Bab 22: Bagaimana Perasaan Noura?

"Lo masih suka sama gue, 'kan, Nou?"

Pertanyaan dari Rangga terdengar seperti bom yang dijatuhkan dari pantat pesawat tempur termutakhir di langit. Begitu mengagetkan hingga Noura hanya bisa megap-megap seperti ikan koi di darat, padahal di dalam kepalanya terdengar teriakan setinggi Beyonce saat menyanyikan lagu Love on Top. Ricuh!

Setelah beberapa menit berlalu, dengan Noura yang masih megap-megap, Rangga mengguncang tangan cewek itu di atas meja. "Nou?"

Tangan Noura seperti dialiri listrik jutaan volt. Cewek itu nyaris melompat di atas bangkungnya, lalu berkata lantang, "Ya?"

"Lo masih suka sama gue?"

Noura mengunci bibirnya rapat-rapat. Bukannya Tuhan mengambil kemampuan bicara Noura secara mendadak, tetapi cewek itu memiliki beberapa pertanyaan yang sedari tadi terus berputar. Satu, dari mana Rangga tahu kalau dia menyukai cowok itu? Dua, sejak kapan Rangga tahu?

Saat masih di bangku sekolah dan satu-satunya tempat curhat Noura hanyalah selembar surat, cewek itu akan menuliskan perasaannya di kertas berwarna pink itu, lalu berkhayal akan mengirimkannya kepada Rangga. Namun, Noura tidak pernah benar-benar merealisasikan khayalannya itu karena terlalu takut untuk melakukannya.

Sekarang ..., bisa-bisa Noura gila!

"Dari mana lo tahu, Ngga?" tanya Noura hati-hati.

Rangga terkekeh kecil. "Beneran? Yah, gue pikir awalnya lo suka sama Devan."

Apakah mungkin seseorang tersedak air liurnya sendiri? Begitu ucapan yang sangat absurd meluncur dari bibir cowok itu, Noura langsung batuk-batuk seperti baru saja menelan duri ikan paus. Cewek itu memanggil penjual minuman di dekat meja mereka, lalu memesan segelas teh manis hangat yang melegakan tenggorokan.

Setelah batuknya reda, Noura kembali bertanya, "Kenapa lo mikir begitu, Ngga?"

"Dari dulu kalian selalu deket. Setiap kali main bareng, gue selalu merasa terasingkan."

Gebrakan tangan Noura di atas meja sangat menyakitkan dan memalukan, terutama karena beberapa orang yang sedang makan di sekitar mereka jadi menoleh penasaran. Namun, cewek itu tidak peduli.

"Sejak kapan gue dan Devan deket? Kami enggak deket! Itu cowok hobinya ganggu gue. Lo enggak inget dia selalu dorong gue keluar lapangan setiap kali kalian main basket?"

Rangga bertopang dagu saat berpikir. "Iya, sih .... Tapi, dia selalu bertanggung jawab, 'kan, ke lo?"

Kepala Noura mendadak pusing. Maksudnya bertanggung jawab bagaimana, ya? Membuat anak orang menangis adalah bentuk tanggung jawab, begitu?

"Misalnya waktu lutut lo berdarah kena batu. Devan langsung menghentikan permainan basket dan lari-lari ke warung sambil gendong lo di punggung buat nyari plester," kata Rangga. "Terus gara-gara lo nolak pake plester yang enggak ada gambar Disney princess, Devan ikut marah-marah ke penjaga warung. Waktu itu kocak banget. Devan kayak orang kebakaran jenggot."

Gelak tawa Rangga pada akhir kalimat mengingatkan Noura akan kejadian beberapa tahun lalu. Jika diingat-ingat, Devan memang pernah menggendongnya sambil tertatih-tatih sedangkan cewek itu menangis seperti bayi besar. Namun, kenapa ingatan ini baru muncul?

Noura merasakan tatapan Rangga di wajahnya, lalu cewek itu mendengar bisikan samar-samar cowok itu. "Kenapa gue malah ngomongin Devan?"

Tepat setelah Rangga bertanya begitu, penjual kantin mengantarkan makanan pesanan mereka. Tangan Noura mengambil pesanannya secepat kilat. Bukan khawatir Rangga akan menggasak makanannya, melainkan dia butuh pengalih perhatian dari kejadian super memalukan ini. Apa lagi namanya kalau bukan memalukan jika Mas Crush tahu perasaan kita terhadapnya?

Setelah penjual kantin melangkah pergi dari meja mereka, Rangga kembali angkat suara. "Tapi, gue seneng. Lo masih punya perasaan sama gue. Awalnya gue khawatir, tapi kayaknya kekhawatiran ini enggak penting. Karena kayaknya ... gue juga punya perasaan sama lo."

Senyum Rangga benar-benar manis seperti gulali ditambah satu kilogram gula lagi. Kata-kata dari bibir cowok itu juga perwujudan impian Noura sejak dia paham apa itu perasaan suka. Namun ...

... kenapa Noura hanya bisa membalas senyum Rangga?

***

"Makasih udah anterin gue balik ke Teknik ya, Ngga."

Noura berhenti di depan gedung Fakultas Teknik, lalu membalikkan tubuh. Cowok itu, yang balas menatapnya dengan senyuman, mengangguk.

"Slow aja. Abis ini gue enggak ada kegiatan yang penting, kok. Tapi ...."

Nada menggantung pada akhir kalimat Rangga membuat Noura deg-degan. Tuhan, tolong dengarkan permintaan Noura. Sekali ini saja, tolong tutup mulut Rangga agar tidak membawa-bawa percakapan mereka beberapa saat lalu!

"Tapi ..., kenapa lo harus ambil kertasnya sekarang?"

"Hah? Kertas apa—"

Oh! Noura ingat. Saat mereka makan siang, cewek itu mengecek ponsel dan menemukan pesan dari ketua kelas Kalkulus-nya. Katanya, Ibu Endah meminta setiap mahasiswa untuk mengumpulkan jawaban perbaikan soal UTS yang wajib diserahkan kepada beliau minggu depan. Lalu, teman sekelas Noura itu berinisiatif untuk memberikannya malam ini agar tidak lupa menyerahkannya kepada Noura.

"Kalau ditunda-tunda bakal lupa, Ngga. Lagian biar bisa gue kerjain malam ini juga, biar enggak keteteran tugasnya."

Rangga mengangguk seakan setuju. "Oke. Kalau gitu, gue balik duluan."

Cowok itu melambaikan tangan sebagai salam perpisahan kepada Noura, tetapi menghentikannya saat suara serak Devan memanggil nama Noura.

"Nou."

Ya Tuhan! Noura sampai mengelus dada saking kagetnya dengan kehadiran Devan yang mendadak. Cowok itu tiba-tiba muncul dari balik gedung, persis seperti legenda hantu penunggu kampus. Apalagi wajahnya pucat meski ada beberapa warna kemerahan di pipinya.

Devan terbatuk. "Ini kertas jawaban UTS lo. Tadi ketua kelas lo nitipin ke gue."

Lembar bertuliskan angka 80 itu diambil Noura dari tangan Devan penuh kehati-hatian. Jangan sampai jerih payahnya hancur. Apalagi angka 80 di ujung kertas. Kalau bisa, Noura akan melaminating dan memajangnya di dalam kamar.

"Kalian ... baru balik?"

Saat Noura sibuk memasukkan lembar jawaban ke tas dengan penuh kehati-hatian, Rangga yang menjawab pertanyaan cowok itu.

"Iya," tukas Rangga singkat.

Noura melirik Rangga, lalu Devan. Ketegangan di antara keduanya masih ada, tetapi ....

"Uhuk ... uhuk!"

Batuk Devan memecahkan ketegangan. Cowok itu pamit untuk balik duluan sebelum melangkah pergi.

"Tunggu!"

Tangan Noura mencekal pergelangan Devan, persis seperti adegan drama Korea picisan. Namun, adegan drama yang satu ini tidak pantas membuat hati berdebar-debar karena tubuh Devan yang panas sangat mengkhawatirkan.

"Lo demam, Van?"

Devan menghentikan langkahnya. Punggung tangan cowok itu menyentuh keningnya, tetapi dia hanya menempelkannya sekilas lalu mengangkat satu bahu acuh tak acuh. "Cuma enggak enak badan."

Cuma enggak enak badan kepalamu peang!

Tangan Noura menarik jaket jins cowok itu agar kepala mereka sejajar. Ada binar terkejut di kedua mata Devan, tetapi Noura mengabaikannya. Malah, tangan cewek itu menyentuh kening Devan dan berteriak nyaring, membuat beberapa mahasiswa Teknik yang berjalan di depan gedung fakultas melirik heran.

"Ini bukan enggak enak badan! Badan lo panas banget, Van!"

Kedua mata Devan mengerling. "Cuma panas."

Panas? Cuma panas?

Ingin rasanya Noura mengguncang tubuh Devan agar cowok itu sadar betapa panas tubuhnya. Ini mah lebih panas daripada sinar matahari Jakarta siang hari, meski tidak lebih panas daripada api cemburu!

Namun, karena reaksi Devan yang tenang membuat Noura ikut-ikutan menjadi lebih tenang, cewek itu menarik napas panjang sebelum mengembuskannya. "Udah minum obat?"

Devan memberengut. "Belum."

Ya Tuhan ....

"Sejak kapan?"

"Tadi pagi."

Tadi pagi? Selama itu?

Melihat eskpresi Noura yang ingin meledak, Devan cepat-cepat menyela. "Tadi pagi enggak sepanas ini, kok, demamnya."

Ya iyalah! Kalau dari tadi pagi Devan minum obat penurun demam, panasnya tidak akan setinggi ini. Tidak. Salah. Bukan begitu. Kalau kemarin mereka tidak menerjang hujan, Devan tidak akan sakit seperti ini.

"Makanya, kemarin kan udah dibilang, berteduh dulu."

Devan memilih untuk mengunci mulut.

"Di rumah ada obat demam?"

Devan tampak berpikir. "Mungkin ada. Nanti telepon Mama, deh. Tanya obat demam di mana."

"Tante Sri enggak ada di rumah?"

"Enggak. Lagi keluar dan enggak tahu kapan baliknya."

Anggukan singkat Noura membalas kalimat Devan. Cewek itu melirik sekilas ke arah Rangga yang masih berdiri di depan gedung Fakultas Teknik sambil memperhatikan interaksi keduanya dengan alis terangkat.

"Gue balik duluan sama Devan, ya, Ngga. Sekali lagi makasih karena udah anterin gue ke sini." Noura menggamit lengan Devan menuju lapangan parkir motor yang tidak jauh dari depan gedung Fakultas Teknik. Namun, cowok itu melepaskan Noura dari lengannya seperti ditempeli hama.

"Gue bisa balik sendiri. Sana lo pulang," kata Devan ketus.

Noura berdecak. "Pulang sama gue. Sekalian beli obat demam aja, takut di rumah lo enggak ada. Terus lo udah makan? Kalau belum, kita beli bubur di depan kompleks."

Rentetan kalimat Noura yang melebihi kecepatan kereta api itu membuat salah satu satpam fakultas yang berjalan di belakang mereka menggoda Devan. "Berantem sama pacarnya, Mas Devan?"

Lucu sekali melihat telinga Devan memerah. Cowok itu setengah berlari meninggalkan Noura di pinggir jalan setapak menuju parkiran motor dan membuat cewek itu misuh-misuh.

"Devan, tungguin gue!" teriak Noura.

Devan tidak mengacuhkan permintaan Noura. Malah, dia balas berteriak. "Jangan deket-deket gue!"

"Kenapa?"

"Soalnya gue juga flu. Nanti lo ketularan!"

Memangnya Noura peduli?

***

Tentu saja jawabannya Noura tidak peduli. Bagaimana mungkin cewek itu bisa mengabaikan Devan yang sakit karena dirinya? Kalau saja Noura membawa jas hujan seperti nasihat kakaknya yang tumben benar, pasti Devan tidak akan meminjamkan jas hujan untuknya dan menjadi sakit. Kalau saja Noura berhasil menyelesaikan tugas robotiknya jauh-jauh hari sebelum deadline lomba internal, pasti Devan tidak akan memaksa pulang agar Noura bisa menyelesaikan tugasnya. Jadi, sudah sepantasnya Noura ngotot ikut ke rumah Devan untuk merawat cowok itu. Setidaknya, sampai Tante Sri kembali.

"Di mana lo taruh mangkuknya?"

Begitu Devan berhasil membuka pintu rumahnya, Noura langsung menghambur masuk dan menanyakan alat makan cowok itu seperti maling. Devan menunjuk dapur yang terlihat dari ruang tamu.

"Lemari kayu di atas. Kedua dari kanan."

Noura mengikuti arahan Devan. Sambil menuangkan bubur ayam yang dibeli di depan kompleks, cewek itu menawarkan minuman hangat seperti tuan rumah melebihi yang punya rumah. "Mau minum apa?"

"Teh manis anget aja," jawab Devan. Cowok itu terlihat berpikir sebentar sebelum menunjuk meja kayu dekat kulkas. "Tehnya ada di sana. Air panas tinggal ambil dari dispenser."

"Oke."

"Gue ke atas dulu, ya. Mau ganti baju."

***

Sejak Devan memutuskan untuk mengganti pakaian, cowok itu belum juga turun ke dapur bahkan setelah menit-menit berlalu. Karena kondisi tubuh cowok itu yang sedang tidak fit, Noura jadi dilanda kepanikan. Pertanyaan tentang Devan terus berputar di benaknya. Apakah Devan pingsan? Apakah kepalanya membentur lantai dan berdarah? Apakah—

Berhenti!

Noura bangkit dari duduknya di atas sofa ruang keluarga Devan dan memutuskan untuk membawa nampan berisi teh hangat dan bubur ke kamar cowok itu. Jika Devan memang benar terluka, Noura sudah siap menelepon rumah sakit terdekat. Namun, ketika cewek itu membuka pintu kamar Devan dan menemukannya sedang mengancingkan piama sehingga sebagian tubunya terlihat, malah teriakan cowok itu yang membuat Noura terperanjat.

Apa yang baru saja Noura lihat?[]



AUTHOR'S NOTE

Ayo tutup mata kalian biar enggak bintitan! Hohoho ....

Siapa yang kalau di posisi Noura malah buka pintu lebih lebar? Ckckck ... *ngelus dada sendiri

Enggak boleh gitu, ya. Inget dosa, wahai Tim Haluuu ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top