Bab 19: Hujan Deras dan Kunjungan Sore

"Nou!"

Devan memanggil nama Noura saat cewek itu berjalan melintasinya di selasar Elektro. Namun, cewek itu tidak menjawab dan malah semakin cepat berjalan menjauhi Devan. Di tangan Noura, terdapat tumpukan barang yang familier di mata Devan, tetapi dia masih tidak mengerti kenapa Noura menghindarinya seperti ini.

Apakah karena beberapa hari lalu Devan menolak menjawab pertanyaan Noura tentang Rangga?

Devan kembali memanggil Noura. Sebenarnya bukan sesuatu yang mendesak, tetapi cowok itu ingin meminta Noura untuk memberi tahu kelas Kalkulus-nya bahwa dia akan memberikan asistensi kelas untuk membahas soal UTS besok, persis seperti permintaan Bu Endah yang dadakannya melebihi tahu bulat. Devan bisa saja menghubungi ketua kelas, tetapi handphone-nya mati dan dia belum sempat mengisi ulang baterainya.

Kaki Devan berusaha mengejar Noura, tetapi matanya menangkap papan hijau yang sudah sangat dia kenal di lantai selasar. Jika tidak salah ... ini yang dibawa Noura, 'kan? Devan memungutnya, lalu mengejar Noura yang semakin menjauh. Papan di tangannya adalah PCB yang biasa digunakan dalam elektronik. Karena Devan tahu bahwa semester pertama belum mendapatkan mata kuliah yang mengharuskan menggunakan PCB, maka ini pasti tugas dari UKM Robotik yang Noura ikuti.

Langkah Devan yang panjang berhasil menyamai langkah Noura. Cowok itu menarik lengan Noura yang bebas dan mengibaskan papan di tangannya ke depan wajah cewek itu.

"Punya lo?"

Noura terkesiap, antara terkejut salah satu barangnya terjatuh atau kaget karena melihat Devan yang tiba-tiba menghampirinya. Cewek itu mengecek barang bawaannya, lalu merenggut papan PCB dari tangan Devan.

"Thank you."

Kemudian, Noura kembali memelesat seperti anak panah. Devan sampai terkaget-kaget dibuatnya. Cowok itu kembali mengejar, lalu menghentikan langkah Noura yang terburu.

"Lo ngehindarin gue, ya?' tuntut Devan penuh selidik. Tangannya terlipat di depan dada, kedua matanya memicing. Noura berkelit, tetapi Devan berhasil mencegatnya lagi.

"Gue lagi buru-buru, Van. Ada tugas dari Robotik yang batas pengumpulannya sebentar lagi!"

Devan berdecak kesal. "Iya, gue tahu, makanya gue nanya begini."

"Terus?"

"Terus, terus, terus aja. PCB lo hancur. Pasti enggak bisa jalan."

Noura tampak terkejut, tetapi segera pulih dari rasa kagetnya. Cewek itu malah memohon-mohon kepada Devan seperti anak kecil yang tidak dibelikan mainan. "Please, tolongin gue, Van. Bantuin gue. Hasil kerja gue gagal mulu. Gue sampai bingung harus gimana lagi."

Awalnya, Devan hendak menolak, tetapi mata Noura yang berkaca-kaca mengingatkannya kepada anak anjing terlantar. Devan jadi tidak tega dan menerima permintaan cewek itu meski sejujurnya dia ingin pulang.

Sekali saja tidak masalah, 'kan?

***

"Lo yakin enggak mau dicetak lagi desain sirkuitnya?"

Devan memperhatikan PCB milik Noura dan menghitung ada berapa banyak hal yang harus dia perbaiki.

Banyak.

Banget.

Yang ditanya mengangguk. "Iya. Soalnya udah mepet banget, Van. Kalau nunggu nge-print lagi lama."

Devan tidak bertanya kapan batas pengumpulannya atau menghujat karena hasil PCB Noura membuatnya pusing tujuh keliling. Dia hanya langsung memperbaikinya. Tangannya dengan cekatan memasangkan kabel dengan sirkuit menggunakan timah dan solder.

Selama membantu pekerjaan Noura, Devan banyak diam. Cowok itu memang tipikal orang yang selalu diam saat fokus mengerjakan sesuatu.

Karena merasa kesepian, dengan Devan yang tidak berbicara dan suasana gazebo yang tidak ramai karena sekarang adalah jam perkuliahan, Noura membuka suara. "Akhir pekan kemarin gue ketemu Rangga," katanya pelan.

Devan tetap memusatkan fokus pada papan sirkuit di depannya, meskipun sebenarnya mendengar nama Rangga membuat matanya berkedut menahan kesal. Namun, dia memutuskan untuk tetap bungkam dan membiarkan Noura melanjutkan.

"Kayaknya kalian punya masalah yang belum terselesaikan, ya?"

Sekali ini, Devan menghentikan kegiatan menyoldernya. Matanya mencari-cari sesuatu di wajah Noura. Satu titik saja.

Satu titik kesadaran dari Noura bahwa Rangga yang sekarang bukanlah Rangga yang mereka kenal.

Karena tidak menemukan apa yang dicarinya, Devan kembali kepada kegiatannya. Namun, meski suara solder cukup keras terdengar, telinganya tidak bisa mengenyahkan kata-kata Rangga bertahun-tahun lalu.

***

Seperti kejadian kemarin sore, Devan mengingat setiap kata yang keluar dari mulut Rangga di tengah perkelahian pertama dan terakhir mereka saat bangku SMP. Saat itu adalah waktu istirahat makan siang. Di luar, hujan sangat deras, sedangkan Devan sibuk bermain ponsel di kelas. Cowok itu lapar, tetapi dia terlalu malas menerobos hujan hanya untuk sepiring makanan.

Di tengah waktu istirahat yang santai, pintu kelas Devan terbuka dengan suara kencang. Awalnya, penghuni kelas mengira suara itu karena angin yang berembus kencang di luar sana, sebelum Rangga muncul, berdiri di bibir pintu dengan pakaian basah. Cowok itu berderap menghampiri meja Devan, lalu meninjunya sekuat tenaga. Devan bingung bukan kepalang. Pasalnya, teman dekatnya itu tidak pernah melakukan kekerasan fisik terhadapnya. Bukannya Devan tidak pernah bertengkar dengan Rangga, tetapi mereka tidak pernah bermain fisik sampai menggunakan tinju seperti ini.

Teman sekelas Devan yang saat itu menjadi saksi mata berteriak panik. Rangga menarik kerah baju Devan, lalu berteriak di depan wajah cowok itu penuh amarah.

"Gue bakal pastiin semuanya diambil dari lo! Gue bakal pastiin enggak ada yang tersisa buat lo, termasuk Noura!"

Setelah berkata begitu, wali kelas dan guru BK masuk sambil berteriak-teriak kepada Rangga agar melepaskan Devan yang sudah berdarah. Cowok itu tidak membalas perbuatan Rangga karena dia merasa bingung.

Ada apa?

Kenapa Rangga begitu marah kepadanya?

Wali kelas berhasil melepaskan Rangga dari Devan. Namun, Rangga memberontak hebat dan memaksa untuk memukul Devan sekali lagi.

Biar dia tahu rasanya.

Begitu kata Rangga saat itu.

Butuh cukup lama sampai Rangga berhasil dihela keluar kelas. Cewek-cewek teman sekelas Devan menjerit ketakutan sambil menunjuk bibir Devan yang sobek dan mengeluarkan darah. Satpam sekolah membantu mengeluarkan Rangga dari kelas. Guru UKS yang dipanggil wali kelas untuk segera memberikan pertolongan pertama kepada Devan.

Semua kericuhan itu benar-benar memekakkan telinga, tetapi Devan ingat perkataan terakhir Rangga sebelum pertemanan mereka hancur.

"Bakal gue rebut segalanya termasuk Nouras supaya lo paham kalau semua itu bukan milik lo!"

Devan benar-benar tidak memahami penyebab kemarahan Rangga, tetapi jika sudah menyangkut Noura, dia tidak akan membiarkannya.

***

"Udah selesai."

Devan mendorong PCB yang telah rapi dan seharusnya bisa dipakai ke depan Noura. Cewek itu menerimanya dengan semringah.

"Thank you, Van!" seru Noura. Cewek itu mencoba papan sirkuit hasil bantuan Devan dan merasa lega karena benda itu berhasil mengalirkan listrik.

"Berhasil, Van!"

Senyum Noura menular. Cowok itu ikut-ikut tersenyum meski dia mencoba sebisa mungkin untuk menutupinya dengan batuk. Bukannya berakhir keren, Devan malah seperti orang bengek pengidap TBC. Terlalu banyak batuk.

"Kalau udah enggak ada yang mau dikerjain lagi, gue balik."

"Emang lo enggak ada kelas lagi?"

Devan menggeleng. "Enggak."

"Gue boleh nebeng pulang, enggak? Gue juga abis ini enggak ada kelas lagi."

Rasanya Devan ingin tersenyum senang karena cewek itu menawarkan pulang bersamanya. Devan pura-pura kesal, tetapi dia menerima juga.

Selama di perjalanan, Noura banyak bercerita. Dimulai dari kegiatannya di UKM Robotik, lomba internal, hingga teman-teman satu timnya. Mendengar cewek itu banyak bicara memang memusingkan, tetapi Devan senang-senang saja.

Devan senang mendengar kegiatan Noura dan kebahagiaan yang tidak bisa cewek itu tutupi dari intonasi suaranya. Biasanya, cewek itu memilih menjauh dari Devan, tetapi kali ini tidak.

Di tengah jalan, tiba-tiba langit Jakarta seakan menangis. Rintik hujan turun satu per satu membasahi mereka hingga akhirnya Devan meminggirkan motor dan mengeluarkan jas hujan. Namun, karena dia hanya memiliki satu jas hujan, cowok itu memakaikannya ke tubuh Noura.

"Terus lo make apa?" tanya Noura saat Devan kembali menyalakan mesin.

"Gampang."

"Kalau gitu, kita tunggu hujannya berhenti aja."

Devan memasangkan helm ke kepala Noura sebelum memukul-mukulnya pelan. Entah kenapa, cowok itu senang melakukannya, terutama saat melihat muka Noura yang mengernyit lucu.

"Iya. Tapi tugas robotik lo sebentar lagi kan deadline-nya? Biar lo bisa langsung selesaiin, mending kita pulang sekarang. Lagian hujannya enggak deras, kok."

"Tapi, bisa jadi hujannya nanti makin deras ...."

Suara tawa Devan terdengar di antara guyuran hujan yang tidak seberapa. "Enggak bakal. Percaya sama gue."

Noura mengalah dan mereka melanjutkan perjalanan. Namun, prediksi Devan salah total. Air hujan semakin deras. Noura meminta Devan untuk berhenti, tetapi cowok itu ngotot bahwa mereka bisa menyelesaikan perjalanan karena jarak ke rumah Noura tinggal beberapa menit lagi.

Sepanjang perjalanan, Noura berusaha sekuat tenaga untuk membentuk pelindung di atas kepala Devan dengan jas hujan. Harapannya agar cowok itu tidak terlalu basah kuyup, meskipun tetap kebasahan juga.

"Enggak usah aneh-aneh, Nou. Nanti lo pegel. Tangan lo encok."

Anehnya, perkataan Devan tidak digubris Noura. Padahal, biasanya cewek itu akan bersungut-sungut jika dia mulai melemparkan kata-kata menyebalkan. Namun, Noura tetap memberikan pelindung bagi kepala Devan.

Sesampainya di depan rumah Noura, Devan mematikan motor. Noura turun, lalu menarik tangan Devan. Meski hujan mendinginkan suhu sore itu, jemari Noura yang menggenggam tangannya sangat hangat hingga seluruh tubuhnya ikut menghangat.

Noura menarik Devan ke teras depan rumahnya agar terlindung di bawah atap. Cewek itu cepat-cepat melepaskan jas hujan. "Tunggu di sini."

Devan pikir Noura membutuhkan bantuan untuk membuka kunci pintu rumah seperti yang biasa ibunya lakukan, tetapi cewek itu tidak membutuhkannya. Malahan, Noura berlari ke dalam dan keluar beberapa saat kemudian dengan membawa handuk. Handuk-handuk itu dililitkannya ke tubuh Devan.

"Ayo masuk. Ganti pakai baju Mas Dika aja. Tapi ya gitu. Baju dia gambarnya enggak jelas," kata Noura sambil menyeret Devan.

Tunggu. Kenapa Devan diseret?

"Masuk aja, Van. Enggak ada siapa-siapa, jadi enggak usah takut. Lagian, hujannya kayaknya makin gede, deh. Mending lo ganti baju dulu di sini kalau masih tetep mau balik."

Kalimat Noura terdengar polos, tetapi Devan dibuat bergeming mendengarnya. Jika tidak ada orang di rumah Noura ..., berarti hanya mereka berdua saja?

"Tunggu apa lagi? Di luar dingin. Mending di dalem. Ada pemanas air juga di kamar mandi, jadi lo tinggal atur suhunya aja."

Seharusnya, Devan lebih bertenaga dibandingkan Noura yang tubuhnya lebih kecil, tetapi cowok itu seakan tak kuasa saat tangan mungil Noura menariknya masuk. Kehangatan rumah langsung membanjiri tubuh Devan, tetapi yang berhasil membuatnya merona merah hanya genggaman erat Noura di tangannya.

Noura seakan tidak menyadari perubahan di dalam diri Devan. Cewek itu malah menyeret Devan semakin jauh ke dalam rumahnya dan mendorong tubuh Devan ke kamar mandi. Noura juga melemparkan satu lagi handuk kering sebelum menyerahkan sepasang pakaian bergambar ...

... Spongebob.

Devan tidak mau ambil pusing dengan jenis pakaian Dika, jadi dia membersihkan diri dengan air hangat. Setelah mengganti pakaian basahnya dengan kaus kuning Spongebob milik Dika, juga celana jins hitam milik kakak Noura itu, Devan keluar. Namun, Devan tidak menemukan batang hidung Noura. Cowok itu memanggil nama Noura berkali-kali, tetapi tidak ada tanggapan.

Sambil membawa plastik berisi pakaian basahnya, Devan berkeliling mencari Noura. Namun, baru beberapa langkah, kemunculan sosok berambut panjang di depannya berhasil membuat Devan nyaris mati terkena serangan jantung.[]



AUTHOR'S NOTE:

JANGAN MATI DEVAN! Biar aku kasih napas buatan, deh, biar kayak di pelem-pelem!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top