Bab 15: Hunting

Setelah kemarin menangis keras dan berhasil pulang tanpa perlu diantar kedua sahabatnya meski mereka sempat memaksa, hari ini Netta sudah bisa tersenyum kembali meski masih ada rasa waswas tersisa. Netta memutuskan naik ojek daring saja karena matanya masih sedikit bengkak. Dia belum berani mengemudi.

Kini, Netta berusaha menenangkan diri sekaligus bersiap kalau-kalau dia bertemu atau berkonfrontasi dengan Ale. Sama seperti hari-hari sebelumnya, Netta-lah yang datang paling pagi. Mengandalkan Aru dan Ray untuk melindungi jelas bukan hal yang mungkin dilakukan. Lagi pula, dia tidak ingin merepotkan. Karena itu, Netta harus berusaha untuk tidak terintimidasi Ale. Mungkin menggunakan cara Aru dan Ray dengan memasang kamera yang selalu setia merekam juga boleh dicoba.

Setiap kali terdengar ada yang datang, Netta langsung menoleh waspada. Akan tetapi, hingga Aru dan Ray datang, Ale tidak tampak batang hidungnya. Begitu pun hingga kelas berakhir. Tidak ada penampakan Ale sama sekali.

Netta merasa lega. Setidaknya, dirinya merasa Ale menghindarinya dan itu merupakan kabar bagus.

"Mau ke BBW, enggak?" Ray memamerkan tiga tiket masuk ke bursa buku murah tersebut. Di balkon kampus, mereka masih berdiri menentang angin yang sesekali bertiup sepoi-sepoi.

"Dari mana tiketnya?" Aru menyipit heran.

Ray mengembuskan napas jengah. Wajahnya terlihat malas ketika berdecak sedikit sebelum mulai angkat bicara. "Papi titip buku interior desain dari luar negeri buat inspirasi."

"Dikasih tiga tiket buat kami juga?"

Lagi-lagi, Ray mengembuskan napas panjang "Sebenernya, dua tiket itu buat bodyguard yang gue usir pulang tadi pagi. Bayangin, di depan pintu kos nangkring bodyguard yang gantian jaga sama yang tidur di kedai."

"Ngapain?" Netta masih melongo.

"Biasalah, Papi. Dia khawatir gue bakal disakiti Ale lagi."

Netta terkikik. "Papimu manis banget."

Ray memelotot tidak terima. "Tolong jangan gunakan kata manis. Papi itu tinggi gede mirip yakuza. Makanya mafia-mafia kayu enggak berani sama dia."

Aru mengangkat kacamatanya "Kok kamu pendek?"

"Berisik! Gue sama lo enggak beda jauh!"

"Tapi, kamu enggak dikejar-kejar sama orang-orang jahat?" Wajah Netta terlihat khawatir. Dia teringat film Jepang tentang yakuza yang menculik anak demi menyakiti sang ayah.

"Please! Gue udah ngekos di tempat yang CCTV-nya berhamburan di mana-mana. Mau masuk ke kamar, kudu lewat tiga pintu dan masing-masing pakai kunci. Bayangin kalau pas gue lagi kebelet! Ampun!" Ray menepuk jidatnya frustrasi.

"Aku enggak mau bayangin!" Alis Aru mengerut.

Ray berusaha mengabaikan komentar menjengkelkan itu. "Masa udah begitu, masih harus ditambah satu bodyguard mejeng di depan pintu?"

Netta tergelak melihat betapa anehnya muka Ray saat ini.

"Udahlah, mau nemenin, enggak?" Ray mulai terlihat bete berat.

Aru hanya menyambar tiket yang teracung ke arahnya. "Thanks."

"Ikuuut!" Netta ikut menerima tiketnya. "Tapi, jam empat aku udah harus balik."

Ray mengangkat jempolnya. "Menurut Google Map, cuma butuh 58 menit dari sini. Cuslah!"

Aru memasukkan tiket ke saku kemejanya. "Mau naik apa?"

"Motorlah! Biar bisa selap-selip."

"A-aku sama siapa?" Netta terlihat salah tingkah.

"Sama gue aja." Ray menyambar sebelum Aru sempat membuka mulut. "Kan tiketnya dari gue."

Netta sedikit kecewa, tetapi dia tetap berterima kasih. Tak lama, Ray dan Aru sudah menjemput dirinya di depan kampus. Ragu-ragu, Netta naik di belakang Ray. Motor dengan CC cukup besar berwarna merah itu terlihat mencolok dibanding milik Aru yang berwarna hitam. Keduanya ternyata memiliki selera motor sejenis.

Dengan helm yang dipinjamkan Ray, Netta ikut meluncur membelah kota Jakarta menuju wilayah BSD Tangerang.

***

"Wah, tumben enggak gitu rame!" Netta mengedarkan pandang. Ruangan penuh tumpukan buku itu tampak lengang. Memang ada cukup banyak orang, tetapi dibandingkan kapasitas ruangan, ini bisa dikatakan sepi pengunjung.

Tumpukan buku berjajar rapi. Tonggak-tonggak tinggibertuliskan genre-genre buku terpancang di setiap meja. Buku aneka warna terlihat menumpuk dan menjulang.

"Iya, ini kan hari biasa, bukan weekend." Ray menggerak-gerakkan kepala seolah melakukan pemanasan. "Cuslah hunting!" Cowok itu tampak sangat senang menyambar troli dan mendorongnya dengan cepat.

"Mau borong?" Netta heran melihat Ray tidak mengambil keranjang jinjing saja.

"Yup!"

"Jangan lupa kamu pulang bawa Netta dan cuma naik motor," Aru menimpali.

"Kan ada lo." Ray tertawa tanpa beban.

Aru hanya menyipitkan mata tak suka.

"Udah, nanti aku aja yang pegang. Asal enggak banyak-banyak." Netta berusaha menengahi perang dingin antara keduanya.

Aru tak menjawab dan hanya melangkah mendahului mereka. Baru beberapa langkah, Ray justru berbelok ke arah kiri.

"Interior di sana." Aru menunjuk ke satu arah.

Ray mengangkat telunjuk dan menggoyangkannya ke kanan dan ke kiri. "No, no! Gue ke sini bukan cuma buat interior. Ada banyak buku DKV di sana"

Netta terbeliak penuh semangat. "Mana?" Cewek itu langsung bergerak cepat ke arah yang ditunjuk Ray. Aru hanya mengangkat kacamatanya sedikit dan ikut mengekor.

"Waaah! Ada buku ngomik juga!" Ray langsung menyambar dua buku berbahasa Inggris tersebut dan meletakkannya ke keranjang.

Netta tak kalah antusias dengan melangkah mencari buku desain flyer dan teori warna. Rasanya menyenangkan melihat buku-buku tebal dengan harga terjangkau. Dengan lincah, tangan mungilnya mengambil satu demi satu buku yang dirasa masih dalam jangkauan uang sakunya.

Meski tidak begitu banyak, buku-buku bersampul keras itu ternyata cukup berat. Netta sempat terhuyung ketika tiba-tiba dia merasa beban di tangannya menghilang.

"Biar kubawakan." Suara berat Aru mampu membuat jantung Netta melompat-lompat tak keruan. Cowok itu mengangkat semua buku yang tadi ada di tangannya.

"Ngapain lo bawain?!" Dengan gerakan cepat, Ray menangkupkan kedua tangannya di bawah tangan Aru dan menaikkannya hingga buku yang semula ada di tangan Aru berpindah. "Kita punya keranjang dorong. Taruh aja di situ!" Ray pun meletakkan buku-buku itu ke troli.

"Eh, tapi nanti belanjaannya nyampur." Netta merasa tak enak jika harus repot memisah-misahkannya di kasir.

"Kartu debit gue harusnya cukup. Gue talangin dulu aja."

"Harusnya merupakan sebentuk ketidakyakinan yang sama sekali tidak presisi."

"Perlu gue sebutin saldo?" Ray memelotot.

Aru tak menjawab.

"Udah, udah!" Netta tertawa kecil. "Buku-bukuku ditaruh di sudut sini aja. Nanti Ray sisanya." Cewek itu menoleh. "Aru enggak belanja?

Selintas, Aru melirik jam tangannya. Pukul satu kurang sepuluh. "Enggak mau makan dulu?"

Netta menggeleng cepat. "Nanti aja. Belanjanya beresin dulu, baru kita makan kalau sempat." Netta mengedarkan pandang ke tumpukan buku sekali lagi. "Aku udah sele—" Kalimat Netta terhenti.

Cewek itu kini memancangkan pandang ke sebuah arah: buku hard cover berlatar hitam bertuliskan Best Design Collection dengan warna pelangi dan teks berderet di bawahnya. Buku yang menjadi incarannya sejak lama. Harga di situs Amazon $67, belum ongkos kirim yang nyaris satu setengah juta jika dihitung bersama jasa pembelian. Lalu, benda itu kini hanya seharga 750 ribu rupiah. Diskonnya luar biasa!

Namun, tetap saja belanja sebanyak itu untuk sebuah buku setelah menghabiskan banyak uang untuk membeli peralatan DKV memberatkan. Buku-buku yang tadi diambilnya pun rasanya tidak sampai lima ratus ribu rupiah. Bisa saja minta Ahsan membelikan, tetapi Netta merasa dia sudah terlalu membebani ayahnya dengan biaya kuliah di DKV yang ternyata luar biasa mahal.

"Lo mau itu?"

Netta menggeleng. "Yang di keranjang aja cukup."

Aru menarik napas. "Ray, cari buku interior! Netta cuma punya waktu bentar dan kita belum makan siang."

Ray berdecak. Namun, dia langsung menyambar beberapa buku sebelum bergerak tanpa bicara ke area interior. Cowok itu mengambil sekitar lima buku dan melemparnya ke dalam keranjang.

"Net, tolong cariin makanan di luar sana. Biar kami aja yang antre bayar."

Netta mengangguk. Ide Aru jauh lebih efisien. Antrean pembayaran buku memang tidak terlalu panjang, tetapi bagaimana jika malah antrean pembelian makanan yang mengular?.

"Punyaku totalin aja. Nanti aku transfer. Biar kucariin makanan yang enak." Netta melingkarkan jari telunjuk dan jempolnya sebagai tanda persetujuan.

Aru hanya mengangguk tipis dan Ray menahan diri untuk mengajukan protes karena tatapan Aru menyuruhnya untuk diam. Untungnya, Netta benar-benar tidak menyadari keanehan itu.

Cowok berkacamata itu bahkan tak bicara sepatah kata saat bergerak meninggalkan Ray yang terjebak antre di kasir nomor lima. Ray berteriak memanggil, tetapi Aru mengabaikannya. Sial!

Tak sampai dua menit kemudian, Aru sudah kembali membawa buku besar bersampul hitam itu.

"Itu?" Ray terdiam memandang buku yang dipegang Aru.

"Biar aku yang bayar semua. Kamu transfer aja punyamu ke rekeningku."

Mata Ray terbeliak. "Oooh! Lo mau beliin itu buat Netta? Enggak bisa! Gue yang bayarin kalau gitu!" Ray menepis tangan Aru yang hendak mengeluarkan dompet.

"Aku yang ngambil bukunya!"

"Enggak peduli! Yang kasih tiket ke sini gue! Mana aci main tikung di depan gue kayak gitu!"

Aru berdecak tak suka. Namun, Ray benar. Mereka bisa ke sini berkat jasa Ray. Kalau dia memaksa, tidak sopan rasanya.

"Patungan?" Aru mengeluarkan jurus pamungkas terakhir.

Ray berpikir sejenak. Harus diakui, dia tadi terlalu senang menemukan buku-buku impiannya hingga tidak terlalu memperhatikan Netta. Untung saja Aru yang lebih nganggur jeli dalam melihat peluang.

"Ya udah, gue aja yang bayar." Bersamaan dengan Ray mengeluarkan kartu, Aru pun demikian. Keduanya bersitatap sejenak.

"Enggak pake credit card? Katanya ada cashback." Ray mengamati kartu berwarna keemasan milik cowok di sebelahnya itu.

"Kamu juga enggak pakai CC?" Alih-alih menjawab, Aru malah berkomentar.

Ray menggeleng sambil nyengir. "Orangtuaku benci CC. Katanya nanti kita berlatih berutang."

"Sama."

Ray tergelak melihat Aru menjawabnya tanpa ekspresi. Akhirnya, Ray yang membayar semuanya dan Aru mentransfer dengan mobile banking uang senilai empat ratus ribu rupiah. Ray sempat protes, tetapi Aru mengabaikannya dan hanya membalas dengan dua kata. "Uang tiket."

***

Mereka keluar dengan dua kantong kain besar. Ray sengaja membawa yang besar dari rumah. Tas ranselnya juga cukup membantu.

Netta ternyata memilih makan di kedai bakso Malang. Kedai itu bersih dan tidak begitu banyak antrean. Interiornya cenderung polos dan seperti kedai bakso biasa. "Nyemil aja. Makan di rumah. Udah jam dua, nih."

"Nanti diantar, kok!" Ray dan Aru berujar bersamaan.

Netta menggeleng. "Enggak usah. Aku naik taksi aja. Kalian bawaannya banyak." Cewek itu memandang dua cowok di hadapannya.

Bakso yang mereka pesan sudah datang. Aru dan Ray bertatapan sejenak.

"Net, ini belanjaan Lo." Ray mengangsurkan satu kantong kain kepada Netta, sementara miliknya sudah aman di ranselnya sendiri.

Netta melongok isi tasnya yang terasa lebih berat dan terperanjat. Mata cewek itu membeliak kala mengeluarkan buku Best Design Collection yang menjadi incarannya.

"I-ini ... kayaknya kalian salah paham. Aku enggak jadi beli," bisiknya. "A-aku enggak bisa bayar sekarang." Netta memandang kedua sahabatnya dengan wajah pucat. Namun, dia tak tega jika harus menyuruh mereka membayar. "Cicilan dua bulan boleh? Mungkin akhir bulan bisa kubayar cicilan pertama."

Ray terbahak keras, sementara Aru mencebik tipis melihat Netta terlihat begitu panik.

"Itu hadiah buat lo."

"Dari kami," Aru menimpali.

"Ta-tapi ...." Netta terbata. "A-aku enggak bisa nerima hadiah semahal ini."

"Aku tersinggung kalau kamu enggak terima." Aru kembali mengeluarkan nada datarnya.

"Setuju."

Netta gugup kala kembali memasukan buku itu ke kantong dan menyenggol mangkuknya. Kuah panas memercik sedikit hingga cewek itu terpekik kaget. Dengan gerakan sama cepat, Aru dan Ray hendak mengambil tisu dan ... kedua jemari mereka bertaut.

Netta tertawa melihat bagaimana kedua cowok itu mematung saat menyadari gerakan mereka justru membuat adegan yang seharusnya menjadi romantis jika dilakukan dengan lawan jenis.

"Kalian serasi." Netta terbahak. Sejenak, dia melupakan rasa tidak enak karena mendapatkan hadiah yang begitu mahal tadi.

"JIJIK!" Ray menarik tangannya langsung, sementara Aru bergegas mengeluarkan hand sanitizer dan memakainya. "Sialan lo!" umpat Ray, tak terima diperlakukan seperti virus.

Netta menghapus air mata yang menggumpal di sudut mata. "Serius ini buat aku?"

Keduanya mengangguk bersamaan.

"Makasih, sekali lagi makasih banyak! Kalian memang sahabatku yang paling luar biasa."

Ray tertawa lebar dan Aru hanya menyunggingkan senyum tipis penuh kelegaan.

Ketiganya menikmati bakso Malang hangat di tengah cuaca terik Kota Tangerang. Yang mereka rasakan hanyalah kebahagiaan.[]



AUTHOR'S NOTE

Shirei seneng banget nulis bab ini.

Kalian suka scene yang mana?

Naik motor bareng?

Angkat buku?

Atau, jangan-jangan adegan JIJIK?! WAKAKAKA ....

Akhirnya, kelar juga si Ale-Ale.

Shirei juga udah beres nulis EPILOG yang enggak pernah di-publish di Monokrom sebelumnya. Cihuuui!

Kepo enggak isinya apaaa?

Oke, deh, sampai jumpa Rabu depan!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top