mata kembali jatuh. Ternyata hanya sekadar mengingat saja hatinya menjerit. Sebegitu dalamkah perasaannya terhadap cowok berkacamata itu?

Akhirnya, dia memasukkan semua peralatannya ke tas setelah menyeka wajahnya dengan tisu. Semoga saja dia bisa mendapatkan seorang yang akan membantunya tanpa perlu banyak bertanya.

Selintas, dilihatnya kunci mobil yang tergeletak di meja. Rasanya segan menyetir dan harus menahan sabar di tengah lalu lalang lalu lintas ibu kota. Netta ingin naik taksi daring saja. Pikirannya sama sekali tak bisa fokus untuk layak berada di belakang kemudi. Dia khawatir akan membahayakan diri sendiri juga orang di sekitarnya.

"Pa, Netta naik taksi online aja, ya? Lagi enggak mood nyetir."

Gerakan Ahsan terhenti dan dia meletakkan garpu dan pisau makannya di piring. "Ada masalah? Mau cerita?" Pria paruh baya itu terlihat khawatir.

Netta tersenyum tipis, menenangkan Ahsan dengan berkata bahwa dia baik-baik saja. "Cuma kecapean banyak tugas, Pa." Cewek itu menghabiskan susu putihnya hingga tandas.

"Baiklah, tapi jangan lupa pulang sebelum magrib, soalnya—"

"Papa takut Netta digondol orang." potong Netta sambil tertawa.

Ahsan pun memilih diam melihat putri kesayangannya sudah bisa tertawa. Sembap mata itu tak bisa disembunyikan dengan riasan tipis. Namun, Ahsan tak mempermasalahkan ketika Netta akhirnya mencangklong tasnya yang cukup besar dan beranjak keluar. Dia memberi privasi untuk Netta karena Ahsan percaya, putrinya akan bercerita jika memang membutuhkan bantuan.

Di mobil yang melaju tersendat di kemacetan, pandangan Netta masih menerawang sepanjang perjalanan. Tak ada bahan obrolan antara dirinya dan sopir taksi, bahkan untuk sekadar berbasa-basi. Dalam hati, Netta masih memanjatkan doa bahwa nanti semua akan baik-baik saja.

Cewek itu dengan enggan bergerak menuju kelas. Berjuta simulasi kejadian sudah mengalir di otaknya sejak semalam. Dari mulai pura-pura sakit sampai minta tukar bangku dengan teman lainnya. Namun, tampaknya semua hanya sekadar khayalan belaka, karena pada dasarnya, Netta tidak akrab dengan siapa pun untuk bertukar tempat.

Membolos jelas bukan opsi yang baik. Character Building adalah mata kuliah yang menempatkan jumlah presensi sebagai persyaratan kelulusan. Belum lagi dirinya sudah pernah izin sakit satu kali. Pak Genta juga pernah menyebutkan bahwa dia sudah dikenal oleh banyak pengajar, termasuk dosen CB. Netta tak mungkin bermain-main dengan nekat absen.

Dengan canggung, Netta memasuki kelas. Melihat Aru dan Ray sudah duduk di tempat mereka membuat cewek itu menarik napas, berusaha menenangkan diri. Aru sibuk mencoret-coret di buku sketsa, sementara Ray langsung melambaikan tangan ke arahnya dengan riang. Cowok berambut cokelat itu langsung berdiri dan mempersilakan Netta masuk ke bangkunya di tengah.

Sejenak, Netta bimbang di posisinya.

"Mau tukeran? Lo yang di pojok?" Ray tersenyum dengan penuh pengertian.

"Eh, enggak usah. Kayak biasanya aja." Netta buru-buru menyisipkan tubuh di antara kursi, dan bergegas duduk.

Selintas, diliriknya Aru yang masih tetap santai melukis entah apa. Cowok itu menutupinya dengan rapat. Satu kotak pensil warna isi 48 warna terlihat ada di pangkuan. Namun, Aru masih asyik dengan warna merah gelap di tangan.

Cewek itu menghela napas. Mungkin memang dia harus mengandaskan semua harapan. Aru tetap tak acuh. Cowok berkacamata itu mungkin benar-benar membenci ketidakmampuannya. Tidak perlu berharap lebih bahwa dia akan menjadi orang istimewa di hati cowok itu.

Suasana kelas sudah ramai. Namun, semua keriuhan itu terasa sangat kosong dengan segala kekakuan yang tercipta di sini.

Netta ingin sekali menyapa lebih dulu. Mencairkan suasana dan berbuat seolah tidak terjadi apa-apa kemarin. Namun, apa yang bisa dia lakukan jika lidahnya terasa kaku dan bahkan sekadar menelan liur saja terasa begini berat?

"Tugas design and material besok udah siap?" Ray memecah keheningan.

Jantung Netta seperti melompat keluar dari tempatnya. Satu tarikan napas panjang, cewek itu menoleh dan berusaha tersenyum. "Tinggal touch up sedikit. Harusnya malam ini beres. Kamu?"

"The power of kepepet. Belum bikin sama sekali." Ray menyengir sembari mengangkat tangan kanannya membentuk tanda peace.

"SERIUS?!"

Ray mengangkat bahunya cuek. "Konsep, sih, udah ada di otak. Tinggal sketsa aja. Toh, tugasnya cuma setorin rancangan desain, bukan desain yang benernya. Gue enggak harus bikin mulus halus kayak kulit cewek-cewek pakai filter front camera, 'kan?" Tawa lebar kembali menghias wajah tampannya.

Mata Netta meredup perlahan. Dia suka melihat betapa positifnya Ray. Cowok itu bisa melihat berbagai kesempatan kecil yang tersaji dan memanfaatkannya dengan baik. Berbanding terbalik dengan dirinya yang selalu mengkhawatirkan apa pun dalam hidup. Seandainya dia bisa mendapat sedikit saja kepercayaan diri itu.

"Ka-kalau color theory, apa ada kemajuan?" Ray bertanya waswas.

Kali ini, Netta hanya terdiam menatap lawan bicaranya. Dia tahu Ray mendengar percakapannya dengan Aru kemarin.

Apa harusnya Netta marah karena Ray menguping? Ah, tidak! Itu terlalu kekanak-kanakan. Apa pun yang dilakukan Aru tak ada sangkut pautnya dengan Ray. Mungkin cowok ceria itu hanya bermaksud menggoda mereka, tetapi justru tersangkut dalam situasi yang tak menyenangkan. Ray hanya ingin menanyakan kabarnya.

Namun, apa yang harus Netta jawab? Apa ini saat yang tepat untuk meminta tolong kepada Ray? Atau, dia sebagiknya mencoba meminta belas kasihan siapa pun yang ada di perpustakaan siang nanti seperti rencana semula?

"Kok bengong? Perlu bantuan?" Kali ini, dengan nada lebih lembut Ray bertanya.

Netta hanya menghela napas panjang. "Aku udah bikin campuran warnanya. Cuma aku takut salah urutan gradasinya. Tepatnya, aku enggak yakin apa warna yang kubuat sudah cukup pastel sesuai permintaan Pak Genta."

Sejenak ada yang berubah dari ekspresi Ray. Akan tetapi, cowok itu langsung tersenyum ceria seolah tak terjadi apa-apa.

"Mau kubantu cek?" Ray lagi-lagi menawarkan bantuan.

Tak ada jawaban. Hati Netta masih sakit mengingat bagaimana sikap Aru kemarin. Dia sudah lelah dengan tangisan semalam suntuk hanya karena sebuah penolakan. Meskipun kali ini Ray yang menawarkan bantuan, tetapi bukankah belum tentu dia tak akan mendapatkan ledekan atau bahkan hinaan lain? Paling parah, bagaimana jika sampai Ray tahu dirinya buta warna?

Tak bisa dibayangkan jika teman satu-satunya yang masih ceria bicara dengannya itu kelak akan menjauhinya karena kondisinya. Mana ada manusia waras yang nekat masuk DKV setelah memalsukan surat buta warna selain Netta? Segila-gilanya Ray dalam bertindak, Netta merasa cowok itu pun tak akan bisa menerima alasannya.

Ah, lagi-lagi pikiran buruk menerjang bagai tsunami. Netta benci! Setiap ketakutan itu begitu menggerogoti hingga dia tak mampu lagi berpikir jernih.

"Kalau memang Ray yang nawarin, ambil aja." Suara Aru tiba-tiba menyentak. Suara robekan kertas terdengar sesudahnya.

Netta menoleh ke arah Aru yang kini mengangkat kacamatanya sedikit ke atas. Hatinya masih terasa teriris. Sudut matanya mulai tergenang air. Cewek itu merutuki dirinya sendiri yang begitu cengeng kala menghadapi Aru dan semua kalimat pedasnya.

Melihat Netta masih bungkam seribu bahasa, Aru mengembuskan napas panjang. "Ini buat kamu." Cowok itu mengangsurkan kertas ukuran A5 yang baru saja dirobek dari buku gambar spiralnya. Ekspresinya masih sedatar kertas gambar di meja.

Netta tak mampu bernapas saat melihat apa yang terlukis di sana. Gambar wajah seorang wanita dengan rambut kemerahan berombak yang tampak sangat menakjubkan. Tipe semi realisme yang sangat detail. Mata kecokelatan dengan senyum yang sangat memesona. Harus Netta akui, detail tekstur kulit dan rambutnya luar biasa!

"Be-berapa lama bikinnya?" Netta langsung melupakan rasa takutnya begitu melihat karya menakjubkan itu. Dia terlalu penasaran.

"Semalaman."

"Enggak tidur?" Netta kembali mengejar keingintahuannya.

"Dua jam."

Netta terdiam. Bahkan dirinya mungkin butuh tiga hari tiga malam untuk membuat gambar secantik ini. Apalagi tiap helai rambutnya dipulas menggunakan pensil warna. Bagaimana cowok itu bisa menyelesaikannya hanya dalam waktu semalam? Ya Tuhan! Cewek itu kembali terpesona.

"I-ini beneran buat aku?"

"Itu gambar wajahmu, tapi kubuat versi RPG seperti kesatria dalam game."

Kali ini, rahang Netta seperti lepas dari tengkoraknya. Setengah tak percaya, dia mengamati gambar yang kini ada di tangannya. Bagaimana mungkin Aru bisa menggambar wajahnya tanpa contoh? Ataukah cowok itu memotretnya diam-diam?

"I-ini terlalu cantik. Iya enggak, Ray? Lagian Aru kan enggak punya fotoku, gimana bikinnya?"

"Jangan remehkan mataku." Aru mengerutkan alisnya, sedikit terlihat tidak suka.

Netta tak terlalu memperhatikan tanggapan Aru dan sibuk mencari dukungan dari Ray.

Selintas, Ray mengamati gambar buatan Aru dan wajah Netta bergantian. Bibir mungil, mata lebar dengan bulu mata lebat, hidung kecil, dan wajah oval yang serupa.

"Emang itu mukamu, tapi ditambah sentuhan rias wajah RPG dan dipucatkan untuk tone warna yang sesuai supaya merah rambut kamu lebih menonjol." Ray mengelus dagunya, seolah berpikir keras.

"Eeeeeeeh?" Netta menggeleng, berusaha kembali fokus pada hal lain yang mengganggu pikirannya alih-alih siapa perempuan yang digambar Aru. "Omong-omong, ke-kenapa kamu tiba-tiba kasih gambar?" Cewek itu berusaha mengalihkan perhatian.

Sekali lagi Aru menarik napas. "Sebagai permintaan maaf. Kemarin aku udah kelewatan. A-aku ...." Kalimat cowok itu terhenti.

Netta tertegun melihat cowok yang biasanya sinis itu menundukkan pandangan dan hanya berani menatap buku sketsa yang ada di meja.

"Kamu enggak marah sama aku? Enggak benci? Enggak sebel? Enggak kecewa?" Tanpa sadar Netta mencerocos tanpa jeda. Separuh karena kaget, separuh lagi karena tidak percaya.

Aru mendongak, lalu menggeleng. "Aku cuma kaget. Kupikir kamu cuma mau manfaatin aku."

"Emang untuk urusan itu dia bloon!" Ray menggerutu.

"Kalau kamu enggak mau terima, enggak apa-apa. Buang aja."

Hening sebentar, sebelum akhirnya Netta memeluk kertas gambar itu dan berujar, "Aku lega kalau kamu enggak marah atau kecewa sama aku. Beneran, kalau enggak terpaksa, aku enggak bakalan minta bantuan siapa pun." Cewek itu mengempaskan tubuhnya ke sandaran kursi.

Diamatinya gambar yang Aru berikan kepadanya. Dia bisa merasakan perjuangan sepenuh hati si pembuat saat membuat gambar itu. Semua detail, semua arsiran, terasa sungguh-sungguh.

Ada debar bahagia melihat Aru begitu memperhatikannya. Bahkan sampai mampu menggambar wajahnya meski tanpa contoh. Mungkin Aru tak bermaksud jahat kepadanya kemarin. Cowok itu hanya langsung mengungkapkan apa yang dia rasa tanpa pikir panjang, sama seperti hari-hari sebelumnya.

"Akan kusimpan baik-baik. Terima kasih banyak."

Saat itulah Aru langsung membuang muka ke arah kanan, berusaha menyembunyikan ekspresinya. Untuk pertama kalinya, Aru membuka mulutnya cukup lebar dan tersenyum sembari berkata lirih, "Sama-sama."

"Udah, simpen aja itu gambar ke tas!" Ray terlihat tak senang dan mengalihkan perhatian Netta dan Aru. "Pulang kuliah, kita bahas persoalan tugas nirmana lo, oke?"

"Kita?" Netta ragu-ragu.

"Iya! Gue ama lo aja." Ray menyipit menatap Aru yang kini kembali seolah tak peduli. "Tuan Aru kan kemarin udah enggak mau bantuin, jadi hari ini biar gue aja." Cowok itu kembali menegaskan keinginannya sembari sedikit menyindir.

Netta melirik Aru. Cowok itu masih menunduk dan mencorat-coret kertas seolah tak memedulikan apa pun.

Pada akhirnya, Netta menarik napas sebelum suara debas penuh rasa kecewa terdengar di sana. Cewek itu menoleh ke arah Ray dan berujar, "Oke, makasih udah mau bantu."

"Apa, sih, yang enggak buat lo!" Ray menepuk punggung Netta bahagia.[]



AUTHOR'S NOTE

Kalau Aru menolak, biar Ray yang ambil alih.

Siapa tim Raaay?

Siapa tim Netta jomlooo? Wakaka ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top