Bab 12: Rahasia yang Tidak Terlalu Rahasia
"Lo yakin mau ikut UKM Robotik?"
Seharusnya, Noura tidak kesal dengan kehadiran Angel yang tiba-tiba ikut duduk di mejanya saat makan siang di kantin yang ramai, tetapi Noura memang kesal. Cewek yang baru duduk itu meletakkan sepiring nasi gila ke atas meja sebelum lagi-lagi membuka mulut.
"Gue denger dari kakak gue kalau anak Robotik itu aneh," tambah Angel.
Putri menyahut, "Aneh gimana?"
"Ya aneh. Pulangnya malam terus. Nyaris enggak pernah kelihatan karena mereka mendekam di rubot."
"Rubot?" tanya Putri dan Noura bersamaan. Keduanya saling melirik sebelum menyengir.
"Duh .... Udah berminggu-minggu jadi mahasiswa PINUS masa enggak tahu rubot apaan?"
Angel pura-pura tidak tertarik untuk menjelaskan lebih lanjut dengan mengaduk-aduk nasi gilanya yang terdiri dari sosis, bakso, telur, dan beberapa jenis sayuran. Cewek itu mengerucutkan bibir, seperti menunggu teman-temannya memohon untuk diberi tahu, tetapi Noura dan Putri menutup mulut. Karena tidak sabar, Angel berdecak sebelum menjawab pertanyaannya sendiri.
"Rubot. Ruang robot."
"Oh ...." Kedua temannya membulatkan mulut.
Sepertinya, Angel benar-benar punya dendam kesumat terhadap anak robotik karena untuk kesekian kalinya dia mengeluarkan suara. "Entar lo jadi antisosial. Yah, kalau gue saranin, sih, sebaiknya lo daftar himpunan aja. Anak baru masih beradaptasi sama dunia kampus. Kalau lo udah sibuk robotik, himpunan, terus kuliah—"
"Gue enggak tertarik ikut himpunan Elektro, kok."
Kalimat Noura di telinga Angel terdengar seperti geledek di siang bolong yang panas seperti sekarang. Angel sampai tercengang dan menumpahkan kembali beberapa butir nasi dari mulut ke atas piringnya.
"Lo ... apa?" pekik Angel. "Lo enggak mau ikut himpunan?"
Saat suara Angel yang melengking mengalahkan lumba-lumba itu terdengar ke meja sebelah, beberapa mahasiswa lain yang makan siang di kantin zona Elektro melirik mereka sambil mengerutkan kening. Antara heran dengan pekikan Angel, atau heran dengan keputusan Noura.
Memangnya salah jika dia tidak ikut himpunan?
Angel cepat-cepat menelan makanan di mulutnya sampai Noura yakin cewek itu tidak mengunyahnya. "Lo enggak bercanda, 'kan?"
"Enggak," jawab Noura sambil meminum es teh di depannya. Keningnya mengerut karena bingung dengan permasalahan yang dibesar-besarkan Angel, seakan Noura sama dengan kriminal kelas kakap yang korupsi satu triliun.
"Gawat. Gawat. Kalau senior tahu, angkatan kita abis!"
Tepat setelah Angel berkata begitu, rombongan senior yang dibicarakan Angel datang. Arin melambai-lambai kepada Noura dengan penuh semangat. Lalu, ada Yudha dan beberapa senior lain yang ikut mengekor di belakangnya. Noura mengintip rombongan itu sekali lagi, lalu bersorak kecil saat batang hidung Devan tidak terlihat di antara mereka.
"Hai. Ini kosong, 'kan? Boleh ikut duduk, enggak?"
Tentu saja Arin dan kawan-kawannya tidak perlu mendengar jawaban, khususnya Yudha. Cowok itu sudah mengambil ancang-ancang duduk di tempat kosong di samping Noura, tetapi Arin segera mendorongnya. Noura hanya bisa bernapas lega sambil bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dia jadi terhindar dari duduk berdampingan dengan Yudha.
Di antara Putri, Noura, dan Angel, hanya cewek dengan arti nama malaikat yang menyahut. Cewek itu tersenyum lebar menyambut senior-seniornya duduk di satu meja sambil melirik Noura dengan telunjuk di bibir, seakan menyuruhnya tutup mulut. Noura sampai bingung dibuatnya. Kenapa Angel memintanya diam?
"Kalian lagi ngomongin apa, nih? Kayaknya seru banget tadi." Karena suasana meja menjadi canggung setelah kedatangan Yudha dan kawan-kawannya, Arin mencoba mencairkan suasana dengan bertanya.
Putri mengabaikan tatapan mengancam Angel kepadanya dan Noura.
"Lagi ngomongin himpunan, Kak. Noura bilang enggak mau ikutan, tapi Angel ngotot kalau itu dosa paling besar sepanjang abad," kata Putri tanpa memedulikan cubitan Angel di kakinya.
"Kenapa?" Di antara usahanya mengunyah ayam bakar dan nasi, Yudha malah bertanya. Beberapa butir nasi muncrat ke atas meja, yang langsung dibalas Arin dengan pukulan di pundak Yudha.
Merasa bertanggung jawab meski tidak ada yang meminta, Angel membuka mulut. "Soalnya dia mau ikut UKM Robotik, Kak. Padahal himpunan di Teknik itu—"
"Maksud Yudha, kenapa enggak ikutan himpunan jadi dosa terbesar sepanjang abad?"
Tanpa diminta, suara itu menyela omongan Angel. Semua pasang mata di meja itu menatap Devan yang muncul mendadak dengan membawa mangkuk mi ayam. "Maksud lo gitu, 'kan, Yud?"
Yudha mengangguk-angguk sambil mematuk makanan di piringnya.
Melihat Devan, Arin tersenyum lebar. Satu-satunya senior cewek di meja mereka itu memindai sekeliling, lalu menunjuk tempat kosong di samping Angel. Tentu saja Angel senang bukan kepalang. Teman Noura itu langsung membenarkan rambut dan mengikatnya ulang, seolah ikatan rambut sebelumnya belum cukup rapi. Noura tidak mengerti manfaatnya membuang-buang tenaga seperti itu.
Sambil melirik Devan yang duduk di sampingnya, Angel menjawab, "Soalnya himpunan di Teknik kan wajib, Kak. Kalau enggak ikut bisa dicap bukan bagian dari jurusan—"
"Enggak, kok. Enggak pernah ada yang bilang gitu. Kami enggak mewajibkan kalian untuk ikut himpunan. Kalian mau ikut, silakan. Mau enggak dan pilih akademik aja, silakan. Atau mau ikut organisasi di luar himpunan, silakan." Kali ini, giliran Yudha yang memotong Angel. Cowok itu sudah selesai menyantap ayam bakarnya hingga ludes.
Arin menambahkan, "Kita enggak bisa maksain kalian untuk ikut himpunan karena kalian pasti punya alasan masing-masing. Intinya, sih, mau kalian ikut organisasi himpunan Elektro atau enggak, kalian tetap jadi mahasiswa Elektro, kok."
Mendengar penjelasan senior yang tidak setuju dengannya, Angel jadi tergagap. "E-eh. Maksudnya aku denger-denger begitu, Kak. Itu kata orang-orang, lho," balasnya.
Semua orang di meja itu mengabaikan kalimat terakhir Angel dan menyantap makan siang mereka dalam diam. Noura merasakan hawa canggung kembali ketika tiba-tiba Devan menyeletuk.
"Lagian, cewek yang berjuang ngelakuin apa yang dia suka itu seksi, kok."
Penuturan dari bibir Devan berhasil membuat Arin batuk-batuk parah sampai bengek. Yudha terlalu terkejut sampai sendok di atas piring kotornya jatuh ke lantai. Putri yang sedang meminum air mineral menyemburkannya sedikit ke atas meja.
Devan cepat-cepat meralat. "Maksud gue—"
Setelah sembuh dari bengeknya, Arin memotong, "Maksudnya gue, Van?"
Devan dan semua orang lain di meja itu memilih diam. Namun, Noura melihat dengan mata kepala sendiri. Telinga cowok itu lebih merah daripada potongan tomat di piring Putri.
***
Seperti yang sudah diberitahukan anggota BEM Teknik tentang hukuman akibat pertikaian di acara Freshman Fair beberapa hari lalu, mahasiswa baru Teknik harus menjalani hukuman selama tiga hari berturut-turut dengan membersihkan fakultas mereka. Dimulai dari menyapu halaman fakultas yang luasnya banget-bangetan, membersihkan got di sekitar Teknik, hingga membersihkan setiap kamar mandi gedung perkuliahan. Namun, karena kaki Noura belum juga membaik, cewek itu tidak ditugaskan melakukan pekerjaan itu. Pihak BEM memutuskan Noura dan beberapa orang yang terluka lainnya untuk menjaga minuman dan makanan bagi para pekerja, alias teman-teman mereka, di pos istirahat, yaitu di depan gedung dekan. Namun, meski seharusnya pekerja bersih-bersih baru boleh datang ke pos istirahat saat jam makan siang, Putri melanggar aturan tersebut dan menemui temannya.
"Gue minta maaf." Putri, yang pura-pura terluka dengan berdiri terpincang-pincang di depan pos saat senior-senior BEM melewatinya, berkata kepada Noura. Beberapa mahasiswa lain yang menjaga pos istirahat hanya melirik Putri sebelum kembali sibuk dengan ponsel mereka.
"Gara-gara gue enggak sempat serert lo keluar dari lapangan, kaki lo jadi kayak gitu."
Noura tertawa. "Harusnya gue bersyukur. Kan jadi enggak ikut bersih-bersih," selorohnya. Namun, Putri tidak menanggapi lelucon Noura yang menurutnya tidak lucu sama sekali.
"Gue diseret Abri waktu itu. Mau narik lo, tapi enggak sempet," lanjut Putri. "Terus, lo malam itu keluar sendiri?"
Sendiri?
Noura mengulang pertanyaan Putri dalam hati. Bayangan wajah Devan mendadak muncul. Cewek itu segera menggeleng-geleng untuk menghentikan benaknya memutar adegan dirinya digendong Devan. Entah kenapa, wajah Noura jadi panas. Apa mungkin tenda pos istirahat jadi lebih sumpek setelah kehadiran Putri?
"Lo kepanasan? Muka lo merah gitu." Putri mengambil beberapa lembar kertas absen di atas meja tempat meletakkan makanan, lalu mengipaskannya ke wajah Noura. Meski anginnya lumayan menyegarkan, tetapi Noura masih tetap merasa panas. Sepertinya, Jakarta memang terkenal dampak global warming yang parah sampai Noura merasa di neraka seperti ini.
Ketika senior-senior yang berjalan melewati pos istirahat sudah tidak terlihat lagi, Putri mengambil kursi kosong dan duduk di samping Noura. Tangannya masih sibuk mengipas-ngipas wajah cewek itu.
"Malam itu lo keluar sama Kak Devan? Soalnya, seinget gue kami ketemu di tangga luar gedung dan dia nanyain lo."
Setelah suhu tubuhnya yang meningkat, kini tenggorokan Noura mendadak gatal. Dia batuk-batuk parah sampai Putri menyodorkan botol minuman di atas meja kepadanya.
Lagi-lagi, bayangan Devan yang menggendongnya hingga ke parkiran motor muncul di kepala.
Setelah menenggak air pemberian Putri, Noura menjawab temannya. "Gue keluar dari lapangan indoor sama Devan," katanya tanpa memberikan detail lebih lanjut.
"Oh. Terus digendong ke parkiran motor, ya?"
Uhuk! Uhuk!
Jangan bilang Putri melihat Devan menggendongnya seperti membawa karung beras!
Putri pura-pura berpikir sebelum memberikan cengiran lebar. "Setelah gue dan Abri keluar dari sana, kami istirahat sebentar. Terus, kami ngelihat lo dan Kak Devan lagi—"
Noura cepat-cepat membekap mulut Putri dengan kedua tangannya.
"Enggak gitu, Put. Kaki gue terkilirm makanya dia bantuin gue," bantah Noura.
Putri cengar-cengir. "Oke. Karena kaki lo emang beneran terkilir, gue percaya."
Mendengar jawaban Putri, Noura bernapas lega. Namun, cewek itu kembali panik saat Putri melanjutkan.
"Tapi, gue enggak nyangka Kak Devan sampai gendong lo."
Noura kembali batuk-batuk, apalagi saat temannya itu memberikan cengiran lebih lebar daripada sebelumnya.
Duh, semoga Putri tidak ember kepada orang lain. Bukan apa-apa, Noura cuma malu!
***
Hari ini, Noura merasa senang bukan kepalang. Pertama, kakinya berhasil sembuh total setelah seminggu berjalan terpincang-pincang. Kedua, yang paling membuat Noura bersemangat sejak pagi adalah, hari ini merupakan pertemuan pertamanya dengan para anggota UKM Robotika. Jadi, setelah mata kuliah terakhir, Noura memelesat ke gedung UKM bagai anak panah.
"Hati-hati, Noura!"
Bahkan, teriakan Abri dari dalam kelas saat itu tidak digubris. Pasalnya, Noura hanya punya waktu lima menit untuk ke gedung UKM karena pertemuannya diadakan tepat pukul setengah tujuh malam. Seharusya, dia tidak berlari karena kakinya baru saja sembuh, tetapi dosen yang terlalu banyak omong itu nyaris menggagalkan pertemuan pertama Noura dengan teman-teman barunya.
Ketika Noura sudah sampai di dalam rubot yang terletak di gedung UKM, cewek itu masuk ke ruangan dan tercengang. Dari puluhan yang mendaftar ke dalam UKM ini, hanya beberapa saja yang berjenis kelamin perempuan. Menurutnya tidak masalah, tetapi ....
"Noura?"
Tubuh Noura membeku. Meskipun sudah bertahun-tahun tidak mendengarnya, Noura yakin dirinya masih mengingat suara itu.
"Ini beneran Noura, 'kan?"
Dengan penuh keberanian, Noura menolehkan kepala ke samping. Matanya langsung membulat sempurna saat berhasil memastikan siapa sosok yang memanggilnya.
"Rangga?" ucap Noura lirih. Saat ini, jantung Noura bertalu-talu hingga suaranya nyaris menulikan telinganya. "Rangga .... Ya, 'kan?"
Cowok itu, yang berdiri tidak jauh darinya, tersenyum lebar. Sosok Rangga yang nyata seolah memberikan kepastian bahwa cowok itu memang benar-benar masih hidup.
"Iya. Ini gue, Rangga."
Ya Tuhan ...! Noura ingin memekik! Ini Rangga yang dirumorkan, tidak, dikiranya sudah meninggal. Ternyata Rangga masih hidup dan tambah ganteng!
Rangga mengikis jarak dengan Noura. "Lo kuliah di PINUS, Nou?"
Noura tidak bisa berkata-kata. Sebagai gantinya, dia mengangguk. Apalagi ketika panggilan kecilnya, Nou, meluncur dari bibir Rangga. Noura senang bukan main. Cewek itu tersenyum semakin lebar sampai dirinya khawatir bibirnya akan robek.
"Jurusan apa?"
"Elektro," jawab Noura setelah berhasil menemukan suara. Dia cepat-cepat menambahkan, "Bareng Devan, tapi enggak apalah."
Senyum di bibir Rangga lenyap. "Devan?"
Noura mengangguk penuh semangat. Teman masa kecilnya ini lupa dengan Devan, ya? Padahal, dulu mereka bisa dikatakan akrab. Noura ingat mereka sering bermain rumah-rumahan setelah dipaksa. Biasanya, Noura akan menjadi ibu, Rangga menjadi ayah, dan Devan menjadi anaknya. Tentu saja permainan ini dibenci Devan. Cowok itu selalu marah-marah jika dijadikan anak oleh Noura.
"Iya, Devan yang dulu suka main bareng. Lo lupa?"
Rangga cepat-cepat menggeleng. Senyumnya kembali, tetapi lebih tipis daripada sebelumnya. "Enggak, kok. Gue masih inget Devan."
"Kalian satu kampus dan enggak pernah ketemu, ya?"
Rangga tampak berpikir. "Gue denger dia di PINUS juga, sih. Tapi enggak pernah tau jurusan apa."
"Kalau gitu, lo jurusan apa? Tahun ketiga, 'kan, berarti?"
Anggukan Rangga tampak mantap saat menjawab. Lalu, cowok itu menambahkan, "Kedokteran."
Kedokteran? Noura bersiul dalam hati. Seumur-umur, dia tidak tahu Rangga akan masuk ke jurusan sesulit itu. Meski sejak dulu Rangga memang pintar, tetapi jika dibandingkan dengan Devan, cowok itu selalu tertinggal beberapa langkah di belakang. Si Devan memang menyebalkan, tetapi dia selalu mendapatkan juara umum di sekolah. Bukan hanya itu, Devan juga pernah memenangi lomba fisika. Lalu, karena kepintarannya yang menonjol, semua orang mengira Devan akan menjadi dokter, seperti anak-anak pintar pada umumnya.
Noura sudah siap melemparkan pertanyaan lagi kepada Rangga, tetapi moderator acara malam itu mengacaukan rencananya. Noura melirik cowok yang berdiri di depan ruangan itu sebelum mengeluh. Duh, kalau tidak mendengar jawaban dari Rangga Noura bisa jadi arwah penasaran, nih!
"Acaranya udah mau mulai, nih. Nanti lanjut lagi, ya."
Meski inginnya menculik Rangga dan menginterogasi cowok itu, Noura mengangguk. Matanya memindai setiap sudut ruangan. Oh. Ada satu tempat kosong dekat jendela. Sayangnya, tidak ada tempat lain untuk Rangga.
"Mungkin kita bisa minta kursi tambahan buat lo, Ngga."
Rangga tertawa kecil. "Gue hari ini sebagai panitia, Nou."
Mulut Noura menganga. "Eh?"
Jangan bilang Rangga adalah cowok yang diceritakan di stan Robotika![]
AUTHOR'S NOTE:
Rangga, apa yang kamu lakukan ke saya itu jahat!
Ini Rangga siapa, ya? Kalau Mas Nicholas Saputra, aku juga mau, dong!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top