Bab 18: Kedatangan Tiba-Tiba
"Selamat ya, Nou. Gue beneran tulus ngucapin selamat."
Kedatangan Rangga pada siang yang panas berhasil mengejutkan Noura. Cewek itu tersenyum kecil, tetapi alisnya mengerut bingung. Kenapa Rangga ada di sini?
Seakan membaca pikiran Noura, Rangga menunjuk gerombolan mahasiswa di belakangnya. "Gue ke sini mau ketemu temen. Terus enggak sengaja ngeliat lo di sini, jadi sekalian nyapa," katanya sambil melirik penduduk meja tempat Noura makan. Semuanya membalas tatapan Rangga dengan senyum ramah, kecuali Devan yang memicingkan mata seperti elang menghadapi mangsa.
Rangga mengabaikan sikap tidak ramah Devan.
Sebelum Noura sadar apa yang dilakukan Rangga, cowok itu sudah meletakkan tangannya di puncak kepala Noura. Namun, bunyi plak yang keras dan nyaring berhasil membuat beberapa orang di sekitar meja mereka menoleh ingin tahu, termasuk Noura yang terkejut dengan sikap kekanakan Devan.
"Jangan pegang-pegang rambut Nou."
Selama satu detik penuh, Noura tidak bisa berkata-kata mendengar pernyataan cowok itu. Apalagi Devan bicara penuh dengan nada ketus dan tatapan tidak suka yang tidak repot-repot dia tutupi. Selama beberapa detik, kedua cowok itu bertatapan intens hingga terasa canggung. Bahkan, Yudha sampai berdeham berkali-kali dan mencoba mencairkan suasana dengan melontarkan lelucon jayus yang sudah menjadi ciri khasnya, tetapi Rangga dan Devan tidak terpengaruh. Bukannya memperbaiki suasana, yang ada Noura ingin muntah mendengar lelucon yang membuat tubuh bergidik itu. Sepertinya Noura tidak sendiri, karena kemudian Putri bersungut-sungut pelan.
Untungnya, salah satu teman Rangga memanggil cowok itu dan membuat perhatiannya teralihkan. Rangga mengangkat tangan tanda menyerah, tetapi ujung bibirnya bergerak, membentuk seulas senyum mengejek seperti di film-film kartun. Noura tidak paham kenapa keduanya bersikap tidak bersahabat seperti ini. Pasalnya, mereka pernah menjadi teman bermain. Meskipun ketiganya sudah jarang bertemu, setidaknya mereka tidak harus saling bermusuhan, bukan?
Entahlah. Yang dia tahu, tatapan tidak suka Devan masih mengikuti punggung Rangga hingga cowok itu menghilang di tengah kerumunan penghuni kantin.
***
Sebenarnya, kejadian di kantin tadi siang bukan hal yang sangat mengejutkan bagi Noura. Baiklah. Sedikit mengejutkan jika mengingat keduanya pernah selengket upil, tetapi hubungan mereka memang merenggang. Jika Noura ingat-ingat ... mungkin sejak kelulusan SD? Sudah lama sekali.
Sebagai anak-anak yang usianya tidak terpaut jauh, Noura senang saja membuntuti Rangga dan Devan bermain di lapangan kompleks. Kedua cowok itu selalu bermain basket pada sore hari sepulang sekolah dan bermain sepeda setiap akhir pekan. Namun, sejak kedatangan Noura di geng mereka, kegiatan akhir pekan berubah menjadi permainan rumah-rumahan. Rangga akan menjadi sosok ayah, Noura menjadi ibu, dan Devan akan menjadi anak mereka. Formasi ini sudah tidak bisa diganggu gugat. Namun, sepertinya Devan sangat termotivasi menjadi ayah karena dia sudah memohon jutaan kali untuk bertukar peran.
Pertemanan mereka sempat sempurna sebelum hubungan Rangga dan Devan menjauh. Apa alasannya, Noura tidak tahu. Devan selalu tutup mulut setiap kali dia bertanya. Namun, itu mungkin hanya satu dari jutaan fase remaja, 'kan? Bukankah seharusnya sekarang mereka sudah melupakannya dan kembali seperti dulu?
"Mulut lo dijahit, Nou?"
Noura yang berjalan di samping Devan menuju gedung kelas sehabis makan siang tidak paham arah pembicaraan cowok itu. Kenapa tiba-tiba bahas mulut dijahit?
Kaki Devan menendang kerikil di tengah jalan. Batu kecil itu menggelinding hingga ujung sebelum masuk ke got.
"Dari tadi lo diam aja," tambah Devan lagi.
Noura melirik cowok itu, lalu kepada gerombolan senior dan teman-teman seangkatan Elektro yang baru saja menghabiskan waktu makan siang bersama. Semuanya berjalan beberapa meter di depan Noura, meninggalkan dirinya dan Devan di belakang.
Apakah Noura harus menanyakannya?
"Gue tahu lo mau ngomong sesuatu. Ngomong aja. Cepetan, sebelum gue masuk kelas."
Devan terdengar sok sibuk dan sok penting hingga Noura mencibir, tetapi demi mendapatkan jawaban salah satu misteri dunia, dia rela menahan balasan yang sudah gatal ingin dia lontarkan.
"Lo sama Rangga ada masalah, Van?"
Mulut cowok itu terkatup, tetapi matanya tidak bisa berbohong. Devan melirik Noura dengan tatapan bersalah, lalu mengangkat bahu.
"Enggak. Kenapa lo mikir gitu?"
Ketahuan bohongnya.
Noura tahu banget bagaimana Devan jika berbohong. Cowok itu akan mencoba mengalihkan perhatian dengan menatap dan membicarakan hal lain seperti yang dilakukannya saat ini. Kaki Devan menendang-nendang kerikil di depan sepatunya dan topik pembicaraan berubah ke arah Noura.
Cewek itu menghela napas panjang.
"Kalau lo baik-baik aja sama Rangga, lo enggak bakal kayak tadi di kantin," jawab Noura. "Padahal, selama ini gue selalu berharap kita kayak dulu lagi."
"Maksudnya main rumah-rumahan dan jadi istri Rangga?" balas Devan ketus.
Rasa malu membanjiri Noura. Maksudnya bukan begitu!
"Lo paham maksud gue, Van."
"Apa, Nou?"
Ah ..., serius. Wajah Devan saat ini sangat gelap dan sangar, yang mengingatkan Noura akan momen kegiatan OSPEK. Galak. Seram.
"Ngobrol-ngobrol gitu. Ngomongin hidup," cicit Noura.
Devan menarik napas panjang sebelum mengembuskannya.
"Rangga udah berubah, Nou."
Oke? Lalu, apa masalahnya? Semua orang berubah. Lagi pula, bukankah hidup tentang perubahan? Menjadi lebih baik. Menjadi lebih buruk. Bukankah seperti itu?
Tatapan Noura yang menyiratkan rasa tidak mengerti membuat Devan menarik napas panjang lagi. "Pokoknya berubah. Gue dan dia punya pemahaman yang berbeda. Dia ...."
Noura menanti kelanjutan kalimat Devan, tetapi mereka sudah sampai di depan gedung kelas. Teman-teman Noura dan Devan sudah menghilang entah ke mana, kemungkinan besar sudah masuk ke kelas masing-masing.
Devan menggeleng, seakan membersihkan pikirannya.
"Kelas gue di lantai satu, Nou. Kelas lo?"
Lihat? Devan lagi-lagi mengalihkan topik pembicaraan. Noura ingin mengabaikan pertanyaan cowok itu dan mengguncang tubuhnya agar segera menyelesaikan kalimatnya tadi, tetapi tekad di mata Devan tidak padam.
Seakan Devan tidak ingin membicarakan hal ini lagi.
Noura mengalah. Untuk saat ini, setidaknya. "Kelas gue di lantai tiga."
Devan mengangguk. Lalu, cowok itu pergi meninggalkannya seakan tidak ada kata-kata yang menggantung di antara mereka.
Menyebalkan!
***
Noura belum pernah menjalin hubungan dengan cowok mana pun seumur hidupnya, atau bisa dibilang jomlo akut sedari orok, tetapi dia sangat memahami rasanya digantungkan. Omongan Devan sejak kemarin terus terngiang-ngiang seperti nyanyian penjual tahu bulat di pinggir jalan. Kencang, terus-menerus, dan bikin mual.
Pagi ini, lebih tepatnya pada akhir pekan yang cerah ini, Noura akan bertemu Rangga di ruang UKM Robotik. Seharusnya, pagi ini Noura membahas robot untuk lomba internal robotik PINUS dengan anggota timnya saja, tetapi Rangga ngotot datang.
"Noura."
Panjang umur, cowok yang baru saja dia bahas dalam hati muncul. Rangga datang dengan pakaian yang 180 derajat berbeda dari biasanya. Cowok itu menggunakan celana jins biru tua, jaket denim senada, dan topi bergambar tengkorak di tengah sebagai penghalang kegantengannya.
Noura cepat-cepat mematikan solder panas di tangan karena kegantengan Rangga sudah cukup memanaskan hati.
"Yang lain ke mana?" tanya Rangga sambil meletakkan tas di dekat Noura.
Tidak perlu lirik kanan kiri untuk mengetahui bahwa teman-teman satu tim terlaknatnya belum datang. Alasan mereka bermacam-macam, dimulai dari harus mengantarkan ibu ke pasar, belum mandi, hingga ban bocor.
Capek, deh.
"Belum pada dateng, Ngga."
Rangga mengangguk sebelum duduk di kursi samping Noura. "Udah selesai? Berarti bisa dicoba hari ini, dong?"
Rasanya, Noura ingin tenggelam di dalam kubangan lumpur saja. Sebagai satu-satunya anak Elektro di tim mereka, Noura merasa gagal karena belum juga menyelesaikan kegiatan menyolder Printed Cricuit Board (PCB), yaitu papan sirkuit elektronik yang digunakan untuk menghubungkan kabel-kabel sehingga robot sumo milik mereka bisa berjalan.
Sambil memamerkan gigi, Noura menggeleng-geleng. "Belum bisa. Dari kemarin salah mulu gue."
Rangga tersenyum kecil. "Emang harus hati-hati, Nou. Salah nyolder, bisa gagal."
Noura mengangguk. Sambil menunggu teman-teman timnya datang, Noura kembali melanjutkan pekerjaannya.
"Nou ...."
"Hm?"
"Lo pacaran sama Devan, ya?"
Tangan Noura yang memegang solder langsung meleset. Alih-alih timah yang dipanaskan, yang terkena malah jari Noura!
"Aw!"
Rangga meringis. "Hati-hati, Nou."
Jemari Noura memerah dan sakit, tetapi tidak ada luka serius. Cewek itu mengambil botol mineral dingin yang baru saja dibelinya, lalu menempelkan jemarinya pada botol tersebut. Rasa dingin segera menggantikan panas pada jari-jarinya, tetapi tidak dengan wajahnya. Selain tangan Noura, wajahnya juga terbakar oleh rasa malu.
"Kenapa lo nanya gitu, Ngga?"
Rangga tersenyum sambil memperhatikan jemari Noura. "Enggak. Nanya aja. Abisnya, gue lihat kalian berdua dekat."
Dekat? Dia dan Devan?
Noura menggeleng cepat. "Enggak. Gue enggak berani. Devan itu sibuk banget. Aktif. Pinter. Banyak temennya. Banyak juga yang suka sama dia. Lo harus lihat berapa banyak mahasiswi yang rebutan buat wawancara Devan," sanggah Noura. Namun, kenapa kedengarannya dia kesal, ya? Terutama saat bayangan cewek-cewek arsitektur berpakaian modis memanggil-manggil nama Devan di kantin Teknik.
Noura tidak aneh, 'kan?
***
Noura itu seperti buku, pikir Rangga. Ekspresinya sangat mudah dibaca dan intonasinya menunjukkan perubahan emosi. Meskipun apa yang dikatakan Noura mungkin benar, tetapi sepertinya ada yang disembunyikan cewek itu darinya. Ditambah lagi wajah Noura memerah saat Rangga menanyakan hubungannya dengan Devan.
Dan, Rangga tidak suka itu.
Jemari Rangga menyentuh helaian rambut Noura yang diikat. Baginya, cewek harus berambut panjang dan tergerai. Itulah definisi cantik baginya. Maka, Rangga melepaskan ikatan rambut Noura dan membiarkan helaiannya jatuh di punggung cewek itu.
Rangga mengambil sejumput rambut Noura dan menghidunya. Wangi lavendel. Sepertinya sampo yang digunakan cewek itu mengandung lavendel dan Rangga menyukainya. Wanginya segar.
"Karena lo bilang gitu ...."
Noura menatap Rangga penuh penantian. Mata itu adalah penuh kepolosan, dan sejak dulu selalu menatapnya kagum. Rangga menyukainya. Rangga suka diperhatikan dengan tatapan seolah dia adalah sosok terhebat.
Cowok itu melanjutkan, "Gue seneng hubungan kalian hanya sebatas teman."
Rona di pipi Noura kembali. Dalam hati, Rangga bersorak senang. Ini respons yang dia inginkan. Ini momen yang seharusnya menjadi milik Rangga seorang, bukan siapa pun, apalagi Devan.
"Eh?"
Rangga tersenyum. Noura yang salah tingkah benar-benar menggemaskan. Cowok itu mencondongkan tubuh lebih dekat ke arah Noura dan berbisik di telinganya, "Sebenarnya, gue—"
"Maaf gue telat, Noura."
Sebelum Rangga menyelesaikan kalimatnya, pintu ruangan UKM Robotik terbuka lebar. Beberapa anggota tim Noura memasuki ruangan yang sedari tadi hanya diisi mereka berdua. Noura menarik diri, lalu menyuruh teman-temannya untuk duduk di meja mereka.
Karena mahasiswa-mahasiswa itu, Rangga gagal![]
AUTHOR'S NOTE:
Ayo nyanyi Hmmm Nisa Sabyan. Tapi, serius, deh. Ini si Rangga .... Duh. Kenapa sih ini orang?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top