Bab 12: Kacau
Ray berusaha menarik tangannya kembali, tetapi Aru tetap bergeming. "Gue mau ngomong!" bisik Ray dengan ketus.
Aru masih diam, hanya memandang Ray dengan tatapan menusuk yang seolah menyiratkan pesan jangan macam-macam!
"Gue cuma mau ngomong sama lo! Gue enggak bakal ke sana! Lepasin!" Ray berusaha melepaskan diri, tetapi Aru ternyata sangat kuat hingga usaha Ray terasa sia-sia.
Tak sampai dua detik setelahnya, tanpa bicara sepatah kata pun Aru melepaskan cengkeraman. Kali ini, justru Ray yang menarik lengan Aru untuk mengikutinya ke sudut perpustakaan yang kosong.
"Kenapa lo larang gue buat ancurin muka tuh baji ... gur?!" Ray segera meralat kata-katanya. Tangannya berayun frustrasi ketika menyugar rambut ke belakang. "Si Berengsek itu udah manfaatin Netta!"
Tatapan Aru masih tak berubah. Dingin dan keras seperti stalaktit di langit-langit gua. "Kita enggak boleh ngerepotin Netta. Kita—"
"Lo gila!" potong Ray dengan jeritan tertahan. "Jelas-jelas Netta yang direpotin sama si protozoa itu!"
Ray sempat melihat rahang Aru berkedut sebelum sebuah embusan napas panjang dan dalam keluar dari sela-sela bibir cowok berkacamata itu.
"Kalau kita menghajar Ale di sini, Netta akan terlibat. Kamu lihat ada berapa banyak cewek-cewek di sekitar mereka yang tampak cemburu?" Aru mengedikkan dagu ke sebuah arah, memberi tahu agar Ray bisa melihat pemandangan yang dimaksud.
"Mereka?"
Aru mengangguk tipis. "Ya, mereka itu kaki tangan Ale. Kamu bisa bayangin apa yang bakal mereka katakan kalau kita sampai nyerang duluan. Ale bakal playing victim, semua cewek itu bakal dengan senang hati menyudutkan Netta. Dan, itu akan membuat semua masalah tambah rumit!"
Ray takjub karena ini pertama kalinya Aru berbicara sepanjang itu. Ucapan Aru masuk akal. Entah kenapa, banyak sekali cewek yang berpura-pura membaca buku, tetapi mata mereka menatap sinis ke arah Netta.
Yang membuat Ray sebal, ternyata beberapa cewek di sana adalah sosok yang dia kenal meski hanya selintas lalu.
"Terus, kita harus gimana?"
"Kita kumpulin dulu bukti-bukti. Kalau Ale berani macam-macam, percayalah, aku yang bakal duluan menghajar dia."
Ray tertawa perlan. "Jangan harap! Gue sendiri yang bakal bikin itu cowok enggak dikenali lagi wajahnya."
Untuk pertama kalinya juga, Aru melebarkan senyum dengan sangat puas.
***
"Ini sudah selesai kutinta, tinggal diwarnai." Netta berdiri dan membereskan semua perkakasnya. "Sisanya kamu kerjain sendiri."
Ale sempat terlihat khawatir. "Ta-tapi, gimana kalau gue sampai gagal mewarnainya?"
Netta menarik napas ketika mengangkat kotak pensilnya. "Scan saja dulu, terus kamu print di ukuran besar, kemudian kamu latihan mewarnai di sana sampai terbiasa sebelum mewarnai yang asli."
Cowok jangkung itu terdiam. Ide Netta masuk akal. Dia bisa berlatih banyak terlebih dulu sebelum bermain dengan cat di atas kertas yang sangat indah ini.
"Lagian, aku juga harus membuat nirmanaku. Punyaku belum mulai ditinta sama sekali." Netta menghela napas panjang.
Sejenak, Ale terdiam dan tampak berpikir. "Okelah, kalau itu yang lo mau. Gue ngerti. Gue emang cowok paling pengertian." Ale tersenyum dengan penuh daya tarik.
Netta lagi-lagi merasakan nyeri di hatinya. Entah karena apa.
"Net, besok kita sarapan di Kafe Délicieux, mau?" Ale hendak merengkuh jemari Netta, tetapi cewek itu mundur satu langkah. Semua cewek di sekitar mereka otomatis memelotot penuh rasa tidak rela melihat Netta justru menghindari Ale.
"Come on, I beg you .... For our friendship. Gue bakal merasa sangat bersalah kalau enggak bisa membalas semua budi baik lo meski hanya sebatas breakfast bareng."
Suasana perpustakaan kembali hening beberapa waktu. Netta masih berpikir keras. Sungguh, dia tidak ingin membuang waktu dengan sarapan berdua cowok ini. Lebih baik dia mengerjakan tugas nirmana yang akan diasistensi besok. Dia sudah meminta jadwal pertemuan sejak beberapa hari lalu. Tak mungkin dia membatalkannya.
"Just once more. For the last time?" Suara Ale terdengar semakin memohon.
Tengkuk Netta meremang seolah merasakan tatapan sinis dari banyak orang. Dia merasa harus secepatnya pergi dari sana.
"Oke, besok jam setengah tujuh. Aku permisi dulu."
Netta bergegas meninggalkan perpustakaan. Baru saja Netta menghilang keluar pintu perpustakaan, Ale sudah kembali dikerubungi cewek-cewek yang tadi berada di sekelilingnya.
Perpustakaan terdengar sedikit riuh ketika cewek-cewek itu berusaha menarik perhatian Ale. Namun, cowok itu hanya menampilkan wajah kaku sedingin salju. Dia menggerakkan tangannya ke meja dan beberapa cewek langsung berebut untuk membereskan perkakasnya.
Ale pun keluar dari perpustakaan diiringi semua penggemarnya di belakang.
Sementara itu, Aru dan Ray saling pandang tanpa mengucap satu kata pun. Ketika semua dirasa aman, mereka pun menyusul keluar dari perpustakaan.
***
Sudah hampir tengah malam, Netta merasa kepalanya semakin berdenyut tak keruan. Baru 60% pekerjaannya selesai. Itu pun sedikit tergesa-gesa. Beberapa garis sedikit melenceng dari yang seharusnya. Semoga saja sang dosen tidak menyadari hal itu.
Kantuk Netta semakin parah kala dia mulai mengerjakan sisi kiri bawah. Hanya sepersekian detik, dia tertidur. Sebuah garis sepanjang nyaris 20 cm mencoreng kertas tugasnya. Semua kantuk Netta lenyap, berganti rasa panik.
Bergegas dia mengambil cat poster putih dan mulai menguas bagian yang tercoreng. Pulasan tipis-tipis dilakukan supaya tak terlalu terlihat menonjol.
Ya, Tuhan! Apa yang dia lakukan? Netta ingin menangis, tetapi bahkan untuk menangis pun dia tak punya waktu.
Netta semakin frustrasi. Jika dipaksa, bisa-bisa akan ada coretan panjang lainnya menghias. Netta sadar dirinya butuh tidur. Awalnya, dia cukup senang sebab besok kelas Drawing One ditiadakan karena dosen berhalangan hadir. Cewek itu berpikir dia punya cukup waktu untuk meninta.
Sayangnya, semua hanya khayalan karena dosen nirmana tiba-tiba menghubunginya pukul tujuh malam dan meminta asistensi dimajukan pukul delapan pagi. Akan ada rapat jurusan pada waktu perjanjian sebelumnya. Sebagai wakil ketua jurusan, dosen bernama Genta itu tentu tidak boleh absen.
Netta berpikir setidaknya dia harus menyelesaikan tugas malam ini hingga besok bisa langsung ke kampus tanpa beban. Belum lagi janji sarapan dengan Ale. Dia bener-benar menyesali janjinya itu. Akan tetapi, Netta tak bisa membatalkannya. Dia sudah berjanji dan janji adalah utang yang harus dia tepati. Cewek itu menghela napas panjang penuh rasa lelah.
Ditenggaknya secangkir kopi instan untuk kali yang ketiga. Malam ini, dia harus menyelesaikan semuanya!
***
Alarm kesembilan dari dua belas yang telah diatur baru mampu membangunkan Netta pukul enam kurang sepuluh menit. Cewek itu menjerit, melompat dari kasur dan langsung bergegas mandi bebek. Mungkin besok-besok dia akan meminta bantuan Ahsan untuk membangunkannya dengan paksa. Namun, sudah beberapa minggu ini papanya selalu berangkat pagi-pagi sekali ke kantor, bahkan sempat ke luar negeri beberapa hari.
Tiba-tiba, Netta terbeliak. Dirinya bahkan belum membuat iklan yang diminta Ahsan! Ya Tuhan, hidupnya benar-benar kacau. Cewek itu berharap bisa menyelesaikan tugas nirmana secepatnya, lalu bisa mulai mengerjakan iklan untuk papanya.
***
Sementara di Kafe Délicieux, cewek-cewek masih berada di sekeliling Ale. Beberapa mencibir keterlambatan Netta yang hingga hampir pukul tujuh belum tampak batang hidungnya.
Tiba-tiba, pintu kafe terbuka dengan keras. Dua cowok tampak berjalan tegap mendekati Ale yang tengah merangkul dua cewek cantik tanpa malu-malu.
"Wah, ada perlu apa dua cecunguk enggak jelas ini merusak pagiku?"
"Cowok berengsek! Lo janjian sama Netta, tapi malah ngerangkulin cewek-cewek kayak gini? Lo enggak punya malu?!" Ray menatap garang. Dia bahkan tak berani terlalu melakukan kontak fisik dengan Netta demi menjaga privasi cewek itu. Namun, lihat bagaimana Ale memperlakukan cewek-cewek di sekitarnya! Lebih parah lagi, mereka tampak menikmati perbuatan itu. Sungguh tidak tahu malu!
"Justru gue begini karena mau bilang ke Netta makasih udah mau bantu-bantu gue. Di antara temen-temen cewek gue, dia yang paling berbakat dan ... naif." Tawa langsung membahana di sekeliling ruangan.
Baru Ray mau melangkah, lengannya kembali dicengkeram dengan keras.
"Ngapain sih, Ru? Lo takut berantem sama dia?!" Ray menyalak galak. "GUE AJA YANG GELUT!"
Aru menyeringai dan hanya menarik Ray mundur dengan kasar, sementara dia mendekati Ale dengan langkah ringan seolah tak menapak ke lantai. "Jangan melibatkan Netta untuk ngerjain tugas-tugas kamu lagi. Ngerti?" Aru mendongak sedikit ketika jarak mereka hanya sekitar tiga puluh senti.
Ale mengangkat bahu sembari mengibaskan tangan untuk memberi tanda agar semua cewek yang ada di kafe itu keluar segera. Seperti kerbau yang dicocok hidung, mereka semua langsung keluar meski banyak juga yang menggerutu.
"Begini, ya, Mata Empat. Gue pikir lo lebih bijak daripada cowok pemarah di sana. Ternyata enggak juga."
Aru bergeming dan masih tak berkedip kala menatap lawan bicaranya dengan dingin.
Ale menyeringai. "Gue enggak pernah maksa Netta. Dia yang mengajukan dirinya sendiri buat nolongin gue." Ale memiringkan kepala penuh rasa puas. "Sama seperti cewek-cewek lain, dia juga akhirnya bertekuk lutut di kaki gue."
Aru merasakan hawa panas menggeliat dari perut dan naik ke dadanya. Kedua tangannya mengepal perlahan. "Mahasiswa paling rendah adalah mereka yang meminta orang lain mengerjakan tugasnya. Kamu enggak bakal jadi apa-apa tanpa mengerjakan tugas-tugas kamu sendiri."
"Enggak usah banyak omong, Ru! Hajar aja dia!" Ray hendak maju, tetapi lagi-lagi Aru mundur, mencegah Ray melakukan hal gegabah.
Tiba-tiba, Ale tertawa keras. "Gue sengaja masuk DKV karena hampir enggak bakal ada ujian di tempat. Nyaris semua take home test. Lalu, dari semua take home test, gue bakal suruh cewek-cewek berotak kosong itu buat jadi kacung gue!"
Mendengar itu, Ray menerjang halangan Aru dan hendak mendorong tubuh besar Ale tepat ketika suara pintu dibuka terdengar.
"Netta!" Ale langsung bersuara ramah dan terdengar ketakutan. "Temen lo ini masa ngancem gue. Mereka bilang gue jahat! Mereka mau mukulin gue!"
Ray mengumpat. "Lo ngomong apa? Siapa tadi yang bilang lo cuma mau manfaatin Netta?"
Ale bergerak cepat melintasi keduanya dan mendekat ke arah Netta yang masih keheranan. "Mereka bohong! Gue enggak pernah maksa lo, 'kan? Lo bantu gue karena lo emang baik hati! Malaikat penolong yang dikirim Tuhan buat gue."
"Bacot!"
"Ray! Kamu apa-apaan, sih?!" Netta berseru. Kepalanya yang berdenyut sedari pagi semakin sakit mendengar suara tinggi silih berganti. "Aku nolongin Ale cuma sekali ini aja, kok! Supaya dia belajar. Aru juga. Kenapa, sih? Biasanya kamu kalem."
Senyum dingin tersungging. "Kamu tahu, 'kan, kalau PR itu ditujukan untuk dibuat sendiri, bukan dibuatkan orang lain?"
Netta tersentak. Dia tahu dirinya tak seharusnya membuatkan tugas Ale. Namun, dia tak ingin ada yang keluar dari DKV hanya karena masalah yang di luar kemampuan si mahasiswa. Sama seperti dirinya "Tapi, cuma sekali! Apa salahnya?!"
"Net! Dia itu playboy kelas tyrannosaurus! Lo jangan mau dimanfaatin!"
Netta merasa kepalanya makin sakit mendengar kedua cowok yang selama ini dia anggap paling mengerti dirinya justru menyalahkan keputusannya.
"Ah, udahlah! Kepalaku sakit. Aku mau asistensi dulu. Aku telat bangun." Netta mengibaskan tangan. Dia menoleh kepada Ale dengan tatapan lebih lembut. "Maafin temen-temenku, ya. Nanti kita bisa lunch bareng sebagai ganti aku terlambat datang. Maafin aku enggak bisa menepati janji. Aku beneran enggak enak."
Ale menggeleng. Dia kembali berusaha merengkuh jemari Netta. Namun, cewek itu sudah lebih sigap dengan langsung memasukkan keduanya ke saku celana.
"Gue ngerti." Ale mengeluarkan debas berat. "Siang nanti enaknya makan di Kafe Kahvi aja. Menu chicken curry-nya kayaknya enak dimakan pas brunch."
Netta mengangguk setuju. "Aku pamit dulu. Mungkin dalam tiga puluh menit aku sudah di kafe." Matanya melirik ke arah duo gesrek itu sejenak dengan sebal, sebelum berbalik dan meninggalkan kafe.
Ale tertawa lebar dan hanya melambaikan tangan ke arah Aru dan Ray sebelum ikut keluar dari kafe dengan langkah penuh kemenangan.
Ray dan Aru hanya bisa kembali saling pandang dan seolah bicara dalam keheningan.[]
AUTHOR'S NOTE:
Jujur, Ale itu karakter paling anu yang pernah Shirei buat. Enggak ada antagonis Shirei yang nulisnya bikin stres kayak Ale.
Pernah lihat orang kayak Ale?
Shirei pernah.
Orangnya manipulatif banget. Saat kekuak, langsung playing victim. Korbannya malah yang jadi tersangka.
Nah, kira-kira gimana duo gesrek bakal menangani Ale, ya?
Gabungan Ray yang ceria, tetapi cemburuan, lalu Aru yang dingin, tetapi teliti.
Hmmm .... Rusuh enggak, sih, bakalan? Hahaha ....
Oke, deh, sampai jumpa Rabu depan!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top