Bab 5: Serius, Devan Itu Cepu

"Kesempatan terakhir, Nou. Kalau lo enggak bangun dalam hitungan tiga detik, gue bakal nyeburin lo ke air dingin."

Noura yakin bahwa suara maskulin yang hadir di dalam mimpinya itu adalah perwujudan setan. Menurut ceramah YouTube yang sering mamanya bagikan di grup keluarga, setan memiliki kemampuan untuk menciptakan mimpi buruk. Kali ini, setan memang datang ke dalam mimpi Noura dalam rupa suara Devan yang terdengar sangat dekat di telinganya.

"Dalam hitungan ketiga."

Suara yang sangat Noura kenal itu kembali terdengar, kali ini dengan nada mengancam yang lebih menakutkan. Namun, Noura hanya membalas dengan erangan tidak jelas diiringi aliran iler ke atas bantal.

"Satu."

Noura menarik selimut lebih tinggi hingga mencapai dagu.

"Dua."

Sesuatu menendang kaki Noura yang terbungkus selimut.

"Tiga."

Sungguh, awalnya Noura pikir ancaman itu hanya omong kosong belaka. Namun, ketika dia merasa tubuhnya terangkat dan dilempar ke dalam sesuatu yang dingin, Noura yakin dia memang sedang berada di neraka bersama setan kurang ajar.

"Aaargh!" Kedua mata Noura yang terpejam erat, membelalak hingga sebesar bola kasti. Bahkan, saking terkejutnya cewek itu, suara pekikannya begitu tinggi hingga rasanya mampu mengalahkan tinggi tiang listrik sekali pun.

"Lo!"

Devan hanya tertawa saat Noura menunjuk-nunjuk dirinya, diikuti teriakan-teriakan dari bibir cewekitu yang gemetar karena kedinginan. Benar-benar kurang ajar si Devan! Benar-benar perwujudan setan!

Setelah beberapa detik yang terasa bertahun-tahun bagi Noura, Devan menghentikan tawanya sambil mengelap air di sudut mata. Cowok itu berdeham, lalu menunjuk Noura menggunakan dagu dengan gaya sombongnya yang menyebalkan.

"Buruan mandi. Gue males ngasih hukuman ke lo lagi kalau telat."

Jika sudah begini, Noura ingin sekali keluar dari bak mandi dan mencemplungkan Devan ke air. Namun, dia mengurungkan niat ketika dilihatnya mata Devan yang mengancamnya seolah berkata awas saja kalau berani.

Meskipun kekesalan Noura memuncak, dia jelas memilih mengurungkan niat. Bagaimana jika dia dihukum menulis dua ratus pantun? Karena, terakhir Noura dengar, temannya yang dihukum menulis ratusan pantun sampai tidak tidur semalaman dan menangis di depan semua orang akibat tidak bisa menyelesaikan hukuman tepat waktu.

Dengan kedongkolan yang tertahan, Noura melirik pintu kamar mandi yang terbuka. "Ya udah, sana. Lo mau lihatin gue mandi?"

Reaksi balasan Devan benar-benar menyebalkan.

"Emangnya ada yang bisa dilihat?"

Argh! Noura tidak tahan! Dia melempar botol sampo di dekatnya ke arah Devan, tetapi cowok itu berhasil menghindar sambil tertawa-tawa mengejek. Karena merasa semakin kesal, Noura meraih botol sabun dan mengambil ancang-ancang untuk melemparnya tepat ke wajah Devan. Namun, cowok itu berlari keluar sebelum Noura melepas botol sabun dari tangannya. Untungnya, Devan masih punya sedikit kewarasan karena dia menutup pintu kamar mandi meski dengan suara keras.

Meski kehadiran Devan di kamar mandi sudah tidak terlihat, tubuh Noura bergetar karena amarah. Pertama, kepada Devan karena dia Devan. Kedua, kepada mamanya yang mengizinkan anaknya dibangunkan oleh orang sejahat Devan. Bagaimana jika sesuatu yang buruk terjadi kepada Noura?

Ah, Noura tidak peduli. Dia akan mandi, lalu cepat-cepat berangkat. Rumah Noura harus secepatnya terlepas dari kehadiran Devan!

***

Ketika Noura keluar dari kamar mandi, kamarnya telah kosong. Cewek itu langsung mengucapkan puji-pujian kepada Tuhan karena kamarnya sudah terbebas dari Devan. Hore!

Namun, saat Noura mengedarkan pandang, kenapa rasanya ada yang berbeda? Noura berdiri di tengah ruangan dengan dahi mengerut, lalu mengedarkan pandang sekali lagi. Apa, ya? Kenapa rasanya ini lebih sulit daripada permainan mencari lima perbedaan dari dua gambar?

Dengan penasaran, Noura mengitari ruangan sekali lagi karena dia yakin perasaan ini berkaitan dengan Devan. Benar saja. Ternyata cowok itu menjatuhkan seluruh bingkai foto di meja belajar Noura!

Derap langkah Noura sangat jelas terdengar ketika dia berjalan ke arah meja belajar. Meski dia bukan cewek paling bersih atau paling terorganisasi sedunia, tetapi Noura sangat benci ketika orang lain mengacak-acak barangnya tanpa izin.

Noura mengangkat semua bingkai foto yang dijatuhkan Devan. Foto pertama adalah foto keluarga Noura enam tahun lalu. Foto kedua adalah foto kelulusan SMA Noura dengan sahabat-sahabatnya di Bandung. Foto ketiga adalah foto Noura, Devan, dan Rangga. Almarhum Rangga, maksudnya. Lalu, kenapa Devan menurunkan semua bingkai foto di kamar Noura?

Ah. Tentu saja tidak perlu alasan khusus. Devan saja yang pada dasarnya usil dan tidak bisa melihat Noura senang!

Noura turun dari kamarnya di lantai dua, lalu menemukan kedua orangtuanya sedang asyik mengobrol di meja makan bersama Devan. Perutnya langsung berbunyi melihat sajian nasi goreng di atas meja, tetapi jam menunjukkan bahwa dia harus segera berangkat ke kampus jika tidak mau terlambat.

"Ma, Pa, aku berangkat dulu." Noura menghampiri kedua orangtuanya untuk bersalaman. Ketika dia selesai berpamitan, Noura menarik kerah baju Devan ke arah pintu.

"Ayo, buruan! Jangan sampai telat lagi!"

Devan tertawa. Sambil menggeleng-geleng, dia menambahkan, "Salah siapa yang bangunnya telat?"

Noura pura-pura tidak mendengar dan memasang helm. Namun, pengalaman Devan sebagai orang jahat sudah terlampau profesional sehingga cowok itu memanfaatkan kesempatan yang ada demi kepentingannya, yaitu mengejek-ejek Noura.

"Emang lo tidur jam berapa, sih, sampai ketiduran gitu? Perasaan tugas OSPEK enggak sesulit itu, deh. Cuma nulis-nulis sama mikir dikit. "

Wow. Noura tidak pernah merasakan keingingan yang begitu kuat untuk memukul kepala seseorang. "Asal lo tahu, ya, kemarin gue pulang pukul satu pagi karena ngerjain tugas dari kalian panitia OSPEK. Jadi, ini salah siapa? Salah lo!"

Devan yang bersiap naik motor segera berhenti. "Apa maksudnya? Kan OSPEK udah dibubarin dari pukul tujuh. Terus, kenapa lo baru pulang pukul segitu?"

Mata Noura mengerling kesal. Pura-pura lupa, ya?

"Lo kan nyuruh kami buat foto bertiga sama teman sejurusan yang berbeda!"

Devan terdiam sebentar, sebelum membalas. "Iya, panitia emang nyuruh kalian untuk foto bertiga-tiga dengan teman sejurusan, tapi enggak makan waktu berjam-jam sampai malam kayak gitu," kata Devan sambil menggeleng.

Noura mengangkat bahu. "Enggak tahu, ah. Ayo, buruan ke kampus."

Kali ini, Devan menurut dan melajukan motornya. Cowok itu memang pada dasarnya tidak suka bicara di atas motor, tetapi Noura merasa bahwa diamnya Devan kali ini berbeda.

Seakan ada yang mengganggu pikirannya.

***

"Gue dapet laporan pagi ini."

Saat Yudha membuka OSPEK hari ini dengan intonasi suara seperti itu, Noura tahu ada yang salah. Apalagi wajah Devan menggelap sambil matanya bergulir ke barisan mahasiswa baru. Ketika tanpa sengaja kedua mata Devan bertemu pandang dengan Noura, tatapan cowok itu sontak beralih. Ih! Devan kembali mengabaikan Noura!

"Kemarin malam kalian sampai larut ngelakuin tugas foto, ya?"

Hening. Tidak ada yang menjawab. Sebenarnya, bukannya tidak mengetahui jawabannya, tetapi semua mahasiswa baru memilih diam daripada memperpanjang masalah dengan senior. Lagi pula, memangnya salah mengerjakan tugas OSPEK hingga lewat tengah malam, ya? Yang memberikan tugas mereka, yang marah-marah mereka juga.

Ketika bermenit-menit berlalu dan tidak ada yang kunjung menjawab, Yudha semakin marah. "Jawab pertanyaan gue! Lo!" Yudha menunjuk salah satu mahasiswa yang mengelap keringat. "Kasih tahu gue. Kalian kemarin ngerjain tugas foto sama temen sejurusan cuma asal foto buat dikumpulin, ya? Padahal, deadline masih minggu depan, tapi buru-buru diselesaikan."

Salah satu mahasiswa baru yang biasanya banyak bicara selama perkumpulan anak baru akhirnya membuka suara. "Begini, Kak. Kami bermaksud melakukannya dengan efisien dan menghemat waktu, makanya kemarin kami berusaha menyelesaikan tugas dari Kakak-Kakak sekalian. Apalagi tugas-tugas OSPEK makin sulit. Kemarin aja ada yang harus nambah bikin ratusan pantun."

Yudha segera menghampiri Teo, mahasiswa baru yang baru saja membuka suara. "Lo tahu kenapa kami cuma minta kalian ngumpulin foto bertiga sama teman sejurusan dan bukannya laporan tentang teman-teman kalian kayak jurusan sebelah? Lo tahu kenapa kami rnggak minta kalian buat cetak hasil foto dan ngumpulin ke kami kayak fakultas lain? Kami cuma minta kalian untuk upload foto karena kami tahu tugas kalian udah banyak. Makanya tugas foto dijadikan bukti bahwa kalian udah saling mengenal satu sama lain, bukan asal foto aja!" Yudha mengatur nafas sejenak sebelum melanjutkan, "Tapi, melihat kelakuan kalian sekarang bikin gue ragu kalau kalian udah saling kenal satu sama lain. Lo."

Telunjuk Yudha kembali terarah kepada mahasiswa baru yang tadi mengelap keringat. "Coba sebutin nama lengkap teman di belakang lo tanpa lihat papan namanya. Kasih tahu juga nama panggilannya dan asal sekolahnya."

Salah satu panitia OSPEK menghampiri teman yang dimaksud Yudha, lalu menutup papan nama yang tergantung di lehernya. Si mahasiswa baru yang ditunjuk cuma bisa gelapagan.

"Lihat? Kalian enggak mengenal satu sama lain, padahal semua mahasiswa di barisan ini udah ngasih laporan kalau kalian udah mengerjakan tugas foto. Tapi, kalau begini caranya, mau enggak mau gue harus ngasih tugas tambahan."

Mendengar kata tambahan membuat jantung Noura berdegup kencang. Dia melirik ke kanan dan kiri, mencoba melihat wajah teman-temannya saat mendengar kabar ini. Meski mereka tidak bersuara, tetapi Noura bisa membaca pikiran mereka: maksudnya bagaimana ini?

"Gue bakal ngadain tes kecil-kecilan untuk mengetahui seberapa jauh kalian mengenal teman kalian. Enggak usah sampai tahu keluarganya segala, tapi cukup nama lengkap, nama panggilan, dan asal sekolah. Tes kecil ini juga akan bersifat mendadak, jadi persiapkan diri kalian."

Setelah mendengar informasi tersebut, seluruh mahasiswa baru geger. Suasana hening sebelumnya menjadi ricuh karena masing-masing saling berbicara satu sama lain. Pembicaraan mereka tidak jauh dari memangnya bisa mengingat hampir dua ratus mahasiswa dalam satu setengah minggu?

Namun, di antara para mahasiswa baru, hanya ada satu orang yang berkeringat dingin. Siapa lagi kalau bukan Noura? Karena ucapannya kepada Devan tadi pagi, cowok itu jadi membuat para senior menambahi tugas mereka.

Noura memusatkan pandangan kepada Devan yang berdiri di ujung lapangan, sang tersangka utama. Devan, seolah merasa ada yang memperhatikan, segera mengamati barisan dan bertemu pandang dengan Noura yang menatapnya dengan mata berkobar penuh kemarahan. Sayangnya, cowok itu sama sekali tidak merasa bersalah karena telah menyebabkan kekacauan ini. Dia malah mengedikkan bahu seolah itu bukan masaalah besar!

***

"Gue tahu lo ada masalah sama gue, tapi jangan dilampiaskan ke temen-temen gue, dong."

Noura menarik lengan Devan yang berjalan di depannya saat mereka sedang menuju lapangan parkir. Berbeda dengan kemarin, hari ini Noura memutuskan untuk pulang bersama Devan karena tidak ada tugas OSPEK yang harus dilakukan sepulang kegiatan OSPEK itu sendiri.

"Maksudnya apa?" Devan terpaksa harus berhenti dan berputar menghadap cewek itu. Wajahnya menyiratkan ketidaksukaan karena Noura memperlambat waktu pulang mereka.

"Hukuman tadi. Tes mengingat teman itu," jawab Noura cepat. Dia melirik ke kanan dan kiri untuk memastikan tidak ada senior lain yang mendengar. Jika ketahuan, dia bisa disuruh jalan ke gerbang kampus. Apalagi jarak dari Fakultas Teknik ke gerbang kampus lumayan juga, ditambah hari sudah menunjukkan pukul tujuh malam lebih dan Noura harus membawa tas yang berat.

Devan mengernyit. "Itu? Kenapa lo pikir gue mau ngelampiasin lewat tugas begituan?"

Duh! Noura memutar mata kesal. Memangnya Devan pikir Noura sebodoh itu sampai tidak tahu bahwa Devan menyimpan dendam kesumat terhadapnya? "Beberapa hari lalu kan gue mempermalukan lo di depan banyak orang. Lo pasti lagi balas dendam ke gue dengan cara ini, 'kan?"

Tawa Devan benar-benar mengganggu. Cowok itu terbahak keras seolah perkataan Noura adalah lelucon paling lucu sedunia. "Kalaupun gue mau ngebales lo, gue enggak bakal ngelampiasin dengan cara kayak gitu."

Noura menatap Devan tidak mengerti.

"Tes tadi itu adalah kesepakatan panitia. Karena sepertinya kalian kurang bisa nangkep maksud permintaan kami."

"Kenalan sama yang lain?"

Devan mengangguk. "Percaya sama gue. Ini akan sangat membantu lo untuk mengenal teman satu jurusan lo karena ketika nanti kalian udah mulai ngampus, kalian enggak bakal punya waktu buat kenalan. Seenggaknya, kalian bisa saling nyapa di koridor kampus atau tahu mahasiswa-mahasiswa yang hari itu enggak masuk kelas."

Dengkusan Noura mengalahkan panjangnya kereta api. Cewek itu merenggut.

"Lagian," lanjut Devan, "ngebales lo dengan cara kayak gitu bukan gaya gue. Besok lo bakal lihat." Setelah berkata seperti itu, cowok tersebut kembali melanjutkan langkah menuju motornya yang diparkir di ujung.

Noura yang mendengar penuturan Devan hanya bergeming. Kemudian, perlahan dia menggigil.

Sial. Besok, ada apa dengan besok?[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top