Bab 1: Kian - Ameba

"Pada kehidupan selanjutnya, gue mau daftar jadi ameba.

Enggak perlu cewek untuk berkembang biak. Membelah diri aja."

Kian


Jika ada pembaca novel daring sejati dan tidak mengenal Kian Erlangga, harap angkat tangan. Boleh juga angkat kaki. Pembaca setia aplikasi Wattpad pasti tahu yang namanya Kian Erlangga. Pasti. Haram hukumnya kalau tidak tahu.

Pasalnya, cowok yang Juli lalu genap berusia 21 tahun ini ketenarannya sudah menyaingi deretan selebritas. Ada tempat tersendiri untuknya di hati pembaca, terutama kaum Hawa. Pengikutnya mencapai ratusan ribu di aplikasi menulis itu. Di Instagram? Menembus setengah juta. Ada dua hal yang menjadi alasannya: satu, orang bilang dia adalah penulis genius, dengan karya-karya yang selalu membuat pembacanya senam jantung dan panas dingin sampai tidak bisa tidur. Karena belum makan, kayaknya. Bukan, bukan. Karena karya-karya yang ditulisnya memang se-wow itu. Alasan kedua karena dia ganteng. Pakai banget. Bangetnya kuadrat. Jadi, ganteng pangkat tiga. Di Instagram-nya yang diikuti sebagian besar penggemar perempuan itu, meski dengan jumlah unggahan yang tidak banyak, tetapi sekali dia membagikan foto dirinya—yang kebanyakan hanya tampak samping atau belakang ..., sudahlah, anak cewek orang bisa menggelepar tak berdaya.

Dengan ketenaran sebesar itu, dengan kegeniusan dan kerupawanan yang digabung menjadi satu paket komplet, seharusnya semuanya berjalan semulus pantat bayi. Seharusnya, garis bawah.

Nyatanya, tidak. Tuhan itu adil. Jadi, Kian punya satu masalah.

"Kamu enggak makan?"

Di balik polesan lipstik berwarna pink koral, cewek itu tersenyum manis, menampilkan gigi gingsulnya yang tidak mengganggu sama sekali.

Kian tersenyum balik seraya mengambil satu kentang goreng miliknya dan mencoleknya ke saus tomat. Mereka sedang berada di sebuah kafe bernuansa pastel di kawasan Kemang yang, meminjam istilah orang-orang, Instagrammable. Sore itu, Kian memutuskan hanya memesan kentang goreng dan kopi yang harganya kira-kira paling terjangkau setelah cewek di depannya menyebutkan dua macam keik pada harga teratas—banana and carrot cake dan Tres Leches─serta green tea latte dengan entengnya. Ini adalah satu dari sekian ribu alasan dia malas berkencan. Benar-benar pemborosan.

Sarah, namanya. Cewek yang duduk manis di hadapannya itu. Cantik, dandanannya rapi dan tidak berlebihan, wangi, secara fisik memiliki nilai tinggi di mata Kian. Namun ....

"Jadi." Sarah menuntaskan kunyahannya, lalu mengelap bibir dengan anggun sebelum bicara lagi. "Jadi, temen kamu selain Nando ada siapa aja?"

"Enggak banyak, sih. Paling, si Laudy, tetangga sebelah."

"Laudy?" Alis rapi cewek itu berkerut curiga. "Cewek?"

"Cewek. Jadi-jadian, tapi." Kian menyuap kentang gorengnya lagi, menikmati bunyi kres-kres pelan yang dia hasilkan. Kentang gorengnya tidak buruk, Laudy pasti akan suka kalau diajak ke sini.

"Maksudnya?"

Belum sempat Kian menanggapi, ponselnya berdenting lagi, menandakan ada pesan masuk, dan secara refleks Kian meraih ponsel itu dari sakunya untuk memeriksa.

Duh, si editor alay lagi. Satu-satunya editor yang secerewet itu yang pernah Kian temui, meski dalam hidupnya dia hanya sempat berurusan dengan tiga editor. Kian heran, Egi itu mamanya atau editornya, sih? Jika mamanya gencar menanyakan kapan dia akan membawa pacar ke rumah, Egi memborbardirnya dengan "Kapan naskahmu selesai?" Mereka berdua seharusnya bertemu, lalu bareng-bareng berangkat ke Kutub Utara mencari beruang ekor sembilan, jauh-jauh dari hidup Kian. Oke, itu jahat.

Lagi usaha riset, Mbak, dia mengetik balasan.

Tidak lama, balasan dari Egi muncul. Lagi sama cewek, ya? Cantik, enggak? Widih.

Bodo. Urusin sana, naskah-naskah yang lain!

Aku ngebet pengin baca naskah kamu, Kian.

Situ ngefans, ya? :')

Pede banget. Pokoknya buruan, yang baju merah jangan sampai lepas!

Dia lagi pakai baju biru, Mbak -_-

"Kian!"

Yang dipanggil tersentak, senyum otomatis luntur dari bibirnya saat menyadari bahwa dia sempat melupakan keberadaan Sarah di hadapannya. Parahnya lagi, Sarah kelihatan sekali tidak terima, dengan alis bersulam rapinya yang berkerut meruncing dan mata yang menatap Kian tajam.

"SMS-an sama siapa tadi?"

"Chat," Kian merasa perlu mengoreksi. Masalahnya, siapa yang hari gini masih SMS-an selain pesan provider dan penipuan "Selamat, Anda mendapatkan 100 juta rupiah"?

"Sama aja. Kamu chat-at sama siapa tadi?"

"Editor."

"Cewek?"

Kian menghela napas. Firasatnya tentang Sarah memang sudah tidak begitu mengenakkan sejak tadi. Sejak cewek berambut panjang itu bercerita tentang penyebab putusnya dari sang mantan dua bulan lalu: karena doi tidak memberi kabar selama sepuluh jam. Bayangkan! Sepuluh jam doang! Lapor ke RT saja bisa 2 x 24 jam.

Sebenarnya, Sarah sendiri bukan pacar Kian, hanya calon. Jadi, semingguan ini, Kian rusuh. Novel romance-nya ditolak. Padahal, dia sudah menerbitkan empat buku yang kesemuanya adalah novel misteri, thriller, fantasi, dan action. Semua keren, menguras otak dan berdasarkan riset yang tidak main-main. Ya, Kian memang tidak pernah tanggung-tanggung dalam menggarap buku-bukunya. Pernah, dia sampai menyamar dan mengikuti geng anak motor, geng preman, menginvestigasi pengedar narkoba, bahkan nyaris terlibat tawuran hanya demi riset. Dia paling jago membuat pembaca penasaran dan menebak-nebak plot twist macam apa yang akan dia suguhkan.

Namun, soal romansa receh, Kian lemah. Para penggemar terus mendesaknya untuk membuat satu novel romance, yang jika terbit dijamin akan langsung menempati rak bestseller di toko-toko buku. Kian telah mencoba, tetapi ini adalah kali kedua sang editor langganan mengembalikan naskahnya.

"Naskah ini enggak Kian banget," komentarnya waktu itu.

Egi, sesuai dengan namanya, Editor Gaje Indonesia (begitu menurut Kian), yang dua kali menolak naskah picisannya itu menyugestinya untuk melakukan riset. Dengan cara ... pacaran. Mungkin ini aneh, tetapi Kian, yang gantengnya level langit ketujuh itu, jujur saja, belum pernah pacaran.

Jadi, dengan bantuan Fernando Junaedi Bin Haji Qomar, salah satu sahabat Kian paling dekat dan nyaris satu-satunya, dia berhasil mendapatkan kontak beberapa cewek potensial. Dia sudah bertemu dua sebelumnya, dua-duanya cantik, dan dua-duanya gagal. Sepertinya, Sarah akan menjadi kegagalan Kian yang ketiga.

"Kamu selingkuh, ya, dari aku?" Sarah masih mencak-mencak. "Siniin hapenya!"

Ya Tuhan. Mana kamera? Kian ingin melambaikan tangan.

Cewek itu aneh, ribet, mengerikan. Belum jadi pacar, sudah begini posesifnya. Kian tidak bersedia suatu hari dimutilasi hanya karena praduga tak bersalah.

"Pulang, yuk, Sar. Udah gelap."

"Lho, kok pulang? Kamu pengin nemuin cewek itu, ya?!"

Kian berdiri, lalu mengeluarkan dompet, meringis menyadari uang yang dia bawa akan berkurang lebih dari setengahnya hanya karena cewek yang tidak akan pernah mau dia temui untuk kali kedua.

Dia menatap Sarah lagi. "Iya, gue mau ketemuan sama cewek. Cantik banget, keturunan Belanda. Rambutnya panjang, pake baju putih. Namanya Adelaine. Kalau kamu siapin bunga melati, dia bakal datang ke kamarmu."

Adelaine, naskah novel horor thriller yang sedang setengah jalan dia garap.

***

"Gue nyerah!" Kian mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi, bahkan sebelum Nando yang menungguinya di depan kos mengajukan pertanyaan. "Mending lo bunuh gue, deh, daripada nyuruh gue kencan sama cewek-cewek itu lagi."

Nando mencoba mengangkat satu alis seperti di drama-drama, tetapi gagal. Ekspresinya malah seperti orang mengejan. "Lho, kenapa? Sarah kan cantik. Temen-temen sekelas gue aja banyak yang nanya nomornya. Cuma karena elo temen baik gue aja, nih, gue kasih dia ke elo."

Meninggalkan Scoopy merahnya di halaman, Kian melepaskan helm dan melenggang melewati Nando menuju tangga sempit yang membawanya langsung ke lantai dua, lokasi kamarnya berada. Cowok dengan tinggi rata-rata yang terkesan pendek jika berada dekat-dekat Kian itu hanya bisa mengekori di belakang sambil menggerutu tidak jelas.

"Ya udah, deh, sama Vani aja. Anak FEKOM. Cantik banget, gila! Ampe nyusruk-nyusruk gue buat dapet nomornya."

Tepat di depan pintu kamar, Kian berbalik. Dia menatap Nando lurus-lurus.

"Eh, Junaedi! Lo sebenernya mau nyuruh gue pacaran, apa nyuruh gue mati muda, sih?! Enggak ada yang bener, tahu, cewek dari lo." Dengan kesal, Kian merogoh kunci dari celana jinsnya, lalu membuka pintu dengan poster My Chemical Romance yang sudah koyak tertempel di sana.

Nando tidak perlu disuruh. Dia menanggalkan sepatunya begitu saja di depan pintu dan nyelonong masuk. Sepertinya, kalimat "anggap saja rumah sendiri" tertanam kuat di otaknya.

"Sori, deh. Tapi seriusan, si Vani ini cantik banget! Idolanya anak FEKOM! Beuh, lo kalau lihat—"

Kian memotong cepat. "Enggak! Enggak! Enggak tertarik." Sambil mengempaskan pantat ke tempat tidur, dia melepaskan jaket dan melemparnya asal. Helm sudah lebih dulu dia taruh di dekat rak sepatu.

"Gila, ya," tudingnya lagi begitu Nando mengambil tempat di sisi kosong tempat tidur. "Cewek-cewek yang lo kasih itu enggak ada yang beres. Kemaren, Si Metta, cerewetnya enggak ketulungan. Kayaknya, gue mesti periksa ke THT. Masa gue pakai sandal doang diributin. Terus, yang kemarennya lagi, si Flora—"

"Florelia."

"Iya, itu. Creepy. Masa dia DM gue tiap jam? Nanyain apa gue udah makan, udah mandi, gue kuliah jam berapa, tidur jam berapa, pakai baju apa. Kalau dalam naskah gue, itu orang psikopat." Kian menghela napas. Ini adalah salah satu kalimat terpanjang dan tercepat yang dia ucapkan. Terima kasih, emosi. "Capek. Cewek itu superribet."

"Lah. Terus gimana urusan riset pacaran lo?"

"Bodo. Gue enggak mau berurusan sama cewek!"

Kian meraih bantal sebelum merebahkan tubuhnya ke kasur, kakinya dia biarkan menapak di lantai. Dia memejamkan mata dan mengembuskan napas lelah. Dia baru tahu bahwa kencan saja bisa menguras energinya lahir batin. Bagaimana dengan menikah?

Ketika Kian membuka mata, Nando sudah memandanginya dengan sorot jijik.

"Kalau lo enggak mau sama cewek, berarti lo mau sama ... ng, sesama, gitu?"

Kebetulan, ada novel yang Kian beli dua hari lalu dan belum selesai dia baca. Sebuah seri petualangan Theodore Boone terbaru dari John Grisham. Tebal. Berat. Hard cover. Dan, Kian dengan sukarela menggeplak sahabat koplaknya itu dengan benda tersebut.

"Ya enggak gitu juga, kali! Gini-gini, gue normal, ya!"

"Enggak usah ngegas, kali!" omel Nando sembari mengusap-usap kepalanya yang berdenyut. Jangan sampai IQ-nya yang susah payah bertahan di level rukuk turun ke level sujud.

"Gue mau nyerah." Kian menatap langit-langit kamar, dengan tempelan arakan awan-awan yang mulai kusam. "Biarin gue enggak pernah nulis romance."

"Jangan gitu. Ini ladang emas, Bro. Lagian, gue kasian. Masa sohib gue dua puluh satu tahun hidupnya belum pernah pacaran. Gue yang notabene ganteng nomor dua setelah elo aja mantan gue ada lima. Rupa-rupa mukanya. Walaupun meletus semua." Perlu diingat bahwa jajaran ganteng versi Nando ini hanya melibatkan dua orang, Kian dan dirinya.

Kian menghela napas. Jujur saja, dia sadar sesadar-sadarnya dengan kelebihan parasnya. Dengan mata tajam, alis lebat yang rapi, bulu mata panjang, dan hidung yang seperti pahatan, sulit untuk menghindar dari serbuan pernyataan cinta, baik yang langsung maupun tidak. Namun, tidak tahu kenapa, dia punya masalah sosialisasi yang buruk. Selain buku-buku dan beberapa sahabat dekat, tidak ada yang membuat Kian nyaman.

"Jujur, gue sebenarnya juga penasaran rasanya kayak apa. Tapi, siapa, sih, emangnya yang bersedia pacaran dalam waktu tertentu aja? Habis itu udah, gue enggak mau diteror."

"Maksud lo pacar kontrak, gitu? Buset! Udah kayak kos aja."

Kian duduk, lalu menatap Nando. "Ada, yang kayak gitu?"

Nando aka Juned aka Fernando Junaedi mengerjap. Mereka bertatapan selama beberapa detik sebelum Nando menunjuk diri sendiri. "G-gue?"

Sebuah bantal melayang detik berikutnya. "Jijik gue!" Kian buru-buru beranjak dari kasur, seolah jika dia terlambat sedikit saja, Nando mungkin telah menyerangnya.

Pintu yang menjeblak terbuka tiba-tiba serentak mengalihkan momen baku hantam keduanya. Seorang cewek berdiri di sana sambil memeluk bantal Doraemon. Rambutnya yang keriting dan megar tampak lebih awut-awutan daripada biasanya. Sepertinya dia baru saja bangkit dari masa-masa rebahannya.

"Laudy?" Nando memberi usulan.[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top