Bab 24: Menghindar Bagai Virus


Akhirnya, Noura bisa bergerak.

Setelah dua puluh menit terpaku seperti patung, Noura bisa menggerakkan tubuh. Kepalanya yang direbahkan di atas meja belajar terasa kaku. Sisi kepala cewek itu yang dikecup Devan terasa panas. Jika mungkin, rasanya api neraka baru disulut di tempat Devan mendaratkan bibirnya.

Noura adalah manusia berlumur dosa yang terbakar oleh api itu.

Dengan kaki berjinjit, Noura mendekati Devan di atas kasur. Cowok itu tidur pulas dan tenang seperti bayi. Alisnya yang biasa mengerut tampak rileks. Mata tajam cowok itu tertutup. Bayangan hidung mancung Devan di pipinya menambah kekerenan cowok itu. Lalu, bibirnya ....

Noura berjengit. Dia tidak boleh mengulang adegan beberapa menit lalu di kepalanya!

Tangan Noura melambai-lambai di depan wajah Devan dengan jantung berdegup sangat, sangat cepat. Dia menahan napas saat Devan menggerakkan kepalanya sedikit. Apakah ... apakah Devan terbangun? Atau, yang lebih buruk, apakah cowok itu pura-pura tidur?

Noura menunggu selama satu detik. Dua detik. Hingga detik keenam puluh. Ketika Devan kembali pulas seolah memang tertidur, barulah Noura bisa bernapas lega. Dia tidak tahu harus bersikap bagaimana jika Devan memang bangun. Untungnya Tuhan mendengarkan rapalan doanya di dalam hati. Devan tidak bergerak-gerak mencurigakan seperti orang sadar.

Cewek itu merapikan tugas kuliahnya di atas meja belajar Devan. Awalnya, dia memang berkata ingin menemani Devan hingga orangtua cowok itu pulang. Namun, sekarang ... apakah Noura terdengar egois jika dia ingin pulang karena sang jantung tidak bisa memelankan detaknya?

Setelah memasukkan seluruh tugas dan peralatan menulisnya ke tas, Noura kembali mendekati ranjang Devan. Kali ini, posisi tidur cowok itu sedikit berubah. Dia memiringkan tubuhnya ke samping dan memeluk guling. Alisnya kembali mengerut, seolah dirinya menolak Noura yang tidak konsisten dengan perkataannya.

"Gue pulang dulu," bisik Noura di tengah kamar Devan yang sunyi. Tentu saja cowok itu tidak membalas.

"Lo udah membaik, 'kan?"

Sekali lagi pertanyaan Noura dijawab dengan keheningan. Dia memang bodoh, ya? Untuk apa bertanya jika orangnya sedang tidur?

Entah karena rasa penasaran atau sedikit kepedulian yang tersisa, Noura meletakkan tangannya di kening Devan. Suhu tubuhnya sudah normal. Setidaknya, Noura meninggalkan Devan saat kondisi cowok itu tidak lagi seburuk sebelumnya.

"Kalau ada apa-apa, lo boleh telepon gue. Nanti gue dateng," kata Noura lagi. Namun, cewek itu langsung mengernyit saat tersadar akan ucapannya. "Gue bakal dateng sama Mas Dika. Atau Mama. Atau Papa," tambahnya.

Noura mengangkat tangannya dari kening Devan. Lalu, dia merapikan selimut cowok itu. "Bye, Van. Get well soon."

Perlahan, kaki Noura menjauhi ranjang dan keluar dari kamar. Noura menutup pintu perlahan agar suaranya tidak terlalu kencang, tetapi sebelum pintu benar-benar menutup, Noura seakan mendengar sesuatu yang janggal.

Ada suara geraman tertahan dari dalam kamar Devan.

***

Sejak tadi pagi, Noura selalu menghindari Devan.

Pertama, saat seluruh mahasiswa tingkat pertama Teknik Elektro diminta berkumpul oleh para senior. Noura sebisa mungkin menghindari tatapan Devan. Kedua, saat mereka tidak sengaja bertemu di depan gedung fakultas. Noura langsung lari terbirit-birit seperti orang kebelet. Ketiga, siang ini, saat Noura sedang membeli sate ayam sebagai menu makan siangnya.

"Beli sate juga, Nou?"

Suara Devan tepat di telinga Noura, membuat cewek itu berteriak nyaring. Beberapa orang yang juga membeli sate ayam sampai menatapnya heran. Bahkan, penjual sate ayam bertanya kebingungan, "Kenapa, Mbak?"

Rasa malu mengguyur Noura. Dia mingkem sambil menggeleng-geleng. Namun, Devan malah memperpanjang masalah dengan lanjut bertanya, tanpa mengetahui bahwa sumber masalah kali ini adalah dirinya.

"Kaki lo keinjek, Nou?"

Terinjak? Kakinya?

Noura ingin sekali memukul kepala Devan. Hell to the lo? Bukan kaki tetapi jantung Noura. Jantung! Ingin rasanya Noura berteriak begitu di depan wajah Devan. Apalagi cowok itu bertingkah seolah semuanya baik-baik saja. Seolah mencium Noura di kepala adalah hal paling normal sejagat raya. Seolah cowok itu tidak memorakporandakan jantung Noura.

Dengan kesal, Noura memalingkan wajah. "Bukan apa-apa."

Jawaban Noura membuat kening Devan berkerut. "Gue udah sehat, lho. Jadi, lo enggak usah khawatir."

Ya, terus? Siapa yang khawatir, Bambang?!

Baiklah. Noura sedikit khawatir. Saat cowok itu ikut pertemuan pagi tadi, Noura sedikit khawatir demam Devan kembali kambuh. Namun, sepertinya cowok itu benar-benar sudah sehat karena memiliki nafsu makan dan memutuskan membeli sate ayam.

"Udah dapet tempat makan? Gue sama Arin udah dapet meja. Ada sisa bangku kosong."

Tawaran Devan sedikit menarik. Berhubung dia belum mendapatkan tempat makan sedangkan ini adalah jam makan siang, saat kantin sedang padat-padatnya, ajakan dari Devan patut dipertimbangkan. Namun ..., kenapa Noura merasa panas, ya? Atau mungkin ini akibat dari asap penjual sate?

"Lo kenapa kipas-kipas gitu? Gerah? Makanya mandi sebelum berangkat kampus, Nou," tambah Devan, yang membuat si penjual sate terkekeh geli.

"Enggak apa-apa, Mas Devan. Anak Teknik emang jarang mandi," timpal si penjual sate sok tahu.

Tuh kan! Karena omongan Devan yang ngaco, orang-orang jadi salah menilai dirinya. Noura tidak sejorok itu, kok!

Noura yang tidak terima dengan tuduhan Devan segera membuka mulut. Dia sampai lupa rencananya untuk menghindari Devan sepanjang hari ini. "Enak aja! Gue udah mandi! Ini gerah karena deket-deket lo!"

"Emangnya kenapa sama gue?"

Penjual sate ikut-ikutan. "Emang kenapa sama Mas Devan?"

Aduh ...! Noura makin malu bukan kepalang. Apalagi saat para pembeli sate yang lain ikut menguping. "Yah ..., enggak tahu. Pokoknya gue males lihat muka lo!"

Demi Tuhan. Noura ingin menutup mulut si penjual sate dengan lakban apa pun. Karena detik berikutnya, si bapak kembali membuka mulut. "Kalau saya punya wajah seganteng Mas Devan, mah, pasti ngaca mulu, Mbak. Ganteng. Cocok jadi penyanyi Korea."

Dipuji begitu, Devan tertawa. Begitu gembira. Seolah dia baru saja dinobatkan menjadi cowok paling kece se-Indonesia. "Bisa aja, Pak. Bapak juga keliatan bekas-bekas kegantengannya pas masih muda."

Lalu, kedua lelaki itu saling memuji. Si bapak penjual sate menceritakan masa kejayaannya, sedangkan Devan manggut-manggut seperti burung perkutut. Sebenarnya, Noura malas mendengar percakapan mereka, tetapi suara keduanya yang keras membuat Noura mau tidak mau ikut mendengar. Setidaknya, percakapan mereka sudah tidak membahas dirinya lagi. Ini lebih baik daripada membicarakan gosip murahan yang bilang bahwa dia tidak mandi sebelum ke kampus.

Hingga penjual sate kembali menyeret Noura ke dalam percakapan.

"Mas Devan udah punya pacar belum, Mas?"

Devan menggeleng sambil memberikan cengiran.

"Kalau Mbaknya? Udah punya pacar?" tanya penjual sate lagi.

Noura inginnya tidak menanggapi. Mungkin pura-pura tuli atau mendadak kesurupan supaya pertanyaan itu tidak perlu dia jawab. Namun, tatapan semua orang yang berada di sana membuatnya membuka mulut tanpa sadar.

"Belum," kata Noura.

"Tuh, Mas Devan. Mbaknya belum punya pacar. Coba tanya aja, Mas Devan. Sayang, lho. Wajah seganteng Mas tapi belum punya pacar. Masih muda lagi. Kalau udah nikah enggak bisa ganti-ganti pacar. Kalau nikah mah sama satu perempuan aja seumur hidup. Mumpung masih muda, puas-puasin dulu, Mas."

Noura dibuat bingung dengan nasihat si penjual sate. Kenapa tiba-tiba membahas pacar? Kenapa tiba-tiba menyeretnya ke dalam percakapan nista ini?

Bukannya merasa kesal, Devan malah tertawa. Cowok itu menolehkan kepala ke arah Noura. "Tuh, Nou. Lo mau jadi pacar gue, enggak?"

Pertanyaan Devan yang sangat mengejutkan itu berhasil membuat jantung Noura berhenti berdetak—jika itu memungkinkan. Cewek itu terbatuk-batuk keras meskipun tidak ada tulang ikan yang menyangkut di tenggorokan. Penjual sate panik. Devan juga panik.

"Kok malah batuk, sih? Tunggu di sini. Gue beliin minum dulu." Devan memelesat ke kedai penjual minuman. Begitu cowok itu menghilang dari pandangan, batuk Noura ikut mereda. Penjual sate yang memperhatikan Noura dengan panik hanya bisa mengangkat alis melihat perubahan cewek itu.

Noura tahu si penjual sate ingin memulai percakapan lagi dengannya, tetapi satu suara yang Noura kenal mendahuluinya.

"Eh, ketemu lagi sama Noura."

Cewek itu berputar ke arah sumber suara secepat kilat. Senyumnya semringah karena Rangga, sang pemilik suara, baru saja menyelamatkannya dari pertanyaan penjual sate yang pasti hendak menyudutkannya.

"Makan di sini, Ngga?"

Rangga memberikan cengiran. "Iya. Awalnya janjian sama temen, tapi dia ada acara lain."

Meskipun rasanya aneh Rangga yang notabene anak Kedokteran selalu datang ke Teknik setiap jam makan siang, tetapi Noura mengabaikannya. Setidaknya, untuk saat ini Rangga telah menyelamatkan Noura dari rasa malu.

"Makan sendiri?"

Berbeda dari biasa, tetapi kenyataannya hari ini Noura memang makan siang seorang diri. Teman-temannya memiliki urusan lain dan dia tidak mungkin menunggu berjam-jam hanya demi mendapatkan teman makan siang. Sebagai jawaban, Noura mengangguk.

"Mau makan bareng gue?"

Pertanyaan dari Rangga malah dijawab Devan. Cowok itu rupanya sudah kembali dari membeli botol minuman.

"Noura makan siang bareng gue."

Excuse me?

"Oh? Tapi, kayaknya Noura punya jawaban lain," balas Rangga.

Devan mendengkus, tetapi cowok itu menanyakan hal yang sama. "Lo makan siang bareng gue, 'kan, Nou? Tadi lo bilang mau makan siang bareng Arin dan yang lain."

Yah ..., ada benarnya, sih. Noura memang mempertimbangkan untuk makan siang bersama Devan karena cowok itu memiliki tempat kosong di mejanya. Noura juga tidak keberatan jika harus bertemu seniornya yang lain, tetapi yang menjadi pemberat adalah Devan sendiri.

Bagaimana Noura harus bersikap setelah Devan menanyakan pertanyaan keramat tadi? Noura tahu cowok itu hanya bercanda. Namun ..., memangnya Devan tidak tahu bahwa malaikat nyaris menyambut nyawanya?

Noura melirik penjual sate yang cengengesan melihat cewek itu. Aduh ..., salah langkah! Melihat penjual sate yang malah sibuk memperhatikan pelanggan dan bukannya membuat makanan membuat Noura semakin bimbang.

"Gue ...."

Diliriknya wajah penuh harap milik Devan. Bukannya merasa iba, Noura malah mengingat ciuman Devan di kepalanya. Memalukan!

"Gue makan siang bareng Rangga aja."

Wajah Devan kecewa.

"Abisnya Rangga enggak ada temen makan siang ...." Noura tahu kalimatnya terdengar terlalu mencari-cari alasan, tetapi dia benar-benar tidak bisa menghabiskan waktu lebih lama bersama Devan untuk saat ini. Mungkin Noura hanya akan tinggal nama karena jantungnya berhenti berdetak. Lagi. Mungkin Noura akan merasa seperti di neraka karena berada di dekat Devan membuatnya gerah.

Untungnya, Devan menerima. Penjual sate menyorongkan bibir ke depan sambil menyerahkan pesanan Noura yang rupanya sudah jadi sejak tadi. Di antara mereka, hanya Rangga yang tersenyum penuh kemenangan.

***

Niat hati ingin menjauhi Devan, tetapi Tuhan seakan menolak.

Noura dan Rangga mencari ke sana kemari, tetapi keduanya kesulitan mendapatkan tempat, hingga akhirnya salah satu meja ditinggal penduduknya. Namun, sayangnya, meja itu terletak di dekat meja Devan.

"Enggak ada meja lain, ya?" Noura bertanya sambil melirik Devan. Untunglah cowok itu terlalu sibuk dengan makanan dan teman-temannya sampai tidak menyadari keberadaan Noura di dekatnya.

Tunggu sebentar. Memangnya Noura siapa sampai Devan harus menyadari kehadiran cewek itu? Noura menggeleng untuk menyingkirkan pemikiran konyol tersebut. Dia meletakkan piring sate ayamnya di meja, lalu mulai makan sambil berusaha tidak melirik ke arah meja Devan. Namun, Rangga malah mengungkit-ungkit tentang cowok itu.

"Itu Devan, 'kan? Dia nyerah dan nyari cewek lain?"

Hah? Noura sampai menghentikan tangannya menyuap lontong ke mulut. Matanya ikut-ikut melirik meja Devan—sekali lagi—dan mendapati cowok itu sedang mengobrol dengan Arin. Kepala mereka hampir beradu dan keduanya tertawa seolah ada yang lebih lucu dari lawakan Sule.

"Itu gebetan Devan, ya?" Rangga kembali bertanya.

Tentu saja Noura tidak menjawab. Sebagian hatinya kesal melihat Devan, tetapi dia tidak tahu alasannya.[]



AUTHOR'S NOTE

Excuse me, hubungan mereka itu apa? Sebenarnya gimana, sih, Devan? Sumpah, kita tuh enggak bisa digantungin gini! Aku enggak berpengalaman digantungin kayak kalian! Tolong ajarkan aku!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top