Bab 2: Laudy - Semak Berjalan
Gue enggak ngerti sama orang yang aktif ke sana kemari,
hang-out sana sini.
Enggak tahu nikmatnya rebahan apa, ya?
—Laudy
"Kian, tolongin!" Laudy memelas, wajahnya ditekuk hingga terlihat sangat, sangat tidak berdaya.
"Kenapa?" Alis Kian sedikit berkerut curiga. Bukan apa-apa, Laudy itu ... sedikit aneh. Cewek pemalas itu hampir tidak pernah melalui masalah apa-apa dalam hidupnya. Hal paling gawat bagi Laudy paling-paling adalah kehabisan kuota saat sedang 90% mengunduh drama kesukaan, atau saat dia galau untuk menghabiskan satu episode drama atau mengerjakan makalah terlebih dahulu.
"Gue laper," cewek itu, tanpa dipersilakan, melepas sandal bulu Doraemon-nya dan melangkah masuk. Dia dengan hati-hati menaruh bonekanya di atas tempat tidur Kian sebelum bergegas menggeledah dapur. "Lo punya makanan, enggak?"
Tuh, kan?
"Laudy," Nando bergumam lagi hingga kali ini menarik perhatian Kian.
"Apaan?"
"Laudy!" ulangnya seraya balik menatap Kian dengan mata berbinar. Kian jadi bergidik. Takutnya perbincangan mereka barusan membuat jiwa gay Nando mendadak terbebas atau bagaimana. Namun, untunglah ucapan Nando berikutnya berhasil mengenyahkan semua pikiran suuzan Kian. "Gimana kalau sama Laudy aja?"
"Hah?"
Sebentar, sebentar. Bagaimana? Kian mengorek kupingnya dengan kelingking, takut salah dengar, lalu menatap Nando lagi, menunggu seruan semacam "Prank!" atau "Happy Birthday!" Namun, tidak ada yang terjadi. Nando hanya menatapnya bersemangat.
Pada saat bersamaan, Laudy muncul lagi dari arah dapur. Aroma mi instan berkuah telah lebih dulu sampai ke indra penciuman dua cowok itu, bahkan sebelum Laudy datang dengan menenteng satu cup mi dan segelas susu kental manis hangat yang pastinya hasil menjarah juga.
Cewek itu duduk di tengah ruangan, di sebuah meja bulat kecil berkaki pendek yang biasanya dipakai Kian sebagai meja makan merangkap meja belajar, atau meja untuk menaruh laptop jika sedang meonton. Meja sekecil dan sebuluk itu ternyata multifungsi.
"Dy!" Nando buru-buru duduk di hadapan cewek itu, membuat Kian, mau tidak mau, mengikutinya.
Laudy buru-buru menarik cup minya mendekat. "Cuma ada satu! Jangan minta!"
"Pelit. Padahal juga hasil minta!"
Laudy mengabaikan Nando. Dia mengaduk-aduk bumbu minya dan mulai meniup-niup. Tidak lama. Beberapa detik kemudian, dia sudah mengunyah minya panas-panas. Ya, setidak sabar dan selapar itulah dirinya.
"Etdah, ini anak perawan! Udah berapa hari enggak makan, sih?!" Nando sewot.
"Alhamdulillah, hari ini gue berhasil survive," gumamnya, lalu memberikan cengiran penuh terima kasih kepada Kian, yang hanya balas menatapnya datar.
Masalahnya, Kian tidak lagi memikirkan soal mi terakhirnya dengan rasa soto favorit yang dicuri cewek itu atau kaleng susu kental manisnya yang semakin ringan gara-gara ulah Laudy karena usulan Nando terus terngiang-ngiang di telinganya. Dia memperhatikan Laudy baik-baik.
Cewek itu sama sekali tidak buruk. Sebenarnya, Laudy itu cantik. Wajahnya seperti bayi, mulus bebas jerawat. Bulu matanya lentik, memayungi matanya yang lumayan besar dan cerah. Dan, bibirnya ... mungil, merah muda. Kian buru-buru mengalihkan pandang, merasa tidak semestinya dia menatap Laudy lama-lama.
Intinya, Laudy bisa saja lebih populer daripada Sarah, Metta, Flora, atau si Vani anak FEKOM yang dipuja Nando itu seandainya cewek ini mau berusaha sedikit saja untuk mengendalikan rambutnya yang sudah seperti semak berjalan, atau caranya memadupadankan pakaian yang kelewat asal.
Kian sekarang bertukar pandang dengan Nando, meminta bantuan lewat kontak mata kepada sahabat karibnya sejak SMA itu.
"Eh, Dy. Kian mau ngomong, nih," Nando akhirnya buka suara setelah beberapa saat kedua cowok itu saling dorong.
Sementara Laudy sendiri tidak repot-repot memperhatikan. Dia masih fokus mencomoti potongan wortel dengan garpu plastiknya. "Mau ngomong aja pake izin."
Nando dan Kian membali bertatapan, lalu lagi-lagi saling dorong. Lama-lama, jika mereka dibiarkan begitu, bisa saja terjadi kerusuhan.
"Lo udah denger, novelnya Kian ditolak?"
Laudy mengangkat satu tangan ke udara, meminta Nando untuk menunggu sementara dia menyeruput kuah minya. Dia akhirnya menjawab sebelum selesai mengunyah, dengan mulut masih setengah penuh. "Love in XIII IPA itu? Sudah kuduga."
Mengambil jeda untuk meminum susu vanilanya, Laudy lalu meneruskan, "Ngebosenin banget, sumpah. Gue kalau insom suka baca, tuh. Lima menit langsung tidur."
Kurang ajar. Kian mengepalkan tangan.
"Makanya," sepertinya Laudy kurang peka, karena dia terus saja berceloteh, "udah gue bilang. Tulis tentang kisah percintaan gue aja."
"Yang isinya penolakan semua itu?" Oke, Kian mendapat kesempatan balas dendam.
Di hadapannya, Laudy membolakan mata. Baginya, Abim adalah topik sensitif yang tidak seharusnya Kian senggol karena akan terjadi auto bacok. "Belum aja, Tiang! Belum! Lihat aja nanti!"
Dengan kesal, Laudy menaikkan cup minya dari atas meja lalu mulai menyeruput dalam jumlah banyak. Dia tidak peduli ketika Kian memanggilnya lagi.
"Nyu." Nyu. Unyu. Itu bukan pujian, melainkan panggilan yang tak jarang membuat Laudy gondok. Unyu as in unyu size. Kecil. Mungil. Dekil.
"Nyu?" panggil Kian lagi.
"Mmm?"
"Jadi pacar gue, ya?"
....
Bisa bayangkan? Lagi enak-enaknya makan, dan kalimat sesakral itu diucapkan tanpa diduga-duga? Dengan entengnya?
Laudy tersedak. Hebat.
Wajah Laudy ototmatis memerah karena pasokan oksigen yang terhambat. Namun, tidak penting untuk meraih air minum sekarang. Dia menatap Kian horor dengan mata yang membulat sempurna. Sebelum Laudy bertanya, Nando sudah lebih dulu menjawabnya.
"Kian perlu riset buat bikin kisah romance yang nge-feel. Dia perlu pacaran."
"Terus, kenapa gue?" Kali ini, Laudy meraih sisa susunya dan menenggaknya hingga tandas.
"Karena cewek-cewek yang gue kenalin enggak ada yang cocok sama dia. Kian cuma mau pacaran sebentar doang, buat riset. Habis itu selesai perkara."
"Dan, lo pikir gue bakalan mau?"
"Gue kasih setengah dari royalti gue kalau berhasil."
Sesaat, Laudy menggigit bibir dalamnya. Namun, dengan segera dia menggeleng keras. "Ogah! Gue udah punya gebetan, kali. Kalau Kak Abim cemburu, gimana?"
"Cuma sebulan—enggak, tiga minggu cukup!"
"Enggak."
Sambil terus menggeleng hingga rambutnya ke mana-mana, menyapu wajah Nando dan Kian, dia meraih sisa minya untuk. Sayangnya, Kian menahan cup itu untuk tetap berada di atas meja. Matanya yang gelap menatap Laudy tajam.
"Balikin mi gue! Muntahin!"
***
kian.er07 baru saja mengunggah sebuah foto.
"Senin, bagiku adalah kamu. Tempat aku memulai. Tempat semua berawal."
Laudy yang baru saja membuka laman Instagram-nya dan langsung disuguhi pemandangan wajah Kian dengan caption demikian, seketika megap-megap. Dia ingin muntah, tolong! Cowok tiang yang sok kegantengan itu cukup jarang mengunggah swafotonya. Dia biasanya akan meminta Nando, Laudy sendiri, atau siapa pun orang yang lewat mengambilkan foto candid untuknya. Yang, yah, biasanya langsung diserbu oleh ribuan penggemarnya di Instagram beberapa detik setelah diunggah.
Namun, bukan itu yang membuat Laudy menatap sedikit lebih lama ke bagian bias matahari pagi pada wajah Kian dalam foto itu. Yang menarik perhatian Laudy adalah caption-nya. Berbau romance. Dan ..., tidak buruk juga.
Setidaknya, ada bakat romantis dalam diri anak itu. Dengan sedikit pancingan, dia seharusnya bisa membuat cerita romansa semenakjubkan ceritanya yang lain.
Dan, pikiran itu, mau tidak mau menyeret Laudy kembali kepada penawaran Kian tadi malam, yang menyeret-nyeretnya semakin jauh. Kepada suatu bayangan. Suatu ilustrasi. Bagaimana jadinya, jika mereka benar-benar ... pacaran?
"Laudy Sayang," Laudy merasakan jemarinya direngkuh oleh tangan yang berukuran hampir dua kali lipat miliknya. Dia mendongak dan mendapati Kian tengah menatapnya dengan begitu memuja.
"Bunda," Kian memanggil lagi dengan begitu lembutnya. "Tahu enggak, apa bedanya kamu dan novel-novel yang aku tulis?"
Laudy menggeleng, wajahnya bersemu merah. "Apa?"
"Kalau novel, ingin kutulis dalam bentuk buku untuk dibaca banyak orang. Kalau kamu, ingin kutulis di buku nikah, untuk dilihat anak-anak kita kelak."
"Ah, Ayah!!!" Laudy memukul-mukul dada Kian manja.
Tangannya kemudian ditahan oleh Kian dan mata mereka kembali bertemu. Lalu, begitu saja, Kian merunduk, bermaksud mempertemukan bibir mereka.
Sementara Laudy hanya bisa memejamkan mata pasrah.
"ENGGAK!"
Laudy nyaris membanting ponsel. Kepalanya dia gelengkan keras hingga keriting rambutnya memenuhi seluruh bantal.
Apa, sih, yang barusan dia pikirkan? "Kenapa gue bisa berpikiran senista itu?! Sama Kian, lagi," ringisnya seraya mengetuk-ngetuk kepala, merasa kotor.
Begitu menghadapi layar ponselnya lagi, Laudy buru-buru menggulirkan layar ke bawah guna mencegah pikiran-pikiran tidak diingankan. Seperti ....
Jangan dipikirkan! Jangan dipikirkan!
Wajah penuh cinta dari Kian yang sempat memenuhi kepalanya rasa-rasanya bisa menjadi bibit mimpi buruk nanti malam.
Laudy berguling di bawah selimut, memindahkan tumpuan tubuhnya yang semula di sebelah kiri jadi menghadap ke kanan, di mana cahaya matahari membias melalui jendela. Sekarang sudah pagi, nyaris pukul sepuluh.
Pagi, dan Laudy rasanya sudah kelelahan bahkan sebelum melakukan apa-apa.
Untungnya, dia tidak punya jadwal kuliah pagi ini. Hal membahagiakan yang dia terima ketika bangun tidur dan mendapat kabar di grup obrolan kelasnya bahwa dosen Sosial Biologi yang mengambil jatah 3 SKS hidupnya tidak masuk. Ada kesempatan leha-leha lebih banyak hari ini.
Ah, awal hari yang menyenangkan.
Seharusnya begitu. Harapannya seperti itu.
Lalu, dia melihatnya.
Laudy nyaris melompat, menggunakan tenaga yang dia simpan itu ketika menemukan wajah seseorang di sana. Wajah yang gantengnya keterlaluan. Seharusnya merupakan sebuah tindak kriminal untuk memiliki paras seganteng itu.
Bikin Laudy nyaris jantungan.
Namanya Abimana, cowok yang memamerkan wajah tampak samping sempurna di unggahan itu. Abimana Prayuda, tepatnya. Dan, Abim adalah panggilan yang Laudy sematkan secara khusus, alih-alih Abi atau Yuda.
Karena, Laudy meyakini dirinya berbeda. Dia sedang dekat dengan cowok itu. Hanya saja ... ada masalah, belakangan.
Foto itu normal, awalnya, sebelum Laudy menggeser untuk melihat foto kedua. Ada sekitar tiga foto dalam satu unggahan. Abim sedang mengambil foto dirinya, sama seperti yang pertama, tetapi kali ini ada seorang cewek di sisinya.
Laudy mengenalnya. Dan, jika tadi dia menyebut ada masalah, maka cewek inilah wujud dari masalah tersebut. Kiara Ratulistina, mantan Abim. Satu-satunya cewek yang berhasil membuat Abim menelepon Laudy pukul dua pagi hanya untuk curhat tentangnya. Satu-satunya cewek yang berhasil membuat cowok semisterius Abim bicara panjang lebar.
Sakit, memang. Mencintai Abim itu ... sama dengan menderita sakit tak berkesudahan. Satu kali sakit, Laudy harusnya tahu untuk tidak meneruskan. Namun, hati dan otak kadang tidak bisa bekerja sama. Dia menggeser lagi untuk melihat foto berikutnya. Cewek itu memeluk Abim-nya.
Thank you for the smile you put upon my lips, tulis cowok itu.
Tahu-tahu, udara seakan tersedot darinya dan Laudy merasakan sesak yang luar biasa. Ada nyeri tak kasatmata di dadanya yang, meskipun dia cengkeram erat, tetap tidak bersedia pergi.
Lalu, dengan air mata yang menyeruak, cewek itu menggapai-gapai. Dia bangkit dengan tersaruk. Dengan bertelanjang kaki, dia melangkah keluar kamar kosnya yang hanya berukuran 3x4, menuju kamar lain di sebelah kirinya. Sebuah ruangan dengan poster My Chemical Romance pudar tertempel di pintu.
***
Sudah setengah jam lamanya Kian menatap halaman kosong Microsoft Word di hadapannya. Dia sedang berupaya, memeras otak memikirkan bagaimana adegan romantis seharusnya tercipta.
Jika dibilang dia tidak mencari alternatif sama sekali, maka salah besar. Kian sempat pergi ke toko buku beberapa hari lalu, pulang-pulang membawa sekantong besar buku-buku percintaan bestseller. Masalahnya, dia bahkan tidak bisa menamatkan satu saja dari tumpukan buku itu. Dia merasa ... risi. Tidak habis pikir. Kenapa ... cinta begitu konyol, kedengarannya? Kebodohan yang tidak membuat orang-orang keberatan.
Dia juga—dengan setengah hati—telah mendengarkan curhat Nando soal mantan-mantannya, dan berpikir, jika dia menulis cerita yang terinspirasi dari pengalaman sahabatnya itu, niscaya bukunya akan dibakar massa. Atau kena azab.
Ya, karena pacaran di semak-semak lalu tertangkap basah hansip itu tidak ada romantis-romantisnya sama sekali.
Dan, sepertinya seluruh usaha ini sia-sia. Menatap laptop juga tidak akan serta-merta membuatnya jatuh cinta. Keyakinan Kian mulai terbelah. Apakah dia harus mempertimbangkan kembali cewek-cewek yang Nando tawarkan dan mempertaruhkan nyawanya demi sebuah novel?
"Kian?"
Semula, Kian tidak berminat menaruh perhatian kepada seseorang yang baru saja membuka pintu. Dia tidak perlu melihat untuk tahu siapa yang datang. Tentu, dia masih marah. Bagaimanapun, cewek itu menolaknya semalam dan Kian tidak berniat mengobrol dengan Laudy setidaknya sampai tiga hari ke depan.
Namun, begitu dia mendongak dan mendapati kekacauan di wajah Laudy, dia berdiri secepat kilat dan berlari menyongsong cewek itu, tidak peduli dia nyaris saja menyenggol laptop yang baru dia beli beberapa bulan lalu.
Air mata berjatuhan di pipi Laudy, yang semakin deras ketika Kian menatapnya panik. Tentu saja panik, Laudy tidak pernah menangis sekeras itu kecuali untuk satu alasan yang sepertinya Kian ketahui.
Ragu, Kian mengangkat tangannya. Dengan lembut, ibu jarinya mengusap tetes air mata cewek itu.
"Lo kenapa? Bilang ke gue."
Laudy menggeleng keras-keras. Dia meraih bagian depan kaus Kian, menggenggamnya erat-erat. Kebiasaannya ketika gugup atau sedih, dia akan meraih ujung baju Kian seolah itu adalah satu-satunya tempat baginya untuk berpegang.
Dan, dia menangis lagi, menjatuhkan bulir air matanya pada kaus dalam genggamannya itu.
"Gue benci Abim," Kian mendengar Laudy bergumam lirih di sela isakannya. "Gue harus bales! Gue mau dia sakit hati juga!"
"Hmm. Gue juga benci dia."
"Kian," panggilnya lagi dengan serak, lalu mendongak demi mempertemukan pandangan mereka. "Tawaran lo tadi malem ... masih berlaku?"[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top