Bab 10: Sepasang Sepatu
"Gimana caranya Cinderella lari dengan satu sepatu?
Dengan sepasang lengkap aja rasanya
kayak jalan di titian siratalmustakim."
—Laudy
Dalam perjalanan pulang dengan Chevrolet Trax yang dikemudikan Kian, mereka terpaksa mengantar Echa dan Nando terlebih dahulu lantaran jarak yang lebih dekat. Kian kemudian dengan ogah-ogahan meluncur menuju kawasan Bintaro untuk memulangkan mobil. Selama pesta, Kendra tidak henti-hentinya menelepon. Mobil mendadak harus dipakai pagi-pagi sekali, katanya, harus kembali malam ini juga. Sialan Kendra.
"Eh, ada Laudy? Cantik banget."
Kendra berdiri di dekat pintu usai membukakan garasi. Dia yang tengah mengenakan kaus, celana pendek, dan sarung yang disampirkan di sekeliling leher melempar senyum ramah kepada Laudy, tetangganya sebelum menikah dan pindah ke sini. Senyum lebar yang terlalu mirip dengan senyum Kian.
"Apa kabar, Dy? Gimana kuliah?"
"Baik, Bang. Lagi persiapan mau praktikum, sih. Biasa, anak Antropologi banyak kerja lapangannya." Laudy menggaruk rambutnya sedikit canggung. "Abigael mana?"
"Oh, udah tidur sama mamanya. Habis nangis minta dibeliin sepeda."
Abigael, balita kecil yang terakhir Laudy lihat masih berusia dua tahun, hiperaktif dengan pipi bakpao dan kaki mungil yang masih sering jatuh saat berlari. Namun, itu sudah hampir setahun yang lalu. Berarti Abigael sudah menginjak tiga tahun sekarang. Sudah sebesar apa, kira-kira?
"Yah, Sayang. Padahal Laudy pengin ketemu. Pengin noel pipinya." Laudy terkekeh.
"Nanti kapan-kapan main ke sini lagi, kalo gitu."
"Cih, kemaren aja gue main, diusir kayak ayam!" Kian menyahut. Dia baru kembali dari memarkirkan mobil di garasi.
"Elo, tuh. Dateng-dateng minta makan. Dateng bertamu tuh bawain martabak, kek!"
"Allahu Akbar! Dosa apa gue punya abang pelit kebangetan. Disuruh masuk aja enggak, dikasih minum apalagi."
"Mau minum? Noh, oli!" Kendra memonyongkan bibir, menunjuk tumpukan kaleng di sudut garasi. Dia lalu menoleh kepada Laudy. "Mampir dulu, yuk, Dy? Minum dulu."
Kian segera mendengkus keras-keras, menyuarakan protes atas diskriminasi yang dia terima sementara Laudy hanya menyengir. Dia sudah biasa menghadapi dua bersaudara yang kalau jauh kangen kalau ketemu ribut ini. Waktu Laudy main ke rumah Kian yang hanya dipisahkan oleh jalan selebar dua meter, mereka nyaris selalu baku hantam, Kian dan abangnya ini. Sementara Kevan, yang paling kecil dan baru masuk SMA, adalah yang paling pendiam. Biasanya, dengan Kevan-lah Laudy akan main karena Kian sibuk mendepak Kendra atau sebaliknya.
"Omong-omong, lo katanya bawa mobil mau ngajak cewek lo, Bong! Mana?"
"Noh, yang putih-putih kek kunti. Enggak keliatan apa?"
Perlu semenit penuh bagi Kendra untuk mencerna informasi tersebut. Dia menatap Laudy, lalu mengerjap-ngerjap bingung. "Laudy? Cewek lo Laudy?!"
Kendra menganga tanpa bisa menutup mulutnya kembali. Eskpresinya seperti baru menerima kabar bahwa sapi sekarang bisa bernyanyi.
"Hah?! Kok lo mau, Dy? Kan lo tahu Kian sebuluk apa dulu. Udah item, dekil, panuan."
"Eh, Sandal Masjid! Itu mah elo! Gue bening, ya, dari dulu. Lagian, gue juga tahu Laudy dulunya beternak kutu, biasa aja gue."
Laudy, yang semula tenang-tenang saja karena merasa jadi cewek rebutan, mulai panas mendengar olok-olok Kian. Bongkar saja terus! Apa Kian lupa dengan aibnya sendiri?!
"Sempak berenda lo apa kabar? Gue upload, tahu rasa!"
"Itu elo, 'kan, yang sabotase?! Sempak gue tuh manly! Mau liat!"
"Eh, apa-apaan lo!"
Belum sempat Kian memamerkan sempak manly-nya, suara tangis kencang terdengar dari rumah, menarik perhatian mereka semua. Laudy diam-diam menghela napas lega. Syukurlah ..., matanya batal ternoda.
"Lo berisik banget, sih!" Kendra mulai mengomel kepada adiknya. "Bibi jadi bangun, 'kan? Udah, pulang gih sana."
Usai ditinggal Kendra yang buru-buru masuk kembali ke rumah, Kian bergerak mendekati skuter yang sebenarnya kekecilan untuk badannya yang kelewat tinggi. Dia menyerahkan helm kepada Laudy.
"Pulang, yuk. Udah larut."
Laudy tidak punya alasan untuk mendebat. Sekarang sudah lewat pukul sepuluh dan malam mulai dingin. Sepertinya, dia telah salah memilih baju karena kain tipis yang membalut lengannya tidak cukup melindungi dari hawa malam. Dia nyaris menggigil begitu motor dijalankan.
Namun, belum jauh meninggalkan rumah Kendra, Kian berhenti. Tepat di bawah tiang lampu yang memberikan Laudy akses untuk menatap profil samping Kian.
"Kenapa?" Laudy mengerutkan alis.
"Gue lupa."
Kian menurunkan standar, lalu berputar 90 derajat menghadap Laudy. Tanpa mengatakan apa-apa, dia meraih kedua tangan Laudy, merasakan ujung-ujung jemarinya. "Tangan lo dingin." Bukan sebuah pertanyaan. Kian tidak menunggu Laudy untuk berkomentar ketika dia mulai membuka jasnya.
Dan, sebelum Kian sepenuhnya menanggalkan jas, tangan Laudy menahan pakaian itu tetap di tempat.
"Tetep pakai."
"Lo kedinginan."
"Lo di depan. Bakal lebih dingin kena angin," Laudy menunduk, balas meremas jemari Kian yang sama dinginnya. Mereka tadi pergi dengan mobil sehingga Kian pasti lupa membawa sarung tangan. Ketika dia mendongak, membiarkan tatapannya bertemu dengan Kian meski sekadar lewat cahaya lampu jalan yang temaram, Laudy berusaha meyakinkannya. "Gue ... akan berlindung aja, di belakang lo."
Setelahnya, Laudy menyelipkan tangannya lebih jauh. Dari yang awalnya hanya mencengkeram bagian pinggang baju Kian, kini bergerak melingkari perut, menyembunyikan tangan di balik jas yang terbuka.
Ketika Kian sepenuhnya berbalik dan dengan ragu kembali melajukan motor, Laudy menyandarkan kepalanya di punggung Kian. Meresapi hangatnya punggung cowok itu.
***
"Nyu, lo tidur?"
Kian memutuskan untuk membuka obrolan setelah bermenit-menit yang terlalu sunyi. Takutnya, Laudy tertidur lalu tahu-tahu jatuh dari motor. Anak itu jika tidur suka tidak sadar tempat.
"Enggak. Merenung aja." Gumaman Laudy di punggungnya membuat Kian lebih rileks. Setidaknya, Laudy menghindari kemungkinan dirinya disambit parang oleh Pak Bambang Herlambang karena mencelakai anak gadis Pak RT satu-satunya.
"Berasa jadi Cinderella gue." Laudy memindahkan posisi kepalanya yang tadinya menempelkan pipi kiri di punggung Kian menjadi pipi kanan, lalu melanjutkan, "Pergi doang pakai mobil, pulangnya gembel lagi."
Kian hanya terkekeh ringan. Merasa tidak enak harus membawa Laudy yang sudah capek-capek dandan cantik dengan skuter buluk, sebulan tanpa dicuci. Itu pun dia sudah mengemudi dengan lambat, agar angin yang berembus tidak terlalu kuat dan membuat dandanan Laudy berantakan meskipun nantinya bakal dihapus juga.
Namun, sepertinya semesta tidak cukup bermain-main. Mungkin hari ini Dewi Fortuna sedang cuti. Atau, mungkin, mereka memang tidak memiliki cukup keberuntungan. Karena, tidak lama kemudian, motor itu melambat drastis sebelum berhenti sama sekali di pinggir trotoar. Dua kali Kian mencoba menstarternya kembali, motor hanya terbatuk-batuk, tidak kunjung menyala.
"Kiaaan! Lo, ah! Si Putih berulah lagi, nih!" Dengan kesal, Laudy turun dari boncengan, nyaris limbung karena hak sepatu yang belum dia kuasai pemakaiannya.
Kian ikut turun, lalu memeriksa spidometer dan segera menepuk jidatnya keras. Seolah ingin memastikan, dia membuka tangki bensin dan memasukkan telunjuknya ke dalam. Kering. Sama sekali. "Habis bensin, Dy."
"Enggak lo isi, emang?" Laudy bersedekap.
"Asli, gue lupa!"
Dengan putus asa, Kian mengedarkan pandang. Jalanan relatif sepi karena dia memang tidak mengambil rute jalan raya, hanya jalan pintas melewati perumahan. Sejauh mata memandang pun dia tidak menemukan pedagang bensin yang masih buka.
Tatapannya kemudian tertuju kepada Laudy, yang sedang berupaya mengaitkan kembali sepatu ke pergelangan kakinya.
"Lo bawa hape?"
Laudy menghentikan kesibukannya sejenak demi menatap Kian. "Bawa. Kenapa? Mau gue teleponin bengkel? Atau Nando gitu?"
Kian menggeleng. "Nando motornya rusak. Lagian, ini enggak seberapa jauh dari kos. Lo ... pesen ojol, ya?"
"Lho? Terus, elo gimana?"
"Ya enggak gimana-gimana, gue dorong aja. Kali ketemu yang jualan bensin di jalan."
Laudy menegakkan tubuh, lalu berdiri di belakang motor. "Ya udah, gue bantu dorong."
"Dy!"
Setelah perdebatan kecil yang cukup panjang, keputusan dicapai. Kian mulai mendorong motor, sementara Laudy berjalan di sisinya, dengan heels yang membuatnya nyaris jatuh berkali-kali. Gadis itu meringis, merasakan lecet di tumitnya karena gesekan sepatu.
"Gimana caranya Cinderella lari dengan satu sepatu doang, ya? Dengan sepasang lengkap aja rasanya kayak jalan di titian siratalmustakim." Laudy berkelakar. Dia tidak tahan dengan suasana yang kelewat sepi, kecuali napas Kian yang terdengar lelah karena sudah mendorong motor sejauh nyaris setengah kilometer.
Kian mengeluarkan suara antara mendengkus dan tertawa. Namun, ketika Laudy nyaris oleng karena salah berpijak di jalanan yang tidak rata, Kian berhenti.
Dia berjongkok di depan Laudy, dan tanpa izin, melepas sepatu cewek itu. Kekhawatirannya terbukti ketika dia menemukan lecet di bagian tumit.
"Makanya gue bilang, pesen ojol aja."
Laudy menggeleng. "Entar lo kenapa-kenapa kalau ditinggal!"
"Gue udah gede, lupa?"
"Badan doang." Laudy menggigit bibir. Entah bagaimana, berdiri di depan Kian tanpa sepatu dan membiarkan cowok itu meneliti kakinya membuat Laudy merasa seakan ditelanjangi.
Dia pikir Kian akan membiarkannya dan kembali karena tidak ada juga yang bisa Kian lakukan. Namun, di luar dugaannya, cowok itu telah melepaskan sepatunya sendiri, sneakers berwarna oranye kesayangannya, dan meletakkannya di hadapan Laudy.
Melihat keraguan di mata Laudy, Kian meraih lagi pergelangan kakinya, memasangkan sendiri sepatu itu, sebelum mengikatnya dengan simpul erat agar tidak lepas. Pasti sepatu itu terlalu besar di kaki Laudy. Salah-salah bisa terlempar ke kepala Kian sendiri.
"Gue enggak mungkin gendong lo kayak di drama-drama itu. Putih siapa yang bawa? Tapi, seenggaknya lo bisa jalan lebih nyaman dengan ini, 'kan? Walaupun kegedean."
Laudy mengerjap. Kian memegangi kedua sepatunya, menggantungnya di motor, sementara kakinya sendiri sekarang tanpa alas apa-apa. "Lo?"
"Yaelah. Gue bisa nyeker. Bentar doang. Sampai ketemu tukang bensin."
Kenyataannya, mereka tidak bertemu satu pun penjual bensin eceran yang masih buka. Kian harus bertelanjang kaki di sepanjang sisa perjalanan. Laudy tidak dapat menyingkirkan tatapannya dari jalanan. Bagaimana bisa? Sekarang sudah malam, mereka tidak dapat melihat kerikil atau hal lain yang berserakan di aspal. Hanya saja, setiap kali Kian menginjak kerikil tajam, bibir cowok itu akan berkedut. Dan, setiap kali itu pula Laudy harus menahan diri untuk tidak mengembalikan sepatunya.
Sepatu Kian memang kebesaran untuk kakinya, ada ruang yang jempolnya bahkan tidak bisa jangkau. Namun, sepatu itu hangat, dan nyaman, dan sangat Kian.
Sambil menatap sepatu oranye di kakinya, Laudy tersenyum kecil. Entah bagaimana, rasanya dia benar-benar menjadi Cinderella malam ini.[]
AUTHOR'S NOTE:
Halo, Naya di sini. Pertama-tama, terima kasih, ya, sudah membaca Tiga Minggu dan sudah menemani perjalanan Kian dan Laudy sampai bab ini. Setiap vote dan komentar yang kalian tinggalkan pasti saya baca dan sangat saya apresiasi. Terima kasih banyak! Jangan kapok2 voment, yaw~
Untuk bab ini, sudah bikin baper belum? Yang pernah naik motor berdua dengan si dia, malam-malam, dingin-dingin, ayo ngaku!
Kita ketemu di next chapter, ya, Kamis depan. Ayo, dong, kasih satu emot yang pas buat Kian!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top