Bab 3: Dia Mungkin Iblis Jadi-jadian, tetapi Bukan Pennywise
"Pulang sama siapa? Devan?"
Rina langsung menginterogasi Noura begitu putrinya itu membuka pintu rumah. Wanita itu mengintip halaman rumah dari balik tirai yang tertutup, tetapi tidak ada satu pun sosok yang terlihat kecuali kucing gendut penghuni kompleks yang lewat di atas pagar kayu rumah. "Mana Devan-nya? Kok enggak disuruh masuk?"
Yang benar saja. Masa Noura mengundang cowok masuk ke rumahnya malam-malam? Meskipun ada Rina, papanya, dan Dika, sih. Omong-omong tentang papanya ....
"Papa udah pulang, Ma?" Noura meletakkan tas selempangnya begitu saja di atas karpet ruang tengah, lalu menghampiri wewangian sedap dari arah dapur. Hmm. Wangi bakso kesukaan Noura!
"Papa lembur. Katanya ada kerjaan sampai malam," jawab Rina sambil mengikuti Noura. "Gimana hari kedua OSPEK?"
Noura mengangguk-angguk.
"Kamu kan telat?"
Ng ..., kenapa mamanya harus membahas yang satu itu, ya? Noura kan jadi teringat hukumannya menulis surat cinta untuk Devan.
"Yah, gitu, Ma. Dihukum lari," jawab Noura setengah berbohong. Noura malu jika harus menceritakan hukuman membuat surat cinta untuk Devan. Jika mamanya sampai tahu, pasti Noura akan jadi bulan-bulanan keluarganya hingga seminggu ke depan.
Kini, giliran Rina yang mengangguk-angguk. Matanya mengikuti Noura yang mengambil bercentong-centong bakso dengan rakus.
"Idih! Babi banget lo. Makannya banyak banget ngalahin babi."
Rina langsung mengeplak punggung Dika yang lewat di dekatnya. Cowok itu mengaduh-aduh kesakitan sambil jatuh dan menggeliat di atas lantai dapur seperti ulat terinjak. Anak sulung Rina yang satu itu memang sangat memalukan. Dia tidak pernah serius, sama seperti skripsinya yang nyaris tergerus.
"Mas, jangan tiduran di lantai, ah. Mama enggak mau nyuciin baju kamu kalau kotor dipakai nyapu rumah."
Noura cekikikan.
Dika bangkit dari posisi menggeliat sambil cemberut. Namun, ekspresinya yang jelek berubah semringah hanya dalam satu detik yang singkat. Cowok itu juga bergelendotan di lengan Rina seperti anak manja.
"Ma," kata Dika sok imut. "Mama tahu, 'kan, aku lagi buat channel YouTube? Subscriber aku udah seribu, lho, Ma." Dika melirik Noura dengan angkuh. "Jadi gini, Ma. Aku kan lagi bikin video horor gitu. Kemarin aku lihat ada rumah di pojok kompleks yang enggak terawat. Udah jelek. Serem gitu, Ma. Kira-kira itu rumah siapa, ya? Kalau kosong, aku bisa syuting di sana enggak, ya?"
Rina mengerutkan kening. "Rumah yang mana, sih?"
"Itu, lho. Di Blok E."
Noura ikut-ikut mengerutkan kening. Blok E kan tempat tinggal mereka sebelum pindah ke Bandung, juga tempat tinggal Devan dan beberapa teman masa kecilnya yang lain. Kira-kira rumah yang dimaksud Dika itu rumah siapa, ya?
Suara decakan dari bibir Dika terdengar tidak sabar. "Nomor rumahnya E19, Ma. Yang pagarnya putih, terus ada ayunannya," kata Dika sambil menatap Rina harap-harap cemas. Namun, mama mereka hanya menggeleng-geleng tidak tahu.
"Dulunya rumah Rangga, Ma. Rangga. Mama inget Rangga, enggak? Yang dulu suka main ke rumah kita sama Devan."
Bakso yang dikunyah Noura langsung menyembur setelah nama itu meluncur dari mulut Dika. Mata Noura berair karena tersedak kuah bersambal di kerongkongannya. Dika melirik Noura tidak suka karena percakapannya terganggu, tetapi Rina menyodorkan beberapa lembar tisu sambil menepuk-nepuk punggung Noura.
"Hati-hati, dong, makannya, Nou. Enggak ada yang bakal ambil baksomu, kok," kata Rina.
Masalahnya, ini bukan tentang bakso. Ini juga bukan tentang kuah bakso yang pedas akibat terlalu banyak sambal. Ini tentang Rangga, teman masa kecil Noura yang selalu membantunya berada dalam kesulitan. Ini tentang perasaan suka Noura kepada Rangga yang terpendam selama bertahun-tahun!
Rina kembali berusaha mengingat setelah batuk-batuk anak perempuannya reda. "Rangga anaknya Mbak Susi, bukan? Mama enggak tahu. Belum ketemu mereka, sih. Mungkin udah pindah?"
Dika cemberut. Aduh. Aduh. Jelek banget, apalagi saat dia memberikan gaya merajuk seperti anak kecil. "Kalau gitu, siapa yang punya, Ma? Aku boleh syuting tanpa izin aja enggak, ya?"
Sekali lagi, Rina mengeplak Dika, tetapi kali ini di paha. Dan, sekali lagi, Dika mengaduh-aduh sampai melompat-lompat menggunakan satu kaki, sedangkan kakinya yang dipukul Rina ditekuk.
"Kamu ini! Kenapa malah mikirin rumah orang, sih? Pikirin skripsi kamu, tuh. Selesaiin. Mama enggak mau tahu!"
Bibir Dika maju sambil mengerut-ngerut seperti kulit jeruk yang terlalu lama disimpan di luar. "Iya, Ma. Ini, tuh, pengalih stres aku."
Rina mengabaikan Dika dan masuk ke kamarnya, meninggalkan Noura yang menyesap kuah bakso secara perlahan dan Dika yang menggerutu tidak jelas.
"Apa lihat-lihat?" Dika melirik sinis ke arah Noura. Cewek itu hanya mengangkat bahu.
"Eh, Mas. Emang bener, rumahnya Rangga udah enggak ada orang? Atau Mas salah lihat aja kali. Mata Mas kan kadang suka agak-agak."
"Lo lihat aja sendiri. Beneran kayak berhantu. Serem banget. Gelap. Rumput-rumput di halaman juga tinggi-tinggi. Ketahuan banget enggak ada penghuninya kecuali setan," balas Dika sambil mengambil segelas air. "Coba lo tanya Devan, deh."
Noura mengangguk-angguk. Iya, sih. Yang paling memungkinkan untuk ditanyai tentang hal ini adalah Devan. Namun, bagaimana Noura bisa menanyakan hal itu sekarang jika tugas menulis surat cintanya saja belum selesai? Surat cinta untuk Devan, lagi. Tidak punya pengalaman cinta, disuruh menulis untuk Devan pula. Noura harus menulis apa coba?
***
"Ini."
Noura hanya bisa menatap bingung plastik hitam di tangan Devan yang terulur kepadanya. Apa maksudnya memberikan plastik sebelum kegiatan OSPEK dimulai?
"Aduh. Tangan gue pegel, nih. Ambil aja napa?" Devan meletakkan plastik itu di tangan Noura dengan paksa. Noura mengintip isi plastik dan tercengang. Mangga!
"Kok mangga? Buat apa?"
"Ya buat lo, lah. Gimana, sih?"
Maksudnya? Seharusnya Noura yang bertanya, bukan Devan.
Devan kembali melanjutkan, "Itu dikasih Pak Ibrahim. Buat keluarga lo."
Buat keluarga?
Buat keluarga?!
Noura ingin mencak-mencak sambil menjambak rambut Devan. Jika ingin memberikan mangga, kenapa tidak dari tadi, saat Noura masih di rumah? Pagi ini, Noura berangkat ke kampus bersama Devan dan cowok itu baru memberikan mangga setelah mereka sampai di halaman parkir kampus? Noura tidak habis pikir!
Namun, Noura tidak berani menyuarakan kekesalannya. Sambil menggerutu di dalam hati, Noura memasukkan plastik berisi mangga ke tas selempangnya. Berat!
"Ngomong-ngomong, lo inget, enggak?" Devan berkata sambil sedikit tersenyum. "Dulu kita pernah nyuri mangga Pak Ibrahim."
Ah. Sial. Kesabaran Noura habis. Noura meninggalkan ritsleting tasnya yang sulit ditutup karena penambahan bobot dan menyorotkan tatapan kesal ke arah Devan. "Bukan kita, tapi gue. Lo enggak inget kalau lo ninggalin gue?"
Benar. Benar. Noura sangat ingat kejadian itu seperti kemarin sore. Saat itu, Devan dan Noura berencana mencuri mangga di kebun Pak Ibrahim, tetangga di kompleks perumahan mereka. Devan berhasil kabur membawa mangga-mangga hasil curian, sedangkan Noura ditinggal di atas pohon. Tentu saja Noura tertangkap basah, mengakibatkan Pak Ibrahim marah besar dan menyuruh Noura untuk membantunya merapikan halaman rumah Pak Ibrahim yang luas hingga matahari terbenam. Sedangkan Devan? Tentu saja menikmati hasil curian mereka. Untungnya, Devan masih punya sedikit otak sehingga mengirimkan beberapa mangga ke rumah Noura. Jika diingat-ingat, Noura masih kesal.
Namun, tidak dengan Devan. Cowok itu malah tertawa dan semakin keras suara tawanya, jumlah kerutan di dahi Noura juga semakin banyak. "Lo payah, sih. Enggak bisa turun dari pohon," katanya meremehkan.
Payah?
Payah?!
Noura ingin sekali menempeleng kepala cowok yang lebih tua setahun darinya itu. Gue lebih kecil, lho, waktu itu! Gue bahkan masih imut-imut sampai sekarang! Namun, tentu saja Noura tidak mengeluarkan isi hatinya. Sebagai gantinya, Noura mendengkus.
Oh, benar! Omong-omong tentang masa kecilnya, Noura jadi ingat percakapannya dengan Dika semalam.
"Van, lo inget Rangga, enggak? Sekarang dia di mana, ya?"
Raut wajah Devan berubah keruh. Suara tawanya berhenti seketika, lalu cowok itu mendengkus. "Udah enggak ada."
Hah? Noura tidak bisa menyembunyikan perasaan terkejutnya. Maksudnya sudah tidak ada itu bagaimana? Apakah ... apakah Rangga sudah meninggalkan dunia? Namun, Noura tidak bisa menyuarakan pertanyaannya karena gerombolan panitia OSPEK berjalan menghampiri mereka. Salah satunya Yudha.
"Oi, Van!" seru Yudha sambil mengangkat satu tangan guna menyapa Devan. Kening Yudha berkerut saat melihat Noura di samping Devan. "Ngapain mahasiswa baru ini di sini?"
Noura hendak menjawab pertanyaan Yudha, tetapi Devan mendahuluinya. Cowok itu menoleh ke Noura dengan tidak suka. "Iya. Ngapain lo masih di sini? Sana pergi."
Wah. Noura speechless. Bagaimana bisa Devan berubah secapat ini? Cowok itu memang dasarnya menyebalkan, tetapi Noura tidak tahu dia akan diusir begitu saja di tengah percakapan mereka. Dan, lagi, kenapa diusir di depan senior-seniornya membuat Noura merasa sangat kesal?
Noura menelan kedongkolannya di dalam hati. Sabar, ucapnya dalam hati. Lalu, dia tersenyum kecil dan berjalan menjauhi kumpulan panitia OSPEK dengan langkah cepat. Namun, ketika salah satu dari mereka bersuara cukup keras, Noura memelankan langkahnya.
"Menurut lo, siapa yang bakal dapet surat cinta dari mahasiswa baru tadi?" Salah satu suara yang tidak Noura kenal terdengar.
"Palingan Devan. Dia paling ganteng di antara kita." Lalu, tawa berderai terdengar.
"Taruhan, yok. Menurut gue Yudha. Kemarin Yudha keren banget, cuy."
"Enggaklah. Tetep Devan," bantah yang lain. Noura tidak bisa menengok dan melihat pemilik suara tersebut, tetapi dia menduga itu adalah suara Arin yang pada hari pertama OSPEK mengantarnya ke toilet.
"Gue juga tetep milih Devan," timpal yang lain.
Suara-suara itu saling melemparkan kemungkinan penerima surat cinta dari Noura. Cewek itu sampai terheran-heran mendengarkan perdebatan tidak jelas itu. Aneh. Devan bilang, hukuman Noura adalah menulis surat cinta untuk cowok itu. Lalu, untuk apa mereka repot-repot menebak siapa yang akan mendapatkannya?
***
"Kemarin ada yang terlambat selama satu jam." Yudha melirik Noura dengan pandangan sinis. "Pagi ini, mahasiswa baru tersebut akan membacakan hukuman yang kemarin panitia berikan. Noura Tsabita, silakan maju."
Noura maju sambil mencengkeram selembar kertas yang telah dia persiapkan. Kertas berwana merah muda itu sampai lecek akibat lembap dari keringat di tangan Noura. Setelah berdiri di depan ribuan pasang mata yang menatapnya, Noura berdeham. Dari ekor matanya, puluhan panitian OSPEK memandangi Noura penasaran. Kecuali Devan, tentu saja. Cowok itu berdiri dalam jarak pandang Noura dan memasang wajah senang yang sangat mengganggu.
"Dear Kak Devan yang ganteng banget," ucap Noura sebagai pembuka.
Suara desahan kecewa meluncur dari bibir beberapa orang panitia, sedangkan sisanya saling melirik penuh arti. Apakah ini ada hubungannya dengan percakapan yang diam-diam Noura dengarkan di halaman parkir beberapa saat lalu? Ah. Masa bodoh. Bukan urusan Noura.
"Namaku Noura Tsabita, adik tingkat Kakak dari jurusan yang sama, kalau-kalau Kakak lupa. Sejak pertama kali masuk kampus ini, rasanya cuma kakak yang bisa mengalihkan pandanganku. Kakak ganteng banget, tapi jutek dan nyeremin. Saking nyereminnya sampai aku yakin Pennywise aja kalah serem dari Kakak. Tapi, tenang aja, Kak. Kak Devan tetep ganteng di mataku. Makanya aku nulis surat cinta ini untuk Kakak."
Sampai sini, Noura mengambil jeda. Matanya yang terpaku pada kertas di tangan diedarkan ke penjuru lapangan, lalu terdengar suara tawa membahana dari setiap angkatan, baik itu mahasiswa baru maupun para senior. Namun, Noura merasakan aura menusuk yang tidak bisa dia jelaskan. Rasanya seperti puluhan mata pedang yang diarahkan kepadanya. Yah, siapa lagi kalau bukan Devan? Cowok itu menyorotkan rasa tidak suka yang sangat besar kepada Noura hingga tubuh cewek itu menggigil.
Setelah tawa-tawa di sekitarnya reda, Noura tersenyum penuh kemenangan dan melanjutkan, "Surat ini aku tulis bukan untuk ngedapetin perasaan balesan dari Kakak. Kakak enggak peduliin aku juga enggak apa-apa, kok. Aku cuma mau ungkapin perasaanku aja. Terima kasih, Kak Devan, karena udah mau dengerin suratku ini. Dari Noura, junior kakak yang paling imut."
Panitia-panitia OSPEK lainnya menepukkan tangan mereka penuh semangat, lupa bahwa seharusnya mereka sedang mengawasi kegiatan OSPEK mahasiswa baru. Di tengah momen kebahagiaan itu, Noura tanpa sengaja bertemu pandang dengan Devan. Cowok itu cemberut, sangat kontras dengan suasana meriah di sekitarnya, lalu menggambar garis melintang di lehernya dengan telunjuk sambil menatap intens mata Noura.
Glek. Sepertinya hidup Noura akan berakhir di sini, dankehidupan perkuliahan yang dia dambakan akan berubah menjadi neraka mulai detikini. Apa yang harus Noura lakukan untuk menyelamatkan diri?[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top