Bab 10: Devan dan Plester Disney Princess


"Gimana renovasi Sekolah PINUS?"

Ketika Putri membawa nampan soto mi lalu duduk di depannya, Noura tersedak hingga dia harus meraih botol mineral di sampingnya. Dengan cepat, cewek itu menenggak air tanpa warna tersebut.

"Jangan ngagetin, Put!"

Putri memberikan cengiran lebar. "Sorry. Habisnya, lo duduk sendirian aja di sini."

Noura mengangguk sebelum mengedarkan pandangan ke penjuru kantek. Pagi ini, lebih tepatnya pukul sepuluh pagi, suasana kantin tergolong sepi jika dibandingkan jam makan siang. Hanya beberapa meja yang terisi oleh mahasiswa, itu pun mahasiswa yang duduk-duduk tidak jelas. Misalnya saja, kantin zona Teknik Sipil diisi oleh beberapa mahasiswa yang sibuk genjreng-genjreng gitar. Lalu, meja-meja kantin di zona Teknik Arsitektur dipenuhi prakarya tanpa pemilik yang tingginya mencapai kepala. Atau, zona Teknik Mesin yang diisi cowok-cowok berjaket hitam khas himpunan Teknik Mesin yang memilih tidur di bangku-bangku kantin. Sedangkan di zona Teknik Elektro, hanya segelintir meja yang terisi, itu pun oleh mereka yang tidak sempat sarapan seperti Noura.

Kembali kepada pertanyaan Putri di awal, Noura mengangkat bahu. "Renovasi Sekolah PINUS lumayan berat. Tangan gue sampai—"

Kalimat Noura langsung terputus saat suara gelak tawa mengisi indra pendengarannya. Noura hafal betul dengan suara-suara itu. Ada Yudha yang selalu membentaknya saat OSPEK. Ada Arin yang menjadi satu-satunya suara feminin di antara suara berat khas cowok. Dan, yang terpenting, ada Devan yang dia hindari sejak kejadian itu. Tahu, 'kan? Kejadian yang membuat jantung Noura berdegup aneh hingga dia merasa ada yang salah dengan dirinya.

Prediksi Noura tentu saja benar. Saat cewek itu melirik ke arah sumber kegaduhan, ada gerombolan senior yang berjalan ke arah Noura, termasuk Devan.

Alamak. Noura tidak mau bertemu Devan!

Dengan cepat, Noura menunduk sedalam mungkin hingga wajahnya nyaris menyentuh sambal ayam kremes yang sedang dia santap. Bau sambal serta minyak dari ayam kremes menyerbu penciuman Noura, tetapi cewek itu tidak peduli. Pokoknya, Devan jangan sampai melihatnya, apalagi berpikir untuk mendatanginya. Pokoknya jangan!

Saat suara-suara gaduh itu melewati meja Noura dan menghilang, dia bernapas lega. Cewek itu lalu mengangkat kepala, tetapi harus kembali terkejut ketika suara yang dia hindari mengagetkan dengan volume keras.

"Dor!"

Noura memekik sangat nyaring hingga seisi kantin melirik ke arah meja mereka. Devan, yang mendadak duduk di samping Noura dan mencondongkan wajah sangat dekat dengannya, tertawa. "Ngehindarin gue, ya?"

Bukannya menjawab, wajah Noura malah bersemu merah. Pertama, cowok itu tahu rencananya. Kedua, wajah Devan terlalu dekat dengan wajahnya sendiri.

Terlalu dekat hingga rasanya sesak!

Untungnya, Putri yang semeja dengan Noura berubah menjadi pahlawan kesiangan. Sebelum temannya semakin merona seperti kepiting rebus, dia berdeham. "Halo, Kak Devan."

Seakan baru menyadari kehadiran Putri, Devan menarik diri hingga Noura bisa mengembuskan napas lega. Oksigen langsung membanjiri paru-parunya. Rasanya seperti hidup kembali.

Terima kasih, Putri sang Penyelamat Hidup!

"Halo," balas Devan kepada Putri. "Lo Elektro 2019 juga, 'kan?"

"Iya. Nama gue Putri, Kak."

Devan mengangguk. Cowok itu lalu melirik Noura yang menarik dan mengembuskan napas seperti ibu-ibu hamil yang akan melahirkan. "Sejak kapan lo kena penyakit bengek?"

Usaha Noura untuk menenangkan diri, terutama jantung yang tiba-tiba berdebar aneh lagi, gagal total. Cowok itu melemparkan pertanyaan menyebalkan di antara usahanya untuk tidak mati kekurangan oksigen.

"Gue enggak bengek. Ini lagi latihan pernapasan," balas Noura sebal.

Devan mengernyitkan kening. "Kenapa harus latihan—"

Namun, cowok itu menghentikan diri. Dia menggeleng-geleng sebelum kembali membuka mulut. "Gimana luka lo?"

"Luka apa?"

Noura mengabaikan pertanyaan Devan. "Bukan hal yang besar, kok, Put. Gue tergores aja ...," katanya sambil menunjukkan bekas luka di telapak tangannya kepada Putri. Temannya itu sudah mengulurkan tangan untuk melihat luka Noura, tetapi kalah cepat dari Devan yang merenggut pergelangan tangannya duluan.

"Kenapa plesternya dibuka?"

Noura memutar mata. "Karena udah mendingan."

Devan merengut tidak suka. "Baru beberapa hari dan udah dibuka plesternya?"

Mulut Noura sudah terbuka untuk siap protes. Toh, lukanya tidak sedalam itu sehingga dalam beberapa hari sudah menutup. Namun, cewek itu mengurungkan niat karena Devan membawa pergelangan tangannya ke depan wajah cowok itu. Sangat dekat hingga dia bisa merasakan embusan hangat napas Devan di kulitnya.

"Hmm .... Emang udah ketutup, sih, lukanya," kata Devan sambil mengamati luka Noura seperti tengah meneliti bakteri di bawah mikroskop. Begitu serius dan saksama.

Setelah memperhatikan telapak tangan Noura sekali lagi, Devan melepaskan pergelangannya. "Lo boleh ngelepas plesternya."

Hello? Noura sudah melepas penutup lukanya sejak tadi pagi. Kenapa tiba-tiba cowok itu memberi izin kepadanya untuk melepas plester? Lagi pula, bukannya Noura akan mendengarkan Devan, sih. Namun, cowok itu berlagak seperti seorang dokter saja.

Dokter gadungan.

Devan berdiri dari posisi duduknya di samping Noura. "Duluan, ya. Gue ada kelas dari tiga menit lalu."

Noura hanya bisa mengerjap-ngerjap kebingungan. Lalu, kenapa dia dari tadi di sini? Pakai acara ngobrol tidak jelas dan menyapanya seperti jelangkung yang datang tidak diundang segala lagi.

Sebelum cowok itu pergi, Devan mengeluarkan plastik putih dari tasnya dan menyodorkannya kepada Noura. "Nih. Kalau ada apa-apa, pakai lagi." Setelah berkata begitu, cowok itu berlari kecil meninggalkan kantin.

Noura membuka isi plastik putih itu. Hanya satu pak plester bergambar Disney princess, salah satu kartun kesukaan Noura yang masih dia tonton sampai sekarang.

***

"Selamat datang di booth Tim Robotika PINUS. Ada yang bisa dibantu?"

Saat Noura menghampiri stan Tim Robotika di pameran UKM yang dilaksanakan di lapangan sepak bola PINUS, cewek itu langsung disambut mahasiswa-mahasiswi penjaga stan dengan ramah. Jika dilihat dari atas menggunakan drone, maka mahasiswa-mahasiswa yang mengerubungi Noura layaknya semut-semut menemukan gula.

"Ah ..., itu ...." Noura sedikit gugup, apalagi para penjaga stan yang menyambutnya adalah cowok semua. "Saya tertarik ikut Tim Robotika."

Detik itu juga, stan Robotika hening. Bahkan, rasanya stan-stan UKM lain yang berada di sekitar Robotika ikut diam. Terdengar sedikit berlebihan, sih. Namun, Noura nyaris yakin karena selanjutnya seorang cewek dari UKM tari berseru kepadanya.

"Dek, enggak salah masuk stan? Sini, stan Tari. Di situ mah isinya cowok semua."

Cowok-cowok yang mengerubungi Noura mendelik kepada cewek UKM Tari yang baru saja angkat suara. "Kalau UKM-nya enggak laku, enggak usah nyerobot rezeki orang!"

Si cewek mendesis. "Enak aja! Banyak yang mau daftar UKM gue dan isinya kebanyakan cewek. Emang UKM kalian? Cowok—"

Noura memotong kalimat cewek itu. "Enggak, kok. Enggak salah stan."

Bagai seruan terompet pada Tahun Baru, cowok-cowok itu bersorak. Noura menganggap mereka sangat lucu, apalagi ketika mereka saling meletakkan tangan di pundak dan membentuk lingkaran di sekitar Noura. Lalu, cowok-cowok itu melompat sambil berputar mengelilingi Noura, persis seperti upacara adat.

Di tengah-tengah temannya yang menggila, salah satu penjaga stan yang menggunakan kacamata, Edwin, berdeham. "Silakan isi data pribadinya."

Noura disodori selembar kertas dan pulpen. Karena pameran UKM siang itu sangat penuh, maka Noura tidak menemukan meja untuk menulis formulir yang diberikan. Salah satu penjaga stan Robotika menyodorkan punggungnya sebagai alas untuk menulis, dan menurut Noura tindakan itu sangat menggemaskan.

"Oh ..., lo dari Elektro?" Edwin berkata sambil mengintip formulir Noura. "Berarti mau di Divisi Elektrik?"

Noura bingung. Maksudnya apa?

Melihat kebingungan Noura, Edwin mendorong ujung kacamata seperti yang biasa detektif lakukan dalam komik-komik kriminal.

"Jadi, di Tim Robotika itu ada tiga divisi. Pertama, Elektrik. Biasanya Elektrik ngurusin komponen elektrik dari robot, termasuk sumber daya robot itu sendiri. Kedua, Divisi Mekanik, yang bertanggung jawab terhadap bentuk robot. Ketiga, Divisi Artificial Intelligence yang ngurusin program robot," jelas Edwin. "Biasanya, anak Elektro gabung Divisi Elektrik, meskipun enggak menutup kemungkinan dari jurusan lain untuk pilih Divisi Elektrik. Contohnya, ada anak Kedokteran yang masuk Divisi Artificial Intelligence. Padahal, dia awalnya enggak bisa satu pun bahasa pemrograman dan sekarang di tahun kedua Kedokteran yang notabennya—"

Edwin menghentikan ceritanya dan menatap ke tengah kerumunan orang di belakang Noura. Lalu, cowok itu melambai kencang hingga Noura khawatir lengannya putus.

"Oi, Rangga! Stan Robotika di sini!"

Telinga Noura berdenging saat nama itu meluncur dari bibir cowok di depannya.

"Rangga!" Cowok berkacamata itu kembali berseru, kali ini tanpa melambai-lambai.

Karena penasaran, Noura ikut berbalik. Namun, tidak ada satu pun pengunjung pameran UKM yang berusaha membelah kerumunan ke arah mereka. Jadi, Noura beranggapan bahwa cowok bernama Rangga yang dipanggil tadi tidak menggubris.

"Yah. Si Rangga malah enggak nengok ke sini," kata Edwin pelan. Saat tersadar bahwa Noura masih di depannya, cowok itu cengengesan. "Tadi itu Rangga, anak Kedokteran yang gue bilang tadi. Gue dengar dia lebih jago bahasa pemgrograman daripada mata kuliah Kedokteran."

Noura hanya mengangguk-angguk mendengar penjelasan Edwin. Cewek itu berniat untuk melanjutkan mengisi formulir, tetapi matanya menangkap sosok cowok jangkung yang berjalan menjauhi stan Robotika. Yang menjadi perhatian Noura bukan tingginya cowok itu atau pakaian rapi dan rambut klimis yang sangat mengganggu, melainkan pin kartun Dragon Ball lusuh yang dipasang di tas ranselnya.

Noura merasa pernah melihat pin itu bertahun-tahun lalu.

***

Menurut Putri, anak-anak Teknik sangat suka mengadakan perlombaan antarjurusan. Bukan hanya tentang kesenian, melainkan juga olahraga. Salah satunya adalah turnamen olahraga yang diadakan khusus untuk mahasiswa baru Teknik, yaitu freshman fair. Setiap mahasiswa baru wajib mengikuti turnamen ini, baik itu sebagai pemain yang turun ke lapangan maupun sebagai tim sorak.

Menanggapi kabar itu, cewek-cewek Elektro angkatan 2019 memutuskan untuk mengadakan pertemuan kecil di gazebo Elektro. Pertemuan ini cukup penting, terutama karena jumlah pertandingan untuk cewek dan jumlah mahasiswi Elektro tidak seimbang.

"Seperi yang udah dibilang Ketua Angkatan, mulai dua minggu lagi bakal ada freshman fair." Putri memulai percakapan. "Dan, seperti yang kita tahu, jumlah cewek Elektro enggak sebanding dengan jumlah pertandingan khusus cewek. Ada voli cewek, futsal cewek, basket cewek, dan badminton," tambah Putri. "Jadi, di antara kita emang harus ada yang main lebih dari satu pertandingan."

Ketika tidak ada yang menanggapi, cewek itu kembali bersuara. "Kita enggak usah ngincer menang atau kalah. Yang penting main aja."

Angel mengangguk. "Gue setuju sama Putri. Harus ada yang lebih dari satu pertandingan. Dan ...." Sambil berkata begitu, Angel mengacak-acak isi tasnya sendiri. Lalu, cewek itu mengeluarkan selembar kertas dengan tulisan FORMULIR PENDAFTARAN besar di atasnya.

"Ini formulirnya. Kita disuruh isi mau ikut lomba mana aja sama Kak Yudha. Kata Kak Yudha, kita enggak usah khawatir sama latihan karena dari senior-senior bakal bantu kita persiapan selama dua minggu ini," lanjut Angel.

Noura ikut melihat selembar yang diletakkan temannya di tengah meja gazebo, lalu membaca setiap kata dengan teliti. Di sana, tertulis empat nama pertandingan beserta pelatihnya. Untuk basket, ada Adi dan Devan. Untuk futsal, ada ....

Tunggu sebentar. Mata Noura kembali menatap baris pertama.

Devan?!

"Gue enggak main basket," Noura cepat-cepat berujar. "Terserah gue mau ditempatin di mana aja, asal bukan basket," kata cewek itu sambil merinding.

Bukan apa-apa, hanya saja Noura bisa membayangkan bagaimana Devan melatihnya bermain basket. Dulu, saat rumah mereka bersebelahan dan Noura sering mengikuti Devan bermain, termasuk main basket di lapangan kompleks, cowok itu tidak jarang mendorongnya ke pinggir lapangan karena dianggap mengganggu jalannya permainan. Jika Devan berperan sebagai pelatihnya, bagaimana Noura bisa menjamin cowok itu tidak akan melakukan hal yang sama kepadanya?

Untungnya, tema-teman satu jurusan Noura tidak merasa keberatan dengan permohonannya.

"Oke. Futsal mau?"

Noura memperhatikan nama pelatih futsal. Tidak dia kenal. Baguslah.

"Boleh," jawab Noura.

Angel menulis nama Noura di bawah pertandingan futsal. "Siapa lagi yang mau futsal?"[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top