Bab 17: Belajar dengan Devan = Sukses
"Noura!"
Teriakan Dika pagi itu berhasil membuat cewek tersebut jatuh dari tempat tidur. Dengan bunyi gedebuk seperti gajah dijatuhkan dari atas langit, Noura meringis kesakitan.
"Aduuuh."
Dika terpingkal-pingkal sampai bersimpuh di kaki Noura. Seumur hidup, ini kali pertama dan mungkin kali terakhir bagi Noura melihat Dika sampai bersujud di depannya seperti itu. Bukan untuk memuja, melainkan untuk mentertawai dirinya!
"Ya Tuhan, Nou. Jelek banget lo. Hahaha!"
Kurang ajar! Namun, kakaknya itu lebih kurang ajar lagi ketika tiba-tiba mengeluarkan ponsel dan berteriak cheese sambil menahan tawa.
Dobel kurang ajar karena Dika memotretnya!
"Maaas! Hapus fotonya sekarang juga!"
Dika segera terbang keluar dengan kecepatan kilat. Noura bangkit, lalu berlari mengejar hanya sampai depan pintu kamar. Maunya sampai menjangkau kakaknya yang seenak udel memotret tampang buluknya itu, tetapi baru beberapa langkah, Noura terhenti karena kehadiran seseorang yang tidak dia sangka akan berdiri di sana sambil menaikkan alis.
Devan!
Dengan kecepatan kilat, Noura berbalik. Jantungnya berdegup kencang dan keringat dingin mendadak muncul. Bukannya Noura terkena penyakit sejak matahari terbit, tetapi ini ...
... Devan!
Untuk apa dia di sini? Noura mencoba mengingat apa yang dikatakan cowok itu tentang berkunjung pada Minggu pagi, tetapi tidak ada yang muncul. Devan tidak berkata apa pun tentang rencananya ke sini.
Mungkin untuk bertemu Dika atau ibunya? Namun, kenapa harus menggunakan tas yang biasa dia gunakan ke kampus?
"Udah ketemu kamar Noura, Van?"
Noura berjengit mendengar suara ibunya. Jika ibunya melihat Noura masih mengenakan piama pada pukul sembilan pagi, rasanya neraka akan terbelah dan isinya tumpah ke bumi. Omelannya panjang kali lebar kali tinggi. Tidak ada habis-habisnya!
Yang membuat Noura terheran-heran setengah mati, ibunya malah berkata dengan nada lemah lembut, "Noura, Devan datang buat ajarin kamu kal ... apa tadi? Pokoknya pelajaran, deh. Katanya nilai kamu jelek banget. Begitu?"
Noura mengintip ibunya dari balik rambut. Dia masih menyuguhkan pemandangan punggungnya kepada Devan karena tidak mau menunjukkan wajahnya yang baru saja bangun tidur.
"Belajar?"
Sejak kapan mereka punya janji temu belajar di akhir pekan seperti ini?
Linda berjalan memasuki kamar Noura sambil memberi isyarat agar sang anak mengikuti. Setelah meletakkan nampan berisi buah-buahan, teh hijau dan air putih, serta snack segambreng, Linda tertawa hohoho yang menyeramkan. Mungkin bagi orang lain suara tawa Linda terdengar biasa saja, tetapi bagi anaknya, Noura, itu adalah ancaman terbesar dalam hidup.
Itu adalah tawa yang persis ibunya lakukan setiap kali bertanya kapan wisuda kepada Dika.
"Belajar yang rajin, ya, Noura. Belajar sama Devan, kakak tingkatmu."
Setelah berkata begitu, Linda meninggalkan Devan dan Noura di kamar. Memang, mereka sudah terbiasa untuk menginap bersama saat kecil. Tidur di kasur yang sama sampai pagi datang? Sudah biasa. Saling melihat wajah jelek pagi hari? Sudah biasa. Namun, ini ....
Noura sudah dewasa! Ibunya benar-benar keterlaluan. Sebanyak apa kepercayaan yang Linda milik terhadap Devan sampai membiarkan cowok itu berada di dalam kamar yang sama dengan anaknya?
"Kamar lo udah berubah banget. Dulu banyak stiker Disney princess."
Noura mendengkus. Iyalah! Dia sudah berusia 18 tahun, please.
Devan mengedarkan pandang ke penjuru ruangan. Setiap sudut dan setiap celah dia perhatikan. Kadang tertawa kecil sambil menunjuk barang-barang yang dikenalnya sejak mereka kecil. Kadang hanya mengangguk-angguk saat melihat prakarya milik Noura hasil pelajaran kesenian di SMA yang masih cewek itu simpan. Lalu, mata Devan berlabuh di wajahnya.
"Muka bengep bangun tidur lo dari dulu sampai sekarang juga belum berubah ya, Nou."
Noura langsung menutupi setengah wajahnya dengan rambut sebelum berlari ke kamar mandi.
Malu, bok!
***
"Apa lagi yang enggak ngerti?"
Devan mengembuskan napas setengah tidak sabar saat Noura bertanya untuk satu juta kalinya. Tidak secara harfiah, tetapi cewek itu seakan tidak paham juga meski Devan sudah menjelaskan sampai engsel rahangnya nyaris copot.
"Ini, nomor lima. Kenapa kayak gini? Dapet angka ini dari mana?"
Tubuh Devan mendekati Noura untuk melihat soal yang dimaksud. Cowok itu sudah menyerahkan jawaban-jawaban soal latihan yang benar kepada Noura, dengan tujuan agar dia lebih memahami. Lagi pula, dengan diberikannya jawaban yang benar itu, seharusnya Noura sudah bisa, 'kan? Tidak sesulit itu untuk memahami kalkulus.
Penjelasan Devan tertahan di ujung lidah. Noura ... belum mandi, 'kan? Saat dia baru datang, cewek itu malah keluar kamar dengan rambut seperti singa dan iler di sudut mulut. Lalu, Noura ke kamar mandi selama lima menit entah untuk apa, yang pasti saat keluar rambutnya sudah tersisir rapi dan tanpa iler.
Lalu, sekarang ....
Saat Devan mendekatinya, wangi tubuh Noura yang manis membelai rongga hidungnya.
"Lo pakai parfum apa?"
Bukannya senang karena Devan memujinya wangi, Noura malah menggebuk punggung Devan hingga cowok itu mengaduh kesakitan.
"Kurang ajar! Lo ngatain gue belom mandi?" sungutnya.
Apa salahnya? Memang Noura belum mandi, 'kan? Cewek itu tidak mungkin mandi dalam waktu lima menit yang singkat tadi.
"Emang belum mandi, 'kan?"
Noura memukulnya sekali lagi.
Ya Tuhan. Ini cewek dapat tenaga kuli dari mana, sih?
"Udah, deh. Cepet ajarin gue lagi biar lo bisa pergi!" Yang dilanjut dengan bisikan, "Kalau kayak gini, gimana gue bisa UTS?"
***
Setelah minggu UTS berlalu bagai seratus tahun di neraka dengan segala siksaannya, Noura bisa sedikit bernapas lega. Sedikit saja. Bagaimanapun, yang namanya ujian pasti ada nilainya. Dan, sejujurnya Noura masih belum siap melihat nilai-nilainya.
Noura menceritakan ketakutannya ini, yang langsung ditenangkan oleh temannya, Putri.
"Tenang aja. Palingan juga dosen-dosen butuh waktu buat ngoreksi," kata Putri.
Omongan Putri ada benarnya. Namun, dosennya adalah Bu Endah yang rajinnya kebangetan.
Noura melirik ponselnya yang diletakkan di atas meja kantin. Siang itu, mereka memutuskan untuk makan di kantin Teknik seperti biasa. Rencananya memang ingin mencoba setiap jajanan dari kantin-kantin setiap fakultas, tetapi karena cuaca sepanas tungku neraka, akhirnya mereka memutuskan untuk melakukannya kapan-kapan saja.
"Udaaah. Jangan dilihatin aja tuh hape. Makan ketopraknya," kata Putri sambil menyenggol temannya.
Noura menarik turun kedua sudut bibirnya. "Enggak bisa, Put. Bu Endah bilang nilai Kalkulus kelas gue udah selesai diperiksa. Tinggal di-publish. Gue enggak ngerti maksudnya publish apaan. Mungkin ditaruh di mading fakultas?"
Putri tergelak mendengarnya. "Duh, Nou. Sekarang udah bukan zama batu lagi. Enggak ada istilahanya pajang nilai ujian di mading fakultas."
Benar juga kata Putri. Namun, Noura masih tidak bisa mengenyahkan ucapan Bu Endah.
"Mungkin maksudnya publish di sistem kampus kali?"
Sistem kampus?
Oh, Noura ingat! Kampus mereka memiliki website yang bisa diakses setiap mahasiswa. Isinya termasuk jadwal mata kuliah, IPK, hingga nilai-nilai setiap ujian dan tugas mahasiswa.
Noura kebelet untuk mengeceknya, tetapi dia takut. Bagaimana jika ternyata memang sudah di-publish?
Bagaimana jika nilai Kalkulus Noura jeleknya kebangetan? Yang ada, dia disuruh mengulang mata kuliah tahun depan.
Alamak!
Seperti yang diketahui, kekuatan pikiran itu memang sangat powerful. Satu detik setelah Noura memikirkannya, pesan pop-up dari grup WhatsApp kelas Kalkulus-nya muncul. Si Ketua Kelas mengirimkan pesan paling horor sepanjang abad 21.
Guys. Kata Bu Endah nilai UTS kita udah di-publish di web kampus.
Jantung Noura langsung ketar-ketir. Tangannya berkeringat dingin sedangkan bibirnya komat-kamit merapal mantra.
Ya Tuhan, tolong jadikan nilai Noura bagus!
Dengan tangan gemetar, Noura mengakses akunnya. Lalu, matanya membulat sempurna saat angka itu muncul di layar ponselnya.
Noura jantungan!
***
Sejak pertama kali memasuki kantin zona Elektro, mata Devan tidak bisa lepas dari cewek berambut diikat yang menggoyangkan tubuh ke kanan dan kiri. Devan sangat tahu gestur itu. Biasanya, Noura akan banyak bergerak seperti itu jika panik.
"Ah ..., gara-gara lo, Rin! Coba aja tadi langsung ngumpulin tugas di kelas, enggak usah nyamperin Pak Agung segala. Kita pasti udah dapet kursi di kantin."
Yudha mengeluh sambil mencari bangku kosong untuk makan siang mereka. Siang-siang begini, kantin Teknik memang selalu penuh. Namun, bagi Devan ini adalah kesempatan emas untuk duduk di meja yang sama dengan Noura karena meja cewek itu masih memiliki cukup banyak tempat kosong.
"Itu ada," kata Devan sambil menunjuk ke arah Noura.
Mereka baru meminta izin untuk duduk satu meja dengan adik tingkat mereka tersebut saat Devan menyadari mata Noura yang berkaca-kaca dan bibir megap-megap seperti ikan koi di darat. Ketika Noura menyadari kehadiran Devan di sampingnya, cewek itu langsung memeluk Devan erat.
Sangat.
Erat.
Devan menyebut nama Tuhan secepat kilat. Pujian untuk Tuhan. Permohonan untuk Tuhan. Pokoknya apa pun agar cewek itu tidak mendengar debaran jantungnya yang nyaris meledak.
Wangi rambut Noura sangat memabukkan. Devan tanpa sadar menghidunya, tetapi cepat-cepat menarik diri karena dia takut terlihat seperti anjing pelacak.
Noura melepaskan pelukannya.
"Makasih, Van," kata cewek itu dengan bibir bergetar.
Kepala Devan mendadak pusing. Terima kasih apa? Memangnya apa yang dia lakukan sampai Noura menangis begini?
Devan menyadari adanya setetes air mata di pipi cewek itu. Tingkat kepanikannya langsung menembus langit ketujuh. Jemari Devan refleks mengusapnya, yang langsung dihadiahi dengkus oleh Yudha.
Tetap saja. Meskipun temannya nyinyir mengalahi mulut cewek, Devan mengabaikannya.
"Ada apa?"
Noura memberikan cengiran yang lebih lebar daripada Sungai Ciliwung. "Nilai Kalkulus gue 80, Van!"
Devan tercengang.
"Delapan puluh?"
"Iya!" jawab Noura sambil mengangguk mantap.
Oh .... Baiklah. Devan pikir ada sesuatu yang buruk terjadi kepada Noura. Seperti misalnya terluka atau mendengar berita buruk. Begitu.
Wajah Devan yang tadinya panik berubah rileks. Cowok itu membuang napas lega. "Baguslah."
Noura mengerut-ngerutkan muka tidak suka. "Respons lo kok gitu, sih? Enggak seneng gue dapet nilai bagus, ya?"
"Emangnya 80 sebagus itu, ya?"
Yudha dan beberapa adik tingkat yang berada satu meja sampai tersedak-sedak mendengar jawaban Devan. Bukannya Devan bermaksud sombong, tetapi nilai 80 itu standar, 'kan?
"Gila, ya, lo? Delapan puluh dibilang standar. Apa kabar nilai Fisika Listrik gue yang nilainya 15?" sungut Yudha kesal.
Devan terkekeh mengingat kejadian itu. Semester lalu, saat pembagian nilai, Devan pikir angka yang tertulis di lembar jawaban Yudha adalah nomor absen cowok itu. Ternyata bukan.
"Selamat, ya, Nou."
Tidak ada angin tidak ada hujan, suara yang paling Devan tidak suka terdengar. Hanya dengan melirik sekilas pun Devan tahu siapa si empunya suara.
Rangga.
Sosok yang tidak dia harapkan kedatangannya mengulurkan tangan kepada Noura. "Gue beneran tulus ngucapin selamat," lanjut Rangga sambil melirik Devan seolah menyindir.
Halah. Sok sekali ini orang. Devan tahu pasti niat di balik senyum itu.
Pertanyaannya, kenapa Kutu Kupret satu ini ada di kantin Teknik?[]
AUTHOR'S NOTE:
Yang nilai ujiannya enggak pernah di bawah 80 kayak Devan tolong jangan sombong! Terus terus, kenapa si Rangga ada di kantin Teknik coba? Jangan bilang mau nyamperin Noura!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top