Bab 14: Makan Siang Sekaku Kanebo Kering


Sebenarnya, Noura masih bertanya-tanya bagaimana mungkin suasana meja mereka secanggung ini? Meskipun saat ini Rangga, Devan, dan dirinya sedang menyantap makan siang di tengah hiruk pikuk kantin yang ramainya mengalahkan pasar, cewek itu tidak bisa menghilangkan kecanggungan di antara mereka. Terutama di antara dua cowok yang duduk berhadapan itu.

Akhirnya, setelah menit demi menit berlalu, Rsngga memulai percakapan. "Gimana kabar kalian?"

Dengan kurang ajarnya, Devan mendengkus. Tentu saja setelah menggerutu tidak jelas.

Noura cepat-cepat menjawab. Kepalanya mengangguk-angguk penuh semangat. "Baik. Gue baik. Devan juga kayaknya baik-baik aja. Ya, 'kan?"

Yang ditanya bukannya menjawab, malah menatap Rangga dan Noura bergantian. Setelah menarik napas panjang dan mengembuskannya, cowok itu mengangguk.

"Kalau kabar lo?"

Satu ujung bibir Rangga terangkat sedangkan kedua matanya berkilat menantang. "Gue? Lebih dari baik."

Setelah itu, suasana kembali canggung. Noura menyadari dua cowok di mejanya hanya saling membalas tatapan dengan pandangan dipenuhi laser. Jika ini film Avengers, mereka pasti sudah membabat kantin dan seisinya.

Karena merasa semakin tidak enak, sekarang giliran Noura yang angkat bicara. Matanya melirik Devan dan Rangga bergantian. "Kalian udah lama enggak ketemu, ya? Udah enggak pernah main basket bareng?"

Rangga, Devan, dan beberapa anak cowok di kompleks perumahan mereka selalu bermain basket setiap pulang sekolah. Dulunya mereka dekat, terutama Rangga dan Devan yang jarak rumahnya tidak terlalu jauh, yang artinya juga tidak jauh dari rumah Noura. Itu sebabnya pula cewek itu suka ikut-ikutan bermain basket sebelum didorong keluar lapangan oleh Devan. Namun, kedekatan keduanya sudah lama memudar. Kecuali, tentu saja, saat Noura memaksa Rangga, Devan, dan Dika bermain rumah-rumahan.

Jika dipikir-pikir, sejak kapan Rangga dan Devan renggang, ya? Cewek itu ingat, mereka sudah jarang menyapa seperti biasa saat di bangku SMP. Noura tahu hal ini karena ketiganya selalu berada di sekolah yang sama.

Di antara kedua cowok itu, tidak ada yang menjawab pertanyaan Noura. Mereka masih bertatap-tatapan, sampai akhirnya tiba-tiba Rangga mengalihkan pandang kepada Noura. Matanya yang berkilat-kilat menantang sudah digantikan dengan tatapan lembut penuh perhitungan.

"Lo belum makan siang, 'kan, Nou? Makan dulu. Nanti sakit."

Devan mendengkus sekali lagi, entah ada masalah apa dengan hidungnya hingga cowok itu melakukan hal yang sama berulang kali. "Sejak kapan lo panggil dia Nou?"

Rangga tersenyum. "Gue emang manggil dia Nou, kok."

"Enggak. Lo manggil dia Ra. Yang manggil dia Nou cuma gue."

Noura cepat-cepat mengoreksi. "Keluarga gue manggil gue Nou."

Devan memutar mata. "Iya. Selain keluarga lo, cuma gue yang manggil lo Nou. Dia manggil lo Ra."

Duuuh. Mesti banget meributkan nama panggilan, ya? Padahal mereka jarang bertemu, tetapi kenapa yang dipermasalahkan malah itu?

"Tapi—"

Kalimat Devan langsung dipotong Noura. Cewek itu sampai menendang kaki Devan agar berhenti melakukan perdebatan tidak jelas ini. "Sekarang lo tinggal di mana, Ngga?"

Devan mengaduh, tetapi cowok itu cukup pintar untuk tidak melanjutkan perdebatan.

"Gue sekarang tinggal bareng Om dan Tante. Orangtua gue memutuskan pindah ke luar kota supaya bisa tinggal bareng Nenek. Awalnya gue juga mau ikut, sekalian kuliah di sana, tapi gue mutusin kuliah di PINUS. Jadinya orangtua gue minta gue tinggal sama Om dan Tante daripada kos sendiri dan enggak keurus."

Aaah .... Noura mengangguk-angguk. Jadi, ini alasan sebenarnya Rangga tidak lagi tinggal di kompleks perumahan mereka. Saat teringat bahwa dia pernah mengira Rangga sudah meninggal dunia, wajah Noura mendadak memerah menahan malu.

Di depannya, Devan menusuk-nusuk siomai pesanannya sekuat tenaga, membuat Noura mengerling kesal.

Masa makanan dibikin benyek begitu? Namun, Noura menggeleng tidak peduli. Cewek itu menyuapkan bakso ke mulut.

"Kuah baksonya tumpah, Nou." Rangga tertawa kecil saat setetes kuah bakso meluncur ke dagu Noura. Dengan cekatan, cowok itu meraih tisu lalu mengelapnya, membuat Noura malu setengah mati.

Kenapa Noura harus terlihat seperti bebek yang makannya berantakan, sih?

Suara dengkusan Devan kembali terdengar. Noura mengabaikan cowok itu, lalu berterima kasih kepada Rangga dengan senyuman kecil.

Lagi-lagi, Devan berdeham.

"Van." Setelah selesai mengelap dagu Noura yang kotor, Rangga menatap Devan sambil tersenyum. "Berhubung gue anak Kedokteran, kayaknya lo perlu periksa, deh. Dari tadi lo ngedengkus dan deham-deham enggak jelas. Mungkin lo emang sakit."

"Iya. Gue ada alergi, nih. Alergi sama omong kosong."

Jawaban Devan membuat Rangga tergelak. Cowok itu sampai memegangi perut, seolah omongan Devan adalah candaan paling lucu sedunia. "Duh, Van. Lo lucu banget! Gue enggak tau lo sehumoris ini. Lo udah punya pacar belum, sih? Abisnya, gue denger cewek lebih milih cowok humoris."

Jantung Noura mendadak berdegup kencang. Dia penasaran setengah mati dengan jawaban Devan, tetapi bukan itu yang benar-benar membuat jantung Noura berdegup seperti ini. Devan menatap Noura untuk waktu yang sangat lama, mungkin satu menit yang panjang tanpa berkata apa pun, seakan ingin mengirimkan jawaban melalui bahasa kalbu yang tidak Noura kuasai. Lalu, setelah menyerah, cowok itu menjawab.

"Belum."

Noura bisa merasakan dirinya bernapas lega.

Rangga tertawa kecil. "Masa, sih? Tapi, di Teknik emang banyaknya cowok. Enggak mungkin, dong, lo pacaran sama batangan juga? Kalau lo, Nou? Lagi deket sama cowok? Kan di teknik banyak."

"Eh?" Noura gelagapan ditanya begitu. Apalagi Devan masih menatapnya dengan raut wajah serius, membuat Noura sedikit risih.

"Enggaklah. Gue enggak ada pacar."

"Tapi, ada yang deketin?"

Noura melirik Devan. Dia tahu itu salah, makanya dia cepat-cepat mengalihkan tatapan dari wajah Devan.

"Enggak."

Rangga mengaduh. "Sayang banget, Nou. Padahal lo cantik. Pasti banyak yang deketin."

Suara tawa sumbang meluncur dari bibir Noura. Ya, keleus.

"Kalau gue yang deketin lo, gimana, Nou?"

Eh?

Noura terperanjat, sedangkan Devan menusuk siomai lebih dalam hingga bunyi piring terdengar membentur garpu.

"Gue bercanda, Nou. Jangan kaget gitu."

Bagaimana Noura tidak kaget? Jika cinta pertamanya berkata begitu, seharusnya Noura merasa senang sampai mau terbang ke langit ketujuh. Namun, sekarang ....

Noura tetap senang, sih. Namun, anehnya tida sesenang itu. Padahal, selama ini dirinya selalu berkhayal bertemu Rangga, lalu cipika-cipiki, dan ditembak cowok itu. Akhir dongeng yang sangat indah.

"Hape gue bunyi. Ada yang nelepon, nih. Bentar, ya."

Rangga berjalan menjauh untuk menjawab panggilan. Devan mengetuk-ngetuk meja setelah kepergian cowok itu. "Lo suka?" tanya Devan.

Hah?

"Gue enggak suka sama lo! Jangan geer!"

Devan melongok. "Siapa yang bilang lo suka sama gue?"

Apa? Tunggu. Tadi ....

Noura salah dengar!

Wajah Noura merah banget hingga rasanya memanas. Cewek itu menunduk dan bersembunyi di balik rambutnya yang tergerai. Sedangkan Devan malah tergelak. Ini pertama kalinya Devan terlihat santai sejak kedatangan Rangga untuk makan siang.

"Maksud gue, lo masih suka Rangga?"

What? Bagaimana Devan bisa tahu bahwa dia dulu suka Rangga?

Devan melanjutkan. "Gue tahu—"

"Sorry, Guys, gue mendadak ada tugas kelompok yang enggak bisa ditinggalin. Duluan, ya? Kalau ada waktu lagi, nanti kita makan siang bareng. Gue janji traktir, deh."

Rangga merapikan tasnya lalu menyampirkannya di pundak. Dia melambaikan tangan ke arah Devan dan Noura, lalu memelesat pergi bahkan sebelum keduanya sempat bereaksi.

Baik Devan maupun Noura menatap kepergian Rangga.

"Tadi lo mau ngomong apa, Van?"

Devan melirik Noura. "Enggak. Bukan hal penting."

Bukan hal penting? Lalu, kenapa Devan terlihat sangat serius tadi?

***

"Ini kertas apa?"

Noura mengambil selembar kertas yang menyembul dari buku wawancara milik Putri. Temannya itu menyelonjorkan kakinya di atas karpet Student Corner, ruangan tempat mahasiswa Elektro berkumpul yang terletak di dalam gedung departemen Elektro.

Noura membaca judulnya.

Kegiatan Kakak Asuh.

"Kakak asuh? Lo sekarang ngadopsi anak, Put?"

Mendengar pertanyaan konyol Noura, Abri tertawa. Beberapa mahasiswa lain yang berada di Student Corner ikut menggeleng-geleng. Ya kali belum menghasilkan uang sudah punya anak.

"Terus apa?" tanya Noura dengan wajah sedikit memerah. Malu, dong!

"Lo belum ketemu kakak asuh emang?"

"Kakak asuh?"

Abri berdecak. "Itu, lho, daftar yang udah dikirim ketua angkatan kita di grup jurusan."

Noura cepat-cepat mengecek ponsel. Dia menemukan apa yang dimaksud Abri, tetapi tetap bingung. "Terus?"

"Terus, lo harus hubungin kakak asuh lo. Entar ada kegiatan gitu, deh. Dijelasin sama kakak asuh lo."

Noura masih mengernyit tidak mengerti.

"Jadi, gini. Tadi gue dijelasin, katanya kakak asuh itu program senior untuk ngebantu kita adaptasi dengan dunia kampus atau apalah. Kakak asuh lo yang bakal mantau lo. Lo juga bisa curhat atau minta saran gitu dari senior," jelas Putri. "Jadi, lo beneran belum hubungin senior? Harusnya kita udah ngehubungin mereka dari minggu lalu, lho."

Noura menggeleng-geleng. Duh, kenapa dia skip banget sama kegiatan mahasiswa baru begini? Terlalu banyak, sih. Dimulai dari wawancara senior, lalu ikut Freshman Fair. Belum lagi latihannya.

Mata Noura menelusuri daftar nama kakak asuh sekali lagi. Kakak asuhnya adalah ....

Mendadak, Noura cegukan.

Devan?

***

"Gue udah nungguin di-chat, tapi lo enggak pernah tuh ngehubungin gue."

Yudha yang baru datang ke gazebo Elektro dan mendengar kalimat Devan barusan langsung bersiul.

"Jealous, Bro?"

Devan menggerutu, sedangkan Yudha tertawa lepas.

"Ya ..., maaf. Gue lupa. Tapi, lo enggak ingetin gue, sih. Padahal kita sering ketemu." Noura mencoba mencari pembelaan.

Benar, 'kan? Mereka cukup sering bertemu, tetapi Devan tidak pernah menyinggung tentang program kakak asuh ini kepadanya.

"Apa, sih?" tanya Yudha ikut-ikutan. Lalu, saat cowok itu melihat kertas kakak asuh di atas meja gazebo, dia membulatkan mulut.

"Oh .... Kalian baru ketemuan? Padahal, Devan yang ngotot jadi kakak asuh lo—"

Noura mendengar suara sesuatu ditendang. Lalu, kalimat Yudha terpotong dengan rentetan kata aduh. Yudha memberikan pelototan kepada Devan, yang diabaikan cowok itu.

Noura hanya bisa memperhatikan kedua seniornya penuh heran. Tadi apa kata Yudha? Devan ngotot jadi kakak asuh Noura?

"Udah. Abaikan aja Yudha. Buruan, deh. Gue sibuk. Sibuk!"

Ketika Devan mengeplak kepala Noura dengan selembar kertas, cewek itu harus menahan sabar. Ditambah lagi suara tawa Yudha yang membahana sebagai background music. Tidak ada bagus-bagusnya!

"Buruan mulai."

Noura mengernyit. "Ayo mulai."

"Ya elonya yang buruan mulai."

Hah? Kenapa harus Noura yang memulai?

"Kan lo kakak asuhnya, Van. Masa gue yang mulai?"

Devan menggaruk-garuk pelipis. "Iya juga, sih."

"Jangan gro—" Sekali lagi, kalimat Yudha terpotong. Devan mencubit pinggang temannya, membuat Yudha mengaduh-aduh sekali lagi dan berlari menjauhi gazebo diiringi derai tawa.

Devan berdeham. "Oke. Kita mulai aja. Enggak usah perkenalan karena lo udah tahu siapa gue. Ini enggak penting," kata Devan sambil memperhatikan kertas di tangannya. Cowok itu mencoret beberapa bagian, lalu melanjutkan, "Langsung kegiatan inti. Jadi, gue kasih tahu secara singkat aja tentang program kakak asuh—"

Namun, sebelum Devan menyelesaikan penjelasannya, seseorang menepuk pundak Devan. Noura tidak terlalu tahu siapa cowok itu karena jarang melihatnya selama kegiata OSPEK, tetapi dia membawa satu kotak besar yang isinya kabel-kabel dan lampu-lampu.

"Van, lo asisten dosen Bu Endah, 'kan?"

Devan menoleh ke sumber suara. "Eh, Farhan. Iya. Emang kenapa?"

"Tadi gue abis dari MIPA, ngurusin lomba dan ketemu Bu Endah. Katanya dia mau ketemu lo. Mau ngebahas beberapa mahasiswa di kelasnya sama lo."

Pelipis Noura berdenyut. Kenapa mendadak dia merasa tidak enak, ya?

Cowok bernama Farhan itu melanjutkan, "Katanya lo disuruh bawa nilai tugas-tugas terbaru. Terutama yang jelek-jelek."

Devan melirik Noura. Tanpa bicara pun cewek itu paham maksudnya.

Nama Noura ada di dalam daftar itu.[]



AUTHOR'S NOTE:

Kalian pernah dapet dosen kayak Bu Endah yang reseknya minta ampun enggak, sih? Maksudnya baik, tapi ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top