Special Chapter: Paranoia
Keasingan pertemuan pertama mereka berempat
menguap begitu saja.
Dengan cara yang paling tidak mereka duga.
Semua ini, persahabatan konyol ini, bertemu orang-orang absurd dan random seperti Nando dan Arsen ini, tidak berada dalam daftar rencana Laudy, awalnya. Dia hanya ingin hidup tenang, lulus sekolah dengan selamat, lalu melanjutkan hidup dengan rebahan. Namun, semua dikacaukan oleh kedatangan ketiga manusia laknat yang kemudian menjadi bagian dari hidupnya tersebut. Dan, semua bermula dari permainan konyol bernama Paranoia.
Waktu itu, Laudy dan Kian masih berada dalam tahap diam. Mereka tetangga, berseberangan rumah, kadang bertemu ketika pergi atau pulang sekolah, atau saat jajan bakso, atau saat apa pun yang mengharuskan mereka keluar. Mereka pernah bicara, bertukar nama setelah momen Kian jatuh dari pohon mangga, lalu ketika Kian memberinya hadiah diam-diam. Namun, kemudian, tidak banyak yang terjadi. Mereka tidak seketika menjadi akrab.
Hingga, setidaknya, sore itu.
Pada tahun terakhir SMP, Laudy selalu diantar jemput ayahnya, Bapak Bambang Herlambang. Siang menjelang sore itu, rapat di kecamatan membuat pria kepala empat tersebut tidak bisa menjemput tepat waktu, memaksa Laudy menunggu. Dan, Kian yang punya sepeda diam bersamanya, ikut menunggu. Tanpa mengatakan apa-apa.
"Kamu enggak pulang?" Setelah setengah jam yang hening, Laudy akhirnya buka suara. Ruang kelas sepi, hanya ada mereka yang berbicara dari ujung ruang kelas ke ujung lainnya.
"Abis kamu."
"Ayah aku belum jemput."
Kian, yang saat itu sudah lebih tinggi daripada remaja seusianya dan menjulang hampir seperti orang dewasa, mengangguk. "Aku tahu."
Terus, apa yang masih dia lakukan di situ?
Pertanyaan tersebut tidak disuarakan Laudy, sayangnya. Mereka masih duduk dalam diam hingga, tiba-tiba saja, pintu kelas yang sudah terbuka, dikuak semakin lebar dari luar. Dua orang muncul di pintu. Yang satu memiliki postur tubuh lebih tinggi dengan rambut klimis dan jambul yang mencuat di atas dahi seperti pagar. Sementara cowok satunya memiliki rambut belah tengah dan sedikit gondrong. Dia juga memiliki wajah yang membuat orang merasa terhibur meski dia tidak melakukan apa-apa. Laudy tidak mengenali keduanya.
Tanpa tedeng aling-aling, mereka melangkah lebar-lebar ke arah Kian seperti dua orang penagih utang.
"Lo Kian, 'kan? Kian Erlangga?" tanya yang lebih pendek dengan suara keras yang terdengar memantul pada dinding kelas.
"Ada apa?" Kian mengangkat alis, merasa tidak punya urusan dengan dua orang itu.
Namun, cowok yang lebih pendek kemudian menepuk meja keras. Ketika dia kembali mengangkat tangan, ada sesuatu di atas meja. Sebungkus... wafer cokelat panjang bergambar superhero?
"Kurang, ya?" Cowok itu mengerutkan alis ketika tidak mendapatkan tanggapan. Lalu, dia menambahkan satu minuman gelas rasa jeruk ke atas meja. "Masih kurang?"
"Tunggu! Tunggu! Ini buat apa?"
Jangankan Kian, Laudy pun mempertanyakannya. Apa hari ini hari Valentine? Apa hari Valentine sudah digeser ke bulan Juni? Kenapa dia memberi cokelat?
"Lo lupa, ya? Kemarin lo ngasih gue bantuan pas UAS. Dan, berkat lo, gue enggak jadi dihukum enggak boleh main sama emak gue. Jadinya, gue bisa main ke tempat Arsen. Dan, karena gue main ke tempat Arsen, gue berhasil nolongin dia yang lagi sakit."
Gimana? Gimana?
Laudy masih tidak mengerti. Kian apalagi. Kedua cowok di depannya kemudian saling tatap, lalu tanpa permisi membungkuk kepada Kian. "Kami berutang budi sama kamu, Suhu!"
"Tolong ambil!" cowok yang lebih tinggi menambahkan. Sedari tadi, tanpa Laudy sadari, cowok itu membawa satu kresek besar yang kemudian isinya dia tumpahkan ke atas meja. Ada banyak, banyak sekali, makanan dan minuman. "Dan, masih ada traktiran bakso besok!"
Dan, jika semua itu tidak cukup aneh sebagai permulaan persahabatan, mereka berempat kemudian duduk bersama, mengelilingi meja yang disatukan dengan empat kaleng Cola dan banyak snack di atasnya. Lalu, Nando memulai kisahnya, awal pertemuannya dengan Arsen, kemudian dengan Kian.
"Kian itu pahlawan gue!" dia memulai dengan berapi-api. Kian mengenal Nando berkat Ujian Akhir Sekolah yang saat itu menggabungkan seluruh murid kelas tiga sekaligus, mengacak murid-murid dari seluruh kelas untuk duduk bersama demi mencegah aksi saling sontek antar teman. Namun, berhubung hokinya cukup bagus hari itu, Nando berhasil mencari celah setelah duduk di sebelah Kian, cowok yang memang dikenal selalu juara di kelasnya.
Seperti saat menyuap Arsen dengan ketapel semasa mereka kecil, dia menyuap Kian dengan berjanji akan mengerjakan tugas Kesenian, yaitu kerajinan tangan dari tanah liat yang malas Kian kerjakan karena kotor. Yang kemudian Kian sesali karena, bukannya terlihat seperti patung pancoran seperti yang dijanjikan, hasil akhirnya malah seperti setumpuk kotoran. Mengingatnya, Kian kembali sakit kepala.
"Sepi, nih! Main, yuk!" sambil meraup segenggam snack jagung bakar hasil traktiran Arsen, Nando mengusulkan. Mulutnya yang penuh membuat jagung bakar basah hampir menyembur kemana-mana.
"Main apaan?" Di lain pihak, Kian masih bersikap waspada.
"Paranoia," cowok yang lebih tinggi, yang kemudian meeka ketahui bernama Arsen, mengusulkan. Semua orang menatap cowok itu dengan kening berkerut, menunggunya memberi pencerahan.
Cowok itu tidak serta-merta melakukannya. Dia menyesap Cola-nya lebih dulu, mengunyah kacang kulit, bercocok tanam, dan memperbaiki tatanan masyarakat sebelum kemudian angkat bicara.
"Gue tahu game ini dari film. Namanya Paranoia. Peraturannya simpel, lo kasih pertanyaan buat orang di sebelah lo, bisikin aja biar yang lain nggak tahu. Nggak wajib, sih, tapi biasanya pertanyaan dimulai dengan kata siapa, biar penasaran. Terus jawab langsung sampai semua orang denger. Terus," dia menjeda, kemudian tangannya merogoh-rogoh saku Nando untuk mencari sesuatu; ketemu, sebuah koin senilai dua ratus perak, "kita undi pakai koin ini."
Dengan lincah, tangannya melambungkan koin ke udara, membuatnya berputar-putar sebelum jatuh kembali ke punggung tangan. Lambang burung garuda berada di permukaan. "Ini namanya tail, sisi sebelahnya head. Peraturannya, kalau head, pertanyaan lo harus dibongkar. Kalau garuda, atau tail, lo beruntung, pertanyaan itu boleh lo bawa mati sendiri."
Mungkin karena terdengar menarik, atau mungkin karena tidak ada hal lain yang dapat dilakukan, semua orang segera setuju untuk bermain. Dalam satu putaran, suasana yang tadinya kaku mencair dengan mudah, tawa mulai tersembur, pecah, dan keasingan pertemuan pertama menguap begitu saja. Dengan cara yang paling tidak mereka duga.
"Jawaban gue ... Nando." Arsen memulai putaran kedua dengan jawaban yang mantap.
"WOOO!" Kian dan Laudy bersorak bersamaan, sementara Nando mulai mengembangkan kedua lubang hidung.
"Siapa orang yang menurut lo paling ganteng, ya, Sen?" tanyanya percaya diri seraya menggamit lengan Arsen. Yang tentu saja dijawab semua orang dengan tatapan protes.
"Mohon maap, Bapak Junaedi, tapi Babang Tamvan belum menerima saingan," Arsen menyergah. Selanjutnya, dia meraih koin di atas meja dan melemparnya ke udara. Koin berputar-putar di atas meja seperti penari balet sebelum jatuh ke satu sisi, menampakkan gambar burung dan angka 200. Head. Arsen menatap Kian.
Kian berdeham, mengantisipasi baku hantam. "Oke, pertanyaannya adalah ... kalau misal suatu hari lo, Arsen, jatuh miskin dan butuh pesugihan, siapa orang pertama yang bakal lo jadiin tumbal?"
Swing ..., angin dari luar berhembus. Kipas angin di atas turut berderek-derek. Jarum jam pun tidak mau ketinggalan, ikut terdengar berdetak berkat kesunyian yang tiba-tiba tercipta.
Nando, dengan wajah masam, melirik Arsen tidak suka. "Nyesel gue, Sen," sungutnya. "Tahu gini kemaren nggak gue beliin parasetamol lo. Sianida aja."
Arsen tertawa. "Udah, jangan marah gitu, Sayang. Hahaha," ujarnya seraya mencolek dagu Nando yang sedang merengut.
Laudy mengerjap. Sepertinya dia perlu mencuci mata sepulang dari sini.
"Next, Nando!" Arsen mengumumkan dan detik itu juga dia mulai berbisik di telinga Nando, yang membuat cowok itu mengernyit lalu menampol Arsen di wajah.
"Geli, anying!" Lalu, sambil mempertimbangkan pertanyaan yang telah Arsen berikan, Nando tampak mulai berkeringat. "Jawabannya ... hm ... Maria Ozawa."
Head. Lagi.
Nando semakin berkeringat. "Harus banget di-spill, nih, pertanyaannya?"
Arsen mengangguk-angguk. "Pertanyaannya adalah─"
"STOP! STOP!" Itu Kian, yang selama ini memilih lebih banyak diam, tetapi demi mendengar pertanyaan yang nyaris meluncur begitu mudah dari mulut laknat Arsen, dia segera menutup kedua telinga Laudy yang duduk di sisinya. "Udah! Gue enggak perlu tahu pikiran kotor lo!"
Arsen dan Nando saling pandang, lalu bertukar tawa dan high five. Ternyata, mereka memiliki idola legendaris yang sama.
Berikutnya, seperti urutan duduk mereka, Arsen di sebelah Nando dan Nando di sebelah Laudy, maka Laudy mendapat giliran selanjutnya. Dia duduk tegak, mendengarkan dengan hati-hati ketika Nando membisikkan pertanyaan.
"Jawaban gue ... Kian."
Orang yang disebut segera menoleh, menatap Laudy. Wajah gadis itu sebagiannya ditutupi gumpalan rambut keriting.
"Alasannya, Dy." Nando menggeleng. "Lo lupa ngasih alasan."
"Alasannya ... dia ... baik?"
Karena dia mengungkapkan rasa bersalahnya dengan boneka lumba-lumba itu.
Karena dia tidak pulang lebih dulu, memilih menunggu.
Karena Kian selalu berjalan di belakangnya, memastikan dia tidak kenapa-kenapa.
Koin kembali melayang di udara dan jatuh di atas telapak tangan Arsen. Kali ini tail.
"Jadi, ini tetap jadi rahasia, ya?" Kian bertanya, alisnya mengerut penasaran.
Nando tergelak. "Yup, tetap rahasia. Mampus kalian mati penasaran!"
Kian mengedik dan kembali menoleh, kepada Laudy. Sekarang gilirannya.
Laudy membalas tatapannya. Laudy bukan cewek paling cantik yang pernah Kian lihat, tapi dia selalu menyukai cara cewek itu menyelipkan rambutnya yang megar ke belakang telinga, memperlihatkan wajahnya. Seperti sekarang.
Cewek itu membisikkan pertanyaan dan, seketika, Kian merasa dia dapat mendengar tabuhan jantungnya sendiri di telinga. Dia mendadak gugup. Bahkan, Arsen dan Nando dapat membaca hal tersebut.
Jeda. Sedetik. Dua. Arsen menunggu. Nando menunggu.
"Laudy," jawab Kian, pada akhirnya.
Namun, koin yang kemudian muncul merupakan garuda. Tail. Dan, semuanya ... bertahan menjadi rahasia mereka.[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top