Special Chapter: Cinta di Lokasi Syuting
"Woi, Teman-Teman ...!" Leon, sang koordinator angkatan, berdiri di depan kelas dengan tangan terangkat tinggi. Dia berusaha mendapatkan perhatian dari teman-temannya yang sedang ribut mengobrol. Sayang, suaranya yang menggelegar plus sikap tubuhnya yang heboh hanya berhasil mendapatkan segelintir perhatian. Hanya beberapa orang yang memandangnya dengan rasa ingin tahu. Sebagian besar lainnya tidak peduli, tetap melanjutkan obrolan masing-masing. Sadar dia tidak mungkin mendapatkan fokus semua orang, Leon dengan cuek melanjutkan kata-katanya, "Bu Mitha enggak bisa ngajar hari ini! Jadwal kuliah pengganti akan ditentukan kemudian!" katanya dengan suara keras.
"Horeee ...!" Hampir seluruh isi kelas bersorak. Mereka langsung mengemasi peralatan tulis dan bergegas ke luar kelas. Leon menggaruk-garuk kepala. Ternyata, walaupun tidak memperhatikan, informasi tentang jam kosong sampai juga ke telinga setiap anak. Leon menggeleng-geleng. Teman-temannya itu sudah jadi mahasiswa, tetapi kelakuan masih sama saja dengan pelajar SMA, pencinta jam kosong.
"Ah, males banget, deh, kalau enggak ada kuliah gini," keluh Jon dengan muka muram. Dia menyandarkan punggung ke kursi. Kakinya dijulurkan dengan santai.
"Cieee ..., sekarang udah berubah, nih. Jadi anak rajin." Nafa tertawa-tawa menggoda.
"Bukan karena rajin juga. Kalau pengumuman kuliah dibatelin pas masih di rumah, sih, enak. Gue bisa rebahan seharian. Nah, ini kan udah sampai di kampus. Males banget mesti pulang lagi. Sia-sia banget gue nyetir satu jam sampai kampus."
Nafa menoleh kepada Adisti. "Ya udah, kita pergi ke mana gitu, yuk. Kasihan banget ini anak orang gabut."
"Aduh, gue enggak bisa, nih. Ada jadwal syuting entar siang," kata Adisti dengan ekspresi meminta maaf.
"Yaaah ...!" Seruan kecewa keluar dari mulut Nafa. Merasa senasib dengan Jon. Apa serunya siang-siang sendirian di kamar kos?
"Atau kalian mau ikut gue ke tempat syuting?"
Nafa dan Jon berpandangan. "Serius, Dis?" tanya Jon.
"Seriuslah. Kebetulan jadwal hari ini syuting adegan pesta buat sinetron Kaulah Segalanya. Kordinator gue bilang perlu banyak pemain. Gue diminta ngajak temen."
Jon menyugar rambut. "Udah gue duga, bakal ada yang mengenali potensi gue jadi aktor nomor satu di Indonesia. Reza Rahadian mesti hati-hati, nih. Dia bakal punya saingan berat."
"Woi ..., halu ...!" Nafa berkomentar, mengundang tawa Adisti.
"Eh, tapi jadi figuran dulu, ya, kayak gue."
"Oke, Dis!" Nafa mengangguk bersemangat. "Enggak masalah jadi figuran. Hitung-hitung cari pengalaman, 'kan, Jon?
"Kuy lah, kita jadi artis dadakan."
***
Sebelum ke lokasi syuting, Adisti dan Nafa pulang ke kos untuk mengambil gaun pesta. Lalu, mereka mampir ke salon untuk menata rambut dan merias wajah. Jon cukup bermodalkan setelan jas yang kebetulan ada di mobilnya, yang diambilnya dari laundry kemarin dan belum diturunkan.
Jadilah pada tengah hari yang terik ini Nafa dan Adisti memakai riasan lengkap. Pipi dan bibir merona. Eyeshadow ngejreng. Nafa merasa matanya berat karena memakai bulu mata tebal dan panjang. Tren make-up natural? Huh, enggak ada, tuh. Kata Adisti, untuk adegan pesta ini, mereka harus merias wajah ekstra tebal. Sampai-sampai Nafa nyaris tidak bisa mengenali wajahnya sendiri setelah selesai berdandan. Segala macam warna dipulaskan di wajahnya. Warna-warni seperti pelangi. Jon saja sampai tertawa terbahak-bahak melihat dandanan mereka yang menor.
"Ternyata repot juga, ya, persiapan buat syuting," komentar Nafa sambil memperhatikan pantulan wajahnya di cermin kecil yang dia pegang. "Harus modal baju dan dandan sendiri. Nanti pas syuting mesti rela pakai gaun malam pas siang lagi terik-teriknya."
Mereka bertiga masih dalam perjalanan menuju lokasi syuting. Jon yang mengemudi mobil dan Adisti duduk di sampingnya. Nafa bersandar santai di bangku belakang.
"Ya gitu, deh. Perjuangan untuk menghasilkan film dan sinetron." Adisti melirik Nafa dari kaca spion depan. "Melatih kesabaran."
"Salut gue sama lo, Dis," komentar Jon sambil tetap memandang lurus ke jalanan di depannya. "Biar repot gini, lo rajin ikut audisi ke mana-mana. Enggak malas pergi syuting ke lokasi yang jauh. Rela dandan kayak gini lagi. Totalitas."
"Harus semangat, dong, Jon," sela Nafa. "Namanya juga mengejar impian jadi pemain film hebat. Ya, enggak, Dis?"
"Betul," sahut Adisti sambil tertawa.
***
Rumah yang menjadi lokasi pengambilan gambar sinetron sudah ramai. Bagian tengah rumah yang luas sudah disulap menjadi tempat pesta. Meja-meja berlapis taplak mewah lengkap dengan kursi ditata rapi. Bagian tengah ruangan dikosongkan untuk lantai dansa, begitu informasi yang Adisti bisikkan ke telinga Nafa dan Jon.
Suasana kesibukan begitu terasa. Kru sinetron mondar-mandir membawa berbagai peralatan: gulungan kabel, kamera, hingga lampu-lampu besar. Hanya para pemain saja yang masih menganggur karena menunggu persiapan syuting selesai, berkumpul dengan kelompoknya masing-masing.
***
"Ini masih lama enggak, sih, syutingnya?" keluh Nafa.
Mereka bertiga sedang menunggu di dalam mobil Jon. Di lokasi syuting ini tidak tersedia ruangan tunggu khusus untuk para figuran. Ruang ber-AC yang tersedia untuk menunggu persiapan proses syuting plus berdandan hanya dimiliki para bintang utama. Satu jam duduk di ruangan tanpa AC sudah membuat tiga sahabat itu kegerahan. Kipas angin mini milik Adisti tidak mampu mengusir udara panas. Daripada make-up yang sudah susah payah diaplikasikan di salon tadi luntur, mereka pindah menunggu di dalam mobil Jon dengan mesin menyala. Embusan angin sejuk dari AC mobil sedikit membawa kesegaran buat mereka bertiga.
"Enggak bisa ditentukan, sih. Biasanya nanti kalau sudah siap, kita bakalan dipanggil."
"Make-up gue keburu luntur, deh." Nafa menyorongkan wajahnya ke kisi-kisi tempat AC bertiup. Dia menyeka keringat yang mengalir di dahi dan pipinya dengan tisu.
Adisti tertawa kecil. "Sabar, Fa. Soal make-up itu gampang. Nanti bisa touch-up lagi."
"Ini setiap hari harus nunggu selama ini?" Alis Nafa terangkat tinggi.
Adisti tertawa kecil. "Ya gitu, deh."
"Gila, tahan banget lo, ya, nunggu lama-lama kayak gini." Nafa heran Adisti bisa sesabar itu, sedangkan Nafa yang baru menunggu setengah jam saja sudah gelisah. Ini Adisti bisa tenang menunggu berjam-jam.
"Namanya juga passion. Harus dinikmati juga. Proses syuting emang gini, enggak instan. Kadang-kadang, lebih lama waktu yang diperlukan untuk menunggu daripada proses pengambilan gambarnya. Sering juga kejadian proses syuting berjam-jam, eh adegan yang muncul di TV cuma beberapa detik."
"Baru tahu gue kerja keras orang-orang film dan TV buat bikin karya." Jon berdecak kagum.
"Makanya kami sakit hati kalau ada oknum yang membajak film. Bayangin, udah susah-susah syuting, eh film yang lo buat dijual dengan harga murah. Pembuat filmnya enggak dapat penghasilan lagi dari film bajakan," Adisti menjelaskan.
"Aaah, mulai sekarang gue bakalan berhenti nonton film bajakan," cetus Nafa dengan kepala bersandar di kursi mobil. Matanya terpejam erat.
"Fa, ngelindur, ya?" tanya Jon.
"Enggaklah," Nafa membuka mata dan mengangkat dua jari ke dekat wajahnya. "Sumpah, gue janji enggak bakal nonton film bajakan lagi. Baru tahu gue ternyata bikin film sama sekali enggak gampang."
***
"Jon, haus," cetus Nafa tiba-tiba. Hanya ada mereka berdua di mobil. Adisti sedang dipanggil sang koordinator figuran.
"Yah, gue lupa bawa minum."
"Beliin, dong! Di sana ada yang jual es kelapa, tuh." Nafa menunjuk gerobak es yang berhenti sekitar beberapa meter dari mobil Jon.
"Ah, males banget. Lo enggak lihat gue udah pake jas lengkap? Masa keren-keren begini jajan es kelapa."
"Iiih ..., sok keren banget! Lepas dulu aja jasnya. Bayangin, tuh, air kelapa yang seger dicampur gula merah yang manis. Dingin lagi. Panas-panas begini, nikmaaat ...."
Nafa menggambarkan rasa es kelapa dengan ekspresi yang sangat meyakinkan, sampai Jon meneguk ludah membayangkan menyesap es kelapa muda pada siang yang panas ini. Berkat bujukan Nafa, mereka berdua bisa tersenyum senang, menikmati es kelapa muda di dalam mobil yang sejuk.
***
Nafa, Adisti, dan Jon sudah siap di posisi. Pengambilan gambar akan segera dimulai. Ada sekitar lima belas pasang cewek dan cowok sudah duduk di meja masing-masing. Adisti dipasangkan dengan cowok bernama Oniel. Nafa merasa beruntung dipasangkan dengan Jon. Dia tidak bisa membayangkan betapa sulitnya jika harus berpasangan dengan cowok yang tidak dikenal. Pasti canggung dan malu. Nafa bukan aktris dan tidak terbiasa berakting di depan kamera. Dipasangkan dengan Jon membuatnya bisa lebih santai.
Jon tampak biasa-biasa saja. Dari wajahnya, terlihat dia sangat menikmati proses pengambilan gambar ini. Gayanya santai. Sesekali, dia menoleh ke kanan dan kiri. Lalu berbisik seru kepada Nafa saat melihat pemeran figuran lain yang cantik-cantik. Norak, begitu komentar balasan dari Nafa.
Tiba-tiba, seorang kru menghampiri Nafa dan Jon, lalu bertanya, "Eh, kalian bisa dansa, 'kan?"
"Bisa, Kak," jawab Jon santai.
Nafa membelalak. Apa-apaan ini? Langsung jawab bisa, tanpa bertanya jenis dansa apa yang dimaksud. Memangnya Jon bisa dansa? tanya Nafa dalam hati. Dia langsung bertambah cemas. Adisti bilang, sutradara sinetron ini galak minta ampun. Matilah Nafa jika nanti dia sampai dimaki-maki karena tidak becus berdansa.
"Oke, kalian pindah ke lantai dansa," perintah kru itu
"Sekarang, Kak?" tanya Nafa ragu.
"Iyalah sekarang. Masa mau tunggu besok?" jawab si kru jutek.
Buru-buru Nafa dan Jon melangkah dan menunggu di tempat dansa. Bersama mereka ada tujuh pasangan lain, termasuk Adisti.
"Aduh, gimana, nih? Lo, sih, pake bilang bisa segala!" bisik Nafa protes. Dia grogi harus berdiri di tengah ruangan. Di bawah perhatian berpasang-pasang mata. "Harusnya kan kita duduk-duduk santai aja di meja, pura-pura ngobrol sambil minum-minum."
"Kalau kecebur, jangan tanggung-tanggung, Fa. Sekalian." Jon tersenyum santai. Malah sempat melirik cewek cantik yang berdiri di sampingnya. "Eh, kita dansanya harus tukar pasangan enggak ya?"
"Huh, ngarep!" Nafa meninju pundak Jon main-main. "Emang lo bisa dansa?" bisik Nafa.
"Bisalah. Tinggal goyang-goyang aja apa susahnya?"
"Gila lo. Goyang dangdut?"
"Sama aja, mau dangdut, hip hop, jaz, Cuma beda hitungan ritme aja."
"Ngsal."
"Serius." Jon tertawa melihat Nafa yang cemberut.
"Awas kalau nginjek kaki gue, bakal bales gue injek pakai high heels!" Nafa mengancam dengan nada berbisik di telinga Jon. Dia tahu persis dansa dengan gerakan pelan itu memang kelihatannya mudah, padahal bila tidak terlatih bisa salah langkah. Akibatnya, kaki pasangan dansa bisa terinjak.
"Sadis."
Percakapan bisik-bisik mereka terhenti karena musik mulai mengalun. Sutradara memberi aba-aba. "Action!"
Delapan pasangan di lantai dansa mulai bergerak pelan sesuai irama. Kamera bergerak mengambil gambar mereka dari berbagai arah.
"Ternyata lo beneran bisa dansa, Jon." komentar Nafa saat tubuh mereka bergerak dan berayun di lantai dansa.
"Bisa, dong," balas Jon bangga. "Jangan remehkan seorang Jon."
Tawa Nafa terdengar halus. "Dasar!" Dia merasa ada sesuatu yang aneh menyelusup di hatinya. Tangan Jon memeluk pinggangnya. Pipi mereka bersisian. Sesekali, terasa embusan napas Jon di wajahnya. Dari jarak yang begitu dekat, wajah Jon ternyata sangat enak dilihat. Hidungnya mancung, bibirnya tampak selalu tersenyum, dan matanya begitu memukau. Mereka berdiri sangat dekat, hingga aroma parfum Jon yang maskulin menyentuh indra penciuman Nafa. Sudah beberapa tahun mereka bersahabat, tetapi belum pernah Nafa berada sedekat ini dengan Jon. Mendadak, pipi Nafa terasa panas.
Nafa tidak tahu Jon juga merasakan sensasi yang sama. Selama ini, di mata Jon, Nafa adalah sahabat yang lucu, cerewet, dan lincah. Berada sedekat ini mengubah citra Nafa dalam benak Jon. Kini, Jon memandang Nafa dari sudut yang berbeda. Nafa yang berada dalam rengkuhannya mendadak terlihat sebagai cewek yang cantik dan menarik. Cara bicaranya, suara tawanya, senyumnya, semua menjadi sangat menawan.
Jon menajamkan pandang. Apakah dia salah lihat? Sepertinya Nafa sedang tersipu. Sayang blus- on tebal menyembunyikan rona pipi Nafa. Kalau saja tidak ada pulasan pink di pipinya, Jon akan bisa melihat dengan jelas warna merah muda di pipi Nafa.
"Cut!"
Teriakan sutradara menyentak Jon dan Nafa dari pikiran masing-masing. Menarik mereka kembali ke alam nyata. Keduanya tersenyum kaku, berusaha menyembunyikan kecanggungan.
***
Syuting dilanjutkan dengan adegan makan malam. Jon dan Nafa duduk berhadapan di meja bulat. Di depan mereka, tersedia dua gelas sirop berwarna merah dan dua piring berisi potongan puding. Perintah sang sutradara kali ini adalah mengobrol dengan mesra sambil menyantap hidangan. Pembicaraan bebas karena tidak akan direkam, tetapi wajib menampilkan ekspresi dan bahasa tubuh mesra.
"Nafa Sayang, gimana kalau besok kita jalan-jalan ke kebun binatang? Di sana, kita bisa melihat kambing dan macan," Jon berkata asal dengan pandangan mesra yang seakan mengusap wajah Nafa. Tangannya meremas jari Nafa di atas meja. Candaan itu Jon lontarkan untuk menutupi kecanggungannya sendiri.
Nafa menggigit bibir, berusaha keras menahan tawanya. Setengah mati mencoba agar senyum anggun tetap terukir di wajahnya. Jangan sampai keceplosan tertawa keras. Dia tidak mau dimarahi Pak Sutradara, seperti pasangan di ujung sana yang ketahuan cekikikan berdua.
"Ngaco lo, Jon! Jangan bercanda, dong!"
"Lho, kan enggak masalah, Sayang," Jon kembali berbisik mesra, sadar kamera sedang menyorot mereka berdua. "Pak Sutradara tadi bilang enggak penting apa yang kita bicarakan, yang penting mesra."
"Iya, tapi gue enggak bisa nahan ketawa kalau lo ngomong ngaco kayak gitu."
"Gue berhenti ngomong, nih." Jon menarik kepalanya. Memberi ruang antara wajahnya dengan paras Nafa. Matanya membelai wajah Nafa dan tanpa bisa menahan, dia tersentak pelan. Kamera masih terus menyorot wajah mereka. Dan, lagi-lagi Jon diterjang pesona Nafa. Tingkah lakunya, canda dan omelannya, kembali terbayang. Paduan yang sungguh menarik.
Alis Nafa terangkat heran melihat perubahan ekspresi Jon yang mendadak berubah serius.
***
Malam itu, Nafa berbaring gelisah di tempat tidurnya. Ini tidak boleh terjadi, katanya dalam hati. Jon sahabatnya. Sejak dulu, saat mereka masih sama-sama mahasiswa baru. Persahabatan bisa hancur gara-gara cinta, begitu yang pernah Nafa dengar. Dan, dia tidak ingin jalinan pertemanannya dengan Jon dan Adisti terganggu gara-gara perasaan aneh yang tiba-tiba datang.
Diliriknya Adisti yang sudah tidur. Nafa bertekad mengusir rasa itu. Jon dan Adisti adalah sahabatnya. Selamanya.
Sedangkan, di kamarnya, Jon masih belum bisa memejamkan mata. Untuk mengusir gelisah, dia memainkan ponsel. Namun, jari-jarinya justru mengeklik galeri foto. Dan, gambar-gambarnya bersama Nafa dan Adisti kini memenuhi layar. Satu per satu, Jon melihat-lihat deretan foto itu. Bibirnya tersenyum melihat pose-pose lucu Nafa.
Jon mengembuskan napas panjang. Bimbang menimbang rasa yang tiba-tiba datang.[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top