Bab 8: Pesta - Malapetaka



"Gue orangnya baperan.

Dipanggil 'Say' aja udah seneng,

padahal belakangnya 'thon'"

Nando





"Makan delima sambil nyebat. Lama baaat!"

Nando bolak-balik gelisah di depan kosan Echa setelah tadi diusir dengan tidak hormat oleh kaum hyena di sana. Iya, bagi Nando, cewek itu seperti hyena. Sendirian tidak berbahaya, rombongan, wah, jangan harap selamat, buasnya tidak kira-kira.

Dia mencoba mengintip melalui celah pada tirai jendela, tetapi harus terjengkang kembali ke tempat setelah mendapat pelototan Mimi, teman sekamar Echa yang galaknya naudzubillah.

"Tuh mata apa sangkakala terakhir, anjer? Amit-amit ngelihat dia lagi," Nando mendudukkan diri kembali di kursi rotan depan kos sambil mengetuk-ngetukkan buku jarinya di meja dan kening bergantian. Di sampingnya, terpisah satu meja kecil yang sama, duduk Kian. "Mereka lagi dandan apa lagi ngepet, sih? Kalau gini caranya, sampai di sana kita bisa dikira orangtua siswa, auto keriput nunggu mereka!"

Kian menamparnya sebagai jawaban, tepat di pipi.

Nando meringis. "Gimana?"

"Tewas." Kian mengangguk, lalu memperlihatkan di telapak tangannya bangkai si nyamuk yang tadi dia tepuk dari pipi Nando.

Nando, merasa sebagai korban, mengambil si nyamuk dan meletakkannya di atas meja, bersanding dengan deretan 'jenazah' nyamuk lainnya. Inilah masalah sebenarnya. Tidak apa duduk di luar seandainya nyamuk-nyamuk tidak sedang berpesta mendahului mereka. Jika terus seperti ini, dua jam lagi kira-kira, dia dan Kian bisa ditemukan tinggal mayat, pucat kehabisan darah.

Sejak dua jam lalu, mereka sudah berdandan rapi. Pakaian disetrika, rambut klimis berbau gel, serta dagu mulus seperti iklan papa dan bayi yang papanya dikerubuti ibu-ibu muda, meski sekarang faktanya mereka dikerubuti nyamuk dan bukannya wanita, dua spesies yang jelas-jelas berbeda.

Nando malam ini mengenakan kaus putih yang dilapis jas single-breast berwarna hitam dengan garis biru pada kerahnya, hasil mengumpulkan voucer belanja online. Sementara Kian dengan kemeja hitam polos yang dilapis jas semi kasual berwarna senada hasil meminjam dari abangnya, Kendra. Untungnya, potongan badan mereka mirip. Sialnya, Kendra tidak pernah mau memberikan apa-apa secara gratis.

Mereka sudah siap lahir batin untuk pergi. Namun, menunggu cewek dandan di salon menyita banyak kesabaran, ternyata. Meskipun salonnya salon dadakan.

Tadi pagi, ketika mereka nongkrong bersama, Kian dan Laudy membahas rencana mereka, haruskah pergi ke salon dengan uang pas-pasan demi menghadiri pesta ulang tahun Ratu yang pasti akan meriah, mengingat orangtuanya itu pengusaha real estate. Mereka tidak mungkin datang-datang seperti gembel meski kenyataannya begitu, bisa diusir tanpa sempat membungkus makanan apa pun.

Namun, solusi itu didapat dengan begitu mudah dalam wujud Echa. Echa, yang terkenal karena pipi meronanya, bulu mata lentiknya, dan lensa mata yang kebiru-biruan itu, segera menawarkan jasa make-up gratis. "Sekalian belajar dandanin orang," ujarnya.

Jadilah mereka di sini sekarang, saling tampar demi bertahan hidup.

"Udah belum?" Nando meneriaki cewek-cewek itu lagi. "Gue udah mau brojol, nih!"

Tidak ada sahutan.

"Woi! Gue pembukaan lima!!!"

Hening.

"Kepalanya dah nongol, nih!"

Brak! Pintu dibuka dengan kekuatan ekstra yang tidak perlu. Wajah galak Mimi hadir di sana. Cewek itu berkacak pinggang. "SABAR, BAMBANG! TAHU SABAR, ENGGAK?! PERNAH BIJI MATA LO DICOLOK PAKAI TUSUK SATE?!"

Nando langsung menciut. Dia dan Kian berebutan menyembunyikan diri di balik badan masing-masing.

"Heran gue, mau-maunya si Echa sama model ember bocor kayak lo." Mimi meniup-niup poninya ke atas dengan gaya angkuh, tangannya bersedekap sekarang.

"Apaan, sih, Mi? Berisik, deh."

Itu Echa, yang kedatangannya seakan membawa angin surgawi bagi Nando, dengan senyumnya yang teduh dan berlesung pipi. Echa mengenakan gaun selutut berwarna pink pucat, dengan rambut yang dijalin, kemudian digelung ke belakang, dengan hiasan kupu-kupu di atasnya.

"Ya Allah, jangan cantik-cantik napa, Beb? Jadi pengin bungkus, terus bawa ke KUA."

"KUA! KUA! Skripsi baru bab niat doang mau ngajak anak orang ke KUA!" semprot Mimi.

Sementara Nando bersungut-sungut, Echa hanya terkekeh. "Udah selesai, nih," dia mengumumkan. Tatapannya mengarah kepada Kian. "Siapin jantung!"

Echa tidak perlu menjelaskan panjang lebar. Karena semua orang tahu siapa yang sedang ditunggu. Cewek itu muncul dari balik punggung Echa tidak lama kemudian, dengan wajah sedikit tertunduk dan bibir yang digigit tidak yakin.

Kian pernah melihat Laudy yang burik, ketika dia baru bangun tidur dengan sisa iler di ujung bibir. Dia pernah melihat Laudy dengan rambut singa dan membiarkan bungkus permen menyangkut di rambut. Dia pernah melihat Laudy dengan make-up starter pack ondel-ondel di acara kelulusan, sehabis dari salon langganan mamanya. Namun, dia tidak pernah melihat cewek itu secantik sekarang.

Laudy mengenakan terusan selutut lengan panjang berwarna putih. Rambutnya yang terbiasa menyebar ke mana-mana, dijalin di bagian belakang sementara sebagian besarnya dibiarkan jatuh membentuk ikal-ikal di punggung. Riasannya tampak natural, dengan sedikit sentuhan merah di pipi, glitter di bawah kelopak mata, dan warna merah ceri pada bibir tipisnya.

Dan, Kian kesulitan mengalihkan tatap.

Dia ditarik kembali ke dunia nyata ketika Nando secara kurang ajar mengusap-usap mulutnya dengan selembar tisu.

"Pft! Apaan, dah?" Kian meludah-ludah, sebagian tisu masuk ke mulutnya.

"Lo ngelihatinnya enggak usah pakai iler juga kali," balas Nando sambil tersenyum-senyum jail. Alisnya digoyangkan, mirip maniak.

"Siapa yang gitu?!"

Nando bersiul. "Uh-uh. Ngomong, tuh, sama rumput yang bergoyang."

Kian tidak menggubris. Dia berjalan mendekati undakan batu tempat Laudy berdiri, lalu menawarkan tangannya. "Ayo?"

Tanpa protes, Laudy mengangguk dan meraihnya. Tak satu pun dari keduanya menyadari tatapan yang tiga makhluk lain itu pancarkan melihat tangan mereka yang bertaut sementara Kian membimbing Laudy yang kesulitan menyeimbangkan diri di atas sepatu berhak tinggi pinjaman Echa.

"Icikiwiiir. Satu kayak mau ke permakaman, satu ala-ala bidadari," Nando yang berjalan di belakang mengomentari Kian dengan setelan hitam-hitamnya dan Laudy yang begitu bercahaya dengan baju putih serta rambut yang dicat warna terang.

"Bacot lo! Gue tinggal ntar!"

Di depan kos, agak ke sebelah kiri, tepat di bawah pohon mangga, sebuah Chevrolet Trax hitam terparkir, menggantikan pemandangan skuter matik putih yang seharusnya ada di sana.

"Mobil?" Laudy cengo. Dia familiar dengan mobil itu. Mobilnya Kendra. "Abang lo ngebolehin?"

"Yup." Kemudian. seperti membaca kerut pertanyaan tak terjawab di kening Laudy, dia meneruskan, "Tapi gue mesti ngebabu semingguan."

***

Kunci Chevrolet Trax itu dia serahkan kepada petugas valet di depan salah satu convention hall terbesar di Jakarta Selatan, yang umumnya disewa sebagai wedding venue. Sambil menunggu Nando yang sok-sok gentleman ingin membukakan pintu untuk Echa tetapi justru tidak berhasil melakukannya dalam satu kali percobaan, Laudy memperhatikan dekorasi yang melebar hingga ke luar hall. Untuk ukuran ulang tahun ke-21, pesta ini tergolong mewah.

Jika eksterior saja sudah wah, maka interiornya benar-benar membuat Laudy speechless. Ruangan luas itu didominasi warna krem dan peach, dari bunga, tirai, hingga balon berpita menjuntai yang seolah bebas berkeliaran menyundul langit-langit. Namun, yang paling membuat Laudy terkagum-kagum adalah ... variasi makannya. Dia meneguk ludah dan memalingkan wajah. Tidak boleh datang-datang langsung menyerbu ke sana. Jiwa gembelnya yang tidak pernah melihat makanan enak sebanyak itu, jiwa yang sekarang meronta-ronta karenanya, perlu diikat erat-erat.

Nando sudah lebih dulu menemukan zona nyamannya ketika melihat anak-anak BEM berkumpul di satu sudut, lalu membawa Echa ke sana tanpa menggubris orang yang mobilnya dia tumpangi.

Tertinggallah Kian dan Laudy di tengah-tengah ramainya pesta. Dari sekian banyak tamu yang datang, yang kesemuanya seolah ingin pamer busana serta dandanan, hanya ada beberapa orang yang mereka kenal, lebih sedikit lagi yang mengenali mereka balik. Ratu punya banyak teman. Bahkan, beberapa di antaranya adalah artis dan anak pejabat.

"Laudy!"

Ratu melambai dari kejauhan. Meski dengan high heels yang tingginya tidak main-main, Ratu tampak gesit saat setengah berlari menghampiri, dengan mengangkat gaun panjangnya, tentu. Begitu sampai, dia langsung memeluk Laudy, menempelkan pipi kanan dan kiri seolah mereka teman akrab. "Cantik banget, deh."

Entah pujian itu sungguhan atau sekadar basa-basi, Laudy tidak dapat memastikan. Karena ... lihat saja Ratu sendiri. Dia mengenakan gaun biru malam yang bergradasi menjadi biru langit ke bagian dada, lalu disambut feathers halus. Sementara, di ujung bawah, manik-manik putih gemerlapan seperti hamburan bintang-bintang.

"Cantikan elo, ah."

Ratu hanya tertawa kecil. "Bisa aja. Udah makan, belum?"

Perhatiannya beralih kepada Kian. Hampir saja cowok itu menjelma menjadi patung pajangan saking tidak dianggapnya. "Sori, kemarin enggak sempet kenalan. Ratu." Ratu mengulurkan tangan.

"Kian."

"Kalian makan dulu, gih. Haus, enggak? Mau gue ambilin minum?"

"Enggak! Enggak!" Laudy buru-buru menghentikan cewek itu yang nyaris berbalik ke meja tempat minuman. "Apaan, sih? Enggak usah repot-repot. Kita bisa ambil sendiri, kok."

"Oh, ya udah. Jangan sungkan-sungkan, ya. Cicipin semuanya."

Itu, sih, enggak perlu disuruh.

Namun, Laudy tidak mengatakan apa-apa. Hanya tersenyum dari telinga satu ke telinga lain. Niatnya untuk sesegera mungkin mengakhiri obrolan dengan Ratu agar dia bisa mulai mengisi perut menguap ketika dari belakang terdengar langkah sepatu mendekat. Dan, sebelum Laudy dapat berbuat apa-apa, suara familier itu terdengar.

"Ra, maaf aku telat."

Laudy tertegun. Karena suara di belakangnya. Karena pemilknya. Kakinya mendadak mati rasa dan, jika dia bisa berdoa, semua yang dia inginkan sekarang hanyalah agar lantai di bawah kaki menelannya saja. Dia harus kabur, secepatnya. Dan, dia harus memutar otak agar dapat melakukannya.

Terlambat. Saat Laudy mulai dapat menemukan kembali kekuatan pada kakinya untuk berlari menjauh, cowok di belakang sana itu sudah menelengkan kepala ke arahnya. Lalu, menjadi sama tertegunnya.

"Laudy?"

Kepala Laudy berputar. Mau tidak mau menatap langsung ke mata Abim, kepada sosoknya yang malam ini tampak gagah dalam balutan jas semi kasual berwarna cokelat tua. Kepada senyum tipis di bibirnya yang dia rindukan.

Mau tidak mau, otaknya berproses, memutar kembali kejadian itu.[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top