Bab 16: Pelukan - Dekapan

"Ada beban yang menguap,
jantung yang berderap,
n

yaman yang menetap,
yang dibayar hanya dengan
hal sesederhana

satu peluk hangat."

Tidak ada lumba-lumba di Jakarta Aquarium, sayangnya. Kian berharap ada karena dia ingin melihat senyum itu lagi di wajah Laudy. Senyum seperti beberapa tahun lalu, ketika Kian pertama kali melihatnya dengan boneka lumba-lumba di pelukan.

Dulu, setelah Kian melempar boneka lumba-lumba lewat pagar sebagai permintaan maaf, dia dan Laudy tidak serta-merta dekat. Mereka berpapasan sesekali, ketika pergi sekolah, pulang sekolah, bahkan ketika di sekolah itu sendiri karena kelas mereka bersebelahan. Namun, tidak saling menyapa, bahkan ketika mereka sekelas. Sampai Laudy yang terus-menerus duduk sendirian merebut perhatiannya, membuatnya rela berbagi Taylor Swift dan lagu-lagu lamanya bersama cewek itu.

Kebiasaan itu berulang. Terus-menerus. Sampai, pada akhirnya, mereka dapat berkomunikasi dengan bahasa tubuh, lalu dengan kata itu sendiri. Awalnya, Kian pikir Laudy itu pendiam, ternyata bobrok juga. Awalnya, Kian menganggap rambut keritingnya itu aneh, ternyata tidak juga. Laudy dan rambut keriting tidak bisa dipisahkan. Kemudian, dia mengenal cewek itu pelan-pelan. Laudy paling suka susu cokelat. Dia lebih suka mi instan kuah daripada goreng. Buah kesukaannya adalah nangka dan durian. Warna favoritnya biru. Drama kesayangannya adalah Goblin. Dan, Doraemon, yang pasti. Apa-apa yang berbentuk Doraemon, akan gadis itu borong. Satu lagi, waktu kecil, cita-citanya adalah jadi lumba-lumba.

Memang tidak ada lumba-lumba, tetapi Kian menemukan cendera mata berupa gantungan kunci lumba-luma, dijual oleh pedagang aksesori eceran di depan mal tadi. Kian membelinya ketika Laudy ke toilet. Sekarang, ketika mereka telah pulang ke rumah masing-masing, dengan Abi yang telah lelap bersama ibunya, Kian sedang berpikir untuk menyerahkan hadiah kecilnya.

Sambil memegangi lumba-lumba berwarna biru bening itu di atas wajahnya, sementara dia sendiri sedang telentang di kasur, Kian mempertimbangkan untuk mengirimi cewek itu pesan di aplikasi obrolan ketika ponselnya bergetar. Katalk!

Dari Kesayangan.

Lo dimana, deh?

Di hatimu, Kian mengetik, yang dia hapus detik berikutnya.


Kamar. Knp?

Keluar bentar, deh.

Ngapain?

Keluar dulu.

Kian mengerutkan alis, tetapi tidak bertanya lebih banyak. Dia menyelipkan gantungan kunci lumba-lumba itu di belakang saku jins, lalu berjalan keluar sambil mengetikkan balasan. Pikirnya, Laudy mungkin membeli sesuatu juga tadi dan mungkin ingin memberikannya? Yah, mungkin saja.

Kian mendorong pagar besi rumahnya ke samping, memberikan celah yang cukup bagi tubuhnya untuk menyelip keluar. Jalanan kompleks relatif sepi. Tidak ada tanda-tanda kehadiran rambut keriting megar Laudy di mana pun.

Nih gue udah di luar.

Oke, hadap kanan.

Ini cewek lagi Pramuka? Kian berputar di tumitnya, menghadap ke kanan. Oke, ada jalanan di sana, menuju jalan besar, melewati minimarket. Tetap tidak ada Laudy. Dia baru akan mengetik ketika satu pesan muncul lagi.

Jalan lurus.

Ini gue disuruh ngapain, sih?!

Jalan aja duluuu.
Lurus, ya.
Terus di depan ada minimarket.
Masuk, deh XD

Ngapain gue ke minimarket?


Laudy ... keracunan batok kura-kura atau bagaimana? Atau, pulang-pulang dia terbentur? Masih keheranan, Kian menatap layar obrolannya yang masih terbuka, seolah jawabannya ada di situ. Jawabannya memang ada di situ, sedetik berikutnya.

Beliin gue pembalut ^^v

HA?

Bunda lagi arisan.
Masa nyuruh Ayah? Mana ngerti.
Tolong, ya, Pacar.
Ini gue udah enggak bisa keluar rumah.
Enggak nyaman banget.
Udah tembus.

Perlu banget, ya, informasi ini dihunjamkan kepadanya? Dan ... dan ... masa anak cowok disuruh beli pembalut? Ngajak berantem ini namanya.

Kian buru-buru berputar, lalu memicingkan mata ke pintu rumah Laudy yang tertutup. Berani taruhan, cewek itu pasti sedang bersembunyi di balik sana sambil cekikikan, berpikir Kian akan termakan leluconnya. Tidak semudah itu, Ferguso.

Dia mulai berjalan cepat, bukan ke arah minimarket, melainkan ke rumah Laudy. Pagar kayunya tidak terkunci, Kian dapat masuk dengan mudah. Namun, meskipun dia telah berdiri di sana, di depan pintu, Laudy belum juga menunjukkan diri. Takut, sepertinya.

"OI, BAMBANG! KELUAR LO KALAU BERANI!"

Tidak ada jawaban. Kian menggedor pintu sekali, lalu dua kali.

"Keluar, enggak?"

Ketukan ketiga tidak membuat pintu lantas terbuka. Kian tidak berhenti, tidak berencana berhenti. Sampai dari arah garasi, muncul seseorang. Tinggi, lebar, kumisnya melintang tebal di atas mulut. Mas Adam saja kalau lihat bisa pingsan. Pak RT rasa perwira kebanggaan warga memang beda.

"Kamu nyari saya, Kian?"

Mampus! Dalam kepalanya, Kian melihat dirinya menampar pipi sendiri, menjambak rambut, lalu membuang mayatnya sendiri ke sungai. Dia lupa satu hal.

Pak Bambang Herlambang yang asli telah keluar.

***

Kian mengetuk-ngetukkan jari di konter minimarket, berharap tidak ada pelanggan lain yang melihatnya memborong semua jenis pembalut wanita. Tatapannya sudah ke mana-mana asal jangan ke arah kasir perempuan yang sekarang menatapnya sambil tersenyum-senyum itu.

Setelah menit-menit menyiksa mengobrol di bawah tatapan mengintimidasi Pak Bambang Herlambang yang Terhormat, Kian akhir berhasil lepas dengan selamat. Dengan nyawa masih melekat di badan. Dan, ini salah satu hal yang patut dirayakan dengan syukuran. Sekarang, setidaknya Kian tahu, sikap Laudy kalau PMS itu keturunan dari singa spesies apa.

"Enggak beli yang sayap juga, Mas?"

Kian tersentak. Barusan, dia melamun. "Hah?" Oke, mungkin agak terlalu nyaring, menarik perhatian pegawai laindan pelanggan di belakangnya. Namun, Kian tidak bisa lebih tidak bingung lagi daripada sekarang.

Perasaaan gue beli pembalut, bukan ayam goreng. "Saya enggak suka sayap, Mbak. Sukanya dada soalnya. Ada dagingnya."

Kasir perempuan yang sepertinya seumuran Kian itu melepaskan tawa di balik tangannya. "Maksud saya ini, Mas," jelasnya, menunjuk bungkusan pembalut di atas konter. Dia tidak mempertanyakan untuk siapa pembalut-pembalut itu, dan untuk itu, Kian mengucap syukur. "Biasanya, kalau cewek hari pertama itu deres, perlu yang bersayap atau yang panjang."

Kian mengangguk-angguk sok paham. Sebenarnya, dia sudah gerah menjadi objek tatapan semua orang seperti ini. Ingin semua ini beres secepatnya. "Ya udah, pilihin yang sayap yang mana."

Dia keluar dari minimarket seperti buronan kabur dari penjara. Terburu-buru. Tidak menengok lagi ke belakang. Langkah sandal jepitnya baru terhenti ketika dia melihat Livina putih yang familier terparkir di depan minimarket. Dari sana, keluar seseorang─dua orang—yang sama tidak asingnya.

Abim dan Ratu. Dari semua tempat, kenapa mereka bisa ada di sini?!

Abim menutup pintu mobil begitu Ratu keluar dari jok penumpang. Cewek itu dengan mudah menyelipkan tangannya di satu lengan Abim, menggandengnya dengan senyum yang tidak surut dari bibir. Kontras dengan Abim yang tidak menunjukkan ekspresi apa-apa.

Saat mereka bersiap menyeberang jalan selebar tidak lebih dari tiga meter itu, Kian menunduk, menyembunyikan wajahnya di balik bungkus pink si bersayap. Tidak akan menjadi suatu keuntungan baginya bertemu mereka dan mengobrol. Dia tidak begitu mengenal kedua orang itu. Tidak ada niat juga untuk itu. Dia hanya ingin menjauhkan Laudy dari mereka.

Cowok itu berjalan terus menuju rumahnya. Lebih cepat daripada sebelumnya. Masalahnya, minimarket tidak lagi memberikan bungkus plastik dan Kian harus menenteng gambar-gambar sayap pink itu sepanjang jalan. Bayangkan betapa memalukannya. Kian resmi melambai! Headline berita pergibahan emak-emak sekompleks besok pagi.

Dia menggeleng dalam upaya agar pikiran itu enyah saat mendapati sepasang sandal Doraemon yang tidak asing berhenti di depannya. Langkahnya serta-merta melambat, kemudian terhenti begitu saja.

Laudy berdiri di hadapannya.

"Kok lo di sini?"

"Oh? Itu ...." Tatapan Laudy berpindah dari matanya, ke bungkusan di tangannya, lalu tersenyum kecil tanpa sadar. "Gue pikir lo enggak bakal beliin, jadi gue mau beli sendiri."

Otak Kian seketika berproses. Mereka hanya beberapa meter saja jauhnya dari minimarket tempat Abim dan Ratu berada. Kian tidak tahu apakah mereka masuk atau sekadar lewat, dia tidak bisa mengambil risiko menoleh dan membiarkan Laudy tahu. Beruntungnya, Laudy itu kecil sehingga dengan Kian berdiri dekat di hadapannya, cewek itu tidak bisa melihat apa pun lagi.

Laudy tidak boleh melihat Abim. Meskipun dia mungkin tidak lagi menyukai cowok itu, tetap saja ... Kian tidak suka.

"Gue udah beli, kok."

"Tapi, gue mau beli yang sayap." Laudy mengambil langkah ke kiri, berniat menerobos Kian, tetapi cowok itu lebih sigap mengadang langkahnya.

"Gue juga udah beli yang sayap. Yang malem juga ada."

"Oke ..., tapi sekalian aja gue juga mau beli minuman isotonik─"

"Di kulkas gue ada."

"Sama pereda nyeri."

"Di sini enggak ada. Nanti aja di warung."

"Kian?"

Jika alis bisa kusut, itulah yang terjadi kepada Laudy saat ini. Keheranan akan sikap Kian. Dia berinisiatif melangkah ke kanan, tetapi cowok itu lagi-lagi mengadang. Dia secepat kilat ke kiri, Kian secepat cahaya ke arah yang sama.

"Lo kenapa, sih?!" dengkusnya kesal. "Minggir."

"Enggak."

"Minggir."

Laudy mengambil langkah serong lagi dengan tangan siap menyerang jika Kian mengadangnya lagi kali ini. Kian tidak melakukannya.

Cowok itu mengambil satu langkah, menarik Laudy ke antara kedua lengannya. Memeluknya. Menyisakan udara yang seperti dikeluarkan paksa dari paru-paru. Menghidupkan degup jantung. Mengalirkan listrik ke sekujur tubuh.

Seketika, Laudy membeku. Keduanya terpaku.[]



AUTHOR'S NOTE:

Apakah kalian merasakan percikan tapi bukan kembang api?
Apakah kalian sedikit tersenyum ketika membaca ini?
Semoga iya.

Aku bawa titipan dari Nando, nih. Minta banget dipost. Tebak-tebakan aja. Coba jawab.

Warna warna apa yang bisa bikin kita aman dari Covid-19?

Jawabannya warna biru. #birumahaja *diceburin

Stay safe and stay healthy, Guys! See you next Thursday!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top