Bab 1: Percayalah, Pertemuan Tidak Sengaja Adalah Gerbang Neraka

Noura ingin kabur. Kalau bisa, dia ingin memohon kepada orangtuanya agar dikeluarkan dari kampus terkutuk ini. Sebenarnya bukan karena Universitas Pionir Nusantara buruk, tetapi karena kehadiran sosok menyeramkan yang berdiri beberapa meter di depan sana adalah sumber malapetaka.

Siapa lagi kalau bukan Devan Putra Pratama, teman masa kecil Noura yang jahat?

Sungguh. Noura tidak pernah bertemu manusia seburuk Devan sepanjang delapan belas tahun hidupnya. Tentu saja Devan ganteng, banget malah. Kulitnya kecokelatan karena hobinya bermain basket di lapangan kompleks rumah. Tubuhnya tinggi dan tegap, dengan postur penuh percaya diri yang berlebihan. Sebenarnya, Noura tidak menyangka Devan akan tumbuh semenarik ini, apalagi setelah empat tahun mereka berpisah. Namun, kepribadian cowok itu sangat buruk. Bahkan, setelah bertahun-tahun tidak bertemu, Devan masih menguarkan aura jahat. Lihat saja. Tatapan lelaki itu sangat menyeramkan!

"Semua mahasiswa baru Jurusan Teknik Elektro berbaris yang rapi di sini dalam lima detik. Satu!"

Dari posisi Noura, dia bisa melihat Devan yang memegang pengeras suara berjalan mondar-mandir di depan barisan mahasiswa baru. Gayanya persis seperti komandan yang sedang mendisiplinkan para prajurit; sangar dan menyeramkan. Noura nyaris yakin seratus persen bahwa teman-teman barunya akan lari terbirit-birit jika tidak dijaga oleh panitia OSPEK lain di belakang barisan. Artinya, perhatian mereka semua tertuju kepada mahasiswa baru lainnya selain Noura. Dia bebas!

Kaki Noura melangkah ke belakang dengan perlahan. Satu langkah. Dua langkah. Tiga langkah. Setelah memastikan bahwa dirinya aman, Noura berbalik untuk kabur dari gerbang neraka di depan matanya. Namun, belum lima langkah Noura menghindar, pengeras suara kembali terdengar. Kali ini lebih keras hingga burung-burung kecil yang hinggap di dahan pohon beterbangan serentak.

"Yang mau kabur! Dari jurusan apa?"

Detik itu juga, Noura bergeming. Satu tangannya terjulur ke depan dengan posisi kaki ditekuk, tanda siap lari. Dia bisa saja dikira sebagai Patung Pancoran yang tersohor. Bedanya, ini adalah versi perempuan dan hidup.

Noura memejamkan mata erat-erat, bimbang antara bertemu dengan mimpi buruknya atau menghadapi orangtua yang mencak-mencak karena anaknya kabur dari kegiatan OSPEK hari pertama. Apa pun pilihan Noura, keduanya sama buruknya. Hanya saja—

"Teknik Elektro!"

Belum sempat Noura mengambil keputusan, suara lain yang sangat dekat dengannya berseru. Noura membuka mata dan mendapati seorang cowok sedang mengibaskan-ngibaskan papan nama yang terkalung di leher Noura.

"Dari Jurusan Teknik Elektro dan mau kabur pada hari pertama!" teriak cowok itu lagi, kali ini sambil menggeleng. Suara-suara terkesiap di belakang pungung Noura terdengar sangat jelas, diiringi ejekan dan gerutuan panitia OSPEK. Namun, hanya satu suara yang berhasil membuat jantung Noura berdebar sangat kencang.

"Hari pertama udah berani kabur? Punya nyali, ya, lo?"

Devan.

Sudah jelas itu suara Devan versi lebih dewasa dari yang terakhir Noura ingat. Dia melirik cowok yang telah mengekspos identitasnya—salah satu panitia OSPEK, jika dilihat dari jaket almamater yang dia kenakan—lalu melengkungkan ujung-ujung bibirnya ke bawah. Cowok itu hanya membalas lirikan Noura sekilas, tetapi Noura yakin ada sinar geli di kedua mata beningnya.

"Maju sini!"

Noura hanya bisa menelan ludah ketakutan saat suara Devan terdengar semakin tajam dari pengeras suara. Noura bergerak-gerak gelisah di tempatnya, antara ingin berlari sekuat tenaga dari lapangan atau menghadapi monster itu. Namun, sekali lagi, cowok menyebalkan di dekatnya mengambil keputusan untuk Noura; lengan Noura ditarik menyeberangi lapangan berkerikil, diikuti berpasang-pasang mata. Tentu saja Noura hanya bisa mengikuti langkah lebar itu dengan dagu nyaris menempel ke dada.

"Sebutin nama." Devan, yang terdengar semakin tidak sabar, memuntahkan perintah begitu Noura berdiri di depannya. Sebagai jawaban, Noura mengulurkan papan nama di lehernya ke depan wajah Devan yang dibalas cowok itu dengan geraman kesal. "Lo tunawicara?"

Lagi-lagi Noura memberikan jawaban hanya dengan gerakan tubuh. Dia menggeleng sambil tetap menatap sepatu Converse-nya.

"Kalau lo bisa ngomong, jawab pertanyaan gue dengan lantang. Mata lo juga enggak perlu ke bawah gitu. Lo udah mahasiswa, percaya diri sedikit napa?!"

Teriakan Devan tepat di telinganya berhasil membuat Noura semakin mengerut. Cewek itu meringis dalam hati, tetapi tetap menjawab. Kali ini dengan suara. "Nama saya Noura, Kak."

Noura yakin Devan sudah mendengarnya. Demi Tuhan. Sejauh yang Noura ingat, cowok itu tidak punya masalah pendengaran. Namun, Devan berseru semakin keras, seolah Noura belum membuka suara.

"Yang di belakang, denger enggak temennya ngomong apa?"

Tolong. Jawab saja dengar, Noura merapal doa dalam hati, tetapi Tuhan sepertinya tidak mendengar permohonan kecil Noura. Mahasiswa baru yang ditunjuk Devan membalas, "Tidak, Kak!"

Terkutuklah siapa pun itu!

"Nama saya Noura Tsabita, Kak!"

Sudah. Noura mengikuti perintah Devan dengan menyebutkan namanya secara lantang, juga mengangkat kepala saat mengulang kalimatnya. Kini, mata Noura bisa melihat wajah Devan dengan sangat jelas dari jarak sedekat ini. Dimulai dari bola mata kecokelatan di bawah sinar matahari pagi, hingga bulu mata panjang yang membungkus matanya. Jujur saja, cowok itu semakin ganteng dari jarak dekat. Namun, bukan itu yang menarik perhatian Noura. Cewek itu melihat keterkejutan di kedua mata Devan sebelum ditutupi dengan cermat. Lihat. Lihat. Bahkan, cowok itu sampai membuang muka!

"Lo mau ke mana tadi?" Setelah beberapa milidetik keheningan yang terasa sangat panjang bagi Noura, Devan kembali bertanya dengan wajah sangarnya. Di sampingnya, cowok kurang ajar yang menyeret Noura berdiri sambil menelengkan kepala.

Otak Noura berputar cepat. Jika dia jujur ingin kabur dari sini, maka riwayatnya akan tamat. Apalagi Noura sangat mengenal Devan yang dulu. Kejam, jahat, dan senang menjaili Noura Kecil. Memang tidak ada jaminan Devan belum berubah, tetapi dia sangat mengenal Devan. Contohnya adalah kilatan menyebalkan di matanya setiap kali akan melancarkan aksi jailnya untuk Noura, persis seperti yang dilihatnya di mata cowok itu pada detik ini. Noura yakin, dalam sekejap saja, kehidupan perkuliahan yang dia dambakan akan hancur.

"Toilet, Kak." Setelah berpikir keras, Noura mengeluarkan jawaban teraman dari semua opsi yang ada. Dia tidak mungkin berkata mau sarapan, apalagi ingin kabur. Jadi, hanya pilihan itu yang tersisa.

Namun, sepertinya Devan tidak menganggap alasan Noura bisa ditoleransi karena cowok itu mencondongkan tubuhnya sedikit ke arah Noura dengan senyum mengejek. "Dan, lo enggak bilang ke panitia? Lo tahu, 'kan, sikap lo itu enggak menghargai temen-temen lo yang dateng duluan dan panitia lainnya?"

Sekakmat. Ingin rasanya bumi terbelah dua dan menelan Noura detik ini juga. Cewek itu membuka tutup mulut seperti ikan koi di darat; mencoba untuk membela diri, tetapi gagal. Satu sudut bibir Devan yang melihat Noura di ujung tanduk terangkat sedikit. Cowok itu benar-benar sakit! Bisa-bisanya dia merasa terhibur melihat Noura kesulitan!

"Saya sakit perut, Kak."

Mendengar jawaban Noura, Devan mengangkat satu alisnya yang sempurna. Noura sangat hafal gestur itu; satu gerakan kecil yang menandakan bahwa cowok itu tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Biasanya, Devan akan mentertawai Noura jika coba-coba berbohong. Menurutnya, Noura tidak bisa menyimpan kebohongan karena wajahnya sangat ekspresif. Semua orang akan tahu bahwa Noura berbohong, tambah Devan saat itu. Namun, kali ini Devan menepis kebohongan cewek itu dan hanya mengangguk-angguk.

"Jadi, kamu mau boker?" Devan kembali bertanya dengan wajah polos dibuat-buat. "Perhatian, Semuanya! Lain kali, kalau mau buang air besar, izin dulu sama panitia. Ngerti?"

"Ngerti, Kak!"

Jawaban serempak dan lantang dari mulut-mulut mahasiswa baru itu membuat Noura malu bukan kepalang. Dia tidak berniat mengumumkan ke seluruh dunia bahwa dia ingin buang air besar. Noura hanya bilang dia sakit perut! Kenapa jadi begini?

"Ya udah. Gue izinin. Arin, tolong anterin Noura ke toilet. Kayaknya dia udah kebelet banget." Devan mengangkat satu tangan ke atas, lalu seorang cewek mendatangi mereka.

"Tasnya taruh aja di depan sini," kata cewek bernama Arin itu sambil menunjuk satu area tempat tas-tas disimpan. Dengan perasaan berkecamuk, Noura meletakkan tasnya di atas tumpukan tas lain karena tidak ada lagi tempat yang tersisa. Lalu, Arin meminta Noura mengikutinya.

"Eh. Tunggu."

Noura yang sibuk mengutuk Devan di dalam hati terpaksa menghentikan langkahnya.

"Supaya enggak bau, jangan lupa cuci tangan kalau udah selesai, ya, Noura," lanjut Devan dengan nada sok manis yang sangat menjijikkan. Terdengar suara dengkusan dari arah para mahasiswa baru dan panitia OSPEK lain. Memangnya mereka pikir Noura tidak tahu bahwa mereka mencoba sekuat tenaga menahan tawa?

Noura menjawab dengan gumaman tidak jelas. Lalu, panitia yang ditugaskan untuk mengantar Noura ke toilet memintanya untuk kembali melanjutkan langkah. Dengan berat hati, Noura mengikuti, sambil merapalkan sumpah serapah kepada Devan dalam diam.

***

"Gimana OSPEK pertamanya?"

Pertanyaan itu adalah sapaan pertama Rina, ibu Noura, setelah anaknya menginjakkan kaki di rumah. Sungguh, Noura ingin menjawab pertanyaan wanita itu dengan berlari menghampiri Rina lalu menangis sekeras-kerasnya, tetapi tatapan Dika, abangnya, mengurungkan niat cewek itu.

Noura ogah disebut cengeng oleh kakaknya!

"Capek, Ma. Seniornya galak-galak. Jumlah ceweknya juga dikit banget. Masa dari 197 mahasiswa baru, cuma ada sembilan cewek."

Dika mendengus. "Lo masih mahasiswa baru aja udah ngeluh capek ini itu. Lo enggak tahu aja dunia kuliah nanti sesusah apa. Apalagi dunia pasca kampus. Enggak usah banyak ngeluh lo," cibir Mas Dika sambil mencomot pisang goreng di atas meja makan.

Tak! Bunyi menyeramkan itu berhasil menghentikan mulut Dika mencaplok makanan. Sebagai gantinya, mulut itu meringis kesakitan sambil mengaduh-aduh seperti anak manja. Jika dilihat orang yang tidak mengenal keluarga mereka, pasti Noura yang dianggap sebagai kakak.

"Ma! Sakit!" Dika mengelus kepalanya sambil memberengut. Noura hanya bisa menggeleng-geleng sambil berharap gen jelek Dika tidak tertular kepadanya atau keturunannya nanti.

Rina, sang pelaku, berdecak sambil meletakkan kedua tangan di pinggang. "Enggak usah ngomong dunia pasca kampus kalau kamu aja belum lulus. Pokoknya, semester ini Mama dan Papa mau dateng ke acara wisuda kamu. Kalau masih belum lulus juga, kamu bayar sendiri uang kuliahnya."

Ancaman Rina membuat Dika terperanjat. Kakak Noura itu kemudian berpura-pura menangis. Aduh. Noura ingin ikut menangis melihatnya. Bukan karena ikut sedih, tetapi karena akting Dika yang keterlaluan jeleknya.

"Ma, penelitian aku susah, lho. Masa Mama enggak kasian? Udah gitu, dosen pembibingku—"

"Mama enggak peduli! Udah satu setengah tahun skripsimu belum kelar. Kemarin-kemarin Mama juga lihat kamu main game aja di kamar. Itu ngerjain penelitian skripsi atau apa, sih?"

Noura tertawa diam-diam. Sebenarnya, bukan ibu mereka yang memergoki Dika bermain game, melainkan Noura. Namun, jika Rina menyebut namanya, sudah pasti Noura akan menjadi target abangnya.

Akhirnya, Dika menyerah. Dia memajukan bibir sejauh lima sentimeter, lalu berjalan ke arah kamarnya dengan langkah gontai. Selanjutnya, tentu saja pusat perhatian Rina beralih kepada Noura. Cewekitu yakin wanita yang telah melahirkannya itu akan berbaik-baik kepadanya. Menanyakan kabarnya, mengelus rambut sepunggungnya, hingga memeluk tubuh Noura yang masih bau keringat sepulang dari kampus. Namun, Noura tidak menyangka mamanya malah mengeluarkan pertanyaan mengerikan itu.

"Kamu masih inget Devan, enggak, Nou? Itu, lho, yang dulu rumahnya pas di samping kita. Kalian suka main bareng, kok."

Deg. Firasat Noura mendadak buruk. Noura bimbang, antara berbohong dan mengatakan lupa atau jujur dan mengatakan ingat. Untungnya, Noura tidak harus menjawab pertanyaan sang ibu karena Dika-lah yang bersuara, persis seperti mantan yang tiba-tiba kembali muncul.

"Inget, Ma," jawab Dika sambil cengengesan. Noura melirik abangnya yang seharusnya sudah berada di kamar dan mengerjakan skripsi. Namun, rupanya telinga lebar Dika senang menangkap bisik-bisik gosip.

"Tadi Mama ketemu Mbak Sri, ibunya Devan. Katanya, Devan juga Jurusan Teknik Elektro di kampusmu, lho. Mama lupa tahun berapa, pokoknya yang lagi ngurusin OSPEK. Mungkin kamu ketemu Devan?"

Deg. Deg. Deg. Noura tidak bisa menyembunyikan debaran di jantungnya. Ini bukan debaran yang biasa dia temukan di novel romantis picisan. Ini adalah debaran serupa seperti saat Noura menonton film horor.

Mama Rina kembali melanjutkan. "Mbak Sri tadi bilang. Katanya kegiatan OSPEK bikin capek banget. Kamu bahkan bisa pulang pukul dua belas malam."

Oke .... Noura mengangguk ragu. Arah pembicaraan ini ke mana, ya?

Rina mengambil jeda yang sangat panjang, entah apa yang ada di benaknya. Dika sampai mencondongkan tubuh ke arah sang ibu saking tidak sabarnya. "Mbak Sri bilang kamu pulang pergi bareng Devan aja. Entar kalau pulang kemaleman kasihan, anak perempuan."

Tuh, kan! Firasat buruk Noura benar!

"Ma!" Noura langsung berseru hingga tanpa sadar tangannya menggebrak meja. "Aku bisa pulang sendiri, Ma! Ada ojek online juga. Sekarang udah zaman teknologi. Lagian, kalau Mama khawatir, seharusnya Mas Dika aja yang anter jemput aku, bukan anak orang."

Rina menggeleng-geleng. "Ojek online enggak jaminan. Kemarin, Mama dengar ada tetangga yang dipegang-pegang pahanya sama abang ojek online pas pulang malem. Lagian, Dika juga harus ngerjain skripsinya. Enggak bisa dia main-main lagi." Mata Rina melirik putranya yang kembali merengut karena skripsi terkutuknya dibawa-bawa.

Jika menurut Dika skripsinya adalah benda terkutuk, menurut Noura, Devan adalah orang terkutuk. Lagi pula, kenapa harus Devan, sih? Tidak. Yang harusnya menjadi pertanyaan adalah kenapa mereka harus kembali ke kompleks perumahan ini? Empat tahun lalu, papa Noura memang dipindahtugaskan ke Bandung sehingga Noura, Dika, dan Rina harus ikut. Lalu, sekarang, setelah papanya dipindahtugaskan lagi ke Jakarta, kenapa mereka harus memilih tinggal di perumahan ini untuk kedua kalinya? Memang, rumah Devan dan Noura tidak lagi bersebelahan, tetapi mereka masih berada di satu kompleks, yang membuat kemungkinan bertemu semakin tinggi.

Namun, tunggu. Permintaan itu kan hanya sepihak dari ibu Devan dan ibunya. Bagaimana dengan Devan sendiri? Cowok itu pasti tidak mau. Senior mana yang rela terlihat bersama juniornya? Ya, 'kan?

Namun, kalimat Rina selanjutnya berhasil membuat Noura gigit jari.

"Devan juga setuju. Jadi, kamu enggak usah khawatir. Mulai besok pagi, Devan jemput kamu."

Noura menggeram kesal. Ya Tuhan. Kenapa harus Devan,sih?[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top