Special Chapter: Ambisi yang Beracun


"Mama dengar nilai biologi ujian tengah semester kamu cuma dapat 80?"

Rangga menghentikan suapan ke mulut ketika Mita, ibunya, bertanya di tengah makan malam mereka. Gading, bapaknya, yang duduk di ujung meja makan ikut menghentikan gerakan sendok sehingga ruang makan menjadi hening kecuali debaran panik jantung Rangga.

"Rangga," panggil Gading, "coba jawab pertanyaan Mama."

Tangan Rangga yang terangkat memegang sendok di depan mulut diturunkan. Kemudian, sendok dilepas karena dia takut benda itu jatuh ke lantai akibat tangannya yang licin oleh keringat. "Nilaiku termasuk tinggi, kok. Yang lain di bawah nilai KKM."

Mita mengetuk-ngetuk permukaan meja tidak sabar. "Kalau Devan? Berapa nilainya?"

Rangga menggigit bibir bagian dalam hingga dia mencecap darah. Devan lagi, Devan lagi. Kenapa nilai mereka harus selalu dibandingkan? Apakah tidak cukup dengan membandingkan Rinan dan Rangga? Dengan takut-takut, Rangga menjawab, "Sembilan puluh, Ma."

"Ya Tuhan ...," kata Mita sambil menutup mata. "Devan bisa 90 dan kamu cuma 80? Rangga, kamu tau kalau hanya anak-anak terbaik yang bisa masuk Kedokteran Universitas Indonesia? Hanya anak-anak seperti Devan yang bisa. Papa, Mama, dan Kak Rinan adalah beberapa di antara anak-anak terbaik itu. Emang kamu mau masuk Kedokteran kampus swasta?"

"Aku masih punya kesempatan lain untuk belajar buat ujian tertulis masuk Kedokteran UI. Lagi pula, apa salahnya kuliah di swasta? Kan sama-sama belajar, Ma. Emang satu tambah satu di SD negeri sama satu tambah satu di SD swasta beda? Enggak, 'kan?"

Gebrakan di meja makan mengagetkan Rangga. Kepalan Gading di atas meja serta wajahnya yang memerah berhasil membuat nyali Rangga menciut. "Kamu ngebantah omongan orangtua terus. Diberikan yang terbaik malah ngeyel. Kamu mau enggak sukses kayak sepupumu? Kuliah tinggi-tinggi, dapat sarjana hukum, malah melenceng jadi penulis. Ngaco! Om Kamil pasti malu punya anak yang cuma diam di rumah dan ngetik-ngetik aja. Kerjaan enggak jelas. Semua orang juga bisa ngetik."

Apakah maksud Gading adalah Kirana, anak tertua Om Kamil? Masuk Jurusan Hukum karena dipaksa orangtua, kemudian setelah lulus menjadi penulis, sesuai cita-cita yang dia inginkan. Kirana berani mengambil keputusan besar itu meski orangtuanya menentang setengah mati. Dia menunjukkan betapa suksesnya dia dengan buku-buku yang selalu masuk jajaran best seller. Rangga tidak tahu apakah Om Kamil masih merasa kesal karena anaknya tidak menunjukkan kejayaan di pengadilan atau tidak, tetapi jika dia menjadi orangtua Kirana, Rangga akan memamerkan anaknya di Facebook.

"Aku pulang!" Suara milik Rinan melunturkan amarah di wajah Gading. Mita bangkit dari kursi lalu menghampiri anak sulungnya.

"Bagaimana di rumah sakit? Ada kejadian apa? Kok pulang terlambat?" Mita mengelus lengan anaknya dengan wajah cerah, sangat berkebalikan dengan ekspresi yang ditunjukkan kepada Rangga.

Jantung Rangga terasa ditikam oleh pisau beracun bernama kenyataan, terutama saat Rinan duduk di samping Gading, sementara Mita mengambilkan makanan untuknya. Perasaan cemburu menghampiri Rangga karena dia lupa kapan terakhir kali Mita tersenyum seperti itu kepadanya.

"Tadi ada korban kecelakaan. Ma, aku mau kuah sayurnya lagi. Enak, seger."

Rangga menatap tiga orang yang berbincang sambil tersenyum-senyum senang tanpa memedulikannya itu. Nafsu makan Rangga mendadak lenyap. Dia ingin keluar dari sini scepatnya.

"Ngomong-ngomong, gimana sekolah Rangga?" Pertanyaan Rinan mengembalikan atmosfer tidak enak sebelum kedatangannya. Mita mengunyah daging dalam diam sedangkan Gading berlama-lama menenggak air dingin, meninggalkan Rangga yang harus menjawab saat ditatap Rinan.

"Baik," jawab Rangga pelan. Lalu, Rinan mengangguk dan kembali mengobrol dengan orangtua mereka. Meski bagi orang luar hubungan antara Rinan dan Rangga terlihat bagai bermusuhan, sebenarnya percakapan singkat yang sok perhatian barusan sudah biasa terjadi.

Rangga memperhatikan Mita, Gading, dan Rinan dengan kecemburuan yang kental. Lalu, dia mendorong kursi dan berdiri. "Aku udah kenyang. Mau ke kamar duluan, ya, Ma, Pa."

"Ngapain ke kamar duluan? Main game lagi?"

Rangga mengepalkan tangan di sisi tubuh. "Ngerjain PR fisika, Pa." Bohong. Rangga tidak punya PR fisika atau tugas apa pun. Dia juga tahu bahwa berbohong pada orangtua bukan tindakan baik, tetapi Rangga ingin keluar dari sini.

***

"Lo mau masuk jurusan apa, Ngga?"

Rangga tampak berpikir panjang sebelum menjawab pertanyaan Devan. "Enggak tahu."

"Yaelah, Van. Pake nanya segala. Si Rangga mah pasti jadi dokter," kata Didit sambil menyeruput es teh. "Ibunya dokter, bapaknya dokter, kakaknya dokter. Sekeluarga bakal jadi dokter semua pasti."

Tubuh Rangga menegang mendengar jawaban Didit. Apa yang dikatakan temannya benar seratus persen. Ada peraturan tidak tertulis dalam keluarga mereka, bahwa hanya Jurusan Kedokteran saja yang boleh dipilih. Katanya karena menjadi dokter terjamin, meski Rangga tidak paham bisa menjamin apa. Bukankah masa depan tidak bisa diprediksi?

"Berarti lo mau jadi dokter, ya, Ngga? Enak, ya, lo tahu mau jadi apa. Gue bingung. Kesukaan gue ngitung. Masuk jurusan apa, ya, kalau gitu?"

"Gue enggak mau jadi dokter," kata Rangga pelan. Devan mengernyit. "Terus tetap mau masuk kedokteran?" tanya Devan.

Apakah Rangga punya pilihan lain?

"Kalian mah enak. Pinter. Mau masuk mana aja bisa. Harusnya gue yang dikhawatirkan. Nyokap gue marah mulu lihat gue. Lihat aja pembagian rapor nanti. Dibabat abis gue." Didit tersenyum lebar pada akhir kalimat saat penjual bakso kantin meletakkan mangkuk kedua di depannya.

"Kalau lo enggak mau jadi dokter, terus mau jadi apa?"

Tanpa sadar Rangga menjawab, "Enggak tahu, tapi gue suka main game."

Didit mengangguk-angguk. "Terus mau masuk Jurusan IT supaya bisa bikin game?"

Rangga mengabaikan Didit meski jantungnya berdenyut sakit. Keinginan itu sempat tebersit di benaknya, tetapi dia kubur di ruang terdalam jiwanya. Lidah Rangga terasa pahit saat berkata, "Jadi lo enak, ya, Van. Pinter. Gue yakin lo bisa masuk Kedokteran UI dengan mudah."

Devan tertawa. "Enggak. Gue enggak suka pelajaran yang berhubungan sama kedokteran. Gue sukanya ngitung. Bagi gue, menghitung itu menantang dan asyik."

Dengkus kesal Rangga membuat Devan semakin keras tertawa. Sepertinya Devan salah mengartikan. Rangga tidak kesal karena Devan berkata bahwa berhitung itu menyenangkan, tetapi Rangga sangat kesal karena Devan menolak kemungkinan dirinya masuk Kedokteran UI meskipun bisa.

***

Mita menggenggam rapor anaknya dengan darah mendidih. Lagi-lagi peringkat dua paralel. Lagi-lagi di bawah Devan. Kapan Rangga akan seperti Rinan atau setidaknya mengalahkan Devan? Jika seperti ini terus, Mita khawatir Rangga tidak akan mendapatkan bangku jurusan Kedokteran karena kemampuan anaknya masih rendah.

"Bu Mita!" Mita menghentikan langkah di depan lapangan sekolah ketika Sri dan Yayuk berjalan menghampiri. "Gimana rapor Rangga? Pasti bagus kayak anak Bu Sri," kata Yayuk sambil cemberut. "Si Didit untungnya enggak peringkat terakhir lagi. Nilainya juga naik dikit, enggak pas-pasan KKM kayak biasa. Tapi, kalau dibandingin sama rapor anak Bu Sri ..., aduh, kepala saya pusing."

Mita tersenyum kaku. Meski dia tahu bahwa Devan mendapatkan peringkat satu lagi, Mita tetap bertanya, "Gimana rapornya Devan, Bu Sri?"

"Ya, gitu. Enggak ada perubahan. Kata wali kelas, dia enggak bisa kasih seratus buat nilai matematika Devan karena kesempurnaan hanya milik Tuhan," jawab Bu Sri, diiringi tawa Yayuk. "Oh ya, Bu Yayuk, tadi saya lihat lukisan Didit yang dipamerin di kelas, lho. Bagus banget. Saya enggak tahu Didit bisa ngelukis sebagus itu."

Yayuk tersipu malu. "Didit emang senang gambar. Tapi, ya itu. Gambar. Kalau disuruh belajar, aduuuh, malasnya bukan main. Otaknya terlalu tumpul karena dipakai buat bikin gambar."

"Bagus, dong, Bu Yayuk, kalau Didit pintar gambar," timpal Sri.

"Tapi, saya maunya dia peringkat satu kayak Devan atau peringkat dua kayak Rangga gitu. Pintar. Apa Didit dapat gen bodoh dari saya, ya?"

Map rapor di tangan Mita terasa lebih berat daripada gajah. Yayuk menyebut peringkat dua di di samping nama Rangga dan Mita tidak suka itu. "Iya, Bu Sri. Apa, sih, tips supaya bisa punya anak sepintar Devan? Rangga senangnya main game."

"Hebat, dong, Bu Mita. Rangga senang main game aja bisa peringkat dua. Hmm ..., saya juga enggak punya kiat khusus, sih. Anak-anak kalau dipaksa belajar malah jadi mumet kepalanya. Butuh refreshing sekali-kali supaya enggak stres. Kalau yang saya lihat dari Devan, dia senang baca dan ngerjain soal sampai saya pusing karena semua buku dibaca dia. Kemarin aja dia beli buku latihan soal SBMPTN karena katanya soal latihan di buku sekolah kurang banyak. Padahal masih lama sampai dia masuk universitas."

Sambil berbincang-bincang, Mita mencatat di dalam hati isi percakapan Sri. Berarti Rangga kurang banyak berlatih soal dan membaca. Anak itu hobinya main game, sih.

"Kalau menurut saya, selama anak-anak bertanggung jawab dengan tugas sekolah dan enggak melakukan hal-hal di luar batas, maka bukan masalah. Apalagi kalau mengeksplor diri seperti Didit. Yah ..., kita tahu, 'kan, Bu, tiap anak itu beda. Yang satu pintar berhitung, yang satu menghafal, terus yang lainnya menggambar. Karena perbedaan ini, maka peringkat sekolah yang hanya menilai hal-hal tertentu enggak bisa dijadikan acuan mutlak untuk menentukan anak kita pintar atau enggak," kata Sri, yang disambut anggukan Yayuk.

Meski Sri dan Yayuk percaya bahwa peringkat sekolah bukanlah ukuran mutlak kepintaran seorang anak, Mita percaya bahwa peringkat bisa memuluskan jalan anaknya menjadi mahasiswa Kedokteran UI.

***

Hari ini Rangga letih. Setelah sekolah yang melelahkan, Rangga ingin menyalakan pendingin ruangan, mandi, lalu bermain game komputer. Dia bersiul senang memikirkan game yang rencananya akan dia mainkan, tetapi perasaan itu tidak bertahan lama karena Mita sedang duduk di atas kursi meja belajarnya.

"Selamat sore, Ma," sapa Rangga setelah bertanya-tanya dalam hati tentang maksud kedatangan Mita ke kamarnya. Mita mendorong tumpukan buku di meja belajar Rangga ke arahnya. "Ini. Mulai sekarang kamu harus lebih rajin baca buku dan ngerjain soal-soal," kata Mita.

Rangga mengangguk. Dia melirik meja komputernya, tetapi meja itu kosong. "Ma ..., komputerku di mana? Kenapa enggak ada?" Kepanikan melanda Rangga. Komputer sebesar itu tidak mungkin menghilang ... atau ada maling masuk ke rumah mereka?

"Mama jual."

Wajah Rangga memucat. Di ... jual? "Tapi, kenapa, Ma? Itu kan hadiah karena nilai UN-ku tinggi. Itu kan dari Mama dan Papa!" Tidak. Komputernya tidak boleh dijual. Jika dijual, di mana Rangga bisa bermain game? Orangtuanya akan marah jika Rangga ke warnet. Lalu, sebuah ide melintas di kepalanya. "Kalau enggak ada komputer, gimana aku mau ngerjain tugas, Ma?"

"Pinjam Kak Rinan," jawab Mita tegas.

Rangga merasa darahnya terkuras habis mendengar jawaban Mita. Meminjam komputer Rinan sama dengan melarangnya bermain komputer. Namun, yang tidak Rangga mengerti adalah, kenapa komputernya harus dijual? Rangga tidak pernah bolos sekolah, bisa mempertahankan peringkat dua paralel, tidak pernah ikut pergaulan nakal, bahkan dia tidak penah terlambat ke sekolah.

"Mamanya Devan bilang Devan suka baca dan ngerjain soal di waktu luang. Kamu coba ikuti cara Devan supaya bisa peringkat satu. Ingat, Rangga, kakak kamu berhasil masuk Kedokteran UI lewat jalur undangan. Coba contoh kakakmu itu, enggak capek harus belajar ujian tertulis lagi. Rinan selalu peringkat satu dari kelas satu SMA, bahkan bisa ikut olimpiade," kata Mita tajam. "Kalau kamu bisa peringkat satu mengalahkan Devan, Mama kembaliin komputer kamu. Kalau kamu bisa masuk Kedokteran UI, Mama beliin apa pun yang kamu mau."

Tangan Rangga di sisi tubuhnya mengepal erat sedangkan matanya menatap Mita nanar. "Kenapa aku harus jadi peringkat satu, Ma? Kenapa aku harus ngalahin Devan? Emangnya peringkat dua enggak cukup? Aku udah berusaha. Aku udah melakukan yang terbaik," balas Rangga dengan emosi yang tidak bisa ditahan. Mata Rangga panas. Air mata di pelupuk akan jatuh jika Rangga tidak menahan sekuat tenaga. Dia sangat lelah karena, sekeras apa pun dia berusaha, orangtuanya selalu menginginkan lebih.

"Melakukan yang terbaik aja enggak cukup, Rangga. Kamu harus menjadi yang terbaik karena hanya anak-anak terbaik yang bisa masuk Kedokteran UI." Mita bangkit dari kursi, berdiri di depan anaknya, lalu meremas pundak Rangga seolah memberi penekanan. "Mama tahu ini berat, tapi kamu harus berusaha maksimal. Ini demi masa depan kamu. Saat kamu udah dewasa, kamu akan sadar bahwa apa yang Mama bilang benar. Bahwa menjadi dokter adalah pilihan terbaik, bahwa menjadi peringkat satu akan memudahkan hidup kamu."

Rangga ingin bertanya, siapa yang seharusnya memutuskan pilihan terbaik? Apakah mamanya atau Rangga yang akan menjalani hidup? Apa definisi terbaik sehingga Jurusan Kedokteran masuk ke kategori tersebut? Rangga setuju jika menjadi dokter adalah sesuatu baik, tetapi semua pekerjaan juga baik jika digunakan untuk kepentingan yang baik pula. Semua jurusan bermanfaat jika digunakan untuk hal bermanfaat.

Tenggorokan Rangga tersekat. Sial. Dia tidak kuasa menahan air matanya lebih lama. Sebutir kristal bening itu menelusuri pipi Rangga. "Mama ...."

Mita memotong kalimat anaknya sambil menunduk menatap jam di pergelangan tangan. "Udah, ya. Mama harus ke rumah sakit. Jangan lupa belajar lagi," kata Mita sambil berlalu dari kamar Rangga dan meninggalkan anaknya dalam tangis.

***

"Lo enggak mau main abis gue, Ngga?"

Rangga menatap punggung kedua temannya yang sibuk bermain komputer di kamar Devan. Awalnya, mereka hanya ingin menjemput Devan untuk bermain basket di lapangan kompleks, tetapi saat Didit tahu Devan memiliki komputer baru, rencana itu digagalkan. Permainan di luar ruangan pun berganti menjadi di kamar Devan.

"Enggak," jawab Rangga dingin. Dia tidak suka melihat Devan lagi-lagi mendapatkan hal yang diinginkannya—komputer. Sambil menahan kekesalan, Rangga menjatuhkan tubuh ke atas kasur Devan. Matanya nyalang menatap langit-langit kamar. Kedua tangan Rangga direntangkan dan tanpa sadar mendorong dompet Devan dari bawah bantal.

Pada awalnya, Rangga tidak peduli dengan dompet berwarna hitam itu. Akan tetapi, foto cewek yang dikenalnya membuat leher Rangga terjulur. Devan menyimpan foto Noura, tetangga mereka, saat melakukan foto perpisahan sebelum cewek itu dan keluarganya pindah rumah. Seharusnya foto itu diisi banyak orang, tetapi Devan hanya memajang dirinya dan Noura yang bersebelahan.

Menggelikan, gerutu Rangga. Dia ingat bagaimana Devan tidak bisa berhenti menatap mobil yang membawa Noura menjauh pada hari kepergian cewek itu ....

"Rangga!"

Rangga tersentak dari lamunan. Dia melihat Sri di depan pintu kamar Devan yang terbuka. "Eh, Tante. Selama siang, Tante."

Sri mengangguk sambil tersenyum ramah. "Jadi, Rangga mau makan apa? Mi ayam, mi ayam bakso, atau bakso aja?"

"Bakso aja, Tante. Makasih."

Sri mengangguk lalu menutup pintu kamar Devan.

"Lo kenapa, sih, Ngga? Ngelamun terus dari tadi sampai pertanyaan Tante Sri enggak kedengaran? Kayaknya lo lagi mikirin cewek, ya?" kata Didit sambil mengerling jahil. "Gue denger Gladys dari kelas sebelah ngejar-ngejar lo. Duh, enak banget dikejar cewek cakep."

Rangga hanya bergumam tidak jelas. Lalu, percakapan Didit dan Devan beralih kepada Gladys—cewek aneh dan gila yang menyatakan suka kepada Rangga karena pin One Piece di tas sekolah yang biasa dia pakai. Rangga mendengarkan percakapan itu samar-samar. Teman-temannya asyik bermain sekaligus membicarakan tingkah Gladys di depan Rangga, lalu percakapan bergulir ke kehidupan sekolah lainnya. Mereka tampak menikmati masa remaja tanpa paksaan untuk memasuki Kedokteran UI. Didit yang terus menggambar tanpa diganggu orangtua. Devan yang tidak perlu susah payah memikirkan akan jadi apa karena cowok itu pemegang peringkat satu. Mereka yang tidak dipaksa untuk memenuhi ekspektasi orangtua.

Di dalam hati, Rangga bertekad untuk menjadi peringkat satu pada semester berikutnya untuk mendapatkan kembali komputer yang telah dijual Mita. Akan tetapi ..., Rangga tidak pernah bisa mencapai target yang diberikan dan orangtuanya terus menuntut hal yang sama.

Bahkan, hingga mereka lulus SMA dan Rangga gagal mewujudkan keinginan orangtuanya, Mita dan Gading tetap membandingkan nilainya dengan Devan meski mereka berada di jurusan berbeda. Seolah lingkaran setan itu terus memaksanya berputar di tempat yang sama, tanpa bisa menemukan jalan keluar.[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top