Bab 7: Two Is Better than One
"Seberat apa pun masalah,
tidak akan terasa berat jika bukan masalah kita."
—Kian
Laudy menatap undangan merah jambu dengan tulisan berukir warna perak di tangannya, lalu membuang napas kencang-kencang.
Mendadak, makalah presentasi Metode Etnografi yang tengah dia garap tidak lagi menarik. Well, sejak awal memang sudah tidak menarik minatnya, tetapi tetap saja. Mood-nya benar-benar turun ketika pikirannya membawa kembali ingatan tentang dua orang itu.
Kiara Ratulistina. Sesama anak FISIP sepertinya. Bedanya, jika Laudy memilih mendalami budaya dan adat istiadat dengan mengambil Antropologi, Ratu adalah salah satu mahasiswi populer dari jurusan bergengsi Hubungan Internasional. Mereka tidak saling bersinggungan, harusnya. Garis mereka dipertemukan oleh Abim.
Abim ..., dari mana semua ini berawal.
Laudy ingat perkenalan awalnya dengan cowok yang menjadi penerima kado dan surat cinta terbanyak di penghujung OSPEK itu.
Waktu itu masih semester satu. Laudy belum memiliki teman, satu pun. Sementara sahabat-sahabatnya dari SMA, Kian dan Nando, sedang ada kelas, sedangkan Arsen sama sekali tidak dapat diharapkan. Jadilah Laudy, yang kelaparan karena belum sempat sarapan lantaran mengejar kuliah pagi, makan di kantin sehabis menyelesaikan mata kuliah Pengantar Sosiologi. Bukan untuk pertama kalinya dia ke sana, Nando setidaknya telah mengajaknya dua kali. Namun, itu menjadi kali pertama dia makan sendirian.
Dan, pertama kalinya juga, sepanjang masa kuliah, dia lupa membawa dompet! Laudy kelimpungan. Setelah tadi dengan pedenya memesan mi ayam dengan ekstra telur dan bakso serta es teh, sekarang darah sendiri pun tunggang-langgang meninggalkan wajahnya ketika dia tidak menemukan uang sepeser pun di dalam tas.
Haruskah dia menggadaikan ponsel?
Laudy menatap seisi kantin. Percuma. Dia tidak mengenal siapa pun, tidak bisa meminta tolong kepada siapa pun. Pilihan satu-satunya hanya menjelaskan kepada mamang penjual mi ayam dan memasang mental baja kalau-kalau dimarahi. Dia tahu dirinya tidak akan menjadi orang pertama yang berutang di kantin, tetapi tetap saja, kalau-kalau kepalanya putus, siapa yang akan tanggung jawab?
Ketika dia sudah memasang wajah memelas dan menyiapkan pidato dalam hati, seseorang dari belakang menyerobot, menyodorkan uang lima puluh ribuan kepada si mamang penjual.
"Berdua sama dia."
Setelah tertegun, Laudy mendongak, menyadari itu adalah cowok yang sama dengan yang tadi makan di meja sebelahnya. Mau tidak mau, dia menatap profil samping cowok itu. Sempurna. Hidung mancung, garis rahang yang tegas, mata yang agak sipit tetapi tajam. Ketika cowok itu menangkap tatapannya dan menatap balik disertai senyuman, Laudy merasa seakan terjebak.
"Tadi itu ... hmm, nanti saya ganti, Kak." Dia tergagap. Berbicara dengan orang asing bukan keahliannya. Terutama, jika orang asing itu adalah senior tampan yang menjadi incaran cewek-cewek di kampus.
Ya, Laudy mengenalnya. Siapa yang tidak? Ketua BEM sekaligus vokalis dari band kampus yang mengisi acara pada penutupan OSPEK kemarin. Cowok berwajah dingin yang ternyata ramah, cowok yang menolongnya ketika terjatuh dengan memalukan. Sayangnya, hal ini tidak berlaku dua arah. Cowok itu tidak mengenalnya, setidaknya sampai tragedi ini terjadi.
"Eggak perlu. Mie ayam doang."
"Enggak! Beneran! Saya ganti!"
Ketika dia melihat wajah cowok itu yang tampak menimbang-nimbang, Laudy menambahkan, "Please?"
"Ya udah, mana hape kamu?" Dia mengulurkan tangan, masih dengan senyumnya yang seakan menyugesti Laudy untuk manut-manut saja, termasuk menyerahkan ponselnya. Ketika cowok itu mengembalikannya, ada kontak baru di sana. "Itu nomor saya. Nanti hubungi, ya."
Itulah awalnya. Bagaimana mereka mulai bertukar pesan, lalu bertemu lagi dan lagi. Laudy ingat, semasa SMP dia pernah menyukai guru fisika yang masih muda dan tampan, dengan cambang serta kumis tipis. Namun, perasaan itu menguap dalam seminggu. Pernah juga, ketika SMA, seorang anak dari IPS 1 menyatakan cinta. Laudy tiba-tiba terus memikirkannya sampai Nando dan Arsen meneror anak itu dan seminggu kemudian dia sudah punya gandengan baru, adik kelas. Perasaan Laudy pun luntur secepat datangnya. Namun, kali ini ... berbeda. Dari hari pertama, hingga tiga tahun setelahnya, perasaaan itu tetap, tidak berubah, hanya semakin membuncah.
Oleh rindu. Oleh sakit. Oleh dendam.
Karena Ratu adalah tembok tinggi yang membatasinya dengan Abim.
Laudy meremas undangan di tangannya, lalu berguling di atas tempat tidur, membiarkan kepalanya jatuh di sisi ranjang dengan rambut yang menghambur ke bawah layaknya poster-poster film horor. Ditatapnya langit-langit kusam berhias rangkaian glow-in-the-dark-stars hasil meminta tolong kepada Kian.
Benarkah dia harus datang dan bertemu Abim lagi? Dia tahu ini tujuannya, mengencani Kian agar bisa menunjukkan kepada Abim bahwa dia bukannya tidak bisa hidup tanpa cowok itu. Agar Abim menyesal.
Namun, sekarang, Laudy tidak yakin siapa yang akan menyesal nantinya.
Dia memejamkan mata. Lalu, saat membukanya, dia merasa ... membutuhkan Kian.
***
Kian membuka notebook 11,6 inci miliknya. Sudah 2 x 24 jam dia tidak memeriksa akun menulis online miliknya, dan begitu melakukannya, dia harus kewalahan menghadapi notifikasi yang membanjir. Dia tidak memeriksa seluruh komentar yang masuk—tidak mungkin juga, mengingat jumlahnya ribuan, dan hanya membaca sekilas seluruh pesan masuk, yang rata-rata isinya sama. Percaya tidak, bahwa nyaris 40%-nya menanyakan apakah dia berniat membuat fiksi romantis?
Dia melihat profilnya yang menyatakan hiatus. Novel terakhir yang dia tamatkan sedang dalam proses penerbitan dan satu yang masih berjalan terpaksa diberi status on hold. Dia sekarang meluangkan waktu untuk dua alasan: karena sesekali otaknya perlu diistirahatkan dari pemikiran mengenai berbagai cara membunuh yang tidak mudah terungkap dan, yang kedua ..., yeah, demi riset. Satu bentuk totalitas yang selalu dia pegang.
Maka, dengan segera, cowok itu membuka halaman baru di Microsoft Word. Mendadak pikirannya kosong. Dia tidak tahu akan membuat cerita tentang apa, berjudul apa, konfliknya apa, bahkan tokohnya.
Keraguan itu muncul. Mungkin masih terlalu awal untuk menyimpulkan. Dia masih memiliki setidaknya sembilan belas hari lagi. Untuk tahu apakah benar dia bisa menuliskan kisah cinta atau harus mengakui bahwa tidak ada bakat romantis dalam dirinya.
Kian memejamkan mata. Untuk sekarang, tidak ada salahnya menuliskan apa yang dia rasakan.
Dia melihat Laudy kembali di kepalanya. Melihat cewek itu yang tersenyum cerah hanya karena melihat gantungan kunci Doraemon yang belum dia punya. Yang memejamkan mata kuat-kuat sambil meremas lengan baju Kian saat takut, tetapi menolak untuk meminjam bahu. Yang perlu diberi sandaran saat merasa dirinya bukan apa-apa, bukan siapa-siapa.
Dia ingat rasanya, bagaimana tangan kecil dan lembut itu berada dalam genggamannya.
Dan, Kian mulai menuliskannya perlahan, hal-hal sederhana yang dia rasakan. Lalu, gerakannya semakin cepat lantaran ide yang mengalir deras. Ceritanya tidak berjudul, tidak berplot, tidak berkarakter. Namun, untuk saat ini, Kian merasa amat puas. Senyumnya mengembang kekanakan. Dia menyimpan dokumen itu dengan nama ... Laudy.
Dia memejamkan mata lagi setelah berpacu dengan waktu. Ketika dia membukanya, dia merasa ... ingin menemui Laudy.
***
Sudah larut, sehingga Kian hanya bersandar pada tembok tipis yang memisahkan kamar mereka, lalu mengetuk tiga kali. Jika cewek itu tidak menjawab, dan kemungkinan besarnya begitu, Laudy pasti sudah tidur.
Namun, yang dia dapati adalah ketukan balik.
"Belum tidur?" Kian bertanya, sedikit serak karena sudah sekian jam sejak terakhir kali dia mengeluarkan suara.
"Mmm. Lo sendiri, kenapa belum tidur?"
"Enggak bisa aja."
"Sama."
Keduanya membiarkan keheningan mengisi. Keheningan, jika saja deru kipas angin, suara TV di lantai bawah, obrolan telepon kamar sebelah, serta deru beberapa kendaraan di luar yang terkadang lewat bisa dijadikan pengecualian.
Kian melihat gitar yang tersampir di samping lemari. Hanya dimainkan ketika dia butuh inspirasi untuk tulisannya. Dia meraihnya untuk kemudian dia letakkan di atas pangkuan dan kembali bersandar pada tembok.
Di ujung lainnya, Laudy melakukan hal serupa.
"Mau gue nyanyiin, enggak?" Kian menawarkan. Tangannya memetik senar sesekali, mengetes nada.
"Enggak! Suara lo jelek."
Kian berdecak. Dia dapat membayangkan Laudy yang mengatakan itu sambil merengut dan memainkan rambut kriwilnya. "Kalau gue ikut Indonesian Idol, nih, baru mangap dikit langsung di-yes-in Mas Anang, Dy."
"Indonesian Idol biji mata lo lima! Baru mau daftar udah diusir satpam lo! Muka-muka pemulung gitu."
Kian hanya tertawa, mood-nya terlalu bagus untuk merasa tersinggung. "Ada request, enggak, nih?"
Gumaman pelan di ujung sana menandakan bahwa Laudy sedang berpikir. Lalu, seperti dapat membaca pikiran cewek itu, mereka menjawab bersamaan. "Lagu kebangsaan."
Gitar dipetik. Lalu, melewati intro, suara Kian yang berat mulai mengisi.
"I remember what you wore on our first date. You came into my life and I thought hey, you know this could be something."
"'Cause everything you do and words you say," Laudy melengkapi. "You know that it all takes my breath away. And now I'm left with nothing."
Ada beberapa kode rahasia yang hanya mereka berdua yang tahu, yang bahkan Nando dan Arsen sama tidak pahamnya. Seperti lagu kebangsaan mereka ini, lagu yang akan mereka mainkan berdua saat salah satu atau keduanya sedang dalam kesulitan, atau merasa kesepian.
Kian, dengan permainan gitarnya yang apik, dan Laudy, dengan suaranya yang merdu—bakat yang sebenarnya cewek itu sembunyikan.
"So maybe it's true, that I can't live without you. Well, maybe two is better than one. There's so much time, to figure out the rest of my life. And you've already got me coming undone. And I'm thinking two, is better than one ...."
Two Is Better than One, lagu lama hasil kolaborasi Taylor Swift dan Boys Like Girls. Laudy ingat Kian pertama kali memperkenalkannya kepada lagu ini pada awal masuk SMA, ketika dia merasa tidak memiliki satu pun teman. Kian, yang nyaris sama pendiamnya dengan Laudy, menghampiri cewek itu pada jam istirahat, ketika semua orang telah berhamburan ke kantin. Lalu, tanpa mengatakan apa-apa, menempelkan earphone-nya di telinga Laudy.
Dan, kejadian itu berulang. Setiap harinya. Lagu yang sama. Seolah Kian ingin menyampaikan bahwa ... dua orang yang kesepian, lebih baik daripada sendirian.
Lagu habis, dan berlanjut.
"Let's kill this love! Rum pum pum pum pum pum!" Kian menggenjreng gitar, Laudy bernyanyi di depan guling, menggoyang-goyangkan kepala.
"Bergadang jangan bergadang~"
"Asek! Tanah Abang digoyang!!!"
Mereka berhenti hanya ketika terdengar gedoran keras di pintu disertai teriakan, "KIAN! LAUDY! TIDUR!"[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top