Bab 7: Nyawa Kalkulus Noura Tergantung kepada Devan

Seharusnya, Noura tidak percaya seratus persen kepada senior-seniornya. Serius.

Cewek itu bukannya tidak beralasan bicara begitu. Hanya saja, ketika senior-senior itu meminta mahasiswa baru untuk datang ke lapangan voli dekat gedung Jurusan Elektro pada pagi pertama kuliah, seharusnya Noura curiga.

Sekali lagi ditekankan, seharusnya. Namun, karena Noura masih setengah sadar dengan mata nyaris tidak terbuka saking mengantuknya, seluruh akal sehatnya menguap begitu saja.

Seperti jebakan pada umumnya, kalimat pembuka yang disampaikan senior kepada mereka setelah berbaris rapi adalah, "Selamat. Hari ini adalah hari pertama kalian kuliah."

Lalu, kalimat-kalimat selanjutnya benar-benar mengejutkan hingga kedua mata Noura membelalak.

"Mulai hari ini, kalian akan ditugaskan untuk melakukan wawancara dengan senior-senior Elektro dan senior-senior tertentu yang sudah ditetapkan. Wawancara dengan senior Elektro ini harus ditulis laporannya di buku biru yang akan dibagikan, sedangkan wawancara dengan senior pilihan harus kalian rekam dan dibuat laporannya dalam bentuk makalah. Untuk laporan wawancara senior Elektro, isi laporannya mencakup nama, nomor telepon, asal sekolah, dan kesibukannya. Kalian juga bisa mencatat informasi-informasi tambahan kalau mau, semacam hobi dan lainnya. Selama detail yang wajib sudah ditulis, enggak masalah." Arin, senior yang juga berperan sebagai mentor Noura pada tugas presentasi inovasi, berkata dengan suara lantang di depan barisan mahasiswa baru. Rasanya, agak sedikit aneh melihat Arin berkoar-koar begini karena tugas seperti ini biasanya dilimpahkan kepada Yudha dan Devan, tetapi dua cowok itu tidak terlihat batang hidungnya sejak tadi.

"Setiap senior yang telah ditetapkan harus diwawancara oleh kalian dan jumlah senior Elektro yang wajib kalian wawancara adalah 200 orang. Dari 200 orang ini, kalian bisa wawancara dari berbagai angkatan, entah itu angkatan 2018, 2017 atau 2016." Arin menarik dan mengembuskan napas setelah penjelasan yang panjangnya mengalahi tol Jagorawi itu. "Ada yang mau ditanyakan?"

Penjelasan Arin cukup dimengerti, atau memang mahasiswa baru masih menjadi mayat setengah hidup karena masih pada mengantuk. Sebenarnya, pertemuan ini bukan yang paling pagi sepanjang sejarah OSPEK mereka, tetapi janji manis para senior benar-benar seperti janji calon politikus. Manis di awal, pahit di akhir. Buktinya, setelah berkata bahwa tugas presentasi inovasi kemarin adalah yang terakhir sebelum masuk kuliah, mereka malah mendapatkan tugas baru pada hari pertama kuliah. Rasanya, OSPEK seperti masalah hidup saja. Tidak ada akhirnya!

"Kalau enggak ada yang bertanya, kalian boleh bubar. Bagi yang ada kelas pukul delapan, bisa siap-siap. Bagi yang kelasnya jpukul sepuluh, bisa tunggu di selasar gedung spot Elektro yang ada bendera biru. Biasanya di sana tempat kumpul senior Elektro. Jadi, saran gue kalian bisa manfaatin waktu dengan mewawancarai mereka."

Setelah Arin membubarkan mereka, Noura tidak bisa menahan diri untuk tidak mencibir. Cewek itu melihat jam yang melilit di tangan. Bahkan, untuk yang punya kelas pukul delapan pun masih memiliki waktu kosong selama satu jam sebelum kelas dimulai. Apalagi Noura yang kelasnya jam sepuluh?

"Lo kelas kalkulus di mana?"

Begitu suara yang Noura kenal terdengar, dia melirik sang empunya suara sekilas sebelum menguap saking mengantuknya. "Kelas S301."

"Oh, sama kayak gue, dong?"

Noura mengerutkan kening. Mereka satu jurusan. Bukannya pasti satu kelas, ya?

"Tapi kalau harus nunggu satu jam males juga, sih. Mau balik ke kosan, tapi nanggung," lanjut Putri lagi, sang pemilik suara. "Lo kelas pukul berapa emang?"

Kenapa mesti ditanya lagi? Kelas mereka bukannya pukul sepuluh?

"Pukul sepuluh, 'kan?" jawab Noura ingin memastikan.

"Yaaah. Gue kalkulusnya pukul delapan."

Wait. What? Noura sampai melongo karena jawaban yang tidak disangka-sangka itu. Kenapa kelas kalkulus Putri pukul delapan sedangkan kelas kalkulusnya pukul sepuluh?

"Kita enggak sekelas, Nou." Putri menggamit lengan Noura dan mengajaknya melangkah melintasi jalanan kecil di samping gedung Elektro.

Noura tidak tahu ke mana akhir dari jalan setapak ini, tetapi yang dia tahu pasti adalah dirinya dan Putri tidak sekelas. "Kenapa kita bisa beda jam gitu? Kita kan satu jurusan."

Pertanyaan Noura membuat Putri tertawa kecil. "Sekarang udah kuliah, Nou. Bukan SMA lagi. Meskipun kita satu jurusan, bukan berarti kita bakal sekelas terus."

Penjelasan dari Putri benar-benar merupakan dunia baru bagi Noura. Cewek itu mengangguk-angguk seperti pajangan anak anjing di dasbor mobil sampai mereka berada di ujung jalan setapak. Pemandangan di depan sana semakin membuat Noura menganganga. Bukan karena ada keajaiban alam atau semacamnya, tetapi karena senior-senior yang sejak awal berteriak-teriak seperti kaset rusak di lapangan selama OSPEK, kini sedang tertawa-tawa layaknya anak muda pada umumnya.

Bahkan, Yudha, yang selalu cemberut setiap kali melihat Noura, juga sedang tertawa!

Melihat pemandangan itu, Noura menarik lengan temannya secepat mungkin. Tujuannya agar tidak perlu berbasa-basi dengan para seniornya. Sayangnya, salah seorang dari mereka melihat Noura dan bertanya lantang, "Itu bukan orangnya?"

Tidak tahu siapa yang dimaksud. Noura cepat-cepat menunduk saja agar tidak bertemu pandang dengan salah satu dari mereka. Namun, sialnya, seseorang malah menyerukan nama Noura.

"Noura!"

Aduuh. Cewek itu, yang nyaris saja melalui kumpulan seniornya tanpa masalah, langsung bergeming. Putri ikut-ikut terdiam, tetapi reaksinya lebih buruk daripada Noura. Temannya itu malah menolehkan kepala ke arah mereka. Padahal, kalau saja Putri tidak melakukannya, mereka bisa kabur secepat kilat dengan alasan budek sementara.

"Nou, dipanggil, tuh."

Noura mengaduh-aduh sekali lagi, kali ini sambil berputar menghadap seniornya. Yudha dengan semangat melambai-lambaikan tangan, meminta mereka untuk mendekat. Awalnya, cewek itu ingin pura-pura sibuk dengan menolak sambil tersenyum pahit, tetapi Putri sudah menarik-narik tangan Noura ke arah kumpulan senior yang bergerombol seperti hiena. Tahu, 'kan? Hiena, hewan yang biasanya hidup di padang rumput, bergerak dalam kelompok, dan sangat licik itu. Persis seperti senior-seniornya ini.

Dengan langkah ogah-ogahan, Noura menghampiri Yudha dan teman-temannya. Salah satu alasan dia malas sekali menghampiri Yudha adalah karena mereka duduk melingkar di meja gazebo. Lebih buruknya lagi, lingkaran itu diisi oleh cowok semua. Bukannya Noura benci cowok. Hanya saja, perilaku mereka terkadang di luar akal sehat dan senang berisik seperti monyet-monyet di kebung binatang yang tidak diberi makan seminggu.

Sesampainya Noura di gazebo, salah satu dari cowok-cowok itu bertanya, "Ini Noura yang itu?"

Belum sempat Noura bertanya maksud pertanyaan seniornya, Yudha sudah melambai-lambaikan tangan lagi, kali ini ke balik punggung Noura. Cewek itu memutar kepala dan mendengus ketika melihat siapa yang berjalan menghampiri mereka. Siapa lagi kalau bukan Devan?

"Eh, lo lihat Bu Endah lewat sini, enggak? Gue mau ketemu dia, tapi dari tadi WhatsApp gue enggak dibales." Devan bertanya pada Yudha alih-alih menyapa. Noura memperhatikan percakapan itu dari samping saja, sambil berharap Devan segera pergi menemui Ibu Endang atau siapalah itu. Malas sekali jika dia harus berbasa-basi dengan cowok itu lagi.

"Enggak. Lo bukannya ada kelas pukul delapan, ya, Van? Ngapain ketemu Bu Endah?"

"Gue jadi asisten dosen dia. Kelas kalkulus ...."

Saat Devan menyapa teman-temannya yang lain dengan saling menepukkan satu tangan ala anak gaul, cowok itu baru sadar ada Noura yang sedang bersembunyi di balik tubuh Putri. Alisnya langsung mengerut.

"Apa lagi?"

Noura bergeser dari balik tubuh Putri sambil melipat lengan di depan dada dengan gaya menantang. "Apa maksudnya apa lagi?"

Devan mendengus. "Lo buat masalah apa lagi sama senior?"

"Enak aja. Gue enggak buat masalah, ya. Mereka aja yang manggil-manggil gue."

Tatapan Devan langsung dialihkan kepada teman-temannya satu per satu. Salah satu cowok yang dari tadi diam saja menceletuk. "Kita mau tahu mahasiswi baru mana yang milih lo buat hukuman surat cinta, Van."

Hanya perasaan Noura saja atau bukan, tetapi kenapa Devan terlihat lega?

"Lo enggak ada kelas pagi, Nou?"

Suara batuk-batuk terdengar dari mulut Yudha. Batuk-batuknya seram banget. Seperti orang terjangkit TBC.

"Kelas gue pukul sepuluh."

"Kalkulus?"

Noura mengangguk ragu. Dari mana Devan tahu jadwalnya? Setahu Noura, setiap jadwal kuliah mahasiswa hanya bisa dilihat oleh mahasiswa itu sendiri melalui akun online mereka.

"Gue duluan, deh." Setelahnya, Devan pergi begitu saja. Cowok itu memang tidak jelas, jadi Noura sudah tidak heran. Namun, yang menjadi tanda tanya bagi Noura adalah pertanyaan Yudha kemudian.

"Lo siapanya Devan?"

Noura mengerut bingung. Siapanya Devan? Jelas bukan siapa-siapa.

***

Ketika wanita yang usianya lebih dari setengah abad itu membuka pintu kelas dengan wajah ditekuk, Noura langsung tahu bahwa kehidupannya di mata kuliah kalkulus akan hancur. Serius. Mungkin dia bukan cenayang, tetapi Noura bisa mengetahui mana dosen yang galak dan mana dosen yang ramah.

"Selamat pagi." Wanita di depan kelas itu menyapa dengan suara dingin. Sejujurnya, Noura langsung merinding, tidak tahu karena sugesti saja atau memang karena suhu ruangan yang dingin akibat AC.

"Ini kelas kalkulus C, 'kan?"

Semua mahasiswa di dalam kelas mengangguk.

"Asisten dosennya ada di kelas ini?"

Asisten dosen? Noura melongok ke sana kemari, mencari wajah paling tua di antara mahasiswa yang duduk di kursi kelas. Namun, karena sebagian besar adalah cowok-cowok yang wajahnya lebih cocok jika sudah punya anak, Noura mingkem. Tidak jadi mencari senior yang menjadi asisten dosen, deh. Tugas berat.

"Nama saya Ibu Endah, dosen kalkulus kalian. Saya dari Jurusan Matematika Fakultas MIPA, tapi memang biasanya ditugaskan juga mengajar kalkulus dasar dan kalkulus lanjutan di Teknik." Wanita yang mengenalkan diri sebagai Ibu Endah itu mengambil map di atas meja dosen. Lalu, dia membalik-balik kertas dengan cepat.

"Di sini enggak ada mahasiswa arsitektur, ya? Kebanyakan mesin." Ibu Endah kembali membolak-balik kertas yang kemungkinan besar merupakan daftar absensi mahasiswa. Namun, pada satu halaman tertentu, wanita itu berhenti dan mengedarkan pandangan ke penjuru kelas. "Cuma ada satu anak elektro di sini. Siapa yang dari elektro?"

Noura gugup. Alhasil, dia mengangkat tangan dengan terlalu bersemangat hingga menyenggol buku di atas meja. Buku kalkulus yang tebalnya masih kalah dengan catatan amal buruk manusia itu jatuh ke atas lantai dengan suara gedebuk yang mengkhawatirkan. Bukan bukunya yang ditakutkan, melainkan lantainya yang takut pecah.

Ibu Endah mengabaikan tragedi itu. "Senior kamu asisten dosen saya, lho. Namanya—"

Nada panggilan telepon berteriak-teriak nyaring sekali hingga Noura terlonjak kaget. Awalnya mau dimarahi. Orang waras mana yang tidak mematikan notifikasi panggilan pada kelas pertamanya? Namun, ketika Ibu Endah mengeluarkan ponselnya sendiri dan mengangkat telepon, Noura buru-buru tutup mulut.

"Ada apa?"

Aduh. Mendengar sapaan pertama Ibu Endah kepada orang di seberang telepon benar-benar bikin mengurut dada saking tanpa basa-basinya. Yang diurut dada sendiri, ya. Bukan dada orang.

Entah apa balasan orang di ujung panggilan, tetapi jawaban itu berhasil membuat Bu Endah berjalan keluar kelas dengan telepon di tangan. Kelas yang semula sehening kuburan berubah menjadi kasak-kusuk setelah kepergian Ibu Endah. Namun, dosen kalkulus itu tidak pergi lama. Satu menit kemudian, dia sudah kembali ke kelas dengan sambungan telepon yang sudah ditutup.

"Tadi kita sampai mana?"

Salah satu dari mahasiswa di kelas menjawab, "Tentang asisten dosen, Bu."

Ibu Endah mengangguk. "Asisten dosen kalian dari Elektro. Namanya—"

"Permisi." Ketika pintu kelas dibuka, kedua mata Noura hendak melompat keluar saking kagetnya melihat kedatangan sosok di balik pintu itu. Devan, yang datang dengan membawa map tebal, masuk ke kelas dan berjalan menuju meja Ibu Endah.

Noura merendahkan tubuhnya di atas kursi. Maunya, sih, menghilang saja dari muka bumi ini, tetapi tidak mungkin terjadi kecuali dia memiliki sihir seperti Harry Potter. Jadi, satu-satunya cara adalah membuat dirinya tidak terlihat dan berdoa kepada Tuhan agar Devan segera pergi dari kelas.

Percakapan antara Bu Endah dan Devan memakan waktu bermenit-menit, entah apa yang mereka bicarakan. Ketika Devan mengangguk-angguk seakan memahami setiap perkataan sang dosen, wanita itu berkata lantang.

"Ini Devan, asisten saya. Kalian baik-baik sama Devan karena yang akan menilai tugas dan kuis kalian adalah dia," kata Ibu Endah sambil menepuk-nepuk pundak Devan. "Kamu dari Teknik Elektro, 'kan? Kayaknya tadi ada adik kelas kamu. Yang mana orangnya, ya? Ibu lupa."

Jantung Noura langsung berdegup kencang saat Bu Endah membawa-bawa jurusannya. Kenapa harus disebut-sebut, sih?

"Yang dari Elektro, mana?"

Beberapa mahasiswa yang duduk di dekat Noura melliriknya, tetapi cewek itu menutupi muka dengan buku kalkulus yang sudah dipungut dari lantai. Namun, tentu saja dia tidak seberuntung itu. Salah satu dari mereka menunjuk ke arah Noura sambil berkata, "Ini, Bu."

Dengan sangat, sangat terpaksa, Noura memperlihatkan wajahnya ke hadapan Devan. Cowok itu terlihat terkejut sebelum menyeringai.

Ya Tuhan. Seringaiannya seram sekali, mengalahkan orang sakit jiwa di film thriller. Tolong Noura, Mama![]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top