Special Chapter: Bioskop Penuh Debar
Udah di mana, Bang?
Devan menatap layar ponsel sejak lima menit lalu. Pesan yang dia kirimkan kepada Dika belum juga dibalas, sedangkan status WhatsApp-nya masih sama: terakhir dilihat hari ini pukul 14.00. Dua jam lalu, sejak perjanjian mereka dibuat.
"Duh, Mas Dika ke mana, sih?" Di samping Devan, Noura menggerutu kesal. Punggungnya bersandar pada tembok ruang tunggu bioskop, sedangkan kakinya menendang-nendang lantai penuh emosi. "Gue udah nebak bakal kayak gini. Mas Dika enggak bakal pernah bisa tepat waktu. Dia payah!" Omelan Noura membuat beberapa orang di dekat mereka melirik penasaran. Namun, cewek itu tidak peduli. "Katanya mau traktir nonton bioskop, tapi orangnya enggak muncul. Bikin kesel! Niat traktir enggak, sih? Sumpah, ya, gue udah nyoba nelepon dia berkali-kali, tapi enggak diangkat juga. Kayaknya dia tidur, deh. Kalau udah tidur kayak orang mati habisnya."
Tadi siang, Dika menghubungi Devan dan Noura saat masih di kampus. Katanya, subscriber channel YouTube-nya berhasil mencapai angka 3.000 dalam seminggu. Saking girangnya, Dika sampai berteriak-teriak nyaring saat menghubungi Devan. Bahkan, Dika berniat mengadakan acara tumpengan di rumah dan mengundang beberapa tetangga terdekat. Namun, Linda menolak usulan tersebut sehingga cowok itu merayakan kesenangan dengan mengajak Devan dan Noura menonton bioskop secara gratis.
Suara layar ponsel yang ditekan kasar berhasil membuat Devan menoleh kepada Noura. Cewek itu terlihat lebih dari marah. Matanya seakan ingin membakar ponsel di tangan, sedangkan bibirnya mengerucut penuh kesal. "Fix Mas Dika enggak jadi traktir. Tahu gitu gue ke kosan Putri aja tadi. Enggak usah batalin ngerjain tugas," gerutu Noura.
Devan mengangguk singkat. Dia juga memiliki agenda lain, tetapi agenda tersebut harus diundur karena Noura sangat antusias dengan rencana traktiran Dika. Devan tidak tega menolak, jadi dia menyetujui usulan Noura untuk ke bioskop menggunakan motornya. Mata Devan melirik sekilas layar ponselnya, barangkali Dika telah membalas pesan terakhir darinya. Namun, seperti beberapa belas menit lalu, tidak ada pesan baru dari Dika. "Nonton aja, yuk. Gue yang bayarin, deh. Nanggung balik kalau udah di dalam bioskop gini," usul Devan setelah membiarkan Noura berkutat dengan nomor telepon Dika.
"Lo mau traktir gue?" tanya Noura sambil menunjuk diri.
Kalau boleh jujur, Devan tidak terlalu ingin menonton di bioskop, terutama film yang telah mereka sepakati. Daripada menonton, dia lebih memilih ke toko buku untuk membeli buku incarannya, Man's Search for Meaning. Akan tetapi, melihat Noura yang sangat menantikan film ini ..., Devan sekali lagi tidak bisa menolak.
"Iya," jawab Devan sedikit gugup. Dia takut Noura menyadari rasa tidak tertariknya. "Gue traktir. Gue punya duit, tenang aja. Enggak usah panik kita bakal diusir dari bioskop."
Noura tampak berpikir. "Gimana kalau gini? Kita bayar masing-masing."
"Enggak usah. Gue yang bayarin lo."
"Tapi—"
"Atau," potong Devan cepat, "gue bayarin dulu tiketnya. Nanti gue bilang Bang Dika biar dia gantiin. Kan dia yang awalnya mau traktir kita." Bohong. Devan tidak berniat meminta uang ganti kepada Dika. Baginya, menonton bioskop bersama Noura adalah bayaran yang sepadan. Untungnya, Noura menyetujui kebohongannya dan membiarkan masalah ini begitu saja.
Devan dan Noura segera memasuki ruangan teater setelah membeli tiket. Keduanya bersyukur karena film baru diputar saat bokong mereka sudah menduduki bangku bioskop. Belum sampai lima menit menonton, Noura sudah menarik lengan kaus Devan. Devan terpaksa mencondongkan tubuh ke arah cewek itu agar tidak mengganggu penonton lain.
Noura menggelitik telinga Devan dengan bisikannya yang lembut. "Untung gue nonton sama lo. Kalau Mas Dika ikut, kita harus nonton nanti malam karena semua kursi penuh."
Setelah berbisik, Noura kembali bersandar pada kursi dan menikmati film. Cewek itu terbahak pada beberapa adegan dan tersenyum cerah, tampak sangat terhibur dengan pertunjukan yang diputar sedangkan telinga Devan hanya bisa mengulang-ulang bisikan Noura.
Noura bersyukur telah menonton bersamanya dan Devan tidak bisa menghentikan senyum yang terulas di bibirnya.
***
Sudah berapa lama film diputar? Devan bosan setengah mati, sedangkan orang-orang mulai menangis saat salah satu tokoh sekarat. Suara ingus ditarik dan isakan-isakan kecil memenuhi bioskop. Devan melirik Noura yang duduk di sampingnya dengan keyakinan cewek itu sedang berurai air mata, tetapi yang dia temukan malah membuatnya tercengang.
Noura sedang terlelap dengan kepala tertunduk yang sesekali bergoyang.
Ckckck! Devan menggeleng tanpa sadar. Cewek ini sangat ingin menonton film di depan mereka, tetapi dia juga yang mengabaikannya. Tahu begitu, mereka lebih baik ke toko buku. Tahu begitu, dia lebih baik ....
Omelan Devan di dalam hati tertahan saat sesuatu mendadak membebani pundaknya. Kepala Noura yang bergoyang-goyang telah menemukan sandaran di sana.
Devan memejamkan mata dengan sangat erat. Kenapa kepala Noura harus di sana? Karenanya, Devan jadi bisa mencium wangi sampo stroberi dari rambut cewek itu. Karenanya, Devan jadi bisa mengintip wajah tertidur Noura secara leluasa dengan bantuan cahaya remang bioskop. Wajah tertidur yang polos dan menggemaskan, membuat Devan tanpa sadar menjawil pipi Noura.
Colekan Devan di wajah Noura membuat cewek itu menggerutu sambil memukul tangan Devan agar menjauh. Tawa kecil meluncur dari mulut Devan yang langsung dihadiahi desisan kesal penonton di sekitarnya.
Ups. Devan tidak boleh bersuara kencang. Nanti Noura bangun dan dia tidak ingin cewek itu bangun. Jadi, Devan membiarkan kepala Noura di pundaknya sambil sesekali—tidak, belasan kali—meliriknya.
Isakan penonton di dalam bioskop semakin kencang, tetapi Devan tidak bisa ikut bersimpati dengan adegan menyedihkan itu. Jantungnya menari senang dan bibirnya berbuat aneh—kedua ujungnya terangkat untuk waktu yang lama. Devan merasa seperti terbang ke langit ketujuh. Kalau begini, Devan rela menonton film hingga berjam-jam. Dia bahkan mengirimkan telepati kepada karyawan bioskop agar memutar film lebih lama lagi. Jika perlu sampai diulang sepuluh kali. Devan rela bokongnya panas karena terlalu lama duduk atau telinganya pengang karena mendengar isakan penonton. Dia rela ....
"Mas Dika kurang ajar." Igauan pelan Noura dan kedua tangannya yang melilit lengan Devan membuat tubuh cowok itu menegang. Noura memeluknya. Memeluknya! Devan tidak berani bergerak karena tidak ingin Noura melepasnya, sangat kontras dengan jantung yang melompat-lompat nyaris keluar dari rusuk. Akan tetapi ..., kenapa tangan Noura sangat dingin di kulit Devan?
Dengan perlahan, Devan menyentuh jemari Noura. Gila. Dingin banget! Kalau seperti ini, Devan khawatir jika Noura akan menggigil. Lalu, cowok itu ingat membawa jaket di tasnya. Dengan kehati-hatian berlebih agar Noura tidak terbangun, Devan mengambil jaket dari dalam tas lalu menyelimutkannya ke tubuh cewek itu. Devan memastikan kedua tangan Noura terlindung di balik jaket. Namun, Devan ragu Noura akan merasa lebih hangat hanya dengan sehelai jaket. Bagaimana jika Devan membantu Noura menghangatkan diri dengan menggenggam tangannya?
Devan mengangguk-angguk setuju atas ide cemerlangnya. Bukankah sentuhan langsung kulit dengan kulit bisa menaikkan suhu? Dia terus mengulang alasan itu, meski sebagian besar dirinya tahu bahwa dia memang sudah menantikan untuk melakukan ini.
***
"Filmnya udah selesai?"
Devan terkejut saat Noura menggeliat bangun dan bertanya dengan wajah polos setengah mengantuk. Cewek itu mengucek-ngucek mata, lalu menutup mulut saat menguap.
"Coba aja lihat sekeliling lo. Emangnya masih banyak orang?" dengus Devan.
Perintah Devan dituruti Noura. Matanya mengedar, dimulai dari pojok teater bioskop yang telah sepi hingga pintu keluar yang terbuka lebar. Karyawan bioskop yang menjaga pintu keluar melirik mereka karena saat ini kursi bioskop nyaris tak berpenghuni kecuali seorang ibu dan anaknya yang sedang bersiap keluar serta mereka, Devan dan Noura yang masih duduk dengan nyaman.
"Kenapa lo enggak bangunin gue?" tanya Noura masih setengah mengantuk. Cewek itu bangkit dari duduk, lalu menyadari jaket Devan yang menyelimuti tubuhnya ketika pakaian itu jatuh ke lantai.
"Jaket lo, Van?" tanya Noura sambil membungkuk untuk mengambilnya. Namun, tangan Devan meraih jaketnya lebih cepat.
"Iya, jaket gue. Lo ngigau kedinginan. Berisik banget sampai orang-orang terganggu," cibir Devan. Meski bibirnya berkata demikian, dalam hati Devan menyumpah diri sendiri. Kenapa harus berbohong?
"Makasih," balas Noura.
Devan mengekori langkah Noura yang berjalan menuruni tangga. Matanya mengawasi langkah cewek itu, khawatir Noura yang berjalan sempoyongan tiba-tiba terjatuh. Hingga mereka keluar dari bioskop, untungnya Noura tidak tersandung sekali pun.
"Mau makan?" tawar Devan.
"Hmm ..., sejujurnya gue enggak lapar dan ngantuk banget, jadi lebih milih langsung pulang. Semalam ngerjain tugas sampai enggak tidur dan habis ini mau nugas lagi. Tapi, kalau lo mau makan, kita makan aja," jawab Noura.
"Gue enggak lapar. Sebelum ke sini udah makan."
"Kalau gitu, pulang?"
Devan mengangguk menanggapi ajakan Noura. "Iya, pulang aja. Biar lo bisa nugas lag—hatchi!" Devan menutupi hidung dan mulut sebelum bersinnya keluar.
"Lo kedinginan, Van?"
Hatchi!
Noura mengambil inisiatif dengan mengeluarkan jaket Devan dari dalam tas cowok itu, buru-buru memakaikannya pada tubuh Devan yang bersin sekali lagi. Hatchi!
"Duh ..., lo kalau enggak kuat dingin, bilang-bilang, dong!" cibir Noura pelan, sedangkan tangannya sibuk merapatkan jaket di tubuh Devan.
"Ya lo yang make kan sejak tadi?"
Wajah Noura memerah. Cewek itu gelagapan karena malu. Devan hafal betul gelagat yang satu itu. "Kenapa enggak bangunin gue? Kan gue bisa balikin jaket lo. Atau, kenapa kita enggak pakai jaketnya berdua?"
Tangan Devan memukul pelan kepala Noura secara refleks. "Sakit!" seru Noura sambil membelalakkan mata. Melihat akting picisan itu, Devan memutar bola mata karena tahu bahwa pukulannya tidak keras sama sekali.
"Gue enggak bisa dekat-dekat karena lo bau, Nou. Gue enggak tahan."
Noura mengendus tubuhnya. "Wangi, kok. Enggak bau," katanya sambil mengepalkan kedua tangan, kemudian memukul Devan. Cowok itu terbahak, lalu ... hatchi!
"Tahu rasa! Bersin-bersin terus! Makanya jangan ngatain gue bau." Cewek itu tampak semakin kesal saat Devan kembali tertawa. "Ritsletingin sendiri jaketnya. Gue males sama lo."
"Jadi, ini balas budi lo setelah gue pinjamin jaket?"
Noura menggerutu, tetapi tidak lama kemudian menarik ritsleting jaket hingga ke leher.
"Tapi, lo bau—"
Noura membeliakkan matanya sambil mendesis. "Diam! Kalau lo bahas-bahas bau lagi, gue pulang sendiri aja!"
Ancaman itu berhasil membuat Devan bungkam. Noura berputar untuk meninggalkan Devan, tetapi gerakan cowok itu lebih cepat. Devan menarik tangan Noura sambil memamerkan wajah lesu. "Gue beneran kedinginan, Nou. Makasih udah pakein gue jaket, tapi bisa tolong pegangin tangan gue juga? Sampai parkiran aja, soalnya tangan gue beku."
Noura tidak jadi meninggalkan Devan. Matanya ragu saat menatap cowok itu. "Beneran?"
"Lo enggak ngerasa tangan gue dingin?"
"Agak dingin, sih ..., tapi enggak sedingin itu sampai perlu dipegangin segala."
Devan berdeham. "Emang enggak sedingin itu, Nou. Tapi, gue khawatir tangan gue jadi kaku saat pegang setang motor. Bahaya, 'kan?"
Noura diam.
"Apalagi gue harus duduk di depan. Kena angin langsung. Gue enggak yakin besok bisa masuk kampus—"
"Oke," potong Noura, menyerah. "Sampai parkiran aja, 'kan?"
Devan berusaha menyembunyikan senyum di wajahnya. "Iya. Sampai parkiran aja."
Ketika tangan Noura menyusup di antara jemarinya, cowok itu menarik Noura mendekat. "Jangan jauh-jauh jalannya. Tangan gue pegel," kata Devan sambil melirik wajah Noura. Mungkin ini hanya halusinasinya saja, tetapi Devan merasa melihat Noura juga menahan senyum.[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top