Bab 16: Pengakuan

Sejak urusannya dengan Ale selesai, Netta mendapatkan kembali ritme mengerjakan tugas dan belajarnya. Mood-nya juga sangat, sangat baik. Mengingat dia memiliki dua orang sahabat yang selalu bersedia mendukungnya membuat hatinya sedikit tenang.

Alasan dia tak melihat Ale beberapa hari terakhir karena ternyata cowok itu meminta pindah kelas. Rupanya, cowok itu memang punya pengaruh luar biasa di kampus. Dia bisa pindah ke kelas DKV lain tanpa kesulitan. Untung Aru dan Ray bermain cerdik untuk menghadapinya. Namun, kini Netta malah berbahagia. Dia tak perlu berurusan dengan Ale dan juga para selir julidnya.

Seminggu berlalu dengan lancar dan penuh tawa. Kini, Netta duduk di lantai kamarnya, memandangi kertas tugas dengan gamang. Aneka botol cat poster berderet di sebelah kanan. Satu mangkuk air tampak setia bergeming di sisi kiri. Sebuah wadah untuk mencampur warna juga tersedia. Entah sudah berapa tisu habis untuk membersihkan kuas yang dipakai berulang.

Pola yang sudah ditinta dengan drawing pen sebenarnya membuat mood-nya naik. Dosennya pun sama sekali tidak mengajukan protes karena karya Netta dinilai sangat memukau. Transformasi bentuk dari ujung ke ujung dengan motif lengkung yang sangat elegan. Aru bahkan memujinya habis-habisan.

Ah, mengingat cowok itu membuat jantung Netta kembali bergemuruh. Apa yang membuat dirinya merasa begitu bahagia mendengar setiap pujian cowok itu? Seolah semua hal buruk di dunia bisa disingkirkan sejenak jika mendengar kata-kata lugasnya.

Mungkin Aru memang bukan cowok sempurna. Namun, bagaimana mahasiswa satu itu memberi pujian dan perhatian, selalu meluluhkan semua ucapan kasarnya. Netta berpikir, mungkin Aru hanya orang yang selalu dipuji oleh sekitar. Dia tak diajari cara untuk meletakkan diri pada posisi lawan bicaranya. Bicara tanpa rem dan kerap merendahkan. Apa mungkin Aru bisa berubah kelak jika mereka menikah?

Ya Tuhan! Netta menggeleng-geleng dengan cepat. Kenapa otaknya semakin melanglang buana ke mana-mana? Tidak ada waktu untuk jatuh cinta apalagi pacaran. Masalah utamanya sekarang adalah nirmana datar. Jika dia bisa melewati ini, mungkin ke depannya akan lebih mudah.

Ya ..., mungkin.

Ah, tetapi hati siapa yang bisa berkilah dari cinta? Tidak pula Netta. Setiap kali kepalanya pusing dengan tugas, wajah Aru yang pertama kali terlintas. Setidaknya, seluruh pikiran yang rumit, sedikit merasa tenang.

"Ayolah, Net! Jangan mikirin cowok mulu!" Netta memukul kepalanya sendiri. "Ayo fokus!"

Kali ini, dia kembali menekuri lembar tugasnya. Ada yang besar dan ada yang kecil untuk berlatih. Entah sudah berapa gumpalan kertas yang bertumpuk di dalam tong sampah.

"Kenapa warna kalian kelihatan samaaa?!" Jeritan tertahan terdengar. Cewek itu mencoba mencampurkan cat poster warna merah muda dengan air. Dia bahkan menakarnya dengan pipet. Namun, berapa banyak pun air dicampurkan, dia tetap melihat warna yang sejenis. Kontrasnya nihil.

Demikian pula saat dia mencoba mencampurkan warna hijau. Semua tampak sama. Sekali lagi dia meremas kertas dan melemparnya ke tempat sampah. Meleset. Lagi-lagi, suara debas terdengar. Dia terlalu malas untuk bangkit dan memasukkannya ke keranjang.

Ah, sudahlah. Nanti saja sekalian, batinnya.

Netta kini menggaruk rambutnya kasar. "Masa harus bikin gradasi biru ke kuning? Enggak pastel banget itu warna. Lagian, aku juga enggak terlalu bisa membuat gradasi biru dan kuning sebanyak ini!" Netta menatap hampa ke arah setiap bentuk yang telah dibuatnya. Setidaknya, dia butuh lebih dari sepuluh jenis warna.

"Aku harus gimanaaa?"

Tiba-tiba, wajah tampan itu kembali muncul di pikirannya. "Kalau aku tanya Aru, kira-kira gimana, ya?"

Netta menjatuhkan tubuhnya ke belakang perlahan. Meluruskan punggung di atas lantai yang dingin. Berharap semua rasa sejuk yang menjalar di punggung bisa naik ke kepalanya juga.

"Terus, aku ngomong apa? Hey, Ru! Aku buta warna. Bisa enggak bantuin bikin gradasi warna? Aku nanti tinggal nguas." Tangannya bergerak-gerak ke langit seolah tengah memeragakan berbicara dengan Aru di hadapannya. Tiba-tiba, mata Netta membeliak. "GILE AJEEE!"

Netta langsung duduk. Bulu kuduk cewek itu meremang, persis seperti saat dia baru saja melihat penampakan makhluk dimensi lain yang tak terlukiskan dengan kata-kata kengeriannya. Lagi, dia menggeleng. "Enggak boleh sefrontal itu! Harus cari cara lebih halus."

Cewek itu kembali memutar otak untuk mencari metode yang lain. Dia tidak bisa seenaknya mencari orang asing untuk membantunya mengerjakan tugas. Buta warna adalah rahasia besar dan dia tidak ingin memperbesar risiko orang tak dikenal itu akan menyebarkan kelainannya.

Masalah utamanya adalah, Netta tak punya teman akrab di kampus. Yah ..., kecuali duo gesrek yang selalu mengisi hari-harinya.

Jika dia bertanya kepada Ray, mungkin cowok itu akan mentertawainya. Berbeda dengan Aru. Cowok berkacamata itu akan bicara blak-blakan dan pasti langsung menolak atau menerima permintaannya. Jadi, dirinya tak perlu menunggu lama untuk mendapatkan kepastian. Lagi pula, ini hanya menolong mencampur warna. Bukan mengerjakan tugas seperti yang dilakukannya untuk Ale.

Sekarang, tinggal memikirkan cara agar Aru bisa menolong tanpa tahu bahwa dia mengidap buta warna.

Semoga saja dia bisa menemukan jalan keluar.

***

"Ru, pulang kuliah boleh ngomong bentar?" Netta berusaha bicara dengan nada setenang mungkin sebelum kelas dimulai.

Aru menaikkan satu alisnya. "Kenapa enggak sekarang aja?"

Netta menarik napas dan melirik ke arah belakang, seolah menandakan dia hanya ingin bicara berdua saja.

"Oh, jadi lo mau main rahasiaan berdua sama Aru?" Ray tiba-tiba angkat bicara.

Netta menoleh dan hanya bisa mendelik.

Ray mengangkat bahunya tak acuh. "Oh, well. Serahasia apa, sih, sampai gue enggak boleh nimbrung?"

Netta mengibaskan tangannya. "Mau tahuuu aja. Udah, deh. Sekali ini aja enggak usah ikut-ikut." Cewek itu berusaha bercanda dan tertawa.

Senyum di wajah Ray tiba-tiba lenyap sepersekian detik sebelum kembali melengkung sempurna. "Aduuuh duh duh, hati gue tersayat-sayat golok."

Netta terbahak. "Lebai, ih!" Namun, cewek itu mengangkat telunjuknya ke atas sembari digerakkan ke kiri dan ke kanan. "Awas, ya, kalau nguping."

Kali ini, Ray memperdengarkan tawa keras yang panjang.

***

Sepulang kuliah, Netta sudah duduk di balkon bersama Aru. Tangannya memilin ujung baju dengan gugup. Tabung penyimpan kertas tugas tercangklong rapi di punggung.

Angin berembus sejuk. Langit pun tampak kelabu. Kali ini, Netta sudah siap dengan payung lipat di tas. Sekarang, waktunya berjuang!

Netta berusaha memberi 1001 alasan kepada Ray untuk tidak mengikuti mereka. Semoga saja cowok itu sungguh-sungguh tak menguping entah dari ceruk mana di sepanjang koridor.

"Tugas nirmana kamu udah beres?" Netta membuka topik dengan suara yang sangat lirih.

Aru sedikit menelengkan kepala sebelum menjawab, "Sedikit lagi. Sudah sekitar 70%."

Netta terbeliak. "Cepet banget! Kamu keren banget, sih!"

Lagi-lagi, senyum Aru membuat fokus Netta melayang. Namun, cewek itu berusaha kembali menjejak bumi.

"A-anu. Aku enggak ngerti cara nyampur warna. Bisa bantu nyampur, enggak? Cuma nyampur aja. Sisanya aku bisa sendiri. Kamu kan skill-nya keren," bisik Netta. Matanya hanya selintas menatap Aru. Keringat dingin merayapi telapak tangannya.

Ekspresi Aru berubah drastis. Tiba-tiba matanya menatap dingin dan sinis. "Ternyata kamu enggak beda dari yang lain!"

Netta tersentak. Nada Aru yang tinggi dan keras membuat cewek itu terdiam. Dia tidak mengerti maksud perkataan Aru. Kepalanya kosong dengan dentuman jantung yang tak beraturan terasa bergaung.

Decakan Aru terdengar jelas. "Jadi, kamu selama ini baik sama aku cuma buat manfaatin kemampuanku? Enggak belajar dari Ale?"

Tanpa menunggu jawaban Netta, Aru bergerak menjauh. Membiarkan Netta bergeming di tempatnya dengan bulir air mata yang tiba-tiba jatuh tanpa permisi.

Pandangan cewek itu terasa buram, dadanya terasa nyeri, seperti digerus bebatuan tajam. Suara guntur di kejauhan menambah sakit kepalanya. Netta tak menyangka Aru akan berkata begini kasar. Mana yang sebenarnya lebih sakit? Penolakan terhadap permintaannya atau karena prasangka buruk Aru terhadapnya?

Apa Aru berpikir dia meminta bantuan seperti Ale yang memaksanya? Dia hanya meminta tolong paling lama satu jam. Apa dirinya begitu merepotkan?

Ketika sesosok cowok lain mendekat, air mata yang tumpah tak membuatnya menangkap wajah laki-laki itu.

"Lo enggak apa-apa? Perlu gue seret Aru ke sini?!"

Netta hanya bisa berlari. Menjauh dari semuanya.

***

Masih dengan air mata yang tak bisa dihentikan, Netta masuk ke mobil, memutar kunci, dan melajukannya. Tak dia pedulikan lagi Ray yang memanggil berulang. Cewek itu mempercepat kendaraan setelah berhasil keluar dari parkiran kampus untuk lenyap di tikungan jalan.

Napas Ray memburu. Setengahnya karena berlari dan setengahnya akibat semua rasa panas yang mulai berkobar hebat di dadanya. Ray terlihat menggertakkan giginya sebelum bergerak kembali ke dalam kampus.

Yang benar saja! Belum seminggu Netta kembali ceria, kini giliran Aru yang membuat cewek itu berurai air mata. Apa, sih, maunya?

Sepanjang langkah tergesa cowok itu, matanya tak henti menyapu setiap sudut kampus. Hingga akhirnya makhluk yang kini paling ingin dia hajar terlihat tengah duduk santai di bangku melingkar di depan kantin. Aru tampak membaca sebuah buku dengan telinga disumbat earphone.

Cowok berambut cokelat itu yakin dia tidak akan memperoleh perhatian Aru jika memanggilnya dari jauh. Maka, dengan gerakan singkat dan sedikit kasar, dia menarik earphone yang terpasang untuk kemudian mencampakkannya begitu saja.

"Apa-apaan?!" Aru mendongak dan langsung bangkit berdiri. Buku yang digenggamnya terjatuh. Pandangan yang biasanya datar itu kini berkilat tak suka. Dia bahkan tidak mau mengambil buku dan justru berdiri menantang dalam diam. Kedatangan Ray yang mendadak saat dirinya lengah terasa sangat menjengkelkan.

Setelah beberapa waktu, Ray angkat bicara. "Kenapa lo jahat banget sama Netta?!" Dia berusaha keras untuk tidak langsung melayangkan tinju ke wajah cowok itu.

Suasana kantin terlihat lengang karena jam pelajaran berikutnya sudah dimulai. Hampir tidak ada mahasiswa yang melintas di dekat mereka. Kedua cowok tampan yang tampak saling menebarkan hawa permusuhan itu untungnya tak menarik perhatian.

Aru bersedekap dan mengangkat kepalanya sedikit. "Aku cuma ngomong kenyataan."

Seketika itu juga, Ray menarik kerah baju Aru mendekat. "Denger, ya, Cowok Berengsek, Netta enggak kayak bayangan lo!"

Mata mereka beradu untuk beberapa lama sebelum sebuah senyum sinis terukir di wajah Aru. Tiba-tiba, cowok berkacamata itu mengangkat tangan kirinya, memutar tubuhnya ke kanan, lalu sikunya langsung meluncur turun menghantam lengan Ray. Bersamaan dengan lepasnya cengkeraman Ray, Aru mendorong cowok itu menjauh.

"Lo!"

"Jangan mendekat kalau kamu enggak mau terluka," desis Aru mengancam.

Ray mengibaskan jaket jinsnya kasar, seolah tidak rela Aru sempat membuat lengannya terasa sedikit kesemutan. Melihat cara berdiri Aru yang lebih waspada, Ray mengurungkan niat untuk kembali maju. Dia masih cukup bisa berpikir jernih untuk tidak berkelahi di dalam lingkungan kampus yang mungkin mengakibatkan mereka dihukum, bahkan dikeluarkan.

Matahari terik di Jakarta Selatan tak menggoyahkan keduanya. Angin yang mendesau tak membantu banyak untuk meredakan liukan hawa panas yang menguar.

"Menjauh dari Netta!" Ray akhirnya hanya bisa menggeram, memendam semua amarah yang berpusar.

Aru mengangkat bahu. "Kalau dia cuma mau manfaatin aku, enggak perlu kamu suruh pun aku bakal pergi!"

"OTAK CERDAS LO KE MANA, HAH?!" Suara menggelegar keluar dari mulut Ray seiring tangan yang menunjuk Aru di antara kedua matanya. Wajah cowok itu memerah. "DIA TULUS SUKA SAMA LO!"

Mata Aru terbeliak sejenak. Bibir tipisnya sedikit terbuka sebelum akhirnya kembali dikatupkan rapat hingga hanya terlihat seperti sebuah garis tipis. "Tahu dari ma—"

"Emang enggak semua orang pinter itu peka!" potong Ray cepat sembari masih menatap dingin. "Gue enggak peduli kalau lo nimbun banyak kecewa sama bejibun orang sampai jadi kayak gini. Tapi, enggak adil kalau lo limpahin kemarahan lo sama Netta!"

Aru menggigit giginya mendengar kalimat Ray yang terasa menusuk.

"Emang selama ini dia pernah minta bantuan lo?! Tugas-tugas menakjubkan yang selalu dia hasilkan apa karena jasa lo?!"

Aru tak menjawab.

Ray berdecak beberapa kali. "Enggak perlu otak genius buat ngerti kalau dia bener-bener dalam kondisi terdesak sampe minta bantuan lo!"

"Kenapa bukan kamu?" Kali ini Aru bertanya lirih. Ekspresinya kembali datar tanpa emosi seperti sebelumnya. Cara berdirinya pun lebih terlihat santai.

Ray tertawa keras sambil menekan keningnya yang terasa berdenyut. "Gue enggak nyangka lo tingkat enggak pekanya segini parah. Lo pengin tahu?" Pertanyaan retorik terdengar.

"Udah gue jelasin, lo masih juga enggak nyadar?" Ray melanjutkan ucapannya dengan nada yang lebih menusuk dan dingin. "Kenapa bukan gue yang dia tanya? Kenapa setelah semua yang gue lakuin, dia tetap selalu melihat lo?" Ray tak menggerakkan pandangannya sedikit pun dari mata lawan bicaranya. Dia tak sudi menyembunyikan semua cemburu yang membakar.

Cowok itu menarik napas panjang dan menyunggingkan senyum sinis yang menusuk. "Kenapa bukan gue yang nemenin dia nyari kos? Kenapa bukan gue yang dia mintain tolong?" Ada jeda sejenak yang terasa menyesakkan. "Simpel! Karena yang Netta suka itu bukan gue, tapi lo! PUAS?!"

Untuk beberapa saat, hanya keheningan yang membias di antara keduanya. Aru tampak berusaha mencerna semua informasi yang dijejalkan Ray ke kepalanya.

"Kenapa kamu malah ngasih tahu aku? Kamu marah gini karena kamu suka dia, 'kan?"

Sejenak, Ray mengerutkan kening. Dia nyaris kembali tertawa kesal mendengar pertanyaan konyol itu. Dia memandang Aru dari ujung rambut hingga ujung kaki sebelum kembali menusuk mata cowok itu dengan tatapan setajam belati.

"Karena gue enggak bodoh kayak lo!" Ray menekankan buku-buku jari ke kepala, membelah rambutnya ke belakang. "Gue enggak bisa paksa perasaan orang ke gue."

Ray mengamati Aru, tapi tidak ada yang berubah dari pemuda di hadapannya. Seolah dia tengah bicara dengan seonggok patung bisu.

Namun, Ray tetap melanjutkan kalimatnya. "Tapi, satu hal yang pasti. Meski gue ditolak, gue pasti enggak bakal bikin dia nangis. Gue bukan cowok yang bakal nyakitin hati cewek, apalagi dia cewek yang gue suka!"

Lagi-lagi, hanya keheningan mencekam hadir di antara keduanya.

"Pokoknya, menjauh dari Netta kalau lo cuma pengin bikin dia terluka. Gue enggak peduli lo bisa karate, kek—"

"Aikido," Aru memotong.

"Terserah! Gue bahkan sekarang makin meragukan otak kebanggaan lo itu!"

Kali ini, tanpa menunggu Aru membuka mulut, Ray berbalik dan berjalan menjauh.

Aru terlihat menarik napas sebelum kembali mengenakan earphone-nya dan memungut buku yang terjatuh. Langkahnya terlihat lunglai ketika bergerak menuju gerbang kampus.

***

Netta tak bisa mengingat dengan detail apa yang terjadi hingga dia bisa tiba di rumah. Semua dilakukan seolah dia berada di alam bawah sadar. Cewek itu terlalu terluka untuk memikirkan apa pun.

Air mata kembali tumpah meski dia bisa merasakan basah mulai menyebar luas di wajah.

Cewek itu merasa napasnya kembali tersendat. Dia mengambil gelas di tepi ranjang dan meminum isinya perlahan. Membiarkan air hangat itu meluruh di dadanya, berharap semua lara terbasuh pergi. Namun, nyeri itu kembali hadir.

Netta membenci kelemahannya. Namun, apa dia harus menyalahkan keadaan? Apa dia harus menyalahkan Aru akan sikap kasarnya?

Netta tak tahu.

Dia hanya bisa merasakan luka menganga di hati dan tampaknya akan sulit ditutupi. Rasa sakit ini ... apakah karena mengetahui cintanya hanya bertepuk sebelah tangan? Ataukah karena ini seolah menjadi pukulan palu hakim bahwa dia akan gagal di mata kuliah nirmana?

Ah ..., mungkin saja keduanya.

Apa yang harus dia lakukan besok? Apa dia akan berpura-pura tak terjadi apa-apa? Melenggang duduk dan tersenyum menyapa?

Netta tak yakin mampu melakukannya.[]



AUTHOR'S NOTE

Habis terang, terbenamlah bersama kegelapan.

Menurut kalian sikap Aru tuh bisa dibenarkan, enggak?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top