Bab 20: Daftar ke-10
"Ada tiga hal di dunia ini
yang enggak bisa dipaksakan.
Yang kalau tetap kita paksa,
jadinya cuma bikin sesak:
ukuran sepatu, ukuran beha,
dan ... cinta."
Melangkah di belakang sekelompok anak SMP yang cekikikan membahas kegantengan aktor remaja pemeran utama film yang ceritanya gagal Laudy tangkap, cewek itu mungkin menjadi orang terakhir yang meninggalkan bioskop bersama Abim di sampingnya. Cowok itu tidak bicara banyak sejak tadi, bahkan sejak Laudy menemuinya di depan perpustakaan.
Dy, bisa kita ngomong? Please.
Pesan yang dikirim cowok itu di perpustakaan tadi. Yang sebenarnya nyaris saja Laudy abaikan. Namun, entah bagaimana, ada sesuatu dari pesan itu. Yang seolah mendesak. Yang memaksa Laudy kemudian untuk mengetikkan balasan.
Kapan?
Sekarang, bisa?
Oke.
Irit. Balasan-balasan Laudy. Laudy yang biasanya dapat mengetik panjang lebar untuk seorang Abimana Prayuda beserta emot-emot lucu, sekarang kehilangan minat. Jelas saja, luka yang disebabkan cowok itu belum kering sempurna dan Laudy tidak berniat mengoreknya kembali.
Abim memintanya bertemu di parkiran depan perpustakaan, Laudy penuhi. Dari kejauhan, dia melihat cowok itu berdiri di bawah pohon rindang. Pemandangan yang mengingatkan Laudy kepada masa awal dia mengenal Abim. Pada masa-masa dia membiarkan dirinya jatuh cinta dengan terlalu mudah. Pada masa-masa dia tidak mengerti bahwa setinggi itu dinding bernama Ratu di antara mereka.
"Ada apa?" Laudy membuka pembicaraan, setelah bermenit-menit lamanya Abim hanya diam.
Mereka duduk di beton yang memagari pohon. Mendeteksi bahwa Abim masih ragu untuk mengatakan keinginannya, Laudy memutuskan untuk membawanya langsung ke pokok permasalahan.
"Ada masalah lagi, sama Ratu?"
Bahu Abim tampak menegang sesaat. Cowok itu menoleh, kemudian menatap lurus ke arahnya.
"Dy, aku ...."
Laudy meraih lengan cowok itu, bersiap memberinya kata-kata menenangkan, berjaga-jaga dengan ucapan patah hati yang dapat terlontar keluar kapan saja. Namun, dia tidak sempat mempersiapkan diri untuk apa yang kemudian Abim katakan.
"Aku bingung, Dy. Soal perasaan."
"Bingung?"
Abim mengangguk, tatapannya jatuh ke tanah. "Tiba-tiba aja, aku ragu apa perasaanku ke Ratu masih sama."
"Apa yang bikin Kakak mikir gitu?"
"Entah." Abim mengedikkan bahu. "Seharusnya, sekarang semua baik-baik aja, aku dan Ratu. Tapi, belakangan ... enggak. Rasanya ada yang kurang. Ada yang salah."
Laudy mengangguk pelan, mendengarkan. Gesturnya menunjukkan permintaan tanpa kata agar Abim melanjutkan. Namun, Abim justru memutar haluan pembicaraan mereka.
"Kamu kenapa terus menghindar?"
"Aku enggak─"
"Kamu menghindar," Abim menekankan, membuat Laudy tidak dapat berkutik. "Yang kemarin itu ... beneran pacar kamu?"
Laudy mengerjap. Sesaat, dia lupa tentang perjanjian yang pernah dia buat dengan Kian. Lalu, memorinya mengilas balik pertemuan terakhirnya dengan Abim. Ada Kian di sana. Di pesta ulang tahun Ratu waktu itu.
Cewek itu menggigit bibir bawahnya. Dia sedang tidak ingin bercerita panjang lebar tentang kesepakatan konyol itu, jadi dia hanya mengangguk. Abim pun mengangguk setelahnya.
Cukup lama mereka duduk di sana, tidak melakukan apa-apa. Ada kekosongan yang tidak diisi dengan kata-kata sebelum kemudian Abim menatap Laudy lagi.
"Dy."
Laudy menoleh, mempertemukan tatap mereka. "Ya?"
"Temenin aku hari ini. Mau, ya?"
Dan, itulah alasan dia berada di sini sekarang, berjalan bersisian dengan Abim, melewati lobi mal yang cukup padat dalam diam. Hanya sesekali Abim akan menoleh dan menawarinya minuman atau makanan tertentu, atau jika Laudy ingin membeli sesuatu. Laudy hanya akan menggeleng, lalu mereka jatuh ke dalam siatuasi senyap lagi.
Rasanya ... sangat berbeda dengan ketika pergi bersama Kian. Karena baik Kian maupun Laudy tidak akan diam, mereka akan berargumen ini itu sampai ke titik nyaris baku hantam. Tidak ada yang namanya canggung, seperti sekarang.
Di basemen tempat parkir yang luas, kesunyian itu akhirnya pecah. Laudy tidak bisa lagi bertahan lebih lama dalam kesunyian ini.
"Gimana?" Dia memulai, memandang sisi wajah Abim seraya tangannya berpegangan pada tali tas selempangnya. "Apa perasaan Kakak sudah lebih jelas sekarang? Lebih baik?"
Abim berhenti melangkah. Sesaat, Laudy merasakan keinginan untuk melangkah mundur ketika cowok itu berbalik menghadapnya. Abim tersenyum, sebelum mengangguk pelan.
"Kayaknya. Mau pulang sekarang atau kamu mau makan dulu? Aku tahu restoran enak deket sini."
Cepat-cepat, Laudy menggeleng. "Langsung pulang aja, Kak."
Baterai ponsel Laudy mati sejak tadi. Dia tidak dapat menerima interaksi masuk atau melakukan interaksi keluar. Siapa tahu ... Kian khawatir mencarinya karena Laudy tidak bisa dihubungi.
Abim tidak membantah. Dan, ketika duduk di belakang motor Abim, Laudy menahan diri dan tidak berpegangan, bahkan pada jaket cowok itu. Dia hanya berpegangan pada motor, atau menahan tangannya di udara. Abim yang melajukan motornya dengan pelan dan mulus banyak membantu.
Rasanya ... aneh. Tidak nyaman. Seolah dia mengkhianati seseorang jika melakukannya. Berpegangan pada Abim.
***
Abim mengantarkannya hingga depan pagar kos. Cowok itu tidak segera beranjak setelah Laudy turun, bahkan hingga mendekati pintu pagar. Dia menunggu selama beberapa saat.
"Makasih, ya, Dy, untuk hari ini."
Laudy hanya mengangguk sembari memegangi tali tasnya. Dia tersenyum sedikit canggung. Entah kenapa, rasanya ada yang salah. Jantungnya berdetak cepat, tetapi untuk alasan berbeda.
"Kakak hati-hati, ya."
"Kamu juga. Selamat malam."
Semenit. Dua menit. Abim masih belum pergi juga. Ya Tuhan, dia enggak punya rumah atau apa?
"Kakak enggak mau pulang?"
"Aku mau lihat kamu masuk dulu."
Gentleman. Abim selalu bersikap gentleman, Laudy tahu. Karena itu dia hanya mengangguk lalu berbalik pelan untuk membuka pagar. Senyum sekali lagi dia lemparkan ketika menutupnya, sebelum berjalan tergesa menuju tangga ke lantai dua.
Seharusnya, dia bahagia sekarang. Seharusnya, dia kembali ke kamar dengan pip bersemu merah muda dan bunga-bunga di atas kepala. Jika pergi bersama Abim beserta semua perhatian yang cowok itu limpahkan hari ini terjadi satu-dua bulan yang lalu, seharusnya semua itu terjadi. Namun, dalam waktu kurang dari tiga minggu, semua dapat berubah dengan cepat. Sekarang, yang bisa dia rasakan hanya .... kebingungan. Kebingungan dan rasa ingin menyerah untuk berpikir, untuk berfungsi.
Dengan kaki yang lelah, dia meniti tangga, sudah siap untuk melemparkan diri ke atas kasur saat menemukan seseorang berdiri di koridor di depan kamarnya.
Kian tengah menatapnya.
Dan, tidak ada senyum di wajahnya, tidak ada sorot lelucon yang biasa Kian perlihatkan. Nyatanya, cowok itu hampir tidak memasang ekspresi apa-apa.
"Ke mana aja?" tanya Kian. Nada sinis begitu kentara dalam suaranya sehingga dengan menutup mata pun Laudy tahu Kian tengah marah. Dia hanya tidak mengerti kenapa. Alisnya mengernyit.
"Pergi."
"Sama Abim?" Kian menoleh melewati pagar rendah balkon kos mereka, ke arah motor sport yang baru saja menderu meninggalkan halaman, menyisakan asap putih tipis, seolah untuk mengonfirmasi.
Keduanya tahu jawabannya, meski tidak ada satu pun di antara mereka yang menyuarakan itu.
"Have fun tadi?" tanya Kian lagi, nadanya begitu menuduh.
Laudy tidak segera menyahut. Dia menghela napas dalam-dalam. Dia membutuhkannya. Jika tidak, tubuhnya yang capek dan otaknya yang lelah akan membiarkan saja emosi mengambil alih. Namun, sepertinya, Kian tidak bersedia menunggunya bersabar.
"Pasti, dong, ya. Perginya sama mantan gebetan. Apa sekarang jadi gebetan lagi? Atau bahkan udah jadian?"
Satu ... dua .... Laudy siap meledak. "Lo kenapa sih?!" serunya, intonasinya lebih tinggi daripada yang dia persiapkan.
Kian membalas, ikut berteriak tertahan di depan wajah Laudy.
"Elo, tuh! HP lo mati. Gue hubungi enggak bisa. Enggak tahu apa seberapa khawatirnya gue?!"
Ucapan itu membuat Laudy membeku. Cewek itu membuka mulut. Siap untuk melontarkan balasan, tetapi Kian kembali memotongnya.
"Gue enggak tahu─"
"Jelas aja lo enggak tahu! Yang ada di otak lo cuma cowok itu! Enggak ada tempat buat orang lain!"
"Menurut lo gue semurahan itu?!"
Hening kemudian. Kian emosi sejak awal, dan Laudy tersulut karenanya. Amarahnya seperti berkobar di kepala sehingga terlalu sukar untuk tidak meneriaki cowok itu, sahabat yang dia kenal delapan tahun lamanya. Di ujung pertengkaran, energinya seperti terkuras habis, untuk bernapas pun dia tersengal, seakan baru berlari jauh.
Lalu, menyadari sorot mata Kian yang berubah redup, Laudy tahu dia tidak boleh membiarkan hubungan mereka hancur begitu saja. "Kian, gue─"
Namun, Kian telah berlalu sebelum dapat dia cegah kepergiannya. Di depan pintu kamarnya yang bertempelkan poster kumal My Chemical Romance, Kian berbalik. Wajahnya sendu ketika menatap Laudy dari jarak sekian meter yang memisahkan mereka.
"Nyu." Ada getar di ujung suaranya. Pelan tetapi pasti, memahat kekhawatiran dalam diri Laudy.
Cewek itu melangkah maju, ingin mengikuti Kian, memeluknya, menjelaskan semuanya, memperbaiki apa-apa yang mungkin rusak. Namun, langkahnya harus tertahan oleh kalimat yang kemudian Kian lontarkan.
"Tiga minggu kita ... sampai di sini aja."
Dan, sebelum Laudy dapat berlari ke sana dan memperbaiki segalanya, Kian telah berlalu masuk. Membanting pintu kamar dengan keras di belakangnya.
Di sana, di dalam kamarnya, beberapa menit setelahnya, Laudy mematung. Sepiring nasi goreng lengkap dengan sayur dan telur serta ayam pop tergeletak di meja belajarnya. Juga segelas susu kocok cokelat yang esnya sudah mencair. Kesukaannya, semuanya.
Namun, dia tidak tahu, seharusnya ada mawar di sana. Mawar yang telah dibuang bahkan sebelum bertemu sang pemilik.[]
AUTHOR'S NOTE
"Tiga minggu kita ... sampai di sini aja." *petir menyambar
Nah, lho, Guys. Gimana, dong? Gimana perasaan kalian di chapter ini?
Minta pelukannya, ya, buat Kian. Kalau ada sedikit kata-kata hiburan, boleh.
Yang lagi puasa, moga lancar puasanya. Sabar-sabar menunggu part selanjutnya.
See ya~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top