Bab 24: Bintang-Bintang

"Tahu fungsi bintang di dunia?

Biar seburik apa pun lo,

kalau lo kedipin, pasti dia bakal kedip balik."

Kian



Hatchi!

Laudy terantuk ke depan dan, sesaat, Kian dapat merasakan bukan hanya air hujan yang mengenai wajahnya saat cewek itu bersin. Seperti petir yang tiba-tiba menyambar di tengah-tengah gerimis yang menenangkan, momen romantis mereka buyar sudah. Berganti horor.

Tidak menemukan sapu tangan atau apa pun, Laudy terburu menyusut ingusnya dengan tangan, kemudian membuangnya ke tengah hujan. Dia lalu menyapukan tangannya ke baju sendiri sementara Kian hanya mampu menatap, bertanya-tanya apa yang tadi dia pikirkan? Tentang si boncel jorok ini. Lebih tepatnya, apa yang barusan nyaris dia lakukan?

Sambil berdecak protes, Kian merogoh ceruk di bagian depan motor, mengeluarkan sehelai sapu tangan tipis yang biasanya dia gunakan untuk menutup hidung jika lupa membawa masker dan Jakarta Selatan sedang dipenuhi debu dan asap knalpot. Dia menarik Laudy, mengusap hidung cewek itu, lalu mengusap tangannya, membersihkannya dengan lembut.

Sementara, si pemilik tangan hanya menatapnya seraya menyengir. "Pulang cepetan, yuk! Udah dingin banget ini."

Dengan kaku, Kian mengangguk sebelum kembali ke posisi menyetirnya semula. Yasalam, beginikah akhir ceritanya? Bukannya terjadi adegan manis di bawah hujan seperti yang dia bayangkan, malah diakhiri dengan ... bersin. Dunia nyata memang tidak bisa seromantis film-film, ya?

Namun, ketika dia kembali merasakan cengkeraman Laudy di pinggang bajunya dan beban kepala Laudy di pundaknya, dunia menjadi tidak seburuk itu. Malah, ini lebih baik.

Romantis tidak membutuhkan ciuman atau pelukan, atau kata-kata cinta yang seolah bisa mengguncang dunia. Cukup seperti ini. Interaksi kecil semacam ini. Seperti nyala lilin yang hangat pada petang yang dingin berhujan.

***

Usai mandi dengan air hangat—yang tentu saja direbus lebih dulu; kos mereka jelas tidak punya opsi shower—Kian, dengan handuk kecil masih di kepala dan baju yang sedikit basah di bagian pundak, berjalan ke kamar Laudy dengan dua cup mi instan di tangan.

"Nyu!" panggilnya dengan suara dikeraskan.

Tidak ada jawaban, meski Kian yakin cewek itu di dalam.

"Assalamualaikum!"

Masih tidak ada jawaban.

"Yang enggak jawab, korengan!"

Terdengar protes dari jarak cukup jauh, disusul derap langkah yang diseret malas. Lalu, Laudy membuka pintu, rambut keritingnya masih basah, bahkan tidak lagi terlihat keriting. Dia meletakkan handuk di pundak dan mendongak menatap Kian.

"Apa? Gue baru beres pake baju, nih."

Kian hanya menanggapi dengan menyodorkan salah satu cup mi instan. "Belum makan, 'kan?"

Malam sudah jatuh. Beberapa hal berubah saat mereka sibuk membersihkan diri. Bagian sialannya adalah, hujan reda segera setelah mereka sampai kos. Sisi baiknya, ia menyisakan langit yang cerah yang menunjukkan kelap-kelip bintang yang bergelantungan di langit.

Laudy dan Kian duduk di tempat biasanya anak kos menjemur pakaian, tempat yang sama dengan lokasi makan malam yang tidak pernah Laudy ketahui itu. Handuk mereka dijemur di sisi pagar kayu pendek dan kaki mereka terjuntai melewati pagar, sementara para empunnya menyantap mi yang masih panas, membawa hangat ke tenggorokan.

Tidak ada lilin malam ini, hanya lampu teras yang redup. Tidak ada bunga. Tidak ada makan malam istimewa. Tidak ada persiapan. Namun, tiba-tiba saja, menjadi satu dari daftar yang belum mereka selesaikan.

"Tiang?"

Kian menyeruput kuah minya, membiarkan gerahamnya mengunyah selama beberapa saat sebelum menggumamkan balasan, "Mmm?"

"Inget, enggak? Ini hari terakhir tiga minggu kita?"

Kunyahan Kian terhenti begitu saja. Susah payah, dia berusaha menelan apa yang ada di mulutnya, lalu menaruh cup mie ke samping, memudahkannya untuk memutar tubuh sedikit menghadap Laudy.

"Ya .... Besok, semuanya balik normal lagi." Meskipun gue enggak ingin. Gue sama sekali enggak ingin.

Kian tidak menyuarakannya.

"Kalau gitu," Laudy menanggapi, "kita harus buat malam ini jadi yang paling berkesan. Kita udah nyelesain semua daftar, kayaknya. Termasuk berantem dan makan malam," ujarnya, mengangkat cup yang isinya sudah hampir habis, hanya menyisakan kuah.

"Dan, bintang-bintang," tambah Kian.

Laudy menatap ke langit dan menganggukkan persetujuannya. "Dan, bintang-bintang."

"Jadi, apa lagi yang harus gue tahu, tentang rasanya ... punya seseorang, yang membalas perasaan gue sama besarnya?"

Laudy menyimpan cup-nya di samping, membebaskan kedua tangan yang kemudian dia gunakan untuk menggapai tangan Kian, menggenggamnya sementara kepalanya bersandar di pundak cowok itu.

"Apa lagi yang lo pengin?"

Apa yang Kian inginkan? Seandainya dia dapat menyuarakannya dengan bebas, ada banyak hal berkeliaran di otaknya. Hal-hal yang biasanya hanya dipahami para cowok. Ia ingin menjaga Laudy dalam jarak dekat, ingin mengubur ujung hidungnya pada keriting rambut cewek itu, ingin merengkuhnya tanpa berniat melepaskan, ingin merasakan keningnya, kelopak matanya, hidungnya, pipinya, bibirnya ..., tetapi rasa-rasanya bukan itu. Bukan itu hal yang paling dia inginkan.

"Gue cuma berharap ... besok enggak pernah datang. Dan, kita terkunci dalam hari ini selamanya. Dalam tiga minggu selamanya," ujarnya pelan. Begitu pelan, sampai dia sendiri tidak yakin Laudy bisa mendengar.

Dan, mungkin memang benar Laudy tidak mendengar. Kalau pun iya, tidak ada balasan dari cewek itu. Beberapa menit mereka habiskan dalam diam, di bawah kerlip bintang yang semakin cerah, di bawah naung waktu yang terus merangkak menjauh ... mendekati akhir tiga minggu.

"Tiang?"

"Mmm?"

"Kemarin ... kenapa marah?"

Dalam kepalanya, Kian tahu Laudy pasti akan bertanya. Pertanyaan yang sama yang dia tanyakan kepada diri sendiri beberapa hari belakangan. Yang baru saja dia temukan jawabannya.

Di tengah diamnya, Kian mendongak, menatap hamparan gelap kebiruan tak berbatas di atas kepalanya. Berdamai dengan dirinya sendiri, dengan hatinya, soal perasaan bukanlah hal mudah. Mengakuinya terang-terangan adalah perkara berbeda.

Perasaannya ... seperti bintang Polaris. Ada. Terang. Namun, hanya bisa dilihat dengan jelas dari Kutub Utara. Laudy tidak akan tahu. Laudy tidak akan paham.

Jadi, Kian memilih bungkam. Dia menolehkan wajahnya ke arah Laudy, meneliti sorot lampu jalan yang menerpa wajah cewek itu dan berusaha untuk tidak terpesona.

"Truth or dare," gumamnya. "Lo bisa nanyain itu kalau gue milih truth."

"Kita main?"

Kian mengedik, ssenyumnya mulai mengembang. "Kenapa enggak?"

Kemudian, tangan kirinya yang bebas berada di udara, setinggi perut, sementara yang kanan masih setia menggenggam Laudy. "Gajah, orang, semut!" seru mereka berbarengan. Setelah tiga kali suit, Laudy berteriak senang.

"Gue menang! Lo duluan! Truth or dare?"

"Dare."

Laudy merengut. "Oke. Gue tantang lo ... teriakin tiga kejelekan ibu kos!"

Kian membeliakkan mata sementara Laudy menyengir dengan kepala digoyang-goyangkan. Mampus Kian, bisa-bisa menggembel setelah ini. Dalam ekspektasi Laudy, Kian akan menyerah dan mengganti pilihannya dengan truth atau kebenaran. Ternyata, dugaannya keliru.

"MPOK MER! DASTER MPOK SUKA SOBEK-SOBEK!" teriak Kian dengan tangan yang membentuk corong.

Kian menyatakannya dengan bebas. Laudy-lah yang mendadak panik.

"MPOK MER! GANJEN BANGET MPOK SUKA COLEK-COLEK SAYA!

"MPOK MER! SEMPAK SAYA BALIK—"

Buru-buru, Laudy membekap mulut Kian dengan kedua tangan. Jangan sampai mereka ditangkap basah Mpok Mer lalu diusir kayak anak tiri.

"Kian, lo gila?!"

"Santai, Dy. Mpok Mer tadi gue liat pergi dijemput Bang Yadi, yang jualan bubur di depan. Kencan, kali."

Mendengar tanggapan itu, Laudy menyikut Kian dnegan kesal. Gagal sudah rencanannya. Sekarang, justru giliran Kian bertanya.

"Truth or dare?"

"Dare." Laudy tidak mau kalah.

"Tantangan dari gue ...."

Dy, gue tantang lo buat nyium gue. Entah bagaimana, tantangan dari Arsen beberapa waktu lalu terngiang di kepala Kian. Semakin jelas. Semakin jelas. Dia nyaris mengucapkannya.

"Gue tantang lo buat ... buat ...."

Gue tantang lo buat nyium gue.

Gue tantang lo buat nyium gue.

Gue tantang lo buat nyium gue.

"Gue tantang lo buat nyium kaki."

Laudy mengerjap. "Kaki gue enggak bau, kok! Gampang itu."

Kenyataannya, memang dengan mudah dia melakukannya. Laudy menarik kakinya yang bergelantungan dari lantai dua sejak tadi, melepas sandal rumah Doraemon-nya, dan mencium kakinya yang telah dicuci satu jam lalu, masih beraroma sabun.

"Sekarang, giliran lo."

"Dare."

"Dare terus!" Sambil bersedekap dan mengorek otaknya selama beberapa menit, Laudy mencari ide lewat benda-benda gemerlapan di langit sana. "Yan, lihat, deh, bintang-bintang itu."

"Mmm, gue lihat," angguk Kian. "Lo tahu enggak kenapa bintang-bintang diciptakan?" dia balik bertanya.

Sesaat, Laudy mengerutkan alis. Ini bukan giliran Kian. Namun, berhubung telanjur penasaran, dia pun menebak. "Untuk membimbing nelayan mengenai arah?"

Kian menggelengkan kepala berikut jari telunjuknya. "Ya, itu salah satu kegunaannya, tapi bukan itu tujuan bintang diciptakan."

"Terus?"

Dengan wajah serius, Kian berdeham. "Fungsi bintang-bintang di dunia ... biar seburik apa pun lo, kalau lo kedipin, pasti mereka bakal kedip balik. Makanya, jangan pacaran sama manusia, pacaran aja sama bintang."

"Sesat lo!" Laudy nyaris menjambak Kian, untunglah dia berubah pikiran pada detik terakhir dan hanya mendaratkan cubitan maut di lengan, yang tak ayal membuat Kian meringis hebat.

"Gue serius ini. Dare gue ...," Laudy menatap cowok itu sungguh-sungguh, menunggu hingga Kian reda dari guyonan recehnya sebelum melanjutkan, "tunjuk sepuluh bintang di atas sana dan sebutin nama-namanya."

Kadang, Kian membaca buku-buku astronomi atau melakukan pencarian seputar benda langit di Internet untuk kepentingan novelnya. Namun, tetap saja dia bukan seorang astrophile. Dia mungkin tahu bahwa Sirius, Canopus, Rigel, dan Alpha Centauri A merupakan bintang-bintang paling terang dari rasi yang berbeda-beda, tetapi tidak mungkin dia bisa menunjuk yang mana Sirius, yang mana Rigel. Apalagi untuk mengabsen satu-satu sampai sepuluh bintang-bintang yang hadir malam ini.

Namun, dengan pedenya, dia menunjuk salah satu bintang dengan cahaya biru. "Itu Ngademin."

"Hah?"

Kian tidak menggubris. Telunjuknya berpindah ke bintang lain yang sama terangnya, agak menyendiri dengan warna merah. "Itu Paijo. Yang sampingnya, Mirnawati. Yang gede itu Jenab."

"Apaan, sih?!" Laudy memukul pundaknya. Namun, Kian tidak berhenti.

Cowok itu menunjuk lagi salah satu bintang biru yang paling terang. "Yang itu, namanya Anindya Laudy."

Leher Laudy berputar cepat, menoleh. Apa yang barusan cowok ini katakan? Apakah Kian tadi baru saja menamai bintang dengan namanya, 'kan?

Kian seolah tidak terpengaruh dengan keterkejutan Laudy. Matanya bahkan tidak berpindah dari bintang Laudy di atas sana.

"Yang di sampingnya itu," tunjuknya ke arah satu bintang yang sangat mepet dengan bintang Laudy, "gue."

Dengan itu, Kian kemudian menoleh, mempertemukan tatapannya dengan Laudy.

"Deket banget, ya? Seperti itu kita. Seperti itu ... harapannya."

***

Laudy terkekeh, sedetik setelah keterpanaannya. "Ini ... kenapa gue jadi yakin lo bisa nulis romance, Yan? Siapa pun itu, orang yang nanti bisa bikin seorang Kian Erlangga jatuh cinta, pasti tipe-tipe cewek yang kalau jalan aja bisa kesandung mutiara. Seberuntung itu."

Sedikit tawa lepas dari bibir tipis Laudy. Namun, Kian tidak. Ekspresinya seperti lautan dalam, tak terbaca, sementara tatapannya menahan Laudy untuk tetap berada di tempat, tidak diizinkan ke mana-mana.

"Bisa jadi enggak," jawabnya setelah jeda sesaat. "Bisa jadi, dia tipe cewek yang tersandung kaki sendiri karena kurang hati-hati. Bisa jadi, dia kuliah enggak mandi dan cuma pake parfum biar enggak ketahuan. Bisa jadi, dia tipe cewek yang kadang kalau pergi lupa sisiran. Dia istimewa, tapi dia enggak sadar itu."

"Dan, lo suka tipe cewek kayak gitu?" Laudy memelotot, menatap Kian tak percaya dengan alis mencuat. Ada, ya, cewek sebuluk itu selain dirinya? Laudy kira dia satu-satunya orang yang kalau ke kampus memakai parfum, artinya hari itu dia malas mandi.

"Lo sendiri yang bilang, jatuh cinta itu kayak jatuh dari sepeda, atau dari tangga," ujar Kian di sela kekehannya. Jemari panjangnya jatuh di pelipis Laudy, lalu dengan lembut memijat kening cewek itu agar berhenti berkerut. "Jatuh enggak mengenal tempat, enggak mengenal waktu. Kita jatuh, gitu aja. Dan, kadang, sekali jatuh," tangannya menjauh, berhenti di udara, samar menyentuh helai rambut Laudy, "kita bisa jatuh, sejatuh-jatuhnya."

Spasi kosong di udara lagi. Hening, kecuali deru kendaraan di jalanan kompleks dan denting sendok mamang nasi goreng. Laudy menatap cowok di hadapannya, mencoba membaca, meski dia tahu dirinya tidak pernah ahli dalam hal seperti ini.

"Kalau gue enggak kenal lo," ujarnya pelan; tangannya naik, menemukan jemari Kian, menggenggamnya, "gue pasti udah ngira lo lagi jatuh cinta."

Karena mungkin gue emang lagi jatuh, Dy. Jatuh sejatuh-jatuhnya. Dan, sekarang sedang bersiap untuk menghadapi rasa sakitnya.

Ada banyak yang ingin dia katakan, yang tertahan di ujung lidah, tersendat oleh kebingungan di otaknya. Apa ... apa yang sedang dia rasakan terhadap Laudy?

Bertahun-tahun pertemanan, selama ini semuanya biasa saja. Berada di dekat Laudy, dia tidak pernah berdebar. Namun, sekarang, kenapa dadanya serasa mau pecah oleh jantung yang nyaris meledak? Setiap kali dia memandangi wajah Laudy, dia tidak pernah merasa Laudy begitu cantik. Namun, sekarang, kenapa bulan saja tidak ada harganya jika dibandingkan dengan satu senyum cewek ini? Dan, matanya ..., matanya yang cokelat gelap, selama ini hanyalah sepasang cokelat gelap. Namun, sekarang ..., Kian tersesat di mata itu, tidak tahu jalan kembali.

Seperti inikah jatuh dari sepeda? Atau dari tangga? Karena ..., rasa-rasanya, ini lebih dahsyat dari itu.

"Truth or dare?" bisik Kian lagi, mencoba mengulur waktu, mencoba mengurai benang kusut di kepalanya.

"Dare."

"Okay .... I dare you to tell me, what am I? To you?"

"Kian, itu sama aja truth!"

"Itu dare, Dy. I dare you to."

Satu cubitan mendarat di lengan Kian. Cowok itu tidak beranjak ke mana-mana. Seolah kedua matanya tidak rela meninggalkan Laudy tanpa pengawasan. Membuat semu merah tercetak di antara bingkai keriting rambut Laudy, meski seberapa keras pun dia coba mengelak.

"Okay." Laudy mengibaskan tangan, lalu mengembalikan tatapannya ke langit, seolah jawabannya tertulis di sana. Dia merentangkan kelima jarinya ke atas, kemudian berbalik kepada Kian dengan mengacungkan jari kelingkingnya.

"Coba jentik ini, deh."

Alis Kian berkerut heran. "Kenapa?"

"Lakuin aja!"

Baiklah. Meski aneh, dan tiba-tiba, Kian melakukannya saja. Dia menyatukan ibu jari dan telunjuknya erat-erat, lalu menariknya lepas, mengenai kelingking kecil Laudy. Si empunnya mengaduh seketika, memegangi tangannya.

"Enggak apa-apa?" tanya Kian panik, meraih tangan Laudy dan meniupinya agar rasa sakit itu hilang.

"Apa-apa," jawab Laudy, sedikit meringis.

"Kalau sakit kenapa minta, sih?"

Laudy tersenyum sebagai jawaban, memiringkan kepalanya sedikit, kemudian meneruskan, "Karena bagi Anindya Laudy, Kian Erlangga itu kayak gini, kayak jari kelingking."

Gerakan Kian terhenti pada detik yang sama. Dia mendongak, mempertemukan lagi tatap keduanya. Ada pertanyaan yang tak tersampaikan lewat matanya.

"Ya, jari kelingking." Laudy mengangguk, menjawab pertanyaan yang tidak disuarakan itu. Dia mengacungkan kelingkingnya ke udara. "Gue pikir kecil, enggak berguna. Enggak bisa dipakai buat apa-apa kecuali ngorek kuping. Sesuatu yang ... enggak dibutuhkan."

Kian membuka mulut, bersiap protes ketika Laudy meletakkan kedua tangannya di atas tangan cowok itu, memintanya untuk bertahan mendengarkan.

"Ternyata salah. Kalau kelingking ini terluka, gue ... sakit."

Angin berembus pelan, meniup lembut keriting rambut Laudy yang telah mengering.

"Dan, gue lebih rela kehilangan semua koleksi Doraemon dan drama yang gue punya, asal gue enggak harus hidup tanpa jari kelingking."

Jemari rampingnya menyusup, mencari kehangatan di sela jemari Kian, mencari perlindungan di antara ruas-ruas jari yang ukurannya hampir dua kali lipat miliknya itu.

"Asal gue enggak harus hidup tanpa lo."

Kian menggenggam jari-jemari itu, meremasnya pelan, menemukan kelingking Laudy, lalu membawanya ke bibir. Dingin. Kian ingin membuatnya hangat. Dia mengabsen satu per satu buku jari cewek itu dengan kedua belah bibirnya. Ringan. Lembut.

"Truth or dare?" bisik Laudy di antara tatapan yang tidak pernah putus.

Dan, kali ini, Kian memilih "Truth."

"Kenapa lo marah sama gue?"

Gelengan kepala.

Mungkin malam sedang indah. Mungkin udaranya mendinginkan Kian. Mungkin juga sinar redup lampu jalan yang akhirnya membuat Kian lupa dengan egonya. Yang membuat benang kusut terurai di kepalanya. Dan, seperti denting lonceng, seperti anak kunci yang menemukan kuncinya, Kian menemukan jawaban.

"Gue mungkin marah ke tangga yang bikin gue jatuh, tapi enggak pernah ke tanah, tempat gue jatuh. Mungkin gue marah sama tiga minggu ini, tapi enggak sama lo."

"Kian—"

Kian tersenyum. Segalanya, semua yang membuncah di dalam rusuknya, rasa yang menggelepar minta dikeluarkan, membuatnya merasa seperti orang gila. Gila, dan indah sekaligus. "Menurut lo, mungkin enggak, gue marah ke tempat gue menitipkan hati?"

Bibir Laudy terbuka, siap bertanya. Namun, sekali lagi, Kian tidak membiarkannya.

"Ternyata jatuh cinta itu mudah. Cukup dengan menatap kamu."

Terbuka lagi, siap mengeluarkan kebingungan, lagi. Kali ini, Kian menahannya dengan kedua tangan menangkup pipi Laudy, dengan wajah yang mulai mendekat.

Pelan saja, seakan dia memiliki seluruh waktu di dunia, seakan dia tengah menunggu. Menunggu Laudy untuk mengatakan ... iya.

Dan, ketika kedua kelopak mata cewek itu jatuh menutup, saat itulah bibirnya menutup rapat jarak di antara mereka. Mencecap hangat ciuman pertamanya. Mengalirkan manis hingga ke tiap pori tubuh, hingga ujung-ujung kelingking. Menyisakan udara yang kian menipis, dan oksigen yang terlupakan.

Dan, Kian tahu dia sedang jatuh, sejatuh-jatuhnya.

Dan, dia tidak keberatan.[]





AUTHOR'S NOTE

Kalau mau jujur-jujuran, part ini adalah salah satu bagian kesukaanku. Kalau kalian, gimana?

Aku mau mengucapkan terima kasih banyak para pembaca yang masih setia bertahan, yang menunggu cerita ini setiap minggunya. Semoga menjadi penghiburan bagi yang lelah atau yang butuh sedikit senyuman.

Aku sayang kalian <3

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top