Bab 19: Roses Are Red

Roses are red. Violets are blue.
It's me, to you ....


Kian duduk di atas kasur dengan laptop yang terbuka di satu sisi tempat tidur dan Jeruk yang bergelung di sisi lainnya. Dia kelelahan tanpa melakukan apa-apa.

Sejak kemarin, dia sudah berkutat dengan Adelaine, naskah horor yang sudah mencapai dua pertiga bagian selesai. Namun, yang ida lakukan hanya ketik-hapus-ketik-hapus karena hasilnya tidak pernah sesuai. Feel-nya tidak ada. Lalu, ada lagi naskah thriller dan detektif andalannya, yang biasanya membuat Kian mendapat banjir pujian dari para pembaca yang senam jantung dibuatnya. Kali ini, hasilnya sama saja. Adegan yang dia buat tidak ada mencekam-mencekamnya. Tidak ada teka-tekinya. Semua yang ingin Kian lakukan adalah bergulingan di atas tempat tidur, menatap langit-langit kusam kamar seolah itu adalah pemandangan terbaik di dunia, dan ... tentu saja, seperti kebanyakan orang sinting lainnya, tersenyum-senyum sendiri.

Sepertinya, dia perlu menemui psikiater. Atau ahli rukiah.

Menutup laptopnya, Kian kemudian meraih daftar tiga minggu yang dia dan Laudy tulis dari atas meja, mengeceknya satu per satu.

Nonton, centang. Punya barang kembar, centang, ada kaos putih yang mereka beli kemarin. Ke akuarium, centang. Mengadopsi pet—Kian melirik Jeruk yang menyamankan diri di dekat kakinya, centang. Jalan-jalan jauh ..., kemarin mereka pulang kampung berdua, naik motor dan menempuh jarak yang cukup jauh, begitu pun sewaktu ke akuarium, jadi sepertinya bisa diberi centang. Main boardgame? Truth or dare kemarin jika bisa dihitung maka ... centang. Ngajarin naik motor, centang.

Mereka sudah menjalani lebih separuh dari batas waktu tiga minggu yang mereka sepakati awalnya. Hanya tersisa tiga hal yang belum terlaksana: makan malam sambil melihat bintang, hujan-hujanan, dan bertengkar. Entah bagaimana skenario mengenai bertengkar ini nanti. Kian tidak tahu apa yang ada di otak Laudy. Dia mulai mempertimbangkan untuk mencukur rambutnya sampai plontos, supaya jika Laudy mengajaknya jambak-jambakan, dia bisa menang.

Kian mengecek ponselnya dan mengesah. Laudy belum membalas chat yang dia kirim dari tadi pagi, menanyakan keberadaaan cewek itu. Masih ada kuliah, sepertinya. Hendak menghubungi Nando, tetapi wajah anak itu secara natural menyebalkan, lebih baik tidak membuang-buang energi untuk merasakan kekesalan yang tidak perlu. Arsen, apalagi. Muka songongnya minta banget diajak tawuran.

Keabsenan hal berguna untuk dilakukan ini membawa Kian pada satu rencana: dia ingin memberikan kejutan untuk Laudy. Sudah berapa lama mereka bersama dan dia masih belum juga bertindak sebagai pacar yang romantis? Segera, dia meraih jaket dan kunci motor.

"Mau ke mana lo, Yan?"

Nia, tetangga kosnya, partner in crime Laudy dan Mpok Mer dalam bidang drama Korea, menegur ketika berpapasan dengan Kian di dekat tangga. Kemeja lusuh, jins, ransel yang tampak berat, dan keringat yang membasahi keningnya menunjukkan bahwa cewek itu baru saja pulang kuliah. Raut suntuknya yang seperti sedang dalam mode senggol-bacok itu memberi indikasi bahwa kuliah yang dia jalani bukanlah kuliah 2 SKS dengan dosen yang baik hati.

"Minimarket depan," ujar Kian, kemudian sebelum pembicaraan telanjur berlalu, dengan canggung dia menambahkan. "Eh, makasih, ya, udah jagain kucing gue."

Nia terkekeh seraya mengibaskan tangan. "Santai. Kayak sama siapa aja,"

Nia memukul lengan Kian pelan dengan akrabnya, mungkin tanpa sadar, tetapi tetap saja itu bukan gestur yang bisa Kian anggap normal, kecuali Laudy yang melakukan. Maka, seolah refleks, dia mengambil sedikit langkah mundur, masih dengan senyum canggung di bibir.

Sementara Nia yang yang sibuk mengusap leleh keringat di pelipisnya mungkin terlalu lelah untuk menyadari keengganan Kian berada dekat-dekat dengannya. "Eh, lo mau ke minimarket, 'kan? Nitip, boleh?"

"Apa?"

Sekali lagi, Nia menonjok lengannya. "Kenapa kaku banget, sih? Cuma mau nitip satu barang, kok!"

Melihat senyum lebar berlesung pipi cewek itu, mau tidak mau Kian tertular. "Asal enggak nitip salam sama abang kasirnya, boleh."

"Eh iya, masnya yang itu kan cucok, Yan. Lo kedipin dikit pasti dia bakal minta dikawinin sama lo, deh. Mayan, masnya manis!"

"Najis!"

Tawa Nia berderai hingga terpingkal-pingkal. Masih dengan pundak yang bergerak karena tawa yang belum sepenuhnya reda, dia merogoh tas, mengambil dompet, lalu mengeluarkan sejumlah uang dari sana.

"Lo mau ke minimarket yang depan kompleks, 'kan? Deket situ ada orang jualan kembang. Gue mau ngelayat keluarganya temen yang meninggal ntar sore. Beliin, ya? Banyakin mawarnya aja kalo bisa."

Kian mengangguk. "Oke."

***

Nia lupa satu hal: mengatakan kepada Kian jenis bunga yang bagaimana yang dia inginkan. Karena itu, setelah diinterogasi mbak-mbak penjual bunga, Kian beli saja semua kemungkinan. Ada dua jenis mawar merah di sana; mawar dalam bentuk buket, dikemas cantik bersama baby's breath dan ada bonus kartu ucapannya, dan yang kedua, tentu saja, mawar tabur.

Ketika Kian berdiri di depan pintu kosnya dengan kantong belanjaan di satu tangan dan sebuket mawar di tangan lain, cewek berlesung pipi itu melongo.

"Kian! Sumpah ya lo!"

Kian menyatukan alis. "Kenapa?"

Lihatlah tatapan mata polosnya! Nia mengelus dada, menahan gejolak ingin menggeplak kepala Kian.

"Ganteng-ganteng, gobloknya natural," omelnya. "Orang mau ngelayat ya mawar taburlah! Ini," tunjuknya kepada buket cantik mawar di tangan Kian, "buat orang pacaran!"

"Oh." Kian mengedikkan bahu. "Ya udah, sih. Ini bunga taburnya," ujarnya, menyerahkan kantong kecil berisi kelopak mawar bercampur bunga kenanga, lalu mendekap buket bunganya ke dada. "Yang ini buat gue aja."

Dengan senyum di bibir yang membuat Nia mengernyitkan dahi, Kian berlalu kembali ke kamarnya. Salah beli di sini tidak membuatnya merasa rugi ataupun terganggu. Karena, meskipun Nia tidak membutuhkannya, Kian masih bisa menggunakannya.

Dengan rangkaian bunga di tangan, Kian meyakinkan diri bahwa tidak, dia tidak sedang berusaha menjadi romantis demi Laudy atau apa. Ini hanya kebetulan. Takdir hanya sedang mempertemukan garis-garis mereka. Dan, Kian hanya ... kebetulan bego saja, hari ini.

***

Dy, lo di mana?

Sent 09.10 am

Laudy baru saja memeriksa ponselnya setelah nyaris delapan jam berlalu. Baterai ponselnya habis saat di dalam kelas, dan dia baru dapat mengisinya sekarang, setelah mendekam di perpustakaan selama hampir dua jam sampai menemukan colokan nganggur. Teman-teman sekelompoknya sudah pulang. Dia sendirian sekarang.

Cepat-cepat, dia mengetik balasan untuk Kian.

Perpus. Kenapa?

Ponselnya bergetar menerima balasan Kian, bahkan sebelum Laudy sempat menaruhnya kembali.

Kapan pulangnya?

Bentar lagi, sih.

Pulangnya agak malem aja.

Hah? Kening Laudy seketika berkerut. Bukannya orang biasanya disuruh pulang cepat? Sekarang kenapa dia disuruh untuk tidak pulang? Kian sedang mengusirnya atau bagaimana?

Emangnya kenapa?

Pokoknya jangan pulang
sebelum magrib.

Dah.

Laudy menyipit curiga. Apa yang cowok itu coba sembunyikan. Cewek? Enggak mungkin. Kian alergi cewek. Kecuali Laudy karena bagi Kian, Laudy jelas sudah tidak dianggap cewek lagi. Mungkinkah Kian sedang riset cerita pembunuhan dengan cara membunuh tetangganya sendiri? Nia? Siska, atau ... Ibu Kos?

Laudy baru akan mengetik balasan berisi pertanyaan-pertanyaan yang bercokol di otaknya ketika ponselnya bergetar lagi.

Namun, kali ini pesan itu tidak berasal dari Kian. Pesan itu berasal dari seseorang yang terus menghubunginya belakangan. Telepon-telepon yang Laudy sengaja abaikan dan pesan-pesan yang sengaja tidak dibalas.

Abim.

Kali ini, dia memutuskan untuk membaca pesannya.

Dy, bisa kita ngomong?

Lalu, sebelum Laudy menutupnya kembali, satu pesan lain masuk. Satu kata yang mengubah keputusan cewek itu.

Please.

***

Makan malam, checked. Sepulang dari minimarket tadi, Kian langsung memasak dua jenis masakan sekaligus. Dia bukan seorang ahli masak andal, tetapi pengalaman sebagai anak kos selama hampir tiga tahun membuatnya terbiasa memasak makanan sederhana untuk diri sendiri, sekadar telur atau tumisan. Kali ini, dia mencoba keluar dari zona nyaman. Dia memasak untuk orang lain. Dia ... memasak untuk Laudy. Nasi goreng pedas, ayam pop, dan dua gelas besar susu kocok itu ... semuanya kesukaan Laudy.

Tempat, checked. Tidak ada meja dan kursi, memang. Namun, ada ruang kosong di ujung koridor lantai dua yang cukup lapang, tempat biasanya anak-anak menjemur baju. Demi kemaslahatan bersama, seluruh jemuran telah menghilang, hanya tersisa tali-temalinya dan karpet busa tipis yang digelar Kian di tengah-tengah. Motif Doraemon, masih kesukaan Laudy.

Lilin, checked.

Obat nyamuk, checked.

Sehabis magrib, Kian buru-buru menyusun semuanya. Masing-masing makanan ada dua porsi, dengan lilin di tengah dan karpet sebagai alas. Dengan kemeja rapi, Kian duduk di sana, perlahan meletakkan buket mawar di sisi tubuhnya.

Sempurna.

Oke, mungkin ini bukan makan malam ideal seperti yang Laudy harapkan. Namun, mungkin ... dia bisa membuat ini cukup berkesan? Lagi pula, kalau kita menyukai seseorang, apa pun yang diberikan orang itu akan begitu membahagiakan, bukan? Laudy menyukai Kian, entah seberapa dalam.

Dia terus duduk di sana dengan penuh percaya diri. Awalnya.

Satu jam berlalu, senyum itu mulai memudar. Kian memeriksa kembali ponselnya. Pesan terakhir hanya dibaca Laudy tanpa dibalas, dan yang dia kirimkan setengah jam lalu bahkan hanya centang satu. Kian pun menghubungi nomor cewek itu. Tidak diangkat, tidak tersambung.

Satu jam berikutnya, masih sama.

Lalu, tiga jam sudah Kian duduk di sana, menunggui lilin yang mulai memendek seperti pelaku pesugihan. Dan, masih, tidak ada kabar apa pun dari Laudy.

Pukul sepuluh malam, Kian telah menghabiskan semua ayam pop yang tidak lagi renyah dan nasi goreng yang telanjur dingin. Laudy masih belum muncul. Mawarnya masih teronggok di sana. Tidak menemukan pemiliknya.[]


AUTHOR'S NOTE

Kedengeran, enggak? Ada suara patah, kayaknya.

Gimana, dong, ini? Ketika Kian baper, Laudy malah enggak pulang. Kira-kira, Laudy lagi sibuk ngapain, ya?

Menurut kalian gimana chapter ini? Lucu, sedih, garing?

Dan, besok ada yang puasa?

Selalu jaga kesehatan dan jangan lelah memberikan dukungan untuk Kian, ya.

Terima kasih <3

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top